Gambar di atas merupakan contoh siswa saat selesai berlatih menari tari Sari Tunggal. Sampur yang digunakan bermotif cindhe, dan sebelum turun dari pendapa
sampur tersebut diikat dua kali di pinggang. 9. Sampur yang digunakan oleh guru dan siswa adalah sampur gaya Yogyakarta,
yaitu sampur yang tidak menggunakan gombyok atau payet. 10. Sebelum berlatih, sampur diikat di pinggang satu kali. Kemudian, sampur ditata
saat penari sudah melakukan jengkeng, sebelum mulai gerak sembahan. Ketika selesai menari, sampur diikat kembali dua kali di pinggang.
11. Jika siswa maupun guru datang membawa tas, maka tidak diperkenankan menggunakan tas punggung, sebaiknya menggunakan tas tenteng. Berikut
adalah cara membawa tas yang benar saat datang ke area Keraton Yogyakarta.
Gambar 7: Siswa masuk ke lingkungan Keraton Yogyakarta dengan membawa tas, dan tidak diperkenankan menggunakan alas kaki Dok.: Satria, 2015
Gambar 8: Aturan pakaian latihan di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta Foto: Mayong, 2015
Siswa yang ada dalam foto di atas adalah gambaran sosok pribadi siswa yang patuh terhadap aturan dan siap berlatih menari di Bangsal Kasatriyan Keraton
Yogyakarta. Peraturan berpakaian tersebut disesuaikan dengan cara berpakaian abdi dalem
karena hanya cucu raja dan kerabat raja saja yang diperbolehkan menggunakan pakaian yang lebih mewah dan menggunakan hiasan serta perhiasan.
Menurut hasil wawancara peneliti dengan narasumber, jika ada siswa atau guru yang melanggar ketentuan tersebut, pihak Keraton Yogyakarta tidak akan
memberikan sanksi. Namun biasanya mereka akan dihimbau dan diberitahu kesalahannya dan diminta untuk tidak mengulang kesalahan tersebut di lain waktu.
Adapula siswa yang melanggar karena ia tidak tahu peraturan memakai jarik dan
sudah naik ke atas pendapa, siswa tersebut hanya diperbolehkan melihat saja. Kesalahan ada dua jenis, yaitu kesalahan yang dilakukan secara sadar atau disengaja
dan kesalahan yang dilakukan secara tidak sadar, atau tidak disengaja.
D. Proses Pembelajaran Tari Sari Tunggal
Proses pembelajaran di Bangsal Kasatriyan tidak seperti sekolah formal dan sanggar-sanggar tari klasik gaya Yogyakarta lainnya. Berdasarkan hasil observasi,
wawancara, dan pengalaman peneliti saat mengikuti latihan rutin di Bangsal Kasatriyan, menunjukkan bahwa proses pembelajarannya memiliki keunikan yang
dapat dilihat dari berbagai segi. Proses pembelajarannya adalah sebagai berikut: 1. Siswa
Keunikan siswa yang belajar di Bangsal Kasatriyan tidak dibatasi berdasarkan usia maupun status sosialnya asalkan siswa tersebut mau memakai
kebaya, jarik, dan sanggul saat berlatih. Siswa yang belajar dari berbagai kalangan serta usia berasal dari berbagai sanggar tari klasik gaya Yogyakarta. Ada pula siswa
yang berasal dari perguruan tinggi di Yogyakarta yang belajar tentang seni tari. Siswa yang belajar sudah memiliki kemampuan dan siap dalam hal materi untuk
menari klasik gaya Yogyakarta. Kegiatan latihan rutin di Bangsal Kasatriyan ini tidak dipungut biaya atau gratis.
Ketika siswa tiba ke Bangsal Kasatriyan, biasanya tidak ada yang berlatih khusus sebelum naik ke pendapa. Mereka hanya duduk-duduk di sekitar pendapa
Bangsal Kasatriyan. Jika ada siswa yang bingung tentang urutan maupun detail
gerak, mereka boleh bertanya kepada guru sebelum naik ke pendapa. Tampak pada gambar di bawah ini siswa menunggu latihan dimulai.
