Pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga Puluh September 1965

(1)

PELANGGARAN HAM TERHADAP PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)

DALAM GERAKAN TIGA PULUH SEPTEMBER 1965

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH

PINCE SISKA ANALIA 060200238

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PELANGGARAN HAM TERHADAP PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)

DALAM GERAKAN TIGA PULUH SEPTEMBER 1965 SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH

PINCE SISKA ANALIA 060200238

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Internasional

H. Sutiarnoto, S.H., M.Hum NIP. 195610101986031003

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Abdul Rahman S.H., M.H. Arif, S.H., M.H.

NIP. 195710301984031002 NIP. 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Penulis bersyukur pada akhirnya Skripsi yang berjudul: “Pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga Puluh September 1965” ini telah selesai. Adapun penulisan skripsi sesuai judul tersebut, selain guna memenuhi syarat kelulusan kegiatan akademik, juga dilatarbelakangi pelanggaran HAM terhadap orang-orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI yang merupakan pelanggaran HAM berat dan telah berlangsung selama puluhan tahun di Indonesia tidak pernah mendapat penyelesaian hukum yang jelas dari pemerintah Indonesia sejak masa rezim orde baru hingga kini, masa yang diklaim sebagai pascareformasi. Keadaan ini menjadi sebuah kontradiksi dengan fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen internasional terkait perlindungan HAM.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan baik dari segi teknis maupun dari segi substantif, karena itu penulis mengundang kritik dan saran konstruktif positif dari berbagai pihak demi kelayakan skripsi ini sebagai sebuah karya ilmiah yang baik dan berguna. Penulis berterima kasih kepada:

1. Bapak Sutiarnoto, S.H., M.Hum, Ketua Departemen Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memperhatikan dan memberi semangat bagi para mahasiswa departemen hukum internasional, termasuk penulis

2. Bapak Abdul Rahman, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I penulis, yang telah meluangkan waktunya bagi penulis dalam mendiskusikan skripsi ini

3. Bapak Arif, S.H., M.H., Sekretaris Departemen Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara yang juga merupakan dosen pembimbing II penulis yang telah banyak membagikan ilmu-ilmu dan berbagai pengalaman yang berharga yang inspiratif pada tiap kuliah serta memberikan berbagai masukan dalam penulisan skripsi ini

4. Bapak Hermansyah, S.H., M.Hum, Dosen Penasehat Akademik Penulis

5. Para pihak yang membantu penulis dalam penulisan skripsi ini: Bapak Edy Ikhsan, S.H., M.A., yang dalam berbagai kesempatan bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis, dan dalam penulisan skripsi ini, dengan penuh kepercayaan, bersedia meminjamkan berbagai referensi buku-buku kiri koleksinya bagi penulis. As the most egalitarian “guru”, you deserve the dean position at the faculty, hopefully someday you would be there, Sir! ; Para Abang dan Kakak (yang sepantasnya saya sebut oom dan tante, ha ha) dari BAKUMSU: Juni Arios yang banyak menghubungkan penulis dengan para informan dan referensi terkait serta selalu ‘mencambuk’ penulis untuk


(4)

cepat-cepat menyelesaikan skripsi ini, Mimi Priscilia yang selalu memperhatikan dan memotivasi penulis dengan cara yang anggun (ha ha), Ressi Dwiyana yang menjadi Nande yang gemar ‘merepeti’ penulis di sela-sela kebaikan hatinya mengajak penulis berkelana dari satu tempat dan informasi aneh ke tempat dan informasi (lebih) aneh lainnya, ketiga ladies ini sangat berjasa dalam menekan biaya-pengeluaran-makan-sampai-puas penulis (ha ha), Anto, Manambus Pasaribu, Sahat Hutagalung, Saurlin Siagian, dan Randy Hutagaol yang banyak memotivasi dan menyediakan waktu untuk membagi pengetahuan mereka terhadap keingintahuan penulis, dan Niar Sijabat yang membantu penulis meminjam referensi dari perpustakaan BAKUMSU; Bapak Jiman Karo-karo dari KPP HAM 1965, Bapak Khairuman dari KPP HAM Nusantara, serta Bapak Sjahriar Sandan, S.H. yang banyak memberikan informasi bagi penulis terkait skripsi ini; Zainal Abidin dari Kedai Buku Titik Koma yang banyak membantu penulis dalam memberikan referensi buku-buku kiri yang tidak diterbitkan lagi serta banyak meluangkan waktu untuk membagikan berbagai informasi dan pengetahuannya yang luas bagi penulis

6. Keluarga penulis: Alce Mogendo, Ibu penulis; N Keliat dan Wallia Liman, Bapak Tengah dan Mama Tengah penulis; Deni Tancanguru Keliat dan Lilis Suryani, Abdiel Keliat dan Nomi Sinulingga, Pera Keliat, dan Peni Keliat, saudara-saudara penulis, yang telah banyak memberikan dukungan, semangat, dan nasehat bagi penulis dalam menyelesaikan studi

7. Sahabat-sahabat penulis sejak masa kecil yang tetap memperhatikan dan mendukung penulis hingga saat ini: Randi Kandera, Ivoni Sembiring, dan Selvia Laura, yang bersama mereka penulis senantiasa melakukan ‘petualangan-petualangan’ yang agak tidak normal; Liliana dan Hardi Tuwuntjaki, Jii Libranto dan Eva Munthe, para tetangga yang terkena sindrom mangaholic bersama-sama dengan penulis; Febrina Meliala, sahabat perempuan penulis yang paling gentleman (ha ha) yang obrolan-obrolan-ringan-bijaknya banyak menginspirasi penulis untuk memandang segala sesuatu dengan berbagai perspektif, dan Lorensia Brahmana yang banyak memotivasi penulis untuk menjadi perempuan hebat yang menguasai peta politik global (ha ha); Hardi Ade Wahyudi, yang kebaikan hatinya mengikutsertakan penulis dalam ‘perburuan-perburuan’ kulinernya berandil besar dalam menambah kuantitas lemak penulis, Rudi Tanaka, yang selalu berbaik hati bersedia membantu penulis ‘beramah tamah’ pada komputer dan para peranti lunaknya, dan Yudha Hesty yang selalu menyempatkan diri untuk berbincang-bincang jarak jauh dengan penulis; Yennika Zebua dan Rina Adriyani, tempat penulis menyeduh berkilo kopi dan teh sambil mendiskusikan berbagai isu tanpa simpulan yang jelas (ha ha), yang juga


(5)

dengan berbaik hati telah menemani penulis dalam melakukan wawancara dengan informan terkait skripsi ini

8. Friska Sitanggang, Kakak Kelompok penulis yang sangat relijius sekaligus fun dan sahabat-sahabat di KK “Putri Sion” yang berperan penting dalam pengolahan dan pertumbuhan spiritual penulis: Corry Aruan, Devi Matondang, Imelda Situmorang, Meilina Marbun, dan Verawaty Aruan

9. Sahabat-sahabat primat penulis semasa kuliah: PEMAKE: Devi, sahabat sepenanggungan penulis yang sama-sama ‘terpaksa’ menyelesaikan skripsi dalam kurun waktu 1 bulan, yang sering menyemangati penulis dengan kiriman pesan-pesan singkat romantisnya yang sama sekali tidak romantis dan selama bertahun-tahun selalu berusaha menanamkan doktrin shopaholic ke dalam diri penulis, yang ia tidak ketahui ialah paham tersebut tidak akan pernah bersemi di hati seseorang yang berpegang teguh pada mazhab-hemat-eksploitatif (ha ha), Maria, yang senantiasa (berusaha) menjadi konsultan mode dan gaya hidup dan hampir selalu bersedia menjadi ‘abang ojek’ tanpa tanda jasa, juga sebagai pemasok catatan kuliah bagi penulis, Meilina yang bertahun-tahun menjadi ATM pribadi terdekat bagi penulis (ha ha) dan selalu menjadi sosok yang lemah lembut di PEMAKE, Paulina yang mengajarkan penulis bahwa penguasa totaliter sadis seperti Joseph Stalin pun tidak ada apa-apanya jika ditandingkan dengan perempuan penganut aliran ‘agmon-histeris-bagai-banteng-badak-ngamuk-attack’ seperti dia, bravo, Paul!, dan Randi yang selalu mengerti segala hal yang kompatibel dengan penulis (No words can say, Ran, ha ha), termasuk selalu menjadikan penulis sebagai (korban) pembaca awal draft sajak-sajak aneh buatannya (ha ha),

10.Sahabat-sahabat penulis, partners in science sekaligus partners in crime: Ismed Tampubolon dan Suhardi Fonger, para lelaki brilian yang lucu dan baik hati yang sangat berperan penting sebagai ‘pengintai’ bagi penulis dalam kuliah-kuliah di mana penulis harus mengulang (ha ha), senang rasanya selalu menertawakan hal-hal konyol di sela-sela pengerjaan berbagai karya tulis ilmiah bersama kalian

11.Sahabat-sahabat penulis di Tim Perpustakaan KMK FH: Liza Sitanggang, Anita Sagala, Iche Trisnawaty, Nova, Andryanto Pasaribu, Mey Oncy, dan Obbie Afri yang sangat kooperatif dan bersahabat. Hampir tidak ada beban yang berarti dalam pelaksanaan program-program yang terpaksa berkejar-kejaran dengan kala selama bekerja sama dengan orang-orang gila seperti kalian (ha ha)

12.Kawan-kawan angkatan 2006 penulis: Maria Afriyanti, yang sering berbincang-bincang tentang ‘makna kehidupan’ (ha ha) dengan penulis, Ingrid Zega dan Rentha Pardede, dua SARJANA (title by request ha ha) yang memotivasi penulis dan berkontribusi dalam memberikan ide-ide seputar


