Derita Tahanan Politik Partai Komunis Indonesia Kamp Konsentrasi B di Tanjung Kasau 1965 - 1978

(1)

DERITA TAHANAN POLITIK PARTAI KOMUNIS INDONESIA KAMP KONSENTRASI B DI TANJUNG KASAU 1965 – 1978

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : WENNY ATS

NIM : 080706019

Pembimbing,

Drs. Samsul Tarigan NIP. 195811041986011002

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

DERITA TAHANAN POLITIK PARTAI KOMUNIS KAMP KONSENTRASI B DI TANJUNG KASAU 1965 – 1978

Yang Diajukan Oleh: Nama : Wenny ATS NIM : 080706019

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing,

Drs. Samsul Tarigan

NIP. 195811041986011002 Tanggal,

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M.Hum

NIP. 196409221989031001 Tanggal,

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

DERITA TAHANAN POLITIK PARTAI KOMUNIS INDONESIA KAMP KONSENTRASI B DI TANJUNG KASAU 1965 – 1978

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : WENNY ATS

NIM : 080706019 Pembimbing,

Drs. Samsul Tarigan, NIP. 195811041986011002

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 196409221989031001


(5)

Lembar pengesahan skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN:

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A.

NIP.195110131976031001

Panitia Ujian:

No. Nama Tanda Tangan

1. ( )

2. ( )

3. ( )

4. ( )


(6)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat, rahmat, dan karunia-Nya yang telah Ia berikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini sendiri bertujuan untuk melengkapi persayaratan di dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara di bidang Ilmu Sejarah.

Adalah suatu kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi penulis ketika mampu menyelesaikan rangkaian penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul: Derita:Tahanan Politik Partai Komunis Indonesia Kamp Konsentrasi B Di Tanjung Kasau Tahun 1965 – 1978. Penulis banyak mendapatkan rintangan dalam penulisan skripsi ini, namun dengan dukungan berbagai pihak terkhusus staf pengajar Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara beserta rekan-rekan, penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu diharapkan saran dan kritik dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan skripsi yang memiliki pembahasan yang sama kedepannya.

Medan, Juli 2013 Penulis,

Wenny ATS. NIM 080706019


(7)

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis sadar bahwa sanya pengerjaan skripsi ini bukan semata-mata atas kerja penulis sendiri. Akan tetapi, banyak pihak yang telah membantu penulis, baik bantuan dlam bentuk materi maupun moril. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada mereka yaitu:

1. Kepada orang tua saya tercinta dan tersayang, R. Sinuraya dan T. Br.

Nainggolan, yang telah memberikan semangat, perhatian dan kasih sayang kepada penulis mulai dari proses perkuliahan sampai selesainya penulisan skripsi ini. Semoga Tuhan selalu menyertai dan memberikan umur yang panjang kepada kedua orang tua saya. Terima kasih atas dukungan moril dan materil serta doa-doanya.

2. Kepada saudara-saudara saya yaitu Rinal Sinuraya dan Rizal Sinuraya, yang

selalu memberi semangat dan doa buat saya.

3. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Dr. Syahron

Lubis, M. A.

4. Bapak PD I Dr. M. Husnan Lubis, M.A., PD II Drs. Samsul Tarigan, PD III

Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A., Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

5. Ketua Departemen Sejarah, Drs. Edi Sumarno, M. Hum, dan Sekretaris

Departemen Sejarah, Drs. Nurhabsyah, M. Si., yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

6. Dosen pembimbing penulis Bapak Drs. Samsul Tarigan, yang selalu

memberikan masukan yang sangat berharga bagi penulis.

7. Dosen wali penulis, Drs. Edi Sumarno, M. Hum., yang selalu memotivasi

penulis dan menyemangati penulis.

8. Dosen Departemen Sejarah dan pegawai yang telah memberikn amal ilmunya


(8)

iii

9. Abang Ampera yang juga telah memberikan masukan serta motivasi selama

penulis menjalankan perkuliahan di Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Suamtera Utara.

10.Sahabat saya Marli yang menemani setiap waktu kala susah dan senang.

11.Sahabat terbaik saya Hotman Siagian yang selalu membantu saya dalam

mengerjakan skripsi ini.

12.Sahabat-sahabat saya stambuk 2008, Ryhana Hutagaol, Yuni Sembiring,

Nurhayani, Evi Christina, Erni Friska Nababan, Puspita Sari Saragih, Kuasa Agustino Saragih, Ahmad Husein dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah menemani dan meberikan motivasi kepada penulis dan setia menemani penulis dalam penyelesaian skripsi.

13.Seluruh responden dan pihak yang telah memberikan data untuk penulisan

skripsi ini yang namanya tidak bisa penulis tuliskan secara satu persatu terima kasih banyak.

Akhir kata penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penulis dalam merampungkan skripsi ini. Semoga segala amal baik mereka mendapatkan balasan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Terima kasih.

Medan, Juli 2013 Penulis

Wenny ATS NIM. 080706019


(9)

iv

ABSTRAK

Tanjung Kasau merupakan suatu desa yang sangat sederhana. Walau sederhana, di desa ini menyimpan banyak kisah tragis yang di derita para tapol pada masa peristiwa G 30 S/PKI 1965 yang merupakan sejarah kelam bagi perjalanan Sejarah Indonesia. Peristiwa ini berawal dari pembunuhan ke enam Jendral yaitu Letnan Jendral Anumerta S. Parman, Letnan Jendral Anumerta Suprapto, Jendral Anumerta Achmad Yani, Letnan Jendral Anumerta M.T. Haryono, Mayor Jendral Anumerta Donald Isac Panjaitan, Mayor Jendral Anumerta Sutoyo Siswomiharjo, dan satu Perwira yaitu Kapten Peiere Tendean yang terjadi di Lubang Buaya. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan masyarakat Indonesia dan menuntut pembubaran PKI dan Ormas-ormasnya. Pembubaran PKI dan Ormas-Ormasnya dilakukan melalui penangkapan yang dilakukan oleh komando aksi dan TNI AD, diperiksa oleh juru periksa, kemudian diklasifikasikan dan ditahan sesuai golongannya masing-masing. Dalam proses penangkapan hingga penahanan para tapol mengalami penderitaan dan penyiksaan yang tidak berkesudahan. Keturunan dan keluarga pun tidak terlepas dari penderitaan.

Begitu juga dengan tapol PKI golongan B yang ada di Tanjung Kasau, penderitaan dan penyiksaan tidak berhenti sampai pada roses penangkapan dan pemeriksaan saja, melainkan pada masa penahanan mereka juga mengalami penderitaan baik dari segi kebebasan, rutinitas yang menyiksa bahkan menjadi pekerja paksa di “taman perbudakan”. Pada tahun 1977 tapol PKI golongan B tanjung Kasau mulai dibebaskan. Pembebasan juga tidak menjadi akhir dari penderitaan para tapol karena tidak sedikit tapol yang pulang tanpa alamat, kehilangan istri dan anak, kehilangan harta (tanah),dan lain-lain.

Tujuan dibuatnya penulisan “Derita: Tapol PKI Kamp Konsentrasi B di Tanjung Kasau (1965 -1978) ini adalah, pertama untuk mengetahui keberadaan TPU Tanjung Kasau, kedua mengetahui bagaimana cara penangkapan dan perlakuan terhadap para tapol, ketiga untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kehidupan para Tapol di TPU, dan yang terakhir bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat terhadap TPU itu sendiri. Sementara untuk metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah, Heuristik, yaitu tahap awal yang dilalukan untuk mencari data-data melalui berbagai sumber dan relevan dengan penelitian yang dilakukan. Dalam tahap heuristik sumber data dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu studi lapangan (field research) dan studi kepustakaan (library research). Kemudian Kritik Sumber, merupakan proses yang dilakukan peneliti untuk mencari nilai kebenaran data sehingga dapat menjadi penelitian yang objektif. interpretasi, yaitu hasil pengamatan dan penganalisaan terhadap sumber- sumber yang telah di selidiki. Historiografi, proses ini adalah tahapan terakhir dalam langkah- langkah penulisan sejarah dimana melakukan pemaparan atas hasil sintesa dengan merangkum semuanya menjadi sebuah tulisan ilmiah.


(10)

v

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 9

1.4 Tinjauan Pustaka ... 10

1.5 Metode Penelitian ... 11

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 2.1 Kondisi Geografis Wilayah Penelitian ... 14

2.2 Komposisi Penduduk ... 16

2.3 Sejarah Tanjung Kasau Sebelum 1965 2.3.1 Latar Belakang Sejarah Tanjung Kasau ... 18

2.3.2 Kedatangan Belanda ... 21

2.3.3 Kedatangan Belanda ke Tanjung Kasau ... 24

2.4 Pembukaan Areal Perkebunan ... 28


(11)

vi

BAB III KEBERADAAN TPU TANJUNG KASAU SEBAGAI TAPOL PKI

3.1 Pemberontakan PKI 1965... 36

3.2 Pemberontakan PKI di Sumatera Utara ... 39

3.3 Penumpasan Gerakan 30 September 1965 ... 40

3.4 Penangkapan Dan Penahanan Anggota PKI Dan Kader Onderbouwnya... 43

BAB IV TANJUNG KASAU SEBAGAI TEMPAT TAHANAN POLITIK (TAPOL) GOLONGAN B 4.1 Pengklasifikasian Para Tahanan Politik ... 52

4.2 Perlakuan Terhadap Para Tapol Kamp Konsentrasi B Di Tanjung Kasau ... 56

4.3 Derita Para Tapol ... 60

4.4 Pandangan Masyarakat Terhadap Para Tapol Di Kamp KonsentrasiB Tanjung Kasau ... 67

4.5 Pembebasan Para Tahan Politik ... 69

4.6 Peruntuhan Kamp Konsentrasi B Di Tanjung Kasau ... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 74

5.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

DAFTAR INFORMAN ... 78 LAMPIRAN


(12)

iv

ABSTRAK

Tanjung Kasau merupakan suatu desa yang sangat sederhana. Walau sederhana, di desa ini menyimpan banyak kisah tragis yang di derita para tapol pada masa peristiwa G 30 S/PKI 1965 yang merupakan sejarah kelam bagi perjalanan Sejarah Indonesia. Peristiwa ini berawal dari pembunuhan ke enam Jendral yaitu Letnan Jendral Anumerta S. Parman, Letnan Jendral Anumerta Suprapto, Jendral Anumerta Achmad Yani, Letnan Jendral Anumerta M.T. Haryono, Mayor Jendral Anumerta Donald Isac Panjaitan, Mayor Jendral Anumerta Sutoyo Siswomiharjo, dan satu Perwira yaitu Kapten Peiere Tendean yang terjadi di Lubang Buaya. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan masyarakat Indonesia dan menuntut pembubaran PKI dan Ormas-ormasnya. Pembubaran PKI dan Ormas-Ormasnya dilakukan melalui penangkapan yang dilakukan oleh komando aksi dan TNI AD, diperiksa oleh juru periksa, kemudian diklasifikasikan dan ditahan sesuai golongannya masing-masing. Dalam proses penangkapan hingga penahanan para tapol mengalami penderitaan dan penyiksaan yang tidak berkesudahan. Keturunan dan keluarga pun tidak terlepas dari penderitaan.

Begitu juga dengan tapol PKI golongan B yang ada di Tanjung Kasau, penderitaan dan penyiksaan tidak berhenti sampai pada roses penangkapan dan pemeriksaan saja, melainkan pada masa penahanan mereka juga mengalami penderitaan baik dari segi kebebasan, rutinitas yang menyiksa bahkan menjadi pekerja paksa di “taman perbudakan”. Pada tahun 1977 tapol PKI golongan B tanjung Kasau mulai dibebaskan. Pembebasan juga tidak menjadi akhir dari penderitaan para tapol karena tidak sedikit tapol yang pulang tanpa alamat, kehilangan istri dan anak, kehilangan harta (tanah),dan lain-lain.

Tujuan dibuatnya penulisan “Derita: Tapol PKI Kamp Konsentrasi B di Tanjung Kasau (1965 -1978) ini adalah, pertama untuk mengetahui keberadaan TPU Tanjung Kasau, kedua mengetahui bagaimana cara penangkapan dan perlakuan terhadap para tapol, ketiga untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kehidupan para Tapol di TPU, dan yang terakhir bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat terhadap TPU itu sendiri. Sementara untuk metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah, Heuristik, yaitu tahap awal yang dilalukan untuk mencari data-data melalui berbagai sumber dan relevan dengan penelitian yang dilakukan. Dalam tahap heuristik sumber data dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu studi lapangan (field research) dan studi kepustakaan (library research). Kemudian Kritik Sumber, merupakan proses yang dilakukan peneliti untuk mencari nilai kebenaran data sehingga dapat menjadi penelitian yang objektif. interpretasi, yaitu hasil pengamatan dan penganalisaan terhadap sumber- sumber yang telah di selidiki. Historiografi, proses ini adalah tahapan terakhir dalam langkah- langkah penulisan sejarah dimana melakukan pemaparan atas hasil sintesa dengan merangkum semuanya menjadi sebuah tulisan ilmiah.


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penulisan tentang Peristiwa Gerakan 30 September 1965 beserta aspek lain yang menyertainya sampai kini masih merupakan ruang akademis yang sangat menarik. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi atas Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan peranan PKI antara kebenaran dan manipulasi sejarahsehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang waktunya jauh sesudah peristiwa terjadi. Di tingkat internasional, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian

diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.1

Presiden Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan

1

A. Pambudi, “Fakta dan Rekayasa G30S Menurut Kesaksian Para Pelaku”, Jakarta: MedPress, 2011, hal 393.


(14)

2

politik pada tahun-tahun terakhir, hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian telah memberikan efek mengerikan melampaui batas. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.

Setelah berakhirnya masa kekuasaan Soeharto, muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban politik semata.

Sisi lain yang selama ini belum banyak diungkap adalah kekerasan terhadap sesama anak bangsa dari adanya kebijakan negara pada waktu itu untuk melakukan penumpasan terhadap para anggota dan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap telah melakukan tindakan perlawanan terhadap negara. Dalam peristiwa ini begitu banyak anak bangsa yang menjadi korban diantaranya pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk


(15)

3

secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang, pemerkosaan,penganiayaan (persekusi) dan penghilangan orang

secara paksa.2

Selama ini secara umum orang mengetahui bahwa penindasan dan pembunuhan terhadap PKI dan antek-anteknya adalah hal yang biasa sebagai akibat perang. Konsep perang apabila bertemu dengan musuh adalah dibunuhatau membunuh. Tetapi ternyata pemahaman seperti di atas tidak semuanya benar. Pada kenyataannya banyak orang-orang PKI terbunuh bukan akibat perang tetapi mereka

Peristiwa tragedi nasional G 30S/PKI tahun 1965 di Indonesia mengakibatkan munculnya permasalahan politik. Disamping tragedi saling membunuh di antara anak bangsa, juga timbul masalah baru bagi anggota PKI dan simpatisannya. Anggota PKI, onderbouw dan simpatisan telah menjadi korban. Sejak ini pula muncul suatu fase baru dalam sejarah Indonesia yaitu fase kelam dan sangat menyedihkan. Orang-orang yang dituduh terlibat dalam peristiwa-peristiwa tersebut menjadi korban. Fase baru yang sangat menyedihkan, mereka banyak yang dibunuh disiksa, diperkosa, diusir dari tanahnya bahkan dihilangkan, padahal kepastian akan keterlibatan mereka seluruhnya sebagai anggota pendalang gerakan itu belum jelas dan pasti. Hal lain yang paling memilukan adalah setelah diketahui bagaimana proses penindasan dan pembunuhan kepada mereka merupakan sejarah kelam bagi perjalanan sejarah Indonesia.

2

Arsip Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Terberat Peristiwa 1965-1966, Jakarta 23 Juli 2012.


(16)

4

banyak yang diculik, ditangkap baik dari rumah maupun dari jalanan dan di bawa ke tempat-tempat tertentu yang disebut dengan kamp atau tahanan politik.

Selanjutnya atas dasar keterlibatannya di dalam partai PKI dan onderbouwnya tanpa mengetahui sikap dan tingkahlaku serta pandangan hidupnya dalam bermasyarakat dan bernegara mereka telah dianggap bersalah sebagai pengkhianat negara. Padahal sebagai rakyat mereka tidak tahu bahwa PKI adalah partai terlarang. Bukankah pada saat itu PKI merupakan salah satu partai yang diakui keberadaannya oleh negara. Banyak pertanyaan di benak kita dan sampai saat ini belum terjawab tuntas. Keadaan itu pulalah yang menjadikannya semakin menarik sebagai suatu kajian. Terlepas dari benar/salah, peristiwa ini telah banyak membawa korban dan dialami oleh Indonesia. Penulis bukan membuka luka lama tetapi ingin mencari titik-titik persoalan yang terdapat di Tanjung Kasau. Harapannya adalah agar peristiwa semacam itu tidak terulang lagi.

Banyak kamp tawanan di Indonesia. Setiap tawanan mempunyai versi cerita penyiksaan yang berbeda. Begitu pula di Sumatera Utara. Di Sumatera Utara Tempat Penitipan Umum (TPU) ada tiga kamp, namun sayang tidak terekspos. Padahal keberadaan TPU atau kamp-kamp itu merupakan saksi sejarah bagi generasi yang akan datang. Hal inilah yang menyebabkan masalah ini menarik untuk dikaji.Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Ngadineming sebagai mantan tahanan politik (tapol)mengatakan ada tiga TPU dalam kategori besar antara lain TPU golongan A yang terdapat di Sukamulia (menjadi supermarket sekarang), golongan B terdapat di Tanjung Kasau (menjadi perkebunan kelapa sawit sekarang), dan golongan C terdapat di Jl. Binjai (Kodam I Bukit Barisan sekarang) dan ketiga tapol


(17)

5

inilah yang menjadi rujukan tapol-tapol sementara di berbagai daerah di Sumatera

Utara.3

1. Barisan Tani Indonesia (BTI)

Dalam perspektif inilah saya mencoba hadir untuk memberikan alternatif bahasan tentang keberadaan TPU dan tindakan kekerasan terhadap warga negara yang dituduh sebagai anggota maupun simpatisan PKI di Sumatera Utara. Alternatif pilihan itu jatuh kepada TPU yang berada di Tanjung Kasau. Untuk itulah penulisan ini diberi judu l “ Derita Tahanan Politik Partai Komunis Indonesia Kamp Konsentrasi B di Tanjung Kasau 1965-1978”.

Melihat judul di atas kata-kata yang dipakai cukup panjang, namun demikian memiliki arti yang sangat sederhana yaitu hanya membahas tempat penahan Tapol PKI yang terdapat di Tanjung Kasau sekitar tahun 1965-1978. Tempat penahan ini merupakan pusat penahanan bagi anggota PKI yang termasuk dalam golongan B. Golongan B adalah badan pengurus dari organisasi PKI (ketua, sekertaris, dan bendahara dalam satu organisasi yang seazas/berlindung/bernaung di bawah PKI (ondewbouw) PKI seperti:

2. Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI)

3. Pemuda Rakyat

4. Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI)

5. Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI)

6. Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA)

7. Himpunan Sarjana Indonesia (HSI)

3

Wawancara dengan Bapak Ngadineming, pada tanggal 8 Desember 2012 di Tanjung Kasau, Indrapura.


(18)

6

8. Persatuan Guru Republik Indonesia ( PGRI NON VAK CENTRAL)

9. Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI)

10.Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia Pimpinan ROBBY SOMULANG (IPPI)

11.KOMUNIS-MUDA

12.HARAPAN-MUDA

13.INDONESIA-MUDA

14.Persatuan Tukang Gunting Rambut Indonesia (PERTUGRI)

15.Angkatan Pemuda Indonesia Pos, Telegram dan Telepon (API POSTEL)

16.Barisan Berani Mati (BBM)

17.Angkatan Muda Pembangunan Indonesia (AMPI)

18.TAMAN KANAK-KANAK “MELATI”

19.PANTI-PENGETAHUAN-RAKYAT

20.BALAI-PENGETAHUAN-RAKYAT

21.MIMBAR-PENGETAHUAN-RAKYAT

22.ICHWANUL-MUSLIMIN

23.Lembaga Pendidikan Nasional.4

Tanjung Kasau merupakan suatu kawasan yang terletak di dataran timur di kabupaten Batu Bara. Kawasan ini yang dahulunya merupakan hutan rawa yang kini menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit milik Perusahaan Perkebunan Daerah Sumatera Utara (PPDSU). Letaknya beradadi pinggir jalan lintas Sumatera yang

4

Moerdiono. “Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya”, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, hal. 39.


(19)

7

menghubungkan antara Kota Tebing Tinggi dan kota Lima Puluh, tepatnya di Km 93 Medan.

Dari letak geografis ini seharusnya hal-hal yang terjadi di Tanjung Kasau lebih mudah diketahui orang. Kenyataan tidak demikian, banyak orang yang tidak mengetahui peristiwa-peristiwa penting yang terjadi. Itulah sebabnya penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menuliskan suatu peristiwa penting dalam perjalanan sejarah Sumatera Utara.

Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi di Tanjung Kasau ini yang luput dari pengkajian sejarah atau setidak-tidaknya pembahasan sangat terbatas.Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa di kawasan ini pernah berdiri:

1. Rumah sakit yang didirikanolehBelanda bernama Hospital Comite pada tahun

1936-1945. Oleh masyarakat biasa menyebutnya rumah sakit Samber Nyawo, karena setiap pasien yang sakit masuk ke rumah sakit ini tidak pernah kembali. Karena setiap pasien yang berobat dijadikan bahan eksperimen, salah satunya adalah eksperimen obat cacar yg diambil dari liur kuda dan di injeksikan pada pasien.

2. Tahun 1948-1965 kawasan ini dijadikan sebagai Sekolah Polisi Negara(SPN).

3. Selanjutnya kawasan ini dijadikan TPU Kamp Konsentrasi B Tapol PKI

1965-1978 dengan jumlah tahanan lebih kurang 3.700 orang dengan 27

barak.5

Penulis merasa tertarik pada keberadaan TPU Kamp Konsentrasi B Tapol PKI 1965-1978karena kekejaman, penyiksaan dan pembunuhan yang terjadi di

5


(20)

8

kawasan ini belum banyak diungkap dalam sejarah. Selain itu bagaimana cara penangkapan orang-orang yang akan ditahan di tapol belum banyak diketahui, dan lokasi inijuga kini tidak terjaga dan tidak utuh lagi, sehingga dapat menghilangkan bukti-bukti sejarah. Dan penulis juga ingin mengetahui lebih mendalam tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di kamp Konsentrasi ini dan perilaku aparat negara yang menyatakan diri sebagai pembela Pancasila terhadap para Tapol PKI itu.

1.2Rumusan Masalah

Berbicara masalah PKI merupakan hal yang luas dan kompleks. Artinya banyak masalah yang berkenaan dengan itu. Terlepas dari siapa yang salah atau benar, yang pasti peristiwa itu telah banyak memakan korban. Sampai saat ini membicarakan masalah PKI masih sangat mengkhawatirkan karena penuh dengan kepentingan politik di satu sisi dan dendam di sisi lain. Semua itu dapat menjadi penghambat bagi peneliti untuk mendapat kebenaran. Untuk itu penulis membatasi diri dengan hanya mengkaji tentang keberadaan TPU Tanjung Kasau 1965-1978. Pembatasan waktu 1965-1978 karena sejak tahun 1965-1978 tempat ini digunakan sebagai Tapol yang sebelumnya sebagai SPN. Selanjutnya bekas Tapol ini dijadikan lahan perkebunan sawit.

Adapun pokok masalah-masalah yang akan dikaji adalah:

1. Bagaimana keberadaan TPU kamp konsentrasi B di Tanjung Kasau?

2. Bagaimana cara penangkapandan perlakuan terhadap para Tapol?

3. Bagaimana kehidupan para Tapol di TPU?


(21)

9

1.3Tujuan dan Manfaat

Di dalam sebuah penelitian tentu memiliki tujuan dan manfaat. Tujuan dan manfaat yang dilakukan untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan. Berdasarkan itu adapun tujuan penelitian dilakukan adalah:

1. Untuk mengetahui keberadaan TPU Tanjung Kasau

2. Untuk mengetahui cara penangkapan dan perlakuan terhadap para Tapol

3. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan para Tapol di TPU

4. Untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat terhadap TPU tersebut.

Adapun manfaat penelitian adalah:

1. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pembendaharaan khazanah sejarah

khususnya sejarah lokal Tanjung Kasau.

2. Bagi masyarakat Tanjung Kasau dengan adanya penelitian ini diharapkan

dapat lebih mengetahui sejarah keberadaan TPU konsentrasi B di Tanjung Kasau.

3. Dapat melatih peneliti untuk membuat karya ilmiah dalam penelitian sejarah

yang berkualitas.

4. Untuk memperkaya informasi dan wawasan baik civitas Akademika USU

maupun masyarakat mengenai keberadaan TPU Kamp Konsentrasi B yang ada di Tanjung Kasau.

5. Dapat menjadi bahan masukan dan perbandingan bagi peneliti lain yangakan


(22)

10

1.4Tinjauan Pustaka

Sebuah penelitian ilmiah tentu tidak terlepas dari tinjauan pustaka yang berguna sebagai informasi dan menentukan sumber-sumber yang relevan dengan objek penelitian. Sumber-sumber ini bisa berupa karya ilmiah, buku-buku, ataupun dokumen-dokumen terkait. Seperti buku yang berjudul Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, karya Mensesneg Moerdiono yang menjelaskan bagaimana latar belakang tumbuh dan berkembangnya Partai Komunis, aksi-aksi yang dilakukan, sampai pada penumpasannya yang menunjukkan dengan nyata bahwa PKI merupakan organisasi konspirasi yang bertujuan mendirikan negara komunis di Indonesia, walaupun secara lahiriah mengakui Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Buku ke dua yang digunakan penulis adalah Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan oleh Amurwani Dwi Lestariningsih dimana buku ini banyak membahas mengenai Gerwani yang merupakan bagian dari PKI/onderbouw. Dalam buku ini juga banyak menguraikan bagaimana kehidupan para Tapol wanita selama masa tahanan, dan perlakuan-perlakuan yang tidak wajar dari oknum-oknum petugas seperti pelecehan dan penghinaan terhadap harkat wanita.

Buku ke tiga yang digunakan adalah Fakta dan Rekayasa G30S Menurut Kesaksian Para Pelaku oleh A. Pambudi yang dalam bukunya banyak menghadirkan kesaksian para saksi dan pelaku gerakan 30 September 1965. Menurut kesaksian tersebut melahirkan pro dan kontra pada fakta peristiwa G30S 1965.


(23)

11

Buku ke empat yang digunakan adalahMencari Kiri: Kaum Revolusioner Indonesia dan Revolusi Merdeka oleh Jacques Leclerc yang dalam bukunya banyak menjelaskan sejarah terbentuknya aliran komunis, mengenai partai-partai pada tahun 1950 dan kondisi kehidupan partai kaum revolusioner indonesia yang mencari indentitas.

Buku ke lima yang digunakan adalahOrang-orang Pinggir di Persimpangan Kiri Jalanoleh Soe Hok Gie dalam buku ini banyak menceritakan tentang pemberontakan PKI di Madiun yang dinilai suatu pemberontakan oleh PKI yang persiapannya tidak matang dan menyebabkan pertumpahan darah antara anak bangsa sebelum terjadinya G30S/PKI yang dipelopori oleh tokoh-tokoh yang sama.

1.5Metode Penelitian

Dalam menuliskan sebuah peristiwa bersejarah yang dituangkan ke dalan historiografi, maka harus menggunakan metode sejarah.Metode sejarah dimaksudkan untuk merekontruksi kejadian masa lampau guna mendapatkan sebuah karya yang mempunyai nilai. Dimana metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa

secara kitis rekaman peninggalan masa lampau.6

1. Heuristik, yaitu tahap awal yang dilalukan untuk mencari data-datamelalui

berbagai sumber dan relevan dengan penelitian yang dilakukan. Dalam tahap heuristik sumber data dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu studi Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian sejarah antara lain:

6

Louisgottschalk (Diterjemahkan oleh Nugroho Notosutanto), “Mengerti Sejarah”, Jakarta: UI Press, 1985, hal. 32.


(24)

12

lapangan (field research) dan studi kepustakaan (library research). Data dari hasil studi lapangan dapat diperoleh melalui wawancara dengan berbagai informan yang terkait dengan penelitian yang dilakukan.Sedangkan studi kepustakaan dapat diperoleh dari beerbagai buku, dokumen, arsip, dan lain sebagainya.

2. Kritik Sumber, merupakan proses yang dilakukan peneliti untuk

mencari nilai kebenaran data sehingga dapat menjadi penelitian yang objektif. Dimana dalam tahap ini sumber-sumber yang telah terkumpul dilakukan kritik, baik itu kritik internal maupun kritik eksternel.Kritik internal merupakan kritik yang dilakukan untuk mencari kesesuain data dengan permasalahan yang diteliti, sedangkan kritik eksternal merupakan kritik yang mencarikebenaran sumber pustaka yang diambil oleh peneliti maupun fakta yang diperoleh dari wawancara yang dilakukan dengan informan.

3. Interpretasi, yaitu hasil pengamatan dan penganalisaan terhadap

sumber- sumber yang telah di selidiki. Dalam tahapan ini data yang diperoleh dianalisis sehingga sifatnya lebih objektif dan ilmiah. Dengan perkataan lain data-data yang diperoleh dianalisis sehingga data menjadi fakta. Jauhnya objek kajian yaitu antara peristiwa dengan peneliti maka sebelum melakukan penelitian, lebih dahulu dibutuhkan interpretasi. Interpretasi menjadi vital dan sangat dibutuhkan keakuratannya karena interpretasi mengarahkan peneliti kepada objek


(25)

13

yang sesungguhnya. Untuk itu peneliti dalam melakukan penelitian harus dibantu ilmu-ilmu lain antara lain ilmu geografi, sosiologi dan politik.

4. Historiografi, proses ini adalah tahapan terakhir dalam langkah-

langkah penulisan sejarah dimana melakukan pemaparan atas hasil sintesa dengan merangkum semuanya menjadi sebuah tulisailmiah. Dimana dibuat penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan selalu berusaha memperhatikan aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta yang ada untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kriris dan ilmiah.


(26)

14

BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

2.1 Kondisi Geografis Wilayah Penelitian

Tanjung Kasau adalah suatu kawasan yang terdapat di dataran rendah Sumatera Timur. Daerah ini tepatnya di jalan lintas Sumatera bagian timur, persisnya berada pada Km 92 dari Medan menuju Rantau Perapat dan 11 Km sebelum kota Indrapura.

Meski lokasinya di pinggir jalan, banyak hal atau peristiwa di daerah ini yang kurang mendapat perhatian di kalangan sejarawan. Padahal, peristiwa itu sampai pada saat ini masih menyisakan benih-benih penderitaan di kalangan pelaku maupun keturunannya.

Peristiwa tersebut adalah bahwa di daerah ini pernah terjadi tempat penahanan para tahanan politik (tapol) sebagai akibat dari peristiwa Gerakan 30 September 1965. Mereka mendapat perlakuan yang tidak manusiawi selayaknya tawanan perang yang ditangkap di medan perang. Padahal keberadaan mereka di tempat itu hanyalah sebagai korban pertarungan politik. Lalu mengapa peristiwa ini terabaikan, keadaan ini yang menarik perhatian bagi penulis untuk menuturkannya dalam satu cerita.Untuk dapat mengetahui peristiwa itu ada baiknya lebih dahulu dikemukakan keadaan geografisnya.

Tempat penahanan para tapol itu kini tinggal puing-puing yang telah berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh Perusahaan Perkebunan Daerah Sumatera Utara (PPDSU) di bawah naungan Pemprov Sumatera Utara.


(27)

15

Sisa-sisa bangunan tempat tapol itu masih ada yang secara jelas terlihat seperti menara air, sumur, dan tungku yang digunakan untuk memasak.

Luas areal bangunan tempat para tapol itu sekitar 5,5 ha yang saat ini terdapat di bagian Pinggir perkebunan Tanjung Kasau, Desa Tanjung Kasau. Meskipun berada di dalam areal perkebunan dan wilayahnya di Desa Perkebunan Tanjung Kasau, namun secara faktual lokasi bangunan ini lebih dekat dengan Desa Tanjung Seri dan Desa Dewi Sri.

Untuk lebih jelas adapun letak bangunan tapol itu adalah sebagai berikut:

• Sebelah timur berbatasan dengan pekebunan BUMD, Desa Perkebunan

Tanjung Kasau.

• Sebelah barat berbatasan dengan pekebunan BUMD, Desa Perkebunan

Tanjung Kasau.

• Sebalah utara berbatasan dengan Desa Tanjung Seri

• Sebelah selatan berbatasan dengan pekebunan BUMD, Desa Perkebunan

Tanjung Kasau.

Hal ini terjadi karena pemekaran desa berdasarkan Undang-Undang/Peraturan Daerah. Sebelum pemekaran desa pada tahun 2011, kecamatan Sei Suka hanya terdiri dari tiga desa yaitu Tanjung Seri, Dewi Sri dan Laut Tador. Sedangkan Tanjung Kasau berada langsung di bawah Onderneming Tanjang Kasau. Kemudian setelah pemekaran pada tahun 2011, kecamatan Sei Suka terdiri dari dua belas desa dan satu kelurahan yaitu desa Kwala Indah, Kwala Tanjung, Laut Tador, Pematang Jering, Pematang Kuning, Perkebunan Tanjung Kasau, Sei Semujur, Sei Suka Deras,


(28)

16

Simodong, Tanjung Kasau, Tanjung Parapat dan Tanjung Seri dan kelurahan

Perkebunan Sipare-pare.7

1. Penduduk asli atau tempatan, yang terdiri dari suku batak simalungun yang

telah memelayu dan suku melayu yang datang dari pesisir.

Sementara itu letak bangunan Tapol tersebut berada di tepi desa Perkebunan Tanjung Kasau.Berdasarkan pemekaran desa yang dilakukan oleh pemerintah tahun 2011 maka sudah pasti pengkajian tentang derita para tapol dan berbagai hal yang berhubungan dengan kajian ini mencakup pada banyak desa. Meski telah terpisah dalam bentuk pemerintahan desa tetapi dalam hal menyikapi keberadan tapol dan derita para tapol masyarakat mempunyai kebijakan yang sama karena pada awalnya mereka di bawah pemerintahan yang sama.

Dahulu mereka tergabung dalam beberapa desa tetapi sekarang terpecah dalam beberapa desa. Itulah sebabnya penelitian ini meliputi banyak desa, walaupun kamp konsentrasi B terdapat di Tanjung Kasau.

Melihat dari letak geografisnya, dapatlah dipastikan bahwa desa Perkebunan Tanjung Kasau merupakan lahan yang subur, lahannya relatif datar dan sedikit berbukit, sehingga sangat baik untuk dijadikan sebagai areal pertanian ataupun perkebunan. Selain itu di sekitarnya terdapat sungai-sungai kecil tetapi mampu untuk menyuburkan tanah. Sungai-sungai itu adalah sugai suka, dan sungai kijeng.

2.2Komposisi Penduduk

Secara garis besar penduduk Tanjung Kasau terbagi atas dua golongan yaitu:

7


(29)

17

2. Penduduk pendatang, yang terdiri dari suku jawa yang merupakan lepasan

kuli kontrak.

Di dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari kedua kelompok ini tidak berhubungan secara terus menerus, mereka terkotak dalam kelompok masing-masing terutama kelompok suku asli dengan kelompok suku pendatang. Penduduk asli menempati perkampungan secara kecil-kecilan, menempati lahan-lahan mereka sendiri. Tetapi secara umum mereka terhimpun dalam satu kampung besar yaitu kampung Durian. Dari kampung Durian inilah pemerintahan secara tradisional dilaksanakan oleh raja Djintan Ali. Djintan Ali adalah seorang raja yang berasal dari keturunan raja-raja batak simalungun yang telah memelayu. Djintan Ali memelayu disebabkan besarnya pengaruh kerajaan Aceh. Kerajaan Aceh berulang kali melakungan penyerangan sehingga sebagian raja-raja yang berasal dari simalungun menjadi memelayu. Dari istilah memelayu dapatlah kita pastikan suku-suku batak simalungun yg sebelumnya banyak menganut agama nenek moyang telah menjadi memeluk agama islam.

Ketika Belanda masuk dan berhasil menundukkan raja-raja besar melayu maka Tanjung Kasau secara langsung dibawah kekuasaan Belanda. Walaupun yang memerintah itu raja-raja melayu itu hanya sebagai kaki tangan Belanda.

Sementara pola kehidupan masyarakatnya sangat kental dengan tradisi. Adat batak dan adat melayu sama-sama dikembangkan. Namun demikian, setelah memeluk agama islam, kekentalan tradisi itu disesuaikan dengan hukum-hukum islam.

Setelah Belanda berkuasa, di Tanjung Kasau pun dibuka perkebunan. Bersamaan dengan pembukaan perkebunan itu, didatamgkan pula lah tenaga kerja


(30)

18

yang berasal dari pulau jawa. Mereka ditempatkan di barak-barak dalam perkebunan sehingga antara kaum buruh dengan suku asli tidak memiliki kontak atau hubungan secara langsung. Namun demikian lama kelamaan komunikasi antara kaum buruh dengan suku asli terjalin. Proses hubungan itu mula-mula melalui sesi perdagangan, kemudian hubungan sosial secara umum bahkan sampai pada tingkat perkawinan.

Melalui hubugan sosial seperti itu lama kelamaan sistem tradisi batak dan melayu itu berakulturasi dengan budaya jawa. Sampai saat ini proses akulturasi itu masihterus berjalan. Sebaliknya dengan adanya tiga kekuatan sistim budaya yang saling berinteraksi menciptakan pola baru dimana antara sesorang atau individu dengan individu lain kurang saling memperdulikan. Pandangan ini berawal dari bahwa setiap budaya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Terlebih-lebih setelah memasuki era kemerdekaan, perbedaan-perbadaan itu sengaja dihilangkan hanya untuk menciptakan persatuan dan kesatuan. Sifat ini terbawa sampai era tahun 60-an dimana pemerintah menempatkan tapol di daerah ini. Meskipun banyak penderitaan para tapol yang tidak semestinya diketahui oleh mereka, mereka lebih banyak bersikap diam demi menjaga persatuan. Demikianlah sekilas keadaan penduduk Tanjung Kasau sejak awal hingga Kamp Konsentrasi Tapol Golongan B di tempatkan di Tanjung Kasau.

2.3 Latar Belakang Sejarah Tanjung Kasau 2.3.1 Sejarah Tanjung Kasau Sebelum 1965

Setiap desa maupun daerah memiliki legenda sendiri-sendiri. Legenda ini muncul sebagai upaya memperkenalkan dan mengabadikan daerah tersebut kepada


(31)

19

khalayak atau orang lain. Oleh karena itu setiap panggilan atau penamaan suatu daerah itu tidak terlepas dari nama penemu, sifat, bentuk, keadaan alam dan harapan di daerah itu. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai contoh lahirnya berbagai nama-nama daerah seperti Medan, Deli Serdang, Limapuluh, Kisaran dan lain sebagainya. Medan misalnya, menunjukkan suatu arena atau padang yang luas. Begitu juga denga Deli, berasal dari kata Delhi atau Dhelikan. Sementara Serdang adalah daerah dimana banyak ditemukan pohon serdang (sejenis pohon palam).Lima Puluh adalah suatu tempat dimana jarak tempuh dari kota ini ke kota-kota lain lebih kurang limapuluh kilometer. Semua menunjukkan keberadaan tempat tersebut sesuai dengan keadaannya. Begitu pula dengan keberadaan Tanjung Kasau.

Tanjung Kasau sebagai suatu kawasan ataupun sebagai pusat pemerintahan desa yang memiliki legenda tersendiri. Tanjung Kasau berasal dari dua kata yaitu

Tanjung dan Kasau. Tanjung berarti tanah yang menjorok ke perairan.8

Dari wawancara yang dilakukan, maka kata Tanjung Kasau sebagai asal-usul nama daerah inibanyak versi antara lain. Pak Ngadineming mengatakan bahwa Tanjung Kasau berasal dari kata Tanjung dan Kasau yaitu suatu daratan yang menjorok ke laut dan pada tanjung ini banyak ditumbuhi pohon kayu yang bernama kayu kaso. Laut yang dimaksud adalah Laut Tador. Dahulu Laut Tador ini merupakan daerah luas yang digenangi oleh air. Itulah sebanya disebut laut. Sementara Tador

Apakah perairan itu laut, danau maupun sungai yang jelas tanah tersebut hampir seperti anjungan ke daerah perairan. Sementara Kasau memiliki beberapa arti.

8


(32)

20

yang berarti tidur pulas, diam, atau lelap.9 Ini berarti Laut Tador adalah merupakan

air yang luas dan tenang seperti tertidur (laut yang tidak bergelombang). Saat ini Laut Tador sudah menjadi daratan dan menjadi suatu kawasan atau nama daerah pula. Sementara itu Pak Udin mengatakan bahwa Tanjung Kasau berasal dari dua kata yaitu Tanjung dan Kasau yaitu suatu daratan yang menjorok ke laut dan di daerah ini dahulunya sering kacau yang dilatarbelakangi oleh perebutan tanah. Kemudian ada juga yg menceritakan kata Tanjung kasau berasal dari Sejarah Tanjung Kasau yang bermula dari Datuk Paduka Tuan, dan dua anaknya yaitu Raja Mansur Shah dan Raja Ali Kadir beserta rombongannya yang berasal dari Bukit Gombak dan membuka Kampung di Batubara. Kemudian Portugis yang menduduki Malaka datang dan ingin menguasai menimbulkan peperangan. Kemudian Raja Mansur Shah menemui dan meminta bantuan kepada Sultan Aceh untuk mengusir Portugis, dan berhasil. Kemudian Raja Mansur Shah di rajakan di Tangga Bosi. Kemudian Raja Mansur Shah memiliki putra Raja Adim yang membuat kampung Tanjung Matoguk. Dan putra Raja Adim yaitu Raja Ahmad membuka kampung di Tanjung Bolon. Untuk mendapat pengakuan, Raja Ahmad dengan menaiki Kapal Gajah Ruku(sebuah kapal yang menandakan sebuah prestise kala itu) menghadap Sultan Aceh. Kemudian Sultan Aceh melegitimasi dan menabalkan Raja Ahmad menjadi Raja Alam Perkasa (orang setempat menyebut dengan dialek Rajo Alam Perkoso), hingga Tanjung Bolon dinamakan Tanjung Perkaso, atau Tanjung Kaso, dam selanjutnya dilafalkan menjadi Tanjung Kasau.

9


(33)

21

2.3.2 Kedatangan Belanda

Sebelum Belanda datang dan menduduki Sumatera Timur, di Sumatera Timur telah banyak berdiri kerajaan-kerajaan, baik kerajaan besar maupun kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan besar itu adalah seperti Kerajaan Deli, Kerajaan Serdang, Kerajan Asahan, dan Kerajan Kualuh. Kerajaan-kerajaan besar maupun kerajaan-kerajaan kecil sangat bergantung pada pengakuan ataupun bisluit yang dikeluarkan baik oleh Kerajaan Aceh, Kerajaan Siak maupun Belanda.

Berdasarkan pengakuan ataupun bisluit yang dikeluarkan Kerajaan Aceh dan Kerajaan Siak tersebut dapatlah dikategorikan yang termasuk kerajaan-kerajaan besar antara lain :

• Kerajaan Langkat

• Kerajaan Deli

• Kerajaan Serdang

• Kerajaan Asahan

• Kerajaan Kualuh

• Kerajaan Bilah

• Kerajaan Panai

• Kerajaan Kota Pinang10

Sedangkan kerajaan-kerajaan kecil atau kerajaan lokal lainnya berada dibawah pengaruh kerajaan- kerajaan besar di atas. Hal ini sangat tergantung kepada kerajaan yang mempengaruhi atau yang menaklukkannya.

10

T.L Sinar, “Sari Sedjarah Serdang (Dengan Adat Istiadat Melayu dan Terumba Seri Paduka Gotjah Pahlawan)”, Medan: Tanpa Penerbit, 1971, hal. 135.


(34)

22

Pada prinsipnya semua kerajaan-kerajaan itu memiliki kedudukan yang setara. Sebaliknya berbagai kerajaan-kerajaan kecil berapliasi bergantung pada kebutuhannya seperti:

1. Berdasarkan kepentingan ekonomi,

2. Berdasarkan kepentingan budaya.

Meskipun di Sumatera Timur ini pada umumnya adalah suku melayu dan

suku batak yang me-melayu, 11

Berapliasi berdasarkan kepentingan ekonomi yang dimaksud adalah karena posisi satu kerajaan lebih strategis dalam bidang perdagangan. Hal ini menyebabkan kerajaan tersebut lebih dihormati dan lebih cepat berkembang. Karena dihormati dan perkembangan dan besarnya nya kerajaanlah yang membuat kerajaan-kerajaan kecil namun budaya batak sangat banyak yang mempengaruhi adat istiadat melayu. Perbedaan yang sangat menyolok diantara suku batak dan suku melayu adalah karena pengaruh marga dan agama. Suku melayu identik dengan agama islam dan tidak bermarga (menghilangkan marga) sedangkan suku batak mayoritas (kebanyakan) beragama kristen dan adapula yang masih beragama nenek moyang, seperti parmalim dan pemena. Adanya perbedaan agama ini maka banyak pula sistem budaya yang berubah. Apa yang terlarang dalam agama Islam secara perlahan ditinggalkan dan sistem baru dipakai berdasarkan agama Islam. Hal ini pulalah yang mengakibatkan di daerah pesisir yang suku melayu posisi marganya semakin melemah.

11

Tengku H.M.Lah Husny, “Lintasan Sejarah (Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu-Pesisir Deli Sumatera Timur, 1612-1950)”, Medan: BP Husny, 1975 hal. 100.


(35)

23

di bawah pengaruh kerajan tersebut. Contoh ini jelas seperti pada Kerajaan Deli, Kerajaan Serdang, Kerajaan Asahan, dan lain-lain.

Sementara faktor budaya pada umumnya disebabkan karena perkawinan. Dalam hal ini terjadi hubungan antara anak beru dan pihak moranya.Demikianlah pertumbuhan kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur sebelum datangnya Belanda. Kerajaan-kerajaan tumbuh dan berkembang secara alami asal kerajaan tersebut menganut agama Islam. Bila terjadi pertikaian biasanya disebabkan oleh masalah perkawinan, sementara pertikaian karena faktor penguasaan tanah sangat jarang karena lahan untuk dijadikan sebagai areal pertanian masih sangat luas.

Perlu diketahui bahwa meskipun daerah di Sumatera Timur dikuasai oleh para raja namun dalam hal pemanfaatanlahan, rakyat diberi keleluasaan. Di pantai timur, keberadaan raja hanya sebagai pengawas kepada mayarakat dalam hal penguasaan tanah sekaligus sebagai pemegangsupermasi dalam segala segi kehidupan sosial masyarakat. Sementara kerajaan yang berada di perbatasan dengan daerah Tapanuli, penguasaan tanah lebih dipengaruhi adat istiadat.

Demikian juga dengan keberadaan Tanjung Kasau sebagai suatu kawasan. Daerah ini dahulunya merupakan suatu lahan kosong yang dikuasai oleh kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan itu berasal dari suku batak simalungun yaitu keturunan kerajaan Nagur.

Namun karena Aceh di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda secara terus-menerus melakukan perluasan dan pengembangan agama islam, maka kerajaan Simalungun semakin melemah. Akibatnya banyak daerah-daerah taklukan seperti


(36)

24

Tanjung Kasau menjadi terabaikan. Keadaan ini memberi peluang terhadap kerajaan-kerajaan Melayu yang berada di bawah pengaruh Aceh untuk menganeksasinya.

Keadaan ini tidaklah memberi keberuntungan kepada Tanjung Kasau sebagai sebuah kerajaan kecil karena terjadi perseteruan secara terus-menerus diantara raja-raja Melayu.

Pertikaian yang terjadi secara terus-menerus membuat kerajaan Tanjung Kasau yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Simalungun lama kelamaan menjadi terpengaruh oleh kerajaan Melayu. Terlebih bahwa kebutuhan ekonomi kerajaan Tanjung Kasau banyak berhubungan dengan kerajaan-kerajaan melayu yaitu keberadan selat Malaka sebagai jalur perdagangan. Raja-raja dan masyarakat Tanjung Kasau pun lebih mendekat kepada melayu dan beragama Islam.Kondisi ini berlangsung hingga kedatangan Belanda ke Tanjung Kasau dan sekaligus menguasainya pada tahun 1882.

2.3.3 Kedatangan Belanda ke Tanjung Kasau

Pada tahun 1824 telah ditandatangani perjanjian antara Inggris dan Belanda yang disebut dengan Perjanjian London. Tujuan dari traktat ini adalah untuk ssmenghindari pertikaian antara Inggris dengan Belanda mengenai daerah jajahan mereka di sekitar Selat Malaka. Pada prinsipnya perjanjian ini adalah pertukaran jajahan antara Belanda dengan Inggris, yaitu Inggris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda, dan Belanda menyerahkan Malaka kepada Inggris dan tidak lagi menuntut Singapura. Kemudian kedua-duanya berjanji tidak akan meluaskan jajahan ke daerah yang bukan haknya sesuai dengan isi perjanjian tersebut. Seperti Inggris tidak lagi


(37)

25

mengganggu ke Sumatera, demikian juga Belanda tidak akan ke Semenanjung Melayu dan juga tidak akan mengganggu kedaulatan Aceh. Tetapi walaupun perjanjian itu telah ada namun karena pertimbangan keuntungan ekonomi, maka masing-masing pihak masih terus secara diam-diam meluaskan daerahnya, seperti Inggris belum menutup mata ke Sumatera dan juga Belanda belum melepaskan tekanannya di Perak dan Selangor. Hal seperti itu mencemaskan Belanda. Belanda takut akan kehilangan haknya di Sumatera sesuai dengan isi perjanjian tersebut.

Untuk dapat menguasai daerah Sumatera Timur maka Belanda harus dapat menguasai kerajaan Siak, karena menurut Sultan Siak seluruh Sumatera Timur adalah daerah jajahannya. Pada tahun 1857, ketika Wilson seorang petualang Inggris menguasai Kerajaan Siak maka Sultan Siak meminta bantuan kepada Belanda yang berpusat di Batavia. Ketika Belanda dapat penguasai petualang Inggris tersebut maka Belanda sudah mulai meminta imbalan jasa dengan mengikat perjanjian dengannya

pada tanggal 1 Februari 1858.12 Perjanjian itu disebut dengan Tracktaad Siak yang

berisikan kesediaan Sultan Siak untuk tunduk di bawah kekuasaan Belanda. Dengan tekanan Belanda, Siak mengakui bahagian dari Hindia Belanda dan tunduk dibawah

kedaulatan Agung Belanda.13

Dalam perjanjian itu juga ada dinyatakan bahwa jajahan dan daerah takluknya seperti Kerajaan Melayu Sumatera Timur di masukkan di bawah lindungan pemerintah Hindia Belanda. Selain itu Siak memohon pula bantuan Belanda untuk mempertahankan daerahnya dari serangan musuh Siak. Atas alasan ini lah maka

12


(38)

26

Belanda mulai mengirim ekspedisinya untuk mengakhiri kemerdekaan kerajaan-kerajaan Sumatera Timur.

Sebenarnya setelah ditanda-tanganinya Perjanjian London 1824 Belanda sudah berhak meluaskan kekuasaannya di Sumatera Timaur kecuali Aceh, namun perluasan itu menjadi terhalang karena Belanda belum mendapat alasan yang kuat untuk mengakhir kemerdekaan raja-raja di Sumatera Timur. Disampingitu masih banyak faktor yang turut menghambat peluasan jajahannya ke Sumatera Timur seperti takut akan terulang lagi pengalaman pahit yang dihadapi ketika perang Diponegoro. Sedangkan pada waktu ini Belanda masih perang dengan Paderi, sikap Inggris dari Malaka dan juga tantangan Aceh yang seluruhnya harus diperhitungkan oleh Belanda.

Untuk merealisasikan amanah dari Sultan Siak ini maka pada tahun 1862 datanglah ekspedisi Belanda yang pertama ke Sumatera Timur yang dipimpin oleh

Residen Riau Elisa Netscher.14

14

Tengku Lukman Sinar, Op.cit., hal 64.

Dalam kunjungan Netshcher satu persatu kerajaan di Sumatera Timur membuat suatu perjanjian kepada Belanda dengan cara paksa yaitu dengan mempropagandakan Kerajaan Siak. Sebagai contoh adalah Elisa Netscher cukup banyak memanggil raja-raja yang ia singgahi agar datang ke kapalnya seperti Raja Panai dan Raja Bilah. Setelah Netscher memperoleh tanda tangan kerajaan-kerajaan kecil ini maka ia melanjutkan perjalanannya menuju Asahan, Deli, Serdang, Langkat dan lain sebagainya. Tujuan dari pada perjanjian ini adalah pengakuan raja-raja di Sumatera Timur terhadap kekuasaan Belanda atas daerahnya.


(39)

27

Demikian pula halnya dengan Tanjung Kasau pengakuan takluk kerajaan-kerajaan besar di atas turut pula menyeret Tanjung Kasau ke dalam ikatan politik Belanda. Kerajaan Tanjung Kasau yang pada mulanya di bawah kekuasaan raja-raja simalungun jatuh ke tangan Belanda. Khusus tentang kerajaan Tanjung Kasau ini diungkapkan sebagai berikut Raja Alam Perkasa mempunyai putra, yaitu Raja Bolon dan Raja Muda Indera Jati. Setelah Raja Alam Perkasa mangkat, digantikan oleh raja Bolon, dan Raja Indera Jati menjadi raja muda. Raja Bolon selanjutnya membuka kampung Tanjung Meraja. Raja Bolon mempunya tiga putera, penggantinya adalah raja Sabda. Raja Sabda digantikan raja Said. Raja Said memiliki lima orang purta. Putra pengganti raja Said adalah raja Madsyah(Muhammadsyah). Ketika raja Madsyah inilah Belanda menguasai Tanjung Kasau dengan Besluit 16 oktober 1882

yang dikeluarkan oleh Kontroleur Asahandan Batubara yaitu Van Assen15. Kemudian

Raja Madsyah di gantikan oleh saudaranya Jintanali. Keduduka n Raja Jintanali ini bersama pembesar-pembesarnya disumpah pula oleh kontroleur Batubara, BA

Kroesen tahun 1888.16

15

Tengku H.M. Lahusni, Op.cit., hal. 89.

16

//http//google.com, (Keyword: Artikel Mengenai Sejarah Tanjung Kasau). Diunduh pada tanggal 5 Mei 2013.

Sejak saat itu pula Kerajaan Tanjung Kasau dikeluarkan dari kultur pemerintahan simalungun menjadi wilayah melayu. Selanjutnya sejak 1888 ini kewibawaan Kerajaan Tanjung Kasau sudah hampir sirna. Hal ini disebabkan karena Kerajaan Tanjung Kasau yang pada mulanya berlandaskan pada sistim kerajaan batak di gantikan dengan sistem melayu, dimana dalam banyak hal kebiasaan tradisi batak banyak yang berbeda dengan sistem budaya melayu. Di dalam pertentangan itulah Raja Morah putra Raja Jintanali melakukan perlawanan terhadap Belanda, tetapi


(40)

28

gagal. Dan akibatnya Raja Morah menandatangani kontrak tunduk kepada Belanda

tahun 1990.17

Meskipun telah diadakan Traktat London 1824 yang mengisyaratkan pembatasan wilayah daerah jajahan antara Inggris dengan Belanda di perairan Selat Malaka, serta kedua-duanya mengakui kedaulatan Aceh. Tetapi karena ambisi yang besar dari Belanda, maka Belanda secara terus menerus berupaya menguasai Sumatera. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengikat kontrak dengan Berdasarkan inilah Belanda menempatkan posisinya sehingga secara tidak langsung Tanjung Kasau di bawah langsung pemerintahan Belanda. Hal ini mengakibatkan banyak terjadi kekacauan-kekacauan yang sangat berarti bagi Belanda dalam menerapkan politik devide et imperanya.

Turut campur Belanda ini terlihat secara jelas ketika terjadi berbagai keributan dalam kerajaan Tanjung Kasau tahun 1916. Belanda turut campur dengan mencalonkan mantan Jaksa dari kerajaan Bilah yaitu Abdul Somad dengan gelar Tengku Busu menjadi pemangku negri Tanjung Kasau berdampingan dengan Raja Poso dari keturunan Jintanali.

Selanjutnya pada tahun 1920 kerajaan Tanjung Kasau disatukan dengan beberapa kerajaan lain seperti Batubara, daerah Tanjung, Sipare-pare dan Pagurauan. Semuanya dijadikan satu kerajaan bernama Indrapura. Sebagai rajanya oleh Belanda diangkatlah Tengku Abdullah Seman/Somad alias Tengku Busu yang sekaligus menandatangani perjanjian pendek (korte verklaring) 21 Oktober 1920.

2.4Pembukaan Areal Perkebunan

17


(41)

29

Kerajaan Siak. Karena melalui kontrak itu, berarti seluruh jajahan Siak akan menjadi

daerah taklukanya. Selain itu perubahan haluan politik Belanda dari politik

konservatif menjadi politik liberal mempercepat proses perluasan wilayah ke Sumatera. Para pemilik modal di Eropa ingin melibatkan diri untuk menanamkan modal ataupun saham sekaligus membuka perusahaan-perusahaan. Hal ini pasti membutuhkan lahan. Sumatera, Sumatera Timur khusunya memiliki alam dan daerah yang sangat menjanjikan. Selain Sumatera Timurmemiliki lahan yang sangat subur, penduduk yang relatif masih sedikit sehingga dapat dijadikan sebagai lahan-lahan perkebunan. Hal ini dapat kita lihat ketika Jacobus Nienhuys telah lebih dahulu membuka perkebunan tembakau sebelum Friedrich Nietzsche datang melakukan penaklukan.

Keberhasilan Belanda menjadikan Sumatera Timur sebagai daerah jajahan baik melalui korte verklaring (perjanjian pendek) maupun lange verklaring (perjanjian panjang) membuka peluang kepada pengusaha-pengusaha Belanda untuk menanamkan modal. Setelah Sumatera Timur terbuka bagi Belanda sekaligus melihat potensi wilayah yang sangat besar sejalan pula peta politik di Belanda dari politik konservatif yang bersifat tertutup menjadi politik pintu terbuka (open door

police).18

18

C.S.T Kansil S.H. “Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia”, Jakarta: Erlangga, 1984, hal 11.

Kebijakan pemerintah Belanda dengan politik pintu terbuka itu mendorong masuknya penanam modal asing. Dengan demikian Sumatera Timur memiliki banyak peluang untuk dimasuki pengusaha-pengusaha. Baik pengusaha Belanda maupun pengusaha Asing. Namun demikian karena banyaknya pertikaian yang terjadi di


(42)

30

Sumatera Timur umumnya, khusunya Tanjung Kasau mengakibatkan upaya pembukaan perkebunan terhambat. Baik pemerintah Belanda maupun pengusaha merasa khawatir untuk mengembangkan usaha mereka karena belum mendapat jaminan keamanan. Hal ini sejalan dengan berbagai pengalaman mereka di Kerajaan Deli maupun Serdang, dimana bangsal-bangsal pengeringan daun tembakau banyak yang dibakar oleh rakyat. Pembukaan perusahaan perkebunan di Tanjung Kasau baru

dimulai tahun 1889, dan jenis tanaman yang dikembangkan adalah jenis karet.19

1. Sedikitnya cadangan pekerja; tenaga kerja dari kalangan penduduk tidak

mencukupi

Khusus di Tanjung Kasau penanaman modal dilaksanakan oleh perusahaan perkebunan Harison, yaitu suatu perusahaan yang banyak menanamkan modal dalam bidang aneka tanaman. Khusus di Tanjung Kasau Harison mengembangkan jenis perkebunan karet.

Untuk membuka perkebunan itu sudah tentu membutuhkan lahan. Lahan diperoleh melalui pemerintah Belanda setelah melakukan kontrak. Lahan yg di peroleh seluas 2.591ha. Setelah lahan diperoleh maka pihak perkebunan mulai mengerjakan lahan untuk dijadikan perkebunan. Para pekerja pada umumnya didatangkan dari Pulau Jawa melalui sistim kontrak yang disebut dengan kuli kontrak setelah gagal mendapatkan tenaga kerja dari daerah Tanjung Kasau sendiri. Kegagalan untuk mendapatkan tenaga kerja itu disebabkan oleh dua faktor yaitu:

19

Wawancara dengan Bapak Kepala Desa Perkebunan Tanjung Kasau, H. Indra Syahrul, S.PsI, tanggal 12 Mei 2013.


(43)

31

2. Karena budaya; masyarakat pribumi atau penduduk tempatan tidak dapat

dijadikan tenaga kerja karena adanya suatu pandangan hina jika bekerja sebagai upahan si perusahaan atau tempat orang lain.

Hal inilah yang menyebabkan Belanda mengupayakan tenaga kerja dari luar Sumatera Utara.

Secara umum tenaga kerja yang menjadi kuli kontrak di Sumatera Utara untuk pertama kalinya adalah orang-orang cina yang didatangkan dari Malaysia. Selanjutnya karena tenaga kerja dari cina belum mencukupi maka disertakan orang-orang India dan yang terakhir adalah etnis jawa. Khusus di Tanjung Kasau tenaga kerja yang ada berasal dari Pulau Jawa. Mereka ditempatkan di barak-barak dalam perkebunan sehingga meskipun mereka di sumatera Utara, mereka tidak memiliki komunikasi atau hubungan dengan penduduk setempat sehingga pola kehidupan sangat berbeda. Kehidupan masyarakat setempat yang masih merdeka tetap mengembangkan diriberdasarkan kehidupan tradisionalnya, sementara kaum buruh juga mengembangkan prinsip hidup mereka sesuai dengan kontrak.

Namun demikian, walaupun Belanda memisahkan kedua pola kehidupan itu, lambat laun kontrak dan komunikasi berjalan atau terjalin melalui sesi perdagangan. Walaupun yang ada pada saat itu perdagangan hanya kecil-kecilan atau tradisional namun sangat mempengaruhipembauran antara kedua pola kehidupan yang saling berinteraksi. Adapun rute perdagangan itu adalah Tanjung Tiram-Limapuluh-Kampung Semujur (Indrapura)- Bandar Tinggi-Tiram-Limapuluh-Kampung Durian (Tanjung Kasau)-Dolok Masihul-Tebing Tinggi. Demikian sebaliknya.


(44)

32

Dengan demikian dapatlah kita pastikan bahwa Tanjung Kasau sangat jauh dari perhatian masyarakat. Keberadaan Tanjung Kasau mulai dapat diperhatikan setelah berdirinya rumah sakit Hospital Committee.Demikianlah perkembangan perkebunan Harison hingga munculnya penetapan pemerintah untuk menasionalisasikan berbagai perusahaan milik Belanda di Indonesia pada tahun

1957/1958. 20

Pandangan seperti ini mengakibatkan perkebunan horison yang telah menjadi milik negara mengalami kerugian. Gaji para buruh tidak terbayar, akibatnya para buruh pun menjarah hasil perkebunan. Mereka berbondong-bondong menyadap hasil perkebunan pada malam hari dan saling berebut yang mengakibatkan pertikaian antar penyadap. Begitu pula negara tidak mendapat hasil keuntungan, maka pada tahun 1962 perkebunan Horison diambil alih oleh negara dengan menjadikannya sebagai Perusahaan Perkebunan Daerah Sumatera Utara (PPDSU).

Memasuki nasionalisasi perkebunan Horison ini bagaikan tak bertuan. Rakyat menganggap bahwa nasionalisasi itu berarti apa yang dimiliki Belanda sebelumnya menjadi milik negara, selanjutnya milik negara adalah milik rakyat.

21

Selanjutnya pada tahun 1978 usaha perkebunan karet diganti dengan perkebunan kelapa sawit hingga saat ini.

20

Sartono Kartodirjo, “ Profil dan Petunjuk Industri Perkebunan Besar di Indonesia”. Jakarta: Alogo Sejahtera, 1989, hal. 11.

21


(45)

33

2.5Berdirinya Rumah Sakit (Hospital Comite)

Sejalan dengan perkembangan perkebunan maka di Tanjung Kasau didirikan pula rumah sakit yaitu Rumah Sakit Hospital Comite. Rumah sakit ini didirikan pada tahun 1936. Pendirian rumah sakit ini dilatarbelakangi oleh tuntutan perkembangan perkebunan di daerah ini. Pihak perkebunan berkewajiban memberikan perlindungan kesehatan terhadap buruh. Itulah sebabnya rumah sakit ini disebut Hospital Comite karena bertugas memberi pelayanan kesehatan kepada seluruh kaum buruh dari setiap perkebunan yang memiliki ikatan kerja dengan Hospital Committee.Melihat banyaknya perkebunan-perkebunan yang dikembangkan oleh Belanda, maka Hospital Committee pun didirikan di Tanjung Kasau. Daerah ini dianggap pusat atau pertengahan dari daerah-daerah perkebunan di Sumatera Utara. Hal ini dapat kita lihat dari posisi perkebunan yang ada mulai dari Timbang Langkat (Kab. Langkat) sampai dengan Wing Foot, Aek Nabara Kab. Labuhan Batu. Perlu diketahui bahwa Hospital Committee ini merupakan rumah sakit pertama yang berdiri di Sumatera Utara. Hal lain yang mendukung adalah daerah ini cukup jauh dari keramaian sehingga cukup tenang untuk memberikan perawatan sekaligus kenyamanan kepada

pasien.22

Pada prinsipnya pihak perkebunan telah menciptakan pelayanan kesehatan kepada para buruh, tetapi bentuk perawatan itu kebanyakan hanya pada tingkat ringan

Selain bertugas melayani para kaum buruh, rumah sakit ini juga melayani masyarakat biasa yang terlepas dari perkebunan. Perbedaan pelayanan adalah kaum buruh dibiayai oleh perusahaan sementara masyarakat biasa dengan biaya sendiri.

22


(46)

34

atau penyakit-penyakit rutin pada buruh (perawatan di polik klinik). Tetapi apabila buruh membutuhkan perawatan lebih baik atau penyakit yang diderita sudah pada tingkat lanjut (serius) sudah barang tentu membutuhkan perawatan yang lebih intensif. Bila perlu sampai pada rawat inap. Untuk itu dibutuhkanlah rumah sakit. Demikian lah latar belakang kehadiran Hospital Committee sebagai rumah sakit pertama untuk menangani kaum buruh dan masyarakat sipil di Sumatera Utara.

Dalam pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit memiliki banyak kekurangan terlebih-lebih rakyat Indonesia lebih percaya pada mistik. Di sisi lain terdapat cerita miris yaitu sebuah kisah dimana banyak pasien yang sakit dirawat, bukannya sembuh tetapi malah meninggal sehingga disebut Rumah Sakit Samber

Nyowo23

Akibatnya muncul penilaian buruk dari masyarakat sehingga keberadaan rumah sakit itu tidak didukung oleh masyarakat sehingga fungsi rumah sakit tidak berjalan sebagaimana mestinya. Atas dasar ini lah akhirnya rumah sakit Hospital Comite ini dipindahkan ke Tebing Tinggi padatahun 1945 dengan merubah nama . Setelah ditelusuri mereka yang justru meninggal kaum buruh/orang-orang yang berasal dari Solo. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan hal ini dikarenakan setiap pasien yang berasal dari Solo tidak akan selamat atau mati karena pada rumah sakit ini dikepalai oleh satu orang dokter saja, dan beberapa mantri yang membantunya. Dokter itu memiliki dendam pribadi yaitu dikarenakan ayahnya yang bernama Bong Seng mati dibunuh oleh orang Solo di Yogyakarta pada masa perang Diponegoro. Oleh sebab itu setiap pasien selalu menyembunyikan identitasnya, jika ia orang Solo agar terlepas dari maut atau kematian.

23


(47)

35

menjadi Rumah Sakit Sri Pamela. Hal lain yang mendorong perpindahan itu adalah sesuai dengan keberadaan rumah sakit untuk melayani kesehatan. Dimana rumah sakit Hospital Comite Tanjung kasau jauh dari jangkauan masyarakat umum. Demikian pula dengan pergantian nama dari Hospital Comite menjadi Sri Pamela untuk menghilangkan penilaian buruk.

Pada masa perang kemerdekaan bangunan ini dikosongkan bahkan menakutkan bagi rakyatkarena banyaknya orang-orang yang meninggal. Hal lain yang menyebabkan kekosongan itu adalah karena indonesia masih dalam keadaan perang fisik yaitu perang kemerdekaan sehingga keberadaan bangunan ini tidak terfungsikan. Begitu pula pihak Belanda tidak dapat memanfaatkannya karena takut akan serbuan yang dilakukan kaum republik.

Pada tahun 1948 bangunan ini diambil alih oleh negara dan dijadikan sebagai tempat pelatihan para kadet polisi negara yang saat ini disebut Sekolah Polisi Negara (SPN). SPN memakai bangunan ini hingga meletusnya G 30 S/PKI 1965. SPN akhirnya dipindahkan ke Sampali hingga pada saat ini. Sementara bangunan bekas SPN di Tanjung Kasau dijadikan sebagai Tapol PKI Kamp Konsentrasi B tahun 1965-1978. Pada tahun 1978 bangunan ini dirubuhkan dan dijadikan sebagai bagian dari perusahaan perkebunan yang dikelolah oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) hingga saat ini.


(48)

36

BAB III

KEBERADAAN TPU TANJUNG KASAU SEBAGAI TEMPAT TAPOL PKI

3.1 Pemberontakan PKI 1965

Meletusnya Partai Komunis Indonesia (PKI) atau lebih dikenal dengan Gerakan 30 September (G 30 S/PKI) tidak berjalan mulus dengan apa yang direncanakan mereka. G 30 S/PKI hanya berlangsung satu hari. Tepatnya tanggal 1 Oktober 1965 kegiatan G 30 S/PKI itu terhenti. Kalaupun ada merupakan riak atau akibat dari kegiatan yang telah mereka rencanakan sebelumnya. Tokoh-tokoh PKI yang berhasil melarikan diri dan tokoh-tokohPKI di berbagai daerah turut serta menindaklanjuti gerakan 30 September itu sebagai upaya mempertahankan diri dari serangan balik dari lawan-lawan politinya seperti angkatan darat, tokoh-tokoh agama/ulama serta ormas-ormas yang tidak sepaham dengan PKI.

Namun demikian akibat dari pada gerakan itu sangat menggelegar dan bergemuruh bukan saja di Indonesia tetapi juga sampai ke berbagai negara lain di belahan dunia. Di berbagai negara muncul bermacam-macam penilaian dan

penafsiran tentang peristiwa tersebut.24

Dengan menangkap, menganiaya dan membunuh ke tujuh tokoh Angkatan Darat yaitu Ahmad Yani, Donald Ifak Panjaitan, M.T. Haryono, Piere Tendean, Peristiwa G 30 S/PKI yang dimotori oleh orang-orang PKI berupaya melakukan pengambil alihan secara paksa kekuasaan negara (pemerintah), merubah haluan politik Indonesia dan menganut paham komunis.

24


(49)

37

Siswono Parman, Suprapto dan Sutoyo Siswomiharjo, tokoh-tokoh PKI memulai aksinya. Keberhasilan mereka menangkap, menganiaya dan membunuh ke tujuh pembesar Angkatan Darat itu cukup mencengangkan. Hal ini disebabkan karena tokoh-tokoh tersebut berada di dalam asrama dan dalam pengawalan yang ketat. Keadaan ini membuat suasana dalam tataran pemerintahan dan politik menjadi gamang. Keberhasilan Soeharto dengan melakukan Gerakan 1 Oktober menjadikan kondisi negara sedikit lebih stabil. Dikatakan demikian karena keberhasilan Soeharto dalam menumpas Gerakan 30 September itu menjadikan sistim pemerintahan memiliki kepastian hukum. Keberhasilan ini pulalah menjadi awal kegagalan tokoh-tokoh PKI untuk merebut kekuasaan, merubah haluan politik dan paham idiologi yang diembannya.Bila ditelusuri lebih jauh, maka kegagalan tokoh-tokoh PKI itu untuk merebut kekuasaan adalah disebabkan kelemahan sistem birokrasi, tata organisasi, sistem informasi, dan adanya sifat ambisi, serta penerapan idiologi yang

terlalu ekstrim.25

Kelemahan sistem birokrasi, tata organisasi, dan sistem infomasi jelas terlihat dalam setiap konsolidasi yang dilaksanakan oleh PKI. Seorang Letnan Kolonel dapat memimpin seorang Kolonel dan pangkat di atasnya. Selanjutnya pengaturan yang tidak begitu jelas serta penyampaian berbagai informasi dapat berubah sewaktu-waktu. Pengaturan yang tidak begitu jelas serta penyampaian berbagai informasi yang berubah-ubah menjadikan aturan-aturan itu tidak memiliki ketetapan dan kepastian. Hal ini menciptakan keraguan kepada anggot PKI dan Ormas Onderbouwnya. Apa

25

Meyjen. (Purn.) Samsudin, “Mengapa G 30 S/PKI Gagal?”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hal xxvi.


(50)

38

yang diungkapkan memberikan gambaran seolah-olah negara pada saat itu dalam keadaan darurat. Padahal bagi rakyat suasana ketenangan dan kesetabilan adalah merupakan tuntutan. Itulah yang menyebabkan ketika tokoh-tokoh PKI melakukan aksi kurang mendapat dukungan baik dari onderbow PKI tidak serta merta memberikan dukungan. Apalagi bagi tokoh-tokoh yang berseberangan dari haluan komunis.

Kelemahan sistim informasi terlihat ketika aksi dilaksanakan tidak seluruh anggota partai komunis serta ormas-ormas onderbownya mengetahui sehingga gerakan tidak dapat dilaksanakan secara serentak. Contoh ini dapat kita lihat dari dukungan orang-orang PKI dari berbagai daerah. Banyak yang tidak siap mendukung sepenuhnya, seperti di berbagai daerah. Di Kalimantan Selatan misalnya, pada tanggal 16 Desember 1965 untuk memenuhi tuntutan rakyat Kalimanatan Selatan, Penguasa Pelaksana Perang Daerah (Pepelrada) mengeluarkan keputusan bahwa PKI dan ormas-ormasnya dinyatakan bubar di seluruh Daerah Tingkat I Kalimantan

Selatan.26 Di Sumatera Barat, rencana gerakan gagal dilaksanakan sesudah mereka

mendengar pengumuman bahwa Jendral Soeharto berhasil menguasai keadaan. Para pimpinan pasukan ragu-ragu dan takut menggerakkan pasukannya, sedangkan

pimpinan PKI masing-masing berusaha untuk menyelamatkan diri27

26

Moerdiono, Op.cit., hal. 114.

27

Moerdiono, Loc.cit., hal. 113.

. Begitu juga dengan di Sumatera Utara, meskipun PKI telah merencanakan gerakan-gerakan di


(51)

39

Sumatera Utara, tetapi Gerakan 30 September yang dilaksanakan di Jakarta dengan

cepat dapat digagalkan, akhirnya tidak satupun gerakan dapat dilaksanakannya.28

Secara nyata pemberontakan PKI di Sumatera tidak lah ada. Penulis belum menemukan berbagai bukti-bukti maupun pernyataan-pernyataan tentang upaya pemberontakan itu. Yang terjadi adalah upaya makar, yaitu suatu tindakan semi pemberontakan yang dilakukan berdasarkan kebenaran menurut pribadi atau kelompoknya yang memiliki satu ide. Contoh ini dapat kita lihat dengan perebutan-perebutan lahan yang dilakukan oleh BTI yang menuntut hak lahan kepada mereka sesuai dengan pandangan (penilaian) bahwa mereka juga adalah warga negara

3.2 Pemberontakan PKI di Sumatera Utara

29

28

Moerdiono, Loc.cit., hal. 112.

29

Aco Manafe, “Teperpu Mengungkap Pengkhianat PKI Pada Tahun1965 dan Proses Hukum Bagi Para Pelakunya”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2008, hal 24.

. Apa yang mereka tuntut di satu sisi memilik kebenaran karena setiap rakyat berhak untuk memiliki, mengembangkan diri (mengembangkan potensi) sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasa 1945. Di sisi lain memiliki sebuah kesalahan karena apa yang mereka tuntut tanpa melalui prosedur yang dianggap sah oleh negara. Keberadaan negara bagi mereka dianggap pasif karena lebih banyak memberikan perlindungan terhadap apa yang mereka anggap sebagai golongan borjuis, kapitalisme dan imperialisme. Hal ini betentangan dengan paham komunis yang hanya membela kaum proletariat (manifesto komunis


(52)

40

1948).30

30

Crane Brinton (Terjemahan Samakto dan Pia Alisjahmana), “Pembentukan Pemikiran Modern”, Jakarta: Mutiara, 1981, hal. 300.

Secara samar tindakan PKI itu dapat dibenarkan karena orang-orang kaya itu dengan kemampuan ekonominya mampu membeli apa yang mereka inginkan, dapat mendekat kepada aparat negara dan selalu menjadi terkenal karena kekayaannya. Sementara masyarakat biasa dan orang miskin hampir tidak mendapatkan itu. Bahkan segala urusan orang kaya kepada pemerintah cenderung lebih mulus. Begitu pula dalam hal peradilan. Padahal perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan memiliki peranan yang sama. Hal inilah yang melahirkan kecemburuan di dalam masyarakat. Rakyat biasa, orang-orang miskin juga menginginkan hal seperti itu tetapi telah dimonopoli oleh orang-orang kaya. Oleh karena itu ketika ada organisasi yang mengakomodasi harapan itu maka banyaklah orang-orang miskin yang mengikutinya. Tindakan mereka kadang kala berada di luar hukum. Mereka menganggap apa yang mereka lakukan adalah benar sesuai dengan tuntutan hidup mereka. Itulah sebabnya tindakan mereka dianggap merupakan tindakan sepihakuntuk memperoleh apa yang mereka inginkan sehingga banyak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang belaku. Itulah sebabnya tindakan PKI atau aksi-aksi yang mereka lakukan merupakan tindakan sepihak. Mereka selalu mendeskreditkan pihak pemerintah dan orang-orang kaya dengan istilah neokolim. Untuk itu melalui pemerintah mereka bentuk kelompok anti neokolim.


(53)

41

Kurangnya informasi dan sosialisasi serta ketidak jelasan berbagai program Partai Komunis Indonesia (PKI) mengakibatkan apa yang diinginkan oleh tokoh-tokoh PKI tidak berjalan dengan baik. Pemberontakan G 30 S/PKI sebagai langkah untuk mencapai tujuan mereka dapat dikatakan gagal. Hal ini dapat kita lihat dari ketidaksiapan kader-kader Partai Komunis di berbagai daerah untuk menindak lanjuti G 30 S/PKI di Jakarta.

Di Medan misalnya konsolidasi terhadap para kader sudah dilaksanakan pada tanggal 25 September 1965, pertemuan diadakan dua kali, pertama pada petang sampai malam harinya dan yang kedua pada tengah malam. Dalam pertemuan pertama mereka menyusun personel Dewan Revolusi dan Grup Komando dan peertemuan ke dua mengesahkan susunan personel Dewan Revolusi dan Grup

Komando tersebut31. Kenyataannya ketika G 30 S/PKI meletus di Jakarta meletus, di

Medan tidak terjadi sesuatu apapun. Malah sebaliknya, dengan kejadian tragedi nasional G 30 S/PKI itu, para tokoh-tokoh pemuda, ormas-ormas dan pemimpin-pemimpin di Sumatera Utara umumnya, Medan khususnya yang selama ini kontra terhadap Partai Komunis Indonesia mengambil tindakan terlebih dahulu. Setelah menerima berita kudeta pada tanggal 1 Oktober 1965 Brigadir Jenderal Kemal Idris bertindak tanpa perintah, memerintahkan anak buahnya untuk membersihkan

komunis dalam radius lima kilometer dari markas mereka di Tebing Tinggi.32

Berdasarkan hasil wawancara, karangan para ahli, laporan berbagai kegiatan sekitar tahun 1965, tidak ditemukan jenis pemberontakan Partai Komunis Indonesia

31

Moerdiono, Op.Cit., hal 90

32

Julie Soujhwood dan Patrick Flanagan, “Teror Orde Baru Penyelewengan Hukum dan Propoganda 1965-1981”, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hal. 97.


(54)

42

di Sumatera Utara. Yang ada hanyalah tindakan-tindakan sepihak dari anggota PKI dan menciptakan berbagai keributan sehingga keamanan dan kenyamanan (stabilitas) terganggu.

Tindakan-tindakan sepihak PKI itu dapat kita lihat dari berbagai aksi-aksi mereka seperti peristiwa Bandar Betsi pada tanggal 14 Mei 1965. Aksi-aksi lain adalah sering melakukan kegiatan yang sifatnya banyak bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma adat maupun agama. Contohnya adalah kegiatan seni yang sering dilakukan oleh Lekra, onderbouw PKI. Mereka selalu melakukan pementasan seni dimana kegiatan pementasan itu banyak bertentangan dengan nilai-nilai, norma, adat,

dan agama.33

Kesemuanya tindakan atau aksi, sikap dan sifatyang mereka kembangkan menjadikan orang-orang PKI tidak disukai terutama bagi masyarakat biasa yang merdeka sebaliknya sikap ini disukai oleh masyarakat yang distrukturisasi misalnya orang perkebunan yang selalu terlatih menerima sikap arogansi dari pimpinannya. Dalam sikap dan sifat keseharian orang-orang yang sudah dikader oleh PKI cenderung keras kepala dan sombong, kurang mempertimbangkan aspek nilai-nilai sosial budaya yang berkembang. Sikap mereka ini muncul karena pemujaan berlebih terhadap ilmu yang diperolehnya dari kaderisasi. Sikap ini dirasakan terlalu optimistis dan percaya diri. Sebaliknya masyarakat biasa memiliki kepasrahan kepada nasib dan keyakinan terhadap Tuhan yang maha kuasa sebagai suatu kekuatan yang mutlak.

33


(55)

43

Namun karena PKI pada saat itu memegang peranan dalam negara dan pemerintahan menjadikan orang-orang PKI menjadi terlindungi (kebal hukum).

Selanjutnya tindakan orang-orang PKI yang terlalu kejam memperlakukan ke

tujuh pahlawan Revolusi melahirkan kemarahan rakyat,34

PKI sebagai sebuah partai besar sebelum meletusnya G 30 S/PKI memiliki berbagai organisasi pendukung. Organisasi-organisasi onderbouw ini didirikan, tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan status maupun profesi mereka dalam

sehingga keadaan terbalik. Artinya PKI yang belum melakukan pemberontakan malah ditumpas.

Kenyataan ini terjadi di Sumatera Utara. PKI yang tidak mekukan pemberontakan malah diserbu. Pos-pos yang dianggap sebagai basis PKI diserang. Orang-orang yang terindikasi masuk anggota PKI dan ormas onderbouwnya ditangkapi, dibunuh, disiksa, dan dipekerjakan dengan paksa. Khusus bagi wanita banyak dijadikan sebagai pemuas nafsu orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai anggota maupun ketua aksi. Pokoknya mereka yang berwenang pada saat itu dapat saja memperlakukan para tahanan sekehendak hