Kedatangan Belanda Latar Belakang Sejarah Tanjung Kasau

21

2.3.2 Kedatangan Belanda

Sebelum Belanda datang dan menduduki Sumatera Timur, di Sumatera Timur telah banyak berdiri kerajaan-kerajaan, baik kerajaan besar maupun kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan besar itu adalah seperti Kerajaan Deli, Kerajaan Serdang, Kerajan Asahan, dan Kerajan Kualuh. Kerajaan-kerajaan besar maupun kerajaan-kerajaan kecil sangat bergantung pada pengakuan ataupun bisluit yang dikeluarkan baik oleh Kerajaan Aceh, Kerajaan Siak maupun Belanda. Berdasarkan pengakuan ataupun bisluit yang dikeluarkan Kerajaan Aceh dan Kerajaan Siak tersebut dapatlah dikategorikan yang termasuk kerajaan-kerajaan besar antara lain : • Kerajaan Langkat • Kerajaan Deli • Kerajaan Serdang • Kerajaan Asahan • Kerajaan Kualuh • Kerajaan Bilah • Kerajaan Panai • Kerajaan Kota Pinang 10 Sedangkan kerajaan-kerajaan kecil atau kerajaan lokal lainnya berada dibawah pengaruh kerajaan- kerajaan besar di atas. Hal ini sangat tergantung kepada kerajaan yang mempengaruhi atau yang menaklukkannya. 10 T.L Sinar, “Sari Sedjarah Serdang Dengan Adat Istiadat Melayu dan Terumba Seri Paduka Gotjah Pahlawan”, Medan: Tanpa Penerbit, 1971, hal. 135. 22 Pada prinsipnya semua kerajaan-kerajaan itu memiliki kedudukan yang setara. Sebaliknya berbagai kerajaan-kerajaan kecil berapliasi bergantung pada kebutuhannya seperti: 1. Berdasarkan kepentingan ekonomi, 2. Berdasarkan kepentingan budaya. Meskipun di Sumatera Timur ini pada umumnya adalah suku melayu dan suku batak yang me-melayu, 11 Berapliasi berdasarkan kepentingan ekonomi yang dimaksud adalah karena posisi satu kerajaan lebih strategis dalam bidang perdagangan. Hal ini menyebabkan kerajaan tersebut lebih dihormati dan lebih cepat berkembang. Karena dihormati dan perkembangan dan besarnya nya kerajaanlah yang membuat kerajaan-kerajaan kecil namun budaya batak sangat banyak yang mempengaruhi adat istiadat melayu. Perbedaan yang sangat menyolok diantara suku batak dan suku melayu adalah karena pengaruh marga dan agama. Suku melayu identik dengan agama islam dan tidak bermarga menghilangkan marga sedangkan suku batak mayoritas kebanyakan beragama kristen dan adapula yang masih beragama nenek moyang, seperti parmalim dan pemena. Adanya perbedaan agama ini maka banyak pula sistem budaya yang berubah. Apa yang terlarang dalam agama Islam secara perlahan ditinggalkan dan sistem baru dipakai berdasarkan agama Islam. Hal ini pulalah yang mengakibatkan di daerah pesisir yang suku melayu posisi marganya semakin melemah. 11 Tengku H.M.Lah Husny, “Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu- Pesisir Deli Sumatera Timur, 1612-1950”, Medan: BP Husny, 1975 hal. 100. 23 di bawah pengaruh kerajan tersebut. Contoh ini jelas seperti pada Kerajaan Deli, Kerajaan Serdang, Kerajaan Asahan, dan lain-lain. Sementara faktor budaya pada umumnya disebabkan karena perkawinan. Dalam hal ini terjadi hubungan antara anak beru dan pihak moranya.Demikianlah pertumbuhan kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur sebelum datangnya Belanda. Kerajaan-kerajaan tumbuh dan berkembang secara alami asal kerajaan tersebut menganut agama Islam. Bila terjadi pertikaian biasanya disebabkan oleh masalah perkawinan, sementara pertikaian karena faktor penguasaan tanah sangat jarang karena lahan untuk dijadikan sebagai areal pertanian masih sangat luas. Perlu diketahui bahwa meskipun daerah di Sumatera Timur dikuasai oleh para raja namun dalam hal pemanfaatanlahan, rakyat diberi keleluasaan. Di pantai timur, keberadaan raja hanya sebagai pengawas kepada mayarakat dalam hal penguasaan tanah sekaligus sebagai pemegangsupermasi dalam segala segi kehidupan sosial masyarakat. Sementara kerajaan yang berada di perbatasan dengan daerah Tapanuli, penguasaan tanah lebih dipengaruhi adat istiadat. Demikian juga dengan keberadaan Tanjung Kasau sebagai suatu kawasan. Daerah ini dahulunya merupakan suatu lahan kosong yang dikuasai oleh kerajaan- kerajaan kecil. Kerajaan itu berasal dari suku batak simalungun yaitu keturunan kerajaan Nagur. Namun karena Aceh di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda secara terus-menerus melakukan perluasan dan pengembangan agama islam, maka kerajaan Simalungun semakin melemah. Akibatnya banyak daerah-daerah taklukan seperti 24 Tanjung Kasau menjadi terabaikan. Keadaan ini memberi peluang terhadap kerajaan- kerajaan Melayu yang berada di bawah pengaruh Aceh untuk menganeksasinya. Keadaan ini tidaklah memberi keberuntungan kepada Tanjung Kasau sebagai sebuah kerajaan kecil karena terjadi perseteruan secara terus-menerus diantara raja- raja Melayu. Pertikaian yang terjadi secara terus-menerus membuat kerajaan Tanjung Kasau yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Simalungun lama kelamaan menjadi terpengaruh oleh kerajaan Melayu. Terlebih bahwa kebutuhan ekonomi kerajaan Tanjung Kasau banyak berhubungan dengan kerajaan-kerajaan melayu yaitu keberadan selat Malaka sebagai jalur perdagangan. Raja-raja dan masyarakat Tanjung Kasau pun lebih mendekat kepada melayu dan beragama Islam.Kondisi ini berlangsung hingga kedatangan Belanda ke Tanjung Kasau dan sekaligus menguasainya pada tahun 1882.

2.3.3 Kedatangan Belanda ke Tanjung Kasau