Gambar 9: Siswa sedang menunggu latihan tari Sari Tunggal dimulai Dok.: Satria, 2015
2. Guru Keunikan guru yang mengajar di Bangsal Kasatriyan berasal dari beberapa
sanggar tari klasik gaya Yogyakarta dan guru atau dosen dari sekolah formal dan universitas ternama. Tidak semua guru merupakan abdi dalem, namun hanya
beberapa saja. Pihak Keraton Yogyakarta melibatkan guru yang masih berstatus magang, untuk ikut dalam kegiatan latihan ini karena siswa yang belajar di
Kasatriyan tidak sedikit wawancara dengan ibu Siti Sutiyah, S.Sn pada tanggal 24 April 2015.
Biasanya siswa bertanya tentang gerak yang belum dipahami ketika berlatih. Guru pun memberi tahu tentang gerak tersebut. Guru juga membenahi gerak siswa
yang sedang belajar di atas pendapa. Hal ini menunjukkan bahwa guru selalu
memfasilitasi siswa yang belajar. Hubungan yang baik antara guru dan siswa tersebut membuat siswa nyaman saat belajar sehingga menambah semangat siswa dan materi
yang diajarkan lebih mudah dipahami. Jika siswa yang belajar sudah mengenal ragam tari klasik gaya Yogyakarta
dan siswa tersebut sudah siap dengan materi, maka guru hanya memberi tahu urutan gerak dan membenahi sikap badan para siswa. Berikut ini adalah contoh guru
membenahi sikap badan siswa yang berlatih di pendapa Kasatriyan. Guru tersebut memberi tahu bahwa posisi cethik siswa belum benar dan langsung membenahi
sikapnya, sehingga siswa akan mengetahui perbedaan antara sikap yang benar dan sikap yang salah.
Gambar 10: Guru sedang membenahi sikap badan siswa ketika berlatih di Bangsal Kasatriyan Dok.: Satria, 2015
3. Tujuan Tujuan dari pembelajaran tari di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta
adalah untuk memunculkan generasi penerus yang mempertahankan dan melestarikan seni tari khususnya tari klasik gaya Yogyakarta. Hal ini berkaitan
dengan tidak adanya abdi dalem Bedhaya lagi. Kawedanan Hageng Kridha Mardawa juga sering mengisi pentas tari di keraton, maupun di luar keraton. Maka
ketika organisasi tersebut mendapat tugas untuk mementaskan tari, bisa meminta siswa dari Kawedanan Hageng Punokawan Kridha Mardawa wawancara dengan
ibu Angela Retno Nooryastuti, 7 Mei 2015.
4. Metode Proses pembelajaran di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta
menggunakan metode yang unik dan berbeda dari sanggar tari dan sekolah formal lainnya. Tidak ada metode imitasi secara khusus, namun guru akan langsung
mendikte gerak yang sudah ada dan sesuai dengan urutan ragam tari Sari Tunggal. Seperti yang sudah dijelaskan di sejarah tari Sari Tunggal bisa diajarkan di Keraton
Yogyakarta, urutan ragam tari ini tidak ada perubahan sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Siswa dan guru biasa datang sebelum pukul 10.00 WIB. Mereka terlebih dahulu melakukan presensi di sebelah pendapa Bangsal Kasatriyan, setelah itu tidak
mencuk tetapi hanya duduk untuk menjaga konsentrasi atau hanya bercakap-cakap dengan teman-teman. Berdasarkan hasil observasi, sebagian siswa mendiskusikan
urutan ragam tari Sari Tunggal.
Sebelum naik dan setelah turun dari pendapa, siswa dan guru melakukan gerak sembahan terlebih dahulu dengan maksud menghormati Tuhan, sesama, serta
lingkungannya. Seperti tampak pada gambar berikut ini.
Gambar 11: Siswa dan guru bersiap naik ke pendapa Kasatriyan Dok.: Satria, 2015
Gambar 12: Siswa dan guru melakukan sembahan setelah turun dari pendapa Kasatriyan Dok.: Satria, 2015
Berdasarkan kedua gambar di atas, terdapat perbedaan yaitu, ketika siswa dan guru akan naik ke pendapa, sampur diikat biasa di pinggang, sedangkan ketika turun,