9 Tanggung Jawab Artinya yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan alam, sosial, dan budaya, negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan batasan nilai di atas, inti pendidikan karakter adalah sikap, perilaku, dan tindakan. Hal ini memiliki makna sama dengan pendidikan karakter
dalam lingkungan masyarakat jawa yang sudah diupayakan sejak zaman dahulu. Istilah budi pekerti bagi masyarakat jawa lebih populer. Menurut Endraswara 2006:
2 budi pekerti itu watak atau perbuatan seseorang sebagai perwujudan hasil pemikiran. Inti dari budi pekerti ini yaitu sikap dan perilaku.
Menurut Tim Pengembangan Budi Pekerti TPBP Provinsi DIY ada 12 ciri budi pekerti, yaitu: 1 pengabdian, 2 kejujuran, 3 sopan santun, 4 toleransi, 5
kedisiplinan, 6 keikhlasan, 7 tanggung jawab, 8 guyub rukun, 9 tepa selira, 10 empan papan, 11 tata krama, dan 12 gotong rotong. Penelitian nilai-nilai
pendidikan karakter dalam pembelajaran tari Sari Tunggal di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta membatasi nilai budi pekerti ini menjadi tiga yaitu sopan
santun, empan papan, dan tata krama. Arti dari nilai tersebut yaitu:
1 Sopan santun Menurut Zuriah 2007: 84 sopan santun artinya sikap dan perilaku seseorang
yang tertib sesuai dengan adat istiadat atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sopan santun berupa kebiasaan yang disepakati di lingkungan tertentu
dan terbatas. Tidak semua daerah menganggap sopan santun sama aturannya.
2 Empan papan Artinya sikap dan perilaku seseorang yang bisa menempatkan diri pada
lingkungan sekitar sehingga tidak bertentangan dengan aturan di lingkungan tersebut. Misalnya ketika seseorang berada di lingkungan sekolah, maka ia harus ikut menaati
aturan yang ada di sekolah. 3 Tata krama
Artinya sikap seseorang yang menaati aturan dan sopan santun. Tata krama merupakan hal penting dan tidak bisa dipisahkan dengan budi pekerti. Tata krama ini
berlaku pada lingkungan yang terbatas, misalnya tata krama yang baik di daerah Jawa belum tentu baik di daerah Bali Endraswara: 2006.
Menurut Sastrowardoyo melalui Endraswara, 2006: 40 tata krama memiliki makna yang sama dengan unggah-ungguh yang merujuk pada istilah suba sita. Tata
krama ini bisa dilihat melalui tata bahasa, sikap, serta perilaku seseorang. Semakin baik tata bahasa, sikap, dan perilaku seseorang, maka budi pekerti orang tersebut
sudah baik dan akan mewujudkan karakter yang baik pula. Tujuan dari pendidikan karakter yang baik yaitu perilaku yang mampu
menimbang hal yang baik dan buruk, serta memilih hal baik untuk dijalankan.
3. Hakikat Tari a. Tari
Tari merupakan salah satu cabang kesenian yang sudah ada sejak zaman primitif. Awalnya manusia purba tidak bisa mengungkapkan isi hatinya dengan kata-
kata, namun mereka menyatakannya dengan isyarat yang berupa gerak Depdikbud:
1986. Maka tari dalam bentuk semula diperkirakan hanya berbentuk gerak saja, namun sudah memiliki ritme irama. Tidak hanya sekedar gerak, namun ada irama
yang menjadikan gerak indah. Manusia primitif menjadikan tari sebagai media persembahan atau pemujaan dengan gerak yang berasal dari hasil meniru gerak
pohon, aliran air, maupun alam sekitarnya. Seiring dengan perkembangan zaman, tari tidak hanya berkembang bagi manusia primitif namun juga berkembang pada
manusia modern. B.P.H. Suryadiningrat dalam buku Kawruh Joged Mataram mengatakan
“Ingkang dipun wastani joged inggih punika ebahing sedaya saranduning badan, kasarengan ungeling gangsagamelan, katata pikantuk wiramaning
gendhing, jumbuhing pasemon kaliyan pikajenging joged” YSAB, 1981: 16.
Sedangkan Corrie Hartong menyatakan bahwa tari adalah gerak-gerak yang berbentuk dan ritmis dari tubuh dalam ruang Depdikbud, 1982: 17.
Beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tari adalah gerak yang ritmis dari tubuh di dalam ruang yang diiringi oleh irama musik, dan disesuaikan
dengan ekspresi yang mendukung bagi tarinya. Tari terdiri dari beberapa jenis, menurut Debdikbud 1982: 50 berdasarkan
pola garapan tari di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu: tari tradisional dan tari kreasi baru.
1 Tari tradisional Tari tradisional merupakan tari yang berkembang di masyarakat yang berpacu
pada aturan atau kaidah-kaidah tradisi yang sudah ada dan baku. Tari tradisional dibagi menjadi tiga yaitu : 1 tari primitif, 2 tari rakyat, 3 tari klasik.
Tari klasik adalah tari yang masih taat pada aturan atau kaidah dan norma- norma yang baku dan hidup secara turun-temurun. Lingkungan awal yang menjadi
tempat munculnya tari klasik yaitu lingkungan istana raja dan bangsawan Abdurachman: 1979. Tari klasik memiliki prinsip komposisi maupun ragam gerak
yang sudah ditetapkan dan diakui dengan pembagian ragam berdasar jenis tarian maupun perwatakannya.
2 Tari kreasi baru Tari Kreasi baru merupakan tari garapan yang dasar pemikirannya berasal
dari tuntutan masa kini, dan sudah berkembang bebas dalam pengungkapannya. Para koreografer tari kreasi baru umumnya masih mengambil sumber dari tari tradisional.
Mereka hanya mengembangkan dari sisi gerak maupun busananya.
b. Tari Klasik Gaya Yogyakarta
Tari klasik gaya Yogyakarta diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke I yang memimpin keraton pada tahun 1755-1792. Awalnya, tari klasik hanya
boleh dipelajari di dalam istana. Gerak yang ada berasal dari gerak keprajuritan, karena penari yang mempelajari tari klasik saat itu merupakan prajurit dari keraton.
Penari beranggapan bahwa teknis yang dimiliki tari klasik gaya Yogyakarta hanya itu-itu saja. Mereka tidak menyadari bahwa hal penting lainnya dalam mempelajari
tari yaitu seni jiwa. Tanggal 17 Agustus 1918 lahir organisasi tari klasik gaya Yogyakarta yang
bernama Krida Beksa Wirama. Lahirnya organisasi ini membuat tari klasik gaya Yogyakarta boleh dipelajari di luar istana. Hal ini mendapat izin dan restu dari Sri
Sultan Hamengku Buwono VII, Sukidjo melalui Depdikbud: 1986. Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejakusuma mengajak beberapa penari, ahli tari, ahli
karawitan dari keraton Yogyakarta untuk membentuk organisasi ini. Spesialisasi tipe tari dari organisasi ini yaitu putri, putra halus, dan putra gagah. Organisasi inilah
yang menjadi pelopor bagi wanita untuk mempelajari dan menarikan tari klasik gaya Yogyakarta Soedarsono: 2000.
Sifat tari klasik gaya Yogyakarta yaitu abstrak dan simbolis. Menurut orang awam yang tidak mengerti tentang seni tari, mereka beranggapan bahwa penari tari
klasik gaya Yogyakarta hanya membuat garis biasa yang tak tampak secara jelas dan tanpa patokan tertentu. Tetapi sebenarnya garis tersebut merupakan pola khas dalam
tari tersebut. Patokan dalam tari klasik ada dua, yaitu 1 patokan baku dan 2 patokan tidak baku. Patokan baku adalah patokan atau aturan yang tidak dapat
diubah dan harus ditaati oleh penari tari klasik gaya Yogyakarta, sedangkan patokan tidak baku adalah ragam tari yang sudah terpola tetapi dalam praktik gerak, penari
boleh menyimpang dari aturan yang ada, Sukidjo melalui Depdikbud: 1986. Menurut R.L. Sasmintamardawa, dkk. 1983: 26 aturan-aturan yang harus
diperhatikan dan dilaksanakan oleh penari tari klasik gaya Yogyakarta meliputi 1 hadeg atau sikap badan, 2 sikap dan pandangan mata, 3 gerak leher, dan 4 sikap
kaki. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1 Hadeg atau sikap badan
Sikap badan merupakan faktor penting yang harus dipelajari karena hal ini akan mempengaruhi wiraga dari seorang penari. Ketentuan sikap badan tersebut
yaitu:
a Iga kaunus : tulang rusuk dijunjung
b Ula-ula ngadeg : tulang punggung berdiri
c Enthong-enthong wrata : tulang belikat datar d Jaja munjal
: dada membusung e Weteng nglempet
: perut kempis Sikap-sikap badan tersebut dipusatkan pada cethik yaitu persendian yang
terdapat di antara pangkal paha dan badan. 2 Sikap dan pandangan mata
Hal tersebut dapat menunjukkan konsentrasi dari seorang penari. Ketentuan sikap dan pandangan mata yaitu kelopak mata terbuka dengan bola mata lurus
menurut arah hadap muka. Pandangan dari penari harus tajam dengan jarak tiga kali tinggi badan untuk putri dan putra halus, dan lima kali tinggi badan untuk putra
gagah. 3 Gerak leher
Ketentuan gerak leher dipusatkan pada persendian antara leher dan kepala. Pokok gerak pada leher disebut tolehan dan pacak gulu.
4 Sikap tangan Sikap-sikap yang ada dalam tari klasik gaya Yogyakarta yaitu terdiri dari:
a Jari tangan mempunyai sikap ngruji, ngithing, nyempurit, dan ngepel yang hanya berpusat pada jari tangan.
b Pergelangan tangan memiliki sikap nekuk lengkung tumungkul, nekuk berdiri, dan lurus.