(6)

skripsi ini, Siska Siagian yang ‘ke-Jeng Kelin-an’ dan lengkingan Mezzo Sopran-nya sering menghebohkan suasana penulisan skripsi ini, Yanta Ginting dan Randi Saputra yang selalu memberi jasa setir di saat-saat genting, Siska Nora, Jaswinder Jit yang selalu bersedia meminjamkan catatan kuliahnya, Verawaty Aruan yang selalu penulis ganggu jam tidurnya dengan pertanyaan-pertanyaan darurat nan genting, Dumaria Manalu,Witra Sinaga; kawan-kawan dari departemen Hukum Internasional yang ramah dan bersahabat: Vera, Ruth Yenni, Dendi, Leslie, Rendie, Grath, Meici, Riko, Samuel, Debora, Rentha dan kawan 2006 lainnya yang tidak dapat disebut satu-persatu; kawan-kawan dari angkatan 2007, 2008, hingga 2009

13.Kawan-kawan penulis di UKM KMK FH USU; USU Inkubator Sains, tempat penulis belajar menulis dan bekerja tim: Suwanto Ong, Nurbetty Aisha, Ami, Howard, dan Renatha; kawan-kawan penulis di USU Society for Debate, a comfortable place for debating about thinking and thinking about debating; dan kawan-kawan penulis di GMKI

Medan, Maret 2010

Hormat Penulis,

PINCE SISKA ANALIA NIM: 060200238


(7)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ……….……….. ii

Kata Pengantar ………..………. iii

Daftar Isi ………...…... v

Daftar Singkatan ... xi

Abstrak ………..….. xii

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ……… 13

I.2. Perumusan Masalah ……… 20

I.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan ……….. 20

I.4. Keaslian Penulisan ……… 21

I.5. Tinjauan Kepustakaan ………... 22

I.6. Metode Penulisan ………..…… 26

I.7. Sistematika Penulisan ………... 28

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELANGGARAN HAM II.1. Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional …………..……… 30

II.2. Sejarah Perkembangan Hukum HAM Internasional dan Nasional ……….. 34


(8)

II.3. Konvensi Anti Penyiksaan ……….. 41 II.4. Pelanggaran HAM Berat dalam Hukum

Internasional dan Hukum Nasional ……….… 42 II.4.1. Genosida dalam Hukum Internasional

dan Hukum Nasional ………. 42 II.4.2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

dalam Hukum Internasional

dan Hukum Nasional ……….. 45 II.5. Peran Negara dan Aktor Non-Negara sebagai

Pelanggar HAM ………..……. 52

II.6. Tanggung Jawab Individu ……… 55 II.7. Penyelesaian Pelanggaran HAM dalam

Taraf Nasional ………...… 56 II.7.1. Pengadilan HAM Ad Hoc ………….... 56 II.7.2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi …. 58 II.8. Penyelesaian Pelanggaran HAM dalam

Taraf Internasional ………. 60 II.8.1. The International Bill of

Human Rights ……… 61

II.8.2. Pengadilan Internasional ……….... 67 II.8.2.1. Pengadilan Permanen …….…. 67 II.8.2.2. Pengadilan Ad Hoc ……….… 68 II.8.2.3. Pengadilan Campuran ……….. 70


(9)

BAB III GERAKAN TIGA PULUH SEPTEMBER

III.1. Sejarah Singkat PKI ………..… 76 III.2. Latar Belakang Gerakan

Tiga Puluh September ……….... 78

BAB IV PELANGGARAN HAM TERHADAP PKI

DALAM GERAKAN TIGA PULUH SEPTEMBER IV.1. Bentuk-bentuk Pelanggaran HAM Terhadap

Para Anggota dan Simpatisan PKI ………...…. 87 IV.1.1. Pendiskreditan Secara Politik,

Sosial, Ekonomi, dan Budaya ……….... 88 IV.1.2. Pembunuhan Massal ……… 94 IV.1.3. Penahanan Paksa dan Penyiksaan

Para Tahanan ………..……… 101 IV.1.4. Pelecehan Seksual Terhadap

Perempuan ……….…. 105 IV.2. Hubungan Antara Hukum Nasional dan

Hukum Internasional dengan Pelanggaran HAM

Terhadap Para Anggota dan Simpatisan PKI …… 107 IV.3. Implementasi Hukum Nasional dan Hukum

Internasional Atas Pelanggaran HAM Terhadap Para Anggota dan Simpatisan PKI Dalam


(10)

IV.3.1. Penyelesaian dalam Taraf Nasional ……. 115 IV.3.1.1. Pengadilan HAM Ad Hoc …. 116 IV.3.1.2. KKR ………...… 118 IV.3.2. Penyelesaian dala Taraf Internasional …. 119

BAB V KESIMPULAN

V.1. Kesimpulan ………...… 121 V.2. Saran ………...…….. 124


(11)

DAFTAR SINGKATAN

AD Angkatan Darat

CAT Convention Against Torture atau Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment

CC Comite Central

DUHAM Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia G30S Gerakan Tiga Puluh September

Gerwani Gerakan Wanita Indonesia

HAM Hak Asasi Manusia

ICC International Criminal Court

ICTR International Criminal Tribunal for Rwanda ICTY International Criminal Tribunal of Yugoslavia ISDV Indische Sociaal-Democratische Vereniging KKR Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Konvensi Ekosob Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Konvensi Sipol Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik Kopkamtib Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa PKI Partai Komunis Indonesia

RPKAD Resimen Para Komando Angkatan Darat SCSL Special Court for Sierra Leone

SI Sarekat Islam


(12)

UNTAET United Nation Transitional Administration in East Timor PELANGGARAN HAM TERHADAP PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)

DALAM GERAKAN TIGA PULUH SEPTEMBER 1965

ABSTRAKSI

*) Abdul Rahman S.H., M.H. **) Arif S.H., M.H.

***) Pince Siska Analia

Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai instrumen internasional dalam bidang HAM ternyata tidak menjamin penegakan hukum dan perlindungan HAM Negara terhadap warganya, hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya kasus pelanggaran HAM berat oleh Negara di masa lalu yang tidak diproses melalui hukum. Salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang korbannya sangat massif adalah pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca Gerakan Tiga puluh September 1965.

Skripsi ini mengemukakan permasalahan mengenai apa saja bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang diterima oleh para anggota dan simpatisan PKI, bagaimana relativitas antara hukum nasional dan hukum internasional dengan pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan PKI, serta bagaimana implementasi hukum nasional dan hukum internasional terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan PKI.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif yang data-datanya bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan.

Kesimpulan dalam skripsi ini adalah bahwa bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan Negara terhadap para anggota dan simpatisan PKI antara lain berupa pendiskreditan secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya, pembunuhan massal, penahanan paksa dan penyiksaan para tahanan politik, serta pelecehan seksual, Hal itu menyalahi ketentuan dalam hukum nasional dan internasional, sedangkan implementasi dari hukum nasional untuk penyelesaian kasus tersebut adalah dengan menuntut individu yang bertanggung jawab dalam pelanggaran HAM tersebut ke pengadilan HAM ad hoc, sedangkan dalam hukum internasional, adalah dengan mengusulkan kepada Dewan Keamanan PBB untuk membentuk pengadilan campuran di Indonesia. Adapun saran yang diperoleh dari skripsi ini adalah hendaknya pemerintah Indonesia secara serius mengungkap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu secara serius.

Kata Kunci: Pelanggaran HAM, PKI, Hukum Internasional

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II


(13)

UNTAET United Nation Transitional Administration in East Timor PELANGGARAN HAM TERHADAP PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)

DALAM GERAKAN TIGA PULUH SEPTEMBER 1965

ABSTRAKSI

*) Abdul Rahman S.H., M.H. **) Arif S.H., M.H.

***) Pince Siska Analia

Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai instrumen internasional dalam bidang HAM ternyata tidak menjamin penegakan hukum dan perlindungan HAM Negara terhadap warganya, hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya kasus pelanggaran HAM berat oleh Negara di masa lalu yang tidak diproses melalui hukum. Salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang korbannya sangat massif adalah pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca Gerakan Tiga puluh September 1965.

Skripsi ini mengemukakan permasalahan mengenai apa saja bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang diterima oleh para anggota dan simpatisan PKI, bagaimana relativitas antara hukum nasional dan hukum internasional dengan pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan PKI, serta bagaimana implementasi hukum nasional dan hukum internasional terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan PKI.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif yang data-datanya bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan.

Kesimpulan dalam skripsi ini adalah bahwa bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan Negara terhadap para anggota dan simpatisan PKI antara lain berupa pendiskreditan secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya, pembunuhan massal, penahanan paksa dan penyiksaan para tahanan politik, serta pelecehan seksual, Hal itu menyalahi ketentuan dalam hukum nasional dan internasional, sedangkan implementasi dari hukum nasional untuk penyelesaian kasus tersebut adalah dengan menuntut individu yang bertanggung jawab dalam pelanggaran HAM tersebut ke pengadilan HAM ad hoc, sedangkan dalam hukum internasional, adalah dengan mengusulkan kepada Dewan Keamanan PBB untuk membentuk pengadilan campuran di Indonesia. Adapun saran yang diperoleh dari skripsi ini adalah hendaknya pemerintah Indonesia secara serius mengungkap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu secara serius.

Kata Kunci: Pelanggaran HAM, PKI, Hukum Internasional

*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Dalam berbagai konferensi hukum internasional yang berkenaan dengan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Indonesia selalu memposisikan dirinya sebagai Negara yang mendukung perlindungan Hak Asasi Manusia secara utuh. Ini terlihat dari fakta bahwa sejak reformasi 1998, Indonesia, yang walaupun produk peraturan perundang-undangan di bidang HAM relatif sedikit,1

1

Menurut data assessment dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), ditemukan hanya terdapat 35 Undang-undang atau sekitar 25% dari keseluruhan prosuk legislasi 2005-2008, yang tegas memiliki relasi dengan HAM. Lebih lengkap lihat: Wahyudi Djafar. “HAM Masih Menjadi Anak Tiri”. Asasi edisi Maret-April 2009. Halaman 8

selain telah mempunyai peraturan perundang-undangan tersendiri di bidang Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, terhitung telah lebih intensif untuk turut serta sebagai pihak pada berbagai perjanjian internasional yang bersifat multilateral, khususnya perjanjian internasional di bidang HAM seperti International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, International Covenant on Civil and Political Rights


(15)

(ICCPR), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, Convention on the Elimination of All Discrimanation against Women, Convention against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan Convention on the Rights of the Child.2

Namun, fakta keikutsertaan Indonesia pada perjanjian-perjanjian tersebut tidak berbanding lurus dengan implementasi perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kemajuan di bidang perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang tidak mengalami kemajuan yang signifikan sejak pascareformasi 1998. Dalam laporan HAM yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch bahkan ditemukan bahwa untuk tahun 2008 Indonesia malah menunjukkan kemajuan yang sangat sedikit di bidang perlindungan Hak Asasi Manusia yang ditandai dengan pengukungan kebebasan memilih kepercayaan (kasus Ahmadiyah), dan kebebasan pers yang masih terpasung.

3

2

Instrumen-instrumen internasional tersebut telah diratifikasi sebagai berikut:

a. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial

Discrimination telah diratifikasi dengan UU No. 29 Tahun 1999 tentang

Pengesahan Konvensi Internasional menganai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial

b. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) telah diratifikasi

dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik

c. International Covenant on Economic Social and Cultural Rights telah diratifikasi

dengan UU No. 11 Tahun 2005, tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

d. Convention on the Elimination of All Discrimanation against Women telah

diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan

e. Convention against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment telah diratifikasi dengan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan

Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau hukuman yang merendahkan Martabat, tidak manusiawi dan kejam lainnya

f. Convention on the Rights of the Child telah diratifikasi dengan Keppres 36/1990

tentang pengesahan Konvensi Hak-hak Anak 3


(16)

Berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia sejak masa orde lama juga masih belum mendapat kepastian hukum, mulai dari peristiwa pembunuhan massal sebanyak lebih dari setengah juta orang yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada Tahun 1965-1966, Pelanggaran HAM di Papua terhadap orang-orang yang diduga bersimpati pada gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM) pada 1962-1998, Pembantaian terhadap rakyat sipil di Santa Crus, Dili, Timor Timur Pada 1973-1998, peristiwa Tanjungpriok pada 1984, Kasus Pembunuhan di Trisakti dan Semanggi pada 1998-1999, pelanggaran HAM terhadap rakyat sipil Aceh sejak 1989. Justru pelaku pelanggar HAM pada kasus-kasus tersebut kebanyakan dikomandoi oleh Negara, dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Kasus Aceh sendiri telah berakhir damai sejak penandatangan MoU (Memorandum of Understanding) di Helsinski, Finlandia pada tahun 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM yang mana salah satu poin dalam MoU tersebut adalah Pemerintah Republik Indonesia memberikan amnesti kepada semua orang yang terlibat dalam kegiatan GAM dan pembebasan tanpa syarat bagi narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik tersebut. Namun, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk konflik tersebut belum terbentuk hingga sekarang.

Sedangkan untuk kasus Timor Timur, telah mendapat putusan yang in kracht dari Pengadilan Ad hoc HAM pada tahun 2005. Putusan itu sendiri tidak


(17)

dapat dikatakan sebagai putusan yang mencerminkan rasa keadilan karena dari 18 terdakwa, kesemuanya akhirnya diputus bebas.4

Kasus Trisakti dan Semanggi sendiri Pada 31 Maret 2008, Kejagung mengembalikan berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM penembakan mahasiswa Universitas Trisakti dan kasus Semanggi 1 dan Semanggi 2, serta kasus kerusuhan Mei 1998 dan penghilangan orang secara paksa ke Komnas HAM. Berkas penyelidikan itu dikembalikan, antara lain, karena menunggu Pengadilan HAM Ad Hoc terbentuk.5

Sedangkan kasus-kasus lainnya seperti kasus Tanjung Priuk dan Pembantaian massal 1965-1966 justru belum mendapat penanganan sama sekali secara hukum. Kasus pembantaian massal 1965-1966 serta pelanggaran HAM lain yang menyertainya hingga kurun waktu puluhan tahun sesudahnya adalah salah satu yang perlu mendapat perhatian karena dilihat dari segi kuantitas, pembantaian ini adalah yang memakan korban paling banyak sepanjang sejarah pembunuhan massal di Indonesia yaitu sekitar satu setengah juta penduduk sipil yang terbunuh dalam peristiwa tersebut,6

Pembunuhan massal ini diawali dengan sebuah anggapan bahwa penggerak tragedi pembunuhan 7 Jenderal pada 30 September 1965 (yang juga

serta pendiskreditan kolektif terhadap pengikut partai politik yang pertama kali terjadi dalam sejarah Indonesia.

4

Maret 2010

5

11 Februari 2010

6

Robert Cribb dalam Pengantar buku “Indonesian Killings”, Halaman 42, seperti dikutip oleh John Roosa, 2008. Dalih Pembunuhan Massal dan Kudeta Suharto. Jakarta: Hasta Mitra. Halaman 5


(18)

disebut sebagai Gerakan Tiga puluh September) adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua orang baik yang secara terang-terangan mengaku sebagai anggota dan simpatisan PKI maupun yang orang-orang yang masih diduga sebagai bagian dari Partai tersebut harus dibasmi hingga ke akar-akarnya, bahkan tindakan ini tak terkecuali hingga petani buta huruf di dusun-dusun terpencil yang ditampilkan sebagai gerombolan pembunuh yang secara kolektif bertanggung jawab atas Gerakan Tiga puluh September.7

Peristiwa Gerakan Tiga puluh September dan siapa dalang di baliknya memang sangat kompleks sehingga kajian sejarah terhadap peristiwa ini memang tidak henti-henti terus dilakukan, ini terbukti dari berbagai versi tentang kejadian itu sendiri yang dihasilkan dari berbagai penelitian sejarah. Tidak ada hasil penelitian yang seragam di antara para ahli sejarah bahwa PKI memang dalang dari peristiwa Gerakan Tiga puluh September seperti juga tidak ada bukti yang sangat valid bahwa PKI bukan dalang dari peristiwa tersebut. Namun, terlepas dari konspiratif peristiwa tersebut, hal yang pasti adalah peristiwa yang terjadi sesudahnya, Pasca 30 September 1965, yaitu terjadinya pelanggaran-pelanggaran Dan sejak Gerakan Tiga puluh September pulalah terjadi pembunuhan besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia, baik yang dilakukan oleh militer maupun yang dilakukan oleh sipil dengan koordinasi dari militer, serta berbagai bentuk pendiskreditan secara ekonomi, sosial, dan politik yang membuat para angggota dan simpatisan PKI menjadi teralienasi sebagai warga Negara terlebih-lebih sebagai manusia merdeka.

7


(19)

HAM terhadap sebagian besar anggota-anggota dan simpatisan PKI berupa penyiksaan-penyiksaan baik secara fisik maupun secara psikis tanpa terlebih dahulu melewati prosedur hukum.

Oleh karena itu, secara khusus penelitian ini tidak sedang berusaha membahas tentang konspirasi tentang siapa aktor intelektual atau kelompok mana yang paling bertanggung jawab di balik Gerakan Tiga puluh September, pula tidak sedang menempatkan PKI dalam posisi benar atau salah dalam peristiwa tersebut. Dalam keadaan bersalah atau benar, seseorang atau sekelompok orang tetap harus dihormati martabatnya sebagai manusia, sehingga, dalam kasus tersebut, andaikata pun PKI adalah dalang peristiwa Gerakan Tiga puluh September 1965, anggota-anggota dan simpatisan PKI tidak selayaknya mendapat perlakuan-perlakuan yang menafikan hak-hak dasar mereka sebagai manusia, selain karena pembunuhan para jenderal yang (jika memang benar) dilakukan oleh segelintir orang-orang dari PKI tidak sebanding dengan hukuman kolektif yaitu ditumpasnya seluruh anggota dan simpatisan PKI yang tidak tahu menahu tentang peristiwa tersebut, hal ini juga menyalahi hak-hak dasar umat manusia yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM).

Begitu pula, bagi setiap warga Negara, Hak setiap orang untuk mendapat perlindungan adalah hal yang urgen dan Negara wajib menjamin setiap warga negaranya untuk mendapatkannya tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini para anggota dan simpatisan PKI sebagai warga Negara Indonesia yang telah terlanjur dicap sebagai penghianat Negara. Apa yang dialami oleh anggota-anggota dan simpatisan PKI yang menjadi korban stigma pelaku Gerakan Tiga puluh


(20)

September sejak tahun 1965, yaitu bentuk-bentuk pelanggaran-pelanggaran HAM yang serius sebenarnya dalam hukum internasional dapat pula dikategorikan sebagai Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) atau bahkan menurut pendapat Robert Cribb yang dengan ekstrim mengemukakan bahwa hal ini juga dapat disebut sebagai genosida (genocide) dikarenakan menurut beliau bahwa, terkait dengan defenisi konvensi genosida 1948 bahwa korban genosida meliputi kelompok nasional, etnik, ras, atau agama, identitas nasional di Indonesia lebih diartikan kepada pandangan politik daripada kepada etnik atau ras.

Bagaimanapun, dalam hukum internasional, pemerintah Indonesia yang telah mengabaikan hak-hak dasar warganya dalam peristiwa pembersihan unsur PKI pasca Gerakan Tiga puluh September, telah banyak menyalahi kaidah-kaidah hukum HAM internasional. Tindakan pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM akan tetapi banyak melanggar HAM warganya adalah tindakan yang mendapat kecaman dari masyarakat internasional dan sudah selayaknya pelanggaran HAM berat yang dilakukan Negara terhadap warganya bisa diadili dalam forum pengadilan internasional. Namun pun demikian, pengadilan-pengadilan nasional pertama-tama harus memperhatikan hukum nasional dalam hal terjadi konflik dengan hukum internasional. Negara menurut hukum internasional memiliki kebebasan penuh untuk bertindak, dan hukum nasionalnya merupakan persoalan domestik di mana Negara lain tidak berhak untuk mencampurinya.8

8

J.G. Starke. 2004. Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika. Halaman 114


(21)

Akan tetapi, dalam hal pelanggaran HAM berat, seperti Genosida, kejahatan terhadap kemanusaan, penyiksaan dan penghilangan paksa, hukum kebiasaan internasional dan dan prinsip-prinsip hukum umum boleh memberlakukan yurisdiksi universal terhadap orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan tersebut di atas.9

9

Amnesty International. “Universal Jurisdiction: 14 Principles on the Effective Exercise of Universal Jurisdiction

Artinya masyarakat internasional berhak memberlakukan yurisdiksinya juga terhadap pelaku tersebut tanpa memandang nasionalitasnya. Statuta Roma sendiri dalam Pasal 17 menyiratkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional dapat mengadili suatu perkara apabila Negara yang bersangkutan tidak mampu atau tidak bersedia untuk melakukan penuntutan terhada perkara aquo.

Fakta bahwa banyaknya pelanggaran HAM terhadap anggota dan simpatisan PKI pasca Gerakan Tiga puluh September tidak berbanding lurus dengan usaha-usaha perlindungan HAM yang dilakukan Negara baik semasa terjadinya peristiwa tersebut maupun hingga kurun waktu 30 tahun setelahnya membuat pentingnya dilakukan kajian hukum terhadap peristiwa ini, dalam hal ini dikhususkan pada kajian hukum internasional, yaitu tentang apa-apa saja bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pasca Gerakan Tiga puluh September 1965 dan bagaimana hukum internasional mengatur perlindungannya, hal-hal tersebutlah yang melatarbelakangi studi “Pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh September 1965” ini.


(22)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan Perumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa sajakah bentuk-bentuk pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh September 1965?

2. Bagaimanakah hubungan antara hukum nasional dan Hukum internasional tentang pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh September 1965?

3. Sejauh manakah hukum nasional dan dan hukum internasional dapat diimplementasikan atas pelanggaran HAM terhadap PKI dalam Gerakan Tiga puluh September terhadap alternatif hukum untuk penyelesaiannya?

I.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh September 1965

2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional tentang pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh September 1965


(23)

3. Untuk mengetahui sejauh mana hukum nasional dan hukum internasional dapat diimplementasikan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM terhadap PKI dalam Gerakan Tiga puluh September

Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah:

1. Manfaat Teoritis: Sebagai kontribusi di bidang ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu hukum internasional, tentang perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai manusia yang sama martabatnya dan hak alamiahnya dengan manusia lainnya serta sebagai warga Negara yang berhak mendapat perlindungan dari Negara terkait stigma keterlibatan mereka dalam Gerakan Tiga puluh September 1965

2. Manfaat Praktis: Agar masyarakat mengetahui arti pentingnya perlindungan HAM bagi setiap orang tanpa terkecuali, termasuk para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang terlepas dari stigma sebagai dalang Gerakan Tiga puluh September dilekatkan kepada mereka, telah dilanggar hak-haknya sebagai manusia dan sebagai warga negara serta untuk menemukan langkah-langkah konkrit apa yang dapat dilakukan sesuai jalur hukum nasional dan internasional untuk memulihkan hak-hak korban yang telah dilanggar

I.4. Keaslian Penulisan

Adapun Skripsi yang berjudul “Pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga Puluh September 1965” ini adalah


(24)

tulisan yang masih baru dan belum ada tulisan lain dalam bentuk skripsi yang membahas tentang hal ini sebelumnya. Khusus untuk perbandingan dengan Skripsi yang ada di lingkup Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pengesahan dari pihak administrator Departemen Hukum Internasional yang menyatakan bahwa tidak ada judul yang sama dengan Judul Skripsi ini.

I.5. Tinjauan Kepustakaan

Hukum Internasional secara umum dapat diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara Negara-negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.10 Hukum Internasional yang pada awalnya hanya memasukkan Negara sebagai satu-satunya subjek hukum internasional11

1. Negara yang berdaulat dan merdeka (sebagai subjek hukum internasional yang utama)

, dalam perkembangannya mulai memasukkan unsur lain sebagai subjeknya, yaitu:

2. Palang Merah Internasional

3. Tahta Suci Vatikan di Roma yang dikepalai oleh Paus 4. Organisasi Internasional

10

Dr. Boer Mauna. 2008. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam

Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni. Halaman 1

11

Pendapat dari Hackworth, Emmerich de Vattel, dan Ian Brierly yang hampir senada mengatakan bahwa hukum internasional adalah sekumpulan aturan-aturan yang mengatur hubungan antara Negara-negara


(25)

5. Individu yang dengan syarat-syarat tertentu diakui oleh masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional

Hukum Internasional sendiri, berdasarkan Statuta Mahkamah Internasioanl dalam pasal 38, bersumber pada:

1. Perjanjian Internasional 2. Kebiasaan Internasional

3. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab

4. Keputusan-keputusan Hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai Negara sebagai alat tambahan untuk menemukan hukum

Menurut Black’s Law Dictionary, Hak asasi Manusia ialah kebebasan, kekebalan, serta keuntungan-keuntungan yang mana menurut nilai-nilai modern (terutama dalam tataran internasional), memungkinkan semua umat manusia untuk mengakuinya sebagai hak dalam masyarakat di mana mereka tinggal.12

12

Bryan A. Garner (Editor in Chief). 1999. Black’s Law Dictionary Seventh Edition. USA: West Group. Halaman 745

Sedangkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 1 angka 1 dan UU No. 26 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah: “Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Secara sederhana Hak Asasi Manusia dipahami sebagai hak dasar (asasi) yang dimiliki oleh manusia, hak asasi manusia keberadaannya tidak tergantung dan bukan berasal


(26)

dari manusia, melainkan dari zat yang lebih tinggi daripada manusia. Oleh karena itu, hak asasi tidak bisa direndahkan dan dicabut oleh hukum positif manapun, bahkan dengan prinsip demikian hak asasi wajib diadopsi oleh hukum positif.13

Hak Asasi Manusia sendiri secara historis dimulai ketika lahirnya Magna Charta (Piagam Agung 1215), Glorious Revolution 1688, Pemikiran Trias Politika yang dikemukakan oleh Montesquieu, Deklarasi Kemerdekaan Amerika, hingga ke Kontrak Sosial. Sebelum lahirnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), yang akhirnya mengesahkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), gagasan tentang Hak Asasi Manusia telah mulai dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat ke-32 Franklin Delano Roosevelt dalam gagasannya yang terkenal yaitu The Four Freedoms yang berisi tentang Kebebasan Berbicara dan Berekspresi (freedom of speech). Kebebasan beragam (Freedom of Worship), kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), dan kebebasan dari rasa rakut (freedom from fear).

14

13

Pendapat Dadang Juliantara seperti dikutip M. Afif Hasbullah dalam bukunya. 2005.

Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM Indonesia Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demokratis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 17

14

Bambang Sunggono dan Aries Hariyanto. 2001. Bantuan Hukum dan Hak Asasi

Manusia. Bandung: Mandar Maju. Halaman 76. Seperti dikutip Ibid. Halaman 22

Keempat gagasan ini mempengaruhi pembentukan The International Bill of Human Rights yang terdiri atas Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights), dan Kovenan Internasional Hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights).


(27)

Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat berhubungan erat dengan Hukum internasional. Ini dibuktikan dari perlindungan HAM yang lahir dari Instrumen internasional, demikian pula sebaliknya banyak fenomena HAM yang pada akhirnya melahirkan berbagai instrumen internasional di bidang perlindungan HAM, seperti The International Bill of Rights dan Convention on the elimination of all forms of discrimination against women (CEDAW) yang lahir dari keadaan terkukungnya dan tertindasnya hak-hak dasar manusia. Sebaliknya, lahirnya DUHAM juga membuat Negara-negara di dunia sebagai subjek hukum internasional menyadari pentingnya penghargaan terhadap hakikat dan martabat manusia sebagai sesama pemegang hak dasar tersebut sehingga hal ini juga membuat Negara-negara mentransformasikan berbagai instrumen ini ke dalam hukum nasional masing-masing. Di Indonesia sendiri ketentuan-ketentuan tentang perlindungan HAM muncul dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti dalam UUD RI 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Pelanggaran HAM diartikan dalam pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 sebagai:

“….setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.

Dalam pasal 1 angka 2 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat


(28)

adalah pelanggaran hak asasi manusia yang termasuk dalam undang-undang tersebut, yaitu yang termasuk dalam pasal 7 yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

I.6. Metode Penulisan

Dalam rangka merumuskan isi penulisan ini guna menjadi lebih terarah, maka digunakan metode penulisan yang diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Penelitian Yuridis Normatif yaitu jenis penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa norma-norma hukum yang berlaku. Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan cara menganalisa norma-norma hukum internasional dan norma hukum nasional yang berkenaan dengan penelitian

2. Data Penelitian

Penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, yaitu sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer: yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penelitian ini seperti:

1. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

2. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia


(29)

3. The International Bill of Human Rights yang terdiri dari:

a. Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia)

b. The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)

c. International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik)

4. Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan Martabat Manusia)

5. Rome Statute of International Criminal Court (Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional) 1998

b. Bahan Hukum Sekunder: yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, makalah, jurnal, surat kabar, internet, dan media lainnya yang relevan dengan penelitian ini

c. Bahan Hukum Tersier: yaitu bahan-bahan yang digunakan guna menunjang bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus bahasa

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Tinjauan kepustakaan (Library Research) dan Tinjauan Lapangan (Field Research):


(30)

Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan atau data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud adalah data-data yang berasal dari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang ditulis oleh para sarjana dan ahli sehingga kevalidan datanya dapat diakui.

b. Tinjauan Lapangan (Field Research)

Yaitu dengan cara melakukan tinjauan langsung terhadap korban pelanggaran HAM pasca Gerakan Tiga Puluh September yang berasal dari kalangan para anggota dan simpatisan PKI yang berada di Sumatera Utara. di samping itu, Tinjauan lapangan juga dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap para korban.

4. Analisa Data

Pengolahan data yang dilakukan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah dengan menganalisa permasalahan yang dibahas. Adapun analisis data dilakukan dengan cara:

a. Mengumpulkan data-data dan bahan-bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian

b. Memilih kaidah-kaidah hukum ataupun doktrin-doktrin yang sesuai dengan objek penelitian

c. Mensistemasikan kaidah-kaidah hukum dan doktrin-doktrin tersebut

d. Menjelaskan korelasi antara kaidah-kaidah hukum dan atau doktrin-doktrin tersebut


(31)

I.7. Sistematika Penulisan

Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 Bab yang berhubungan satu sama lainnya, yaitu:

Bab I : Bab ini berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, hingga sistematika penulisan

Bab II : Bab ini membahas tentang Tinjauan umum tentang Pelanggaran HAM, termasuk membahas tentang bentuk-bentuk pelanggaran HAM berat, dan mekanisme hukum nasional serta internasional yang dapat ditempuh dalam kasus-kasus pelanggaran HAM

Bab III : Bab ini merupakan bab yang khusus membahas tentang Gerakan Tiga Puluh September 1965

Bab IV : Bab ini membahas tentang bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap PKI, Hubungan pelanggaran HAM tersebut dengan hukum nasional dan hukum internasional, serta bagaimana implementasi hukum nasional dan hukum internasional dalam menyelesaikan kasus tersebut.

Bab V : Bab terakhir dalam skripsi ini yang berisi penutup berupa kesimpulan dari keseluruhan penelitian yang dilakukan serta juga saran-saran


(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PELANGGARAN HAM

II.1. Hubungan Antara Hukum Internasional dengan Hukum Nasional

Dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, ada dua teori yang terkemuka, yaitu:15

1. Dualisme

Teori ini dikemukakan oleh para penulis positivis seperti Triepel dan Anzilotti. Bagi mereka, dengan konsepsi teori kehendak mereka tentang hukum internasional, merupakan hal yang wajar apabila menganggap hukum nasional sebagai suatu sistem yang terpisah. Menurut Triepel, terdapat dua perbedaan fundamental di antara kedua sistem hukum tersebut yaitu:

a. Subjek-subjek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subjek-subjek hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusif hanya Negara-negara

b. Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah kehendak Negara itu sendiri, sumber hukum internasional adalah kehendak bersama dari Negara-negara

15


(33)

Adapun butir (a) di atas tidak dapat dikatakan benar karena hukum internasional juga mengikat individu-individu, sedangkan butir (b) agak menyesatkan karena di atas kehendak bersama tersebut terdapat prinsip-prinsip fundamental hukum internasional yang lebih tinggi darinya dan yang mengatur pelaksanaan atau pernyataannya.

Sedangkan Anzilotti menganut suatu pendekatan yang berbeda, ia membedakan hukum internasional dan hukum nasional menurut prinsip-prinsip fundamental dengan mana masing-masing sitem itu ditentukan. Dalam pendapatnya, hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental bahwa perundang-undangan Negara harus ditaati, sedangkan sistem hukum internasional ditentukan oleh prinsip pacta sunt servanda. Yaitu perjanjian antar Negara-negara harus dijunjung tinggi, sehingga kedua sistem itu memang terpisah sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan antara keduanya, yang mungkin terjadi adalah penunjukan-penunjukan (renvois) dari sistem yang satu ke sistem yang lain, selain daripada itu tidak ada hubungan apa-apa. Mengenai teori Anzilotti ini, cukuplah mengatakan bahwa karena alasan-alasan yang dikemukakan, tidak benar bahwa pacta sunt servanda harus dianggap sebagai norma yang melandasi hukum internasional; prinsip ini hanya merupakan sebagian contoh dari prinsip yang sangat luas yang menjadi akar hukum internasional.

2. Monisme

Berbeda dengan para penulis yang menganut teori dualism, pengikut-pengikut teori monism menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan


(34)

tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa kaidah yang mengikat Negara-negara, individu-individu, atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan Negara. Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan hukum merupakan kesatuan bidang pengetahuan dan poin yang menentukan karenanya adalah apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya atau bukan. Jika secara hipotesis diakui bahwa hukum internasional merupakan suatu sistem kaidah yang benar-benar berkarakter hukum, maka menurut Kelsen dan penulis-penulis monistis lainnya, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa kedua sistem hukum tersebut merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu pengetahuan hukum. Dengan demikian, suatu konstruksi selain monisme, khususnya dualism, bermuara pada suatu penyangkalan karakter hukum yang sebenarnya dari hukum internasional. Penulis-penulis monistis tidak akan berpendapat lain selain menyatakan bahwa kedua sistem tersebut, karena keduanya merupakan sistem kaidah-kaidah hukum, merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan di dalam suatu struktur hukum.

Namun, penulis-penulis lain yang mendukung monime berdasarkan alasan-alasan yang bukan cuma abstrak semata-mata, dan penulis-penulis tersebut menyatakan, sebagai suatu masalah yang memiliki nilai praktis, bahwa hukum internasional dan hukum nasional keduanya merupakan bagian dari keseluruhan kaidah hukum universal yang mengikat segenap umat manusia baik secara kolektif ataupun individual. Dengan perkataan lain, individulah yang sesungguhnya menjadi akar kesatuan dari semua hukum tersebut.


(35)

Dari segi pandang teori dualistik yang menekankan kedaulatan kehendak Negara maka primat (primacy) terletak pada hukum nasional. Dalam hal ini, pendukung Monisme berbeda pendapat. Kelsen, misalnya dengan membuat suatu analisis struktural hukum internasional dan hukum nasional. Kelsen menerapkan doktrin hirarkis yang mana menurut doktrin ini kaidah-kaidah hukum ditentukan oleh kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip lain yang dengan mana kaidah-kaidah tersebut mendapat validitas atau kekuatan mengikatnya; dengan demikian kaidah yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan perundang-undangan ditentukan oleh kaidah yang lebih tinggi. Dengan ini, Kelsen berkeberatan atas pandangan mengenai pemilihan antara hukum internasional dan hukum nasional didasarkan pada alasan bahwa cara pandangnya tersebut berakar pada suatu pendekatan filosofis yang sangat meragukan.16

Lebih lanjut, tesis mengenai pemberian primat akhir pada hukum nasional dapat dikatakan tidak berhasil dalam dua hal penting:17

1. Apabila hukum internasional memperoleh validitasnya hanya dari konstitusi Negara, maka hukum internasional tidak akan berlaku lagi apabila konstitusi yang menjadi sandaran otoritasnya tersebut tidak berlaku. Akan tetapi yang lebih pasti adalah bahwa berlaku sahnya hukum internasional tidak bergantung pada perubahan atau penghapusan konstitusi-konstitusi atau pada revolusi.

2. Masuknya Negara-negara baru ke dalam masyarakat internasional. Telah menjadi ketetapan bahwa hukum internasional mengikat Negara-negara baru

16

Ibid. Halaman 99-100 17


(36)

tanpa harus ada persetujuan Negara tersebut, dan persetujuan demikian apabila dinyatakan secara tegas hanya merupakan suatu pernyataan mengenai kedudukan hukum yang sebenarnya saja. Di samping itu, terdapat tugas bagi setiap Negara untuk menyelaraskan bukan hanya undang-undangnya saja, tapi juga konstitusinya, dengan hukum internasional.

II.2. Sejarah Perkembangan Hukum HAM Internasional dan Nasional

Salah satu tonggak penting perkembangan HAM internasional adalah disahkannya The International Bill of Human Rights yang terdiri atas: Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diterima dan diumumkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III), International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights atau Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan Ekosob) dan International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol) yang ditetapkan melalui resolusi majelis umum PBB 2200 A (XXI), serta Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights dan Second Optional Protocol to the International Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty. Ketiga instrumen pertama ini disebut sebagai The International Bill of Human Rights karena semua instrumen ini merupakan fondasi dari Hak Asasi Manusia internasional, instrumen HAM internasional lain yang ada merupakan penjabaran dari The International


(37)

Bill of Human Rights. Selain itu, The International Bill of Human Rights juga merupakan bagian dari international customary law (Hukum kebiasaan internasional) Karena keberlakuannya di Negara-negara anggota PBB adalah otomatis walaupun tidak diratifikasi oleh Negara-negara tersebut dan telah berlaku sebagai jus cogens di antara masyarakat internasional.

Hukum HAM internasional sendiri pada tahap awal perkembangannya hanya mengakomodir hak-hak sipil yang mana melarang kekuasaan publik untuk menghalangi individual dalam masyarakat, pada tahap ini perlindungan HAM lazim disebut First-Generation Negative Rights. Hak-hak yang dicakup dalam perlindungan ini adalah hak berpikir, hak untuk berbicara, hak beragama, dan kebebasan bermufakat. Beberapa pengamat mengatakan bahwa inilah HAM dalam artian sebenarnya, sedangkan pendapat lain menyatakan hak-hak tersebut adalah HAM yang terpenting karena jika seseorang memiliki hak-hak sipil dan politik, maka ia dapat menghasilkan hal-hal lainnya, sedangkan sisanya menyatakan bahwa hak-hak ini tidak terlalu penting karena jika seseorang berkekurangan dalam kebutuhan primernya seperti makanan, tempat tinggal, dan pendidikan, hak-hak sipil dan politik tidak akan terlalu berarti. Sehingga lahirlah apa yang disebut sebagai Second-Generation Positive Rights yang lebih berbasis hak sosial ekonomi. Berbanding terbalik dengan yang pertama, pada tahap ini, justru ditekankan adanya peran kekuasaan publik untuk mengambil


(38)

langkah-langkah positif untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang vital seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan.18

Perdebatan mengenai hak mana yang harus lebih diprioritaskan; hak sipil dan politik atau hak ekonomi, sosial dan budaya menjadi perdebatan dalam beberapa lama, terutama karena adanya bentrokan kepentingan antara Negara-negara blok timur dan blok barat. Negara-Negara-negara blok timur (Uni soviet) lebih mementingkan hak ekonomi, sosial, dan budaya, sedangkan Negara-negara blok barat (Amerika Serikat) justru menganggap hal ini sangat kontroversial dan sebaliknya lebih menekankan perlunya hak sipil dan politik. Perbedaan orientasi ini mengakibatkan lahirnya Kovenan Ekosob yang disponsori oleh Negara-negara yang berpaham sosialis komunis dan Kovenan Sipol yang disponsori oleh Negara-negara liberalis kapitalis. Perdebatan ini baru memperoleh momentum baru tanpa terpecah pertempuran ideologi antarnegara pada tahun 1993, setelah usainya perang dingin.19

18

Thomas G. Weiss, David P. Forsythe, dan Roger A. Coate. 1997. The United Nations

and Changing World Politics, Second Edition. USA: Westview Press. Halaman 135-136

19

Saafroedin Bahar. 2002. Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Halaman 4. Seperti dikutip oleh M. Arif Hisbullah. Op. cit. Halaman 30

Dalam perkembangannya, mulai timbul kesadaran bahwa perjuangan akan hak-hak bersama adalah jauh lebih penting daripada hak-hak perseorangan, seperti hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas lingkungan alam yang bersih, hak atas sumber daya alam sendiri, dan hak atas warisan budayanya sendiri, oleh karena itu ia disebut sebagai Third-Generation Solidarity.


(39)

Pasal-pasal dalam DUHAM sendiri secara spesifik dibagi menjadi beberapa kategori hak:20

1. Hak yang secara langsung memberikan gambaran kondisi minimum yang diperlukan bagi individu agar bisa mewujudkan watak kemanusiaannya, yakni hak pribadi atau individu. Hak yang dimaksud antara lain:

a. Pengakuan atas martabat (Pasal 1)

b. Perlindungan dari tindakan diskriminasi atas dasar apapun (Pasal 2) c. Jaminan atas kebutuhan (Pasal 3)

d. Terhindar dari perbudakan (Pasal 4)

e. Perlindungan atas tindakan sewenang-wenang dan penganiayaan (Pasal 5)

f. Kesempatan menjadi warga Negara dan berpindah warga Negara (Pasal 15)

2. Hak tentang perlakuan yang seharusnya diperoleh manusia dari sistem hukum yang ada. Hak ini memberikan ketentuan mengenai standar perlakuan suatu sistem hukum pada manusia, yaitu:

a. Persamaan di depan hukum (Pasal 6)

b. Tidak diperlakukan sewenang-wenang (Pasal 9) c. Memperoleh pengadilan yang adil (Pasal 10) d. Dilindungi sebelum dinyatakan bersalah (Pasal 11)

e. Tidak diintervensi kehidupan pribadinya oleh Negara (Pasal 12)

20


(40)

3. Hak yang memungkinkan individu untuk turut ambil bagian dalam jalannya pemerintahan, yang biasa dikenal dengan hak-hak sipil dan politik. Hak dimaksud antara lain:

a. Hak kebebasan berpikir dan beragama (Pasal 18) b. Hak menyatakan pikiran secara bebas (Pasal 19) c. Berkumpul dan berserikat (Pasal 20)

d. Serta keikutsertaan dalam pemerintah (Pasal 21)

4. Hak yang menjamin taraf hidup minimal kehidupan seseorang dan memungkinkan proses pengembangan kebudayaan yakni ekonomi, sosial, dan budaya:

a. Mendapatkan makanan, pekerjaan dan pelayanan kesehatan serta syarat sosial lainnya (Pasal 22-25)

b. Hak untuk pendidikan dan pengembangan pribadi serta kebudayaan (Pasal 26-29)

Sebelum lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Indonesia belum menganut konsep perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi yang dituntut negara-negara barat sebagai unsur tidak terpisahkan dari demokrasi dan cita negara hukum adalah suatu yang berlebihan dan tidak perlu. Konsep hak asasi dianggap sebagai nilai budaya barat yang lebih menekankan individualisme daripada kepentingan bangsa dan negara sebagai komunitas. Budaya timur yang adiluhung tidak memerlukan hak asasi versi barat ini. Tahun 1980-1990, Indonesia masih berkilah bahwa kalaupun ada hak asasi, maka budaya


(41)

timur sudah mengakomodasinya dengan lebih baik daripada bangsa barat yang sibuk menuding Indonesia sebagai pelanggar hak asasi.21

Perlindungan Negara terhadap hak warga mulai mendapat perhatian serius oleh pemerintah orde baru semenjak 1993 oleh Soeharto melalui Keppres RI No. 50 Tahun 1993 ketika terjadi pembunuhan warga sipil di Pemakaman Santa Cruz, Timor Timur 1991 oleh oknum militer, atas desakan aktivis HAM dan masyarakat internasional, Keppres RI ini ditingkatkan menjadi Undang-Undang, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, pemerintah orde baru beranggapan demokrasi dan HAM adalah suatu kemewahan yang belum perlu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara selama tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masih tinggi.22

Walaupun Indonesia telah memuat jaminan HAM dalam konstitusinya, hukum internasional tentang hak asasi manusia tetap diperlukan karena 3 alasan utama, yakni: 23

a. Tambahan rujukan untuk harmonisasi peraturan nasional: kodifikasi pengaturan HAM dalam hukum internasional bertujuan agar esensi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia dapat ditetapkan dengan cara yang seragam, dengan cara mengefektifkan aturan yang berlaku secara internasional ke

21

Tristam Moeliono. “Tinjauan Hukum Internasional Publik terhadap Pembunuhan Massal Tahun 65-66”. Diakses tanggal 28 Februari 2010

22

Teguh Sulistia. “Peran International Criminal Court dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan oleh Militer”. Jurnal Hukum Internasional Volume 5 Nomor 1 Oktober 2007. Halaman 29

23

Adnan Buyung Nasution, dkk. 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi

Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.


(42)

dalam praktik dan hukum nasional. Hal ini juga disebabkan adanya prinsip umum: non diskriminasi dalam pemenuhan HAM

b. Penempatan jaminan HAM dalam jaminan kolektif: setiap Negara diwajibkan menghormati hukum HAM, tanpa terkecuali. Dengan penetapan hukum internasional HAM, maka jaminan kolektif untuk perlindungan dan pemenuhannya, secara otomatis juga terus dikembangkan. Yurisprudensi internasional juga mendorong, sekaligus memberi batasan yurisprudensi nasional yang tidak menyimpang jauh dari prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku. Perlindungan internasional bermanfaat untuk kepentingan politik secara umum. Sebagai contoh, persaingan ekonomi global yang dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di sebuah Negara

c. Untuk mengatur masalah khusus HAM: yaitu sebagai tambahan aturan HAM, bahkan tidak jarang, problem HAM hanya diatur dalam hukum internasional HAM. Sebagai contoh, hak kolektif sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri (self determination) tidak pernah diatur dalam konstitusi Negara-negara kolonial. Contoh lain adalah masalah perlindungan terhadap kelompok minoritas dan status kelompok pelarian yang diatur secara khusus dan mendapat tempat dalam hukum internasional HAM

II.3. Konvensi Anti Penyiksaan

Penyiksaan yang dilakukan pemerintah adalah masalah klasik yang masih dipraktekkan secara luas hingga saat ini. Penyiksaan dilakukan oleh banyak


(43)

Negara sebagai metode interogasi yang resmi. Namun, sejalan dengan diakuinya secara meluas bahwa tindakan tersebut melanggar HAM, maka negara-negara secara perlahan meletakkan penyiksaan sebagai tindakan yang secara resmi dikenai sanksi.24

Penyiksaan telah dicantumkan sebagai tindakan melanggar HAM dalam berbagai instrumen internasional terdahulu seperti pasal 5 DUHAM, pasal 7 sipol, pasal 10 sipol. Perkembangan yang signifikan dari penerapan kaidah internasional terhadap penyiksaan adalah merupakan pengadopsian dari European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Pada 9 Desember 1975 majelis umum PBB mengadopsi konsensus dari Declaration on the protection of all persons from being subjected to torture, cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Komisi HAM PBB kemudian menunjuk special rapporteur untuk pertanyaan terkait penyiksaan pada 22 Mei 1985 dengan mandat untuk “….mencari dan menerima informasi yang dapat dipercaya dari pemerintah, seperti juga agen-agen khusus, Organisasi Non-Pemerintah….” Dan untuk ‘merespon secara efektif’ informasi yang terkait dengan penyiksaan. Pada 10 Desember 1984, Majelis Umum PBB mengadopsi Convention against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment atau sering disingkat dengan Convention Against Torture (CAT) setelah 7 tahun negosiasi. CAT sendiri berisi ketentuan-ketentuan yang termasuk

24

Dr. Lyal S. Sunga. 1992. Individual Responsibility in International Law for Serious


(44)

memasukkan pertanggungjawaban individual dan menetapkan mekanisme pengawasan.25

Pelanggaran HAM berat atau dikenal dengan “gross violation of human rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana disebut secara eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya, tidak dikenal dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Di dalam Statuta Roma 1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain, yaitu “the most serious crimes of concern to the international community as a whole”. Dalam Statuta Roma (1998) pengertian tersebut ditegaskan meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang,dan agresi yang merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang

Pasal 1 CAT menegaskan bahwa yang dimaksud penyiksaan adalah:

“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”

II.4. Pelanggaran HAM Berat dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional

25


(45)

Pengadilan HAM mengatur Pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.26

Black’s Law Dictionary memberikan defenisi dari genosida (genocide) sebagai: “an act committed with the intent to destroy, in whole apart, a national, ethnic, racial, or religious group”

II.4.1. Genosida dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional

27

Defenisi Kejahatan Genosida sendiri masih tetap menjadi perdebatan karena walaupun sejarah manusia telah menyaksikan banyak tindakan genosida, konsep kejahatan ini sendiri masih relatif baru dan baru dikembangkan sebagai akibat dari kekejaman Nazi dalam Perang Dunia II. Istilah “Genosida” itu sendiri berakar dari karya seorang pakar hukum, Raphaël Lemkin, seorang pendukung utama dari konvensi internasional tentang masalah ini. Defenisi Lemkin tentang istilah ini berpusat pada adanya rencana terkoordinasi untuk menghancurkan “fondasi-fondasi penting” dari kehidupan suatu kelompok, dengan tujuan untuk memusnahkan kelompok tersebut. 28

26

Menteri Kehakiman RI. “ Pelanggaran HAM Berat dan Pengadilan Ad Hoc”.

Lemkin dalam proposalnya ke Konferensi Internasional Liga Bangsa-bangsa untuk Unifikasi Hukum Pidana mengusulkan untuk mendeklarasikan bahwa penghancuran ras, agama, atau kelompok sosial sebagai sebuah kriminal di bawah

Februari 2010 27

Bryan A. Garner (Editor in chief). Op. cit. Halaman 694. 28

Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams. 2008. Melampaui Warisan Nuremberg:

Pertanggungjawaban untuk Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional.


(46)

hukum bangsa-bangsa.29

“Genocide is a denial of the right of existence of entire human groups, as homicide is the denial of the right to live of individual human beings; such denial of the right of existence shocks the conscience of mankind, results in great losses to humanity in the form of cultural and other contributions represented by these human groups, and is contrary to moral law and to the spirit and aims of the United Nations”

Pada 11 Desember 1946, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 96 yang berkaitan dengan genosida ini:

30

a. Membunuh anggota-anggota dari kelompok tersebut

Dalam Resolusi ini pengaturan mengenai bagaimana sebenarnya kejahatan genosida itu dipraktekkan belum lengkap, sekilas terlihat bahwa ketentuan ini mengatur semua tindakan yang dianggap menghalangi hak asasi manusia tanpa ada indikator yang jelas tentang sejauh mana kriminalisasi dari tindakan genosida itu.

Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide dalam pasal 2 menyatakan bahwa genosida adalah tindakan-tindakan yang disengaja untuk memusnahkan keseluruhan atau sebagian kelompok nasional, etnik, ras, atau agama seperti:

b. Menimbulkan kerusakan fisik dan mental yang serius terhadap anggota-anggota kelompok tersebut

c. Dengan sengaja menimbulkan kepada kelompok keadaan hidup yang diperkirakan membawa penghancuran seluruh atau sebagian kelompok tersebut secara fisik

29

Kurt Mundorff. “Other Peoples’ Children: A Textual and Contextual Interpretation of the Genocide Convention, Article 2(e)”. Harvard International Law Journal Vol. 50 Number 1 Winter 2009. Halaman 73

30


(47)

d. Menjatuhkan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut

e. Memindahkan anak-anak secara paksa dari kelompok tersebut ke kelompok lainnya

Rome Statute dalam pasal 6, The International Criminal Tribunal for Rwanda Statute dalam pasal 2, dan pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia juga senada dengan Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide tentang pengertian genosida. Ketentuan dari instrumen-instrumen ini tidak mengharuskan pemusnahan kelompok yang dimaksud secara keseluruhan untuk dapat disebut sebagai kejahatan genosida.

Indonesia sendiri dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan unsur-unsur genosida dalam Pasal 8 yang sama indikatornya dengan Pasal 6 dari Statuta Roma.

II.4.2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Menurut pakar hukum Swiss, Jean Graven, kejahatan terhadap kemanusiaan sama tuanya dengan kemanusiaan itu sendiri. Negara-negara menggunakan konsep-konsep tentang kemanusiaan untuk menjustifikasi peristiwa-peristiwa intervensi unutk membantu kelompok-kelompok minoritas yang dianiaya oleh pemerintah mereka sendiri pada masa sebelum diaturnya piagam PBB. Konsep-konsep ini juga dikaitkan dengan cara Negara melakukan peperangan, yang berpuncak pada pemasukan prinsip jus in bello dalam


(48)

perjanjian-perjanjian modern pertama yang penting, konvensi-konvensi Den Haag tentang hukum dan kebiasaan perang.31

“Until a more complete code of laws of war has been issued, the High Contracting Parties deem it expedient to declare that, in cases not included in the Regulations adopted by them, the inhabitants and the belligerents remain under the protection an the rule of the principles of law of nations, as they result from the usages among civilized peoples, from the laws of humanity, and the dictates of the public conscience.”

Konsep kejahatan terhadap kemanusiaan diawali dengan dimasukkannya prinsip kemanusiaan dalam Klausula Martin pada pembukaan Konvensi Den Haag tahun 1899 dan kemudian Konvensi Den Haag Keempat pada tahun 1907 yang berisi:

32

Dalam frase “laws of humanity”, hukum kemanusiaan dipahami sebagai suatu sumber prinsip-prinsip dari berbagai hukum bangsa-bangsa dan tidak mengindikasikan kategori norma-norma lain yang berbeda dari norma-norma yang dapat diterapkan bagi objek perjanjian ini, ia hanya berfungsi sebagai aturan umum untuk mencakup kasus-kasus yang tidak dicakup oleh aturan-aturan tersebut secara eksplisit yang bersandar pada Konvensi Den Haag tersebut.33

31

Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams. Op. cit. Halaman 71-72 32

Erikson Hasiholan Gultom. 2006. Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan

Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur: Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam Mengadili Individu-individu yang Bertanggung Jawab atas Terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Relevansinya dengan Peradilan Kasus Timor Timur Sekitar Masa Referendum 1999. Jakarta: Tatanusa. Halaman 39

33 Ibid

Pada perkembangannya, Piagam Nuremberg yang membentuk Mahkamah Militer Internasional Nuremberg, dalam pasal 6 (c) mendefinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai:


(49)

“Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil, sebelum atau selama perang, atau persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, rasa atau agama sebagai pelaksanaan dari atau berhubungan dengan setiap kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi pengadilan tersebut baik yang melanggar ataupun tidak hukum Negara setempat di mana ia dilakukan…”

Rumusan pasal inilah yang merupakan preseden pertama kalinya dalam hukum pidana internasional positif di mana istilah khusus “kejahatan terhadap kemanusiaan” diperkenalkan dan didefenisikan, namun, sebagaimana yang telah dikatakan di dalam pasal 2, konsep ini bukanlah merupakan suatu hal yang baru, begitu pula dengan gagasan atau ide tentang melindungi orang-orang sipil di masa perang. Dan yang paling penting diketahui, Piagam ini muncul pertama kalinya dan dipergunakan sebagai contoh (model) dan dasar hukum bagi perkembangan-perkembangan lain selanjutnya.34

Pada tahun 1951, Komisi Hukum Internasional merumuskan kejahatan kemanusiaan sebagai:35

Dalam ketentuan yang dihasilkan berikutnya yang terkait dengan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan ini, seperti Statuta International Criminal Tribunal of Yugoslavia (ICTY) masih berpedoman pada Piagam Nuremberg, barulah pada Statuta International Criminal Tribunal for Rwanda

“Tindakan-tindakan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh para penguasa suatu Negara atau oleh individu-individu perseorangan terhadap suatu populasi sipil seperti pembunuhan, atau pemusnahan, atau perbudakan, atau deportasi, atau persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, ras, agama, atau budaya, bilamana tindakan-tindakan demikian dengan kejahatan-kejahatan lain yang didefenisikan dalam pasal ini”

34 Ibid 35

Report of the International Law Commission, UN GAOR 6th Sess, Supp. No. 9 (A/1858) (1951), Vol. II, hal. 123-144, 136 sebagaimana dikutip oleh Ibid. Halaman 45


(50)

(ICTR) pada pasal 3 mensyaratkan bahwa kejahatan kemanusiaan yang dimaksud tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas dan sistematis terhadap populasi sipil, pasal tersebut juga mencantumkan persyaratan kalau seluruh perbuatan-perbuatan tersebut harus telah dilakukan atas dasar-dasar kebangsaan, politik, suku, rasial, atau agama. Selain itu, baru pada ICTR lah persyaratan tentang harus adanya hubungan kejahatan tersebut dengan konflik bersenjata dihapuskan.36

a. Pembunuhan

Era selanjutnya adalah pembentukan Statuta Roma pada 1998. Dalam Pasal 7 Statuta Roma disebutkan bahwa kejahatan kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada seuatu kelompok sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu. Adapun yang termasuk dalam lingkup kejahatan kemanusiaan menurut pasal 7 Statuta Roma adalah:

b. Pemusnahan c. Perbudakan

d. Deportasi atau pemindahan paksa penduduk

e. Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional

f. Penyiksaan

36


(51)

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat

h. Persekusi (Penganiayaan) terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, sebagai didefenisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dalam setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi mahkamah

i. Penghilangan paksa j. Kejahatan apartheid

k. Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik

Sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam pasal 9 merujuk pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang sama dengan isi pasal 7 Statuta Roma, kecuali poin (k) yang tidak disertakan dalam pasal 9.

Mengenai serangan yang meluas atau sistematik itu sendiri tidak dijelaskan oleh Statuta Roma maupun UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengertian serangan meluas atau sistematik itu berkembang dalam praktek pengadilan yang tertuang dalam putusan-putusan Hakim. Hakim Pengadilan HAM Ad hoc di Jakarta Pusat menjelaskan pengertian serangan dalam kasus atas


(52)

nama terdakwa Abilio Jose Osorio Soares (Putusan No.01/PID.HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT.PST. halaman 103-104) berpendapat sebagai berikut :

“Yang dimaksud dengan serangan adalah bahwa serangan tersebut tidak harus selalu merupakan serangan militer, seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law dalam arti bahwa serangan tersebut tidak perlu harus mengikut sertakan kekuatan militer atau penggunaan senjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini dapat masuk ke dalam terminologi serangan (attack);

Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap penduduk sipil tidak berarti bahwa serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara keseluruhan, tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu”

Sedangkan pengertian meluas dan sistematik diberikan sebagai berikut: “Yang dimaksud “meluas” karena pada peristiwa-peristiwa yang didakwakan terbukti terjadi pembunuhan secara besar-besaran, berulang-ulang, dalam skala yang besar (massive, frequent, large scale), yang dilakukan secara kolektif dengan akibat yang sangat serius berupa jumlah korban nyawa yang besar; Yang dimaksud dengan sistematik adalah terbentuknya sebuah ide atau prinsip berdasarkan penelitian atau observasi yang terencana dengan prosedur yang sudah umum. Dalam kaitannya dengan pelanggaran berat HAM, definisi sistematik dapat berarti kegiatan yang berpola sama dan konsisten (berulang-ulang). Pola disini berarti struktur atau desain yang saling berhubungan. Sedangkan konsisten di sini berarti sebuah gagasan yang ditandai dengan tidak berubahnya posisi atau saling berhubungan, bisa juga karakter tertentu yang sudah terbentuk dan ditunjukan secara berulang-ulang.”

Adapun pengertian sistematik itu sendiri memiliki 4 (empat) elemen sebagai berikut :

1. Adanya tujuan politik, rencana dilakukannya penyerangan, suatu ideologi, dalam arti luas menghancurkan atau melemahkan suatu komunitas;


(53)

2. Melakukan tindak pidana dengan skala yang besar terhadap suatu kelompok penduduk sipil, atau berulang-ulang dan terus-menerusnya tindakan tidak manusiawi yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya;

3. Adanya persiapan dan penggunaan yang signifikan dari milik atau fasilitas publik atau perorangan;

4. Adanya implikasi politik tingkat tinggi atau otoritas militer dalam mengartikan atau mewujudkan rencana yang metodologis

Sedangkan dalam Putusan No.08 / PID.HAM / AD.HOC / 2002 / PN.JKT.PST Atas Nama Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo. Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan serangan meluas tidaklah harus selalu merupakan serangan militer seperti yang diartikan oleh International Humanitarian Law sehingga pengertian serangan tersebut tidak perlu harus mengikut sertakan kekuatan militer atau psenjata, dengan perkataan lain apabila terjadi pembunuhan sebagai hasil dari suatu pengerahan kekuatan atau operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil. Keadaan bentrokan semacam ini adalah termasuk dalam terminologi serangan (attack);

1. Bahwa yang dimaksud dengan serangan terhadap “penduduk sipil“ bukan berarti serangan harus ditujukan terhadap penduduk (population) secara keseluruhan, akan tetapi cukup kepada sekelompok penduduk sipil tertentu yang mempunyai keyakinan politik tertentu;

2. Bahwa salah seorang Hakim Pengadilan Pidana Internasional untuk Yugoslavia, Jean Jaques Heintz menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “serangan meluas” adalah serangan yang bersifat massal, 3. Tindakan dalam skala besar, dilakukan secara bersama-sama dengan

niat yang sungguh-sungguh dan ditujukan terhadap korban dalam jumlah besar, sedangkan menurut Arne Willy Dahl (Hakim Advocate General Norwegia) menyatakan “serangan meluas” itu harus diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (widespread attack is one that is directed against a multiplicity of victims);“


(54)

Selanjutnya dalam Putusan No.02 / PID.HAM / AD. HOC / 2002 / PN. JKT. PST Atas Nama Terdakwa Drs. G.M. Timbul Silaen, Majelis Hakim senada dengan merujuk pada pendapat Arne Willy Dahl (Hakim Advocate General) menyatakan sebagai berikut:

“bahwa pengertian serangan yang meluas adalah serangan yang diarahkan terhadap korban yang berjumlah besar (Widespread attack is one that is directed against a multiplicity of victims). Selanjutnya menurut Majelis Hakim “ada juga yang berpendapat bahwa arti serangan yang meluas adalah merujuk kepada jumlah korban (massive), skala kejahatan dan sebaran tempat (geografis), dan dalam kejahatan kemanusiaan, perbuatan meskipun dilakukan secara individual namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (Collective action - M Charief Bassioni, Crime Against Humanity in the International Law )”

Menurut Majelis Hakim Pengertian serangan yang sistematik berkaitan dengan suatu kebijakan atau rencana yang mendasari atau melatar belakangi terjadinya tindak pidana tersebut. Pengertian kebijakan tidak selalu berkonotasi tertulis tetapi dapat merupakan tindakan yang berulang dan terus-menerus diikuti dan telah menjadi pola yang diikuti oleh aparat negara;

Selanjutnya Majelis Hakim menyatakan, bahwa Pengertian serangan yang sistematik adalah suatu serangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang telah disusun terlebih dahulu atau terencana (a systematic an attack means carried out pursuant to a preconceive policy or plan - Arne Willy Dahl, Judge Advocate General Norway)”37

37

Abdul Hakim G Nusantara. “Penerapan Hukum Internasional dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia”. Halaman 9-12.

II.5. Peran Negara dan Aktor Non-Negara sebagai Pelanggar HAM

Diakses


(55)

Dalam sistem hukum HAM internasional, Negara ditempatkan sebagai aktor utama pemegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders), sementara individu, dalam artian kelompok dan rakyat duduk sebagai pemegang hak (right holders). Dalam hal ini, Negara tidak memiliki hak, kepadanya hanya dipikulkan kewajiban atau tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak warga Negara yang dijamin melalui berbagai instrumen yang mendukung penegakan HAM, jika Negara tidak mau memenuhi kewajibannya tersebut, maka dalam hal inilah Negara dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM atau hukum internasional. Sejalan dengan itu, apabila pelanggaran tersebut tidak mau dipertanggungjawabkan oleh Negara maka tanggung jawab tersebut akan diambil oleh masyarakat internasional.38

"the universality of human rights must be premised on a shared consciousness of vulnerability in the sense that all human beings should endeavour to achieve the universal acceptance and practical implementation of international standards of human rights simply because we all need their protection as potential, if not actual, victims of violations of our rights".

Kekuasaan negara yang tidak berbatas hukum, bahkan proses hukum yang dijalankan serampangan selalu dapat mengakibatkan pelanggaran hak asasi siapapun tanpa kecuali. Abdullahi A. An- Na'im, seorang peneliti di lembaga kajian hak asasi di Universitas Utrecht menulis bahwa:

39

Oleh karena itu, dalam perspektif hukum HAM, Negara dapat dipandang sebagai pelaku pelanggar HAM. Adapun Negara yang dimaksud adalah seluruh

38

ELSAM. Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Internasional Bagi Aparatur Penegak

Hukum. Halaman vii-viii

39


(1)

Wesel Ingrid dan Georgia Wimhöfer (Ed). 2001. Violence In Indonesia. Hamburg: Abera Verl

Yulanto, Arif. 2002. Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba di Tengah Pusaran Demokrasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

II. Peraturan Perundang-undangan dan Instrumen Internasional

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasai Manusia

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia)

The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)

International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik)


(2)

Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan Martabat Manusia)

Rome Statute of International Criminal Court (Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional) 1998

III. Artikel dan Jurnal

Adam, Asvi Warman. “The History of Violence and State in Indonesia”. CRISE

Working Paper No. 54 June 2008.

9 Februari 2010

Amnesty International. “Universal Jurisdiction: 14 Principles on the Effective

Exercise of Universal Jurisdiction”.

http://www.amnesty.org/en/library/asset/IOR53/001/1999/en/dd42b888-e130-11dd-b6eb-9175286ccde2/ior530011999en.pdf . Diakses tanggal 18 Februari 2010

Bowen, Craig. “The Rise and Fall of PKI a Short History of Indonesian

Communist Party”.


(3)

Costi, Alberto. “Hybrid Tribunal As A Valid Alternative To International Tribunals For The Prosecution of International Crimes”.

Diakses Tanggal 3 Maret 2010

Djafar, Wahyudi. “HAM Masih Menjadi Anak Tiri”. Asasi edisi Maret-April 2009

Diakses

tanggal 11 Februari 2010

3 Maret 2010

Human Right Watch World Report 2009

Hutagalung, Daniel. “Pelaku Pelanggaran HAM di Masa Orde Baru”. Asasi Edisi Januari-Februari 2008. Halaman 10


(4)

Lesmana, Tjipta. “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Permasalahan dan Prospeknya”. Law Review UPH Volume V, No. 1, Juli 2005. Halaman 285

Moeliono, Tristam. “Tinjauan Hukum Internasional Publik terhadap Pembunuhan Massal Tahun 65-66”. tanggal 28 Februari 2010

Menteri Kehakiman RI. “Pelanggaran HAM Berat dan Pengadilan HAM Ad

Hoc”.

2010

Mundorff, Kurt. “Other Peoples’ Children: A Textual and Contextual Interpretation of the Genocide Convention, Article 2(e)”. Harvard International Law Journal Vol. 50 Number 1 Winter 2009

Nababan, Asmara. “Evaluasi Kritis Kelemahan UU Pengadilan HAM dalam

Praktek Penegakan Hak Asasi Manusia”.

Diakses


(5)

Nusantara, Abdul Hakim G. “Pelanggaran HAM Berat dan Kebijakan Nasional

Untuk Penanganan dan Penyelesaiannya”.

24 Februari 2010

---. “Penerapan Hukum Internasional dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia. Halaman 9-12.

Pernyataan Tertulis ICJT: Keabsahan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (IJJT Written Submission: Legality of Truth and Reconcilliation Commission). Juli 2006. http://www.ictj.org/static/Asia/Indonesia/testimony.bah.pdf. Diakses tanggal 1 Maret 2010

Sujatmoko, Andrey. “Pengadilan Campuran (“Hybrid Tribunal”) Sebagai Forum Penyelesaian Atas Kejahatan Internasional”. Jurnal Hukum Humaniter Volume 3 No. 5 Oktober 2007


(6)

Sulistia, Teguh. “Peran International Criminal Court dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan oleh Militer”. Jurnal Hukum Internasional Volume 5 Nomor 1 Oktober 2007

Tempo 7 Juni 1999. “Eks Tapol PKI Memutarbalikkan Sejarah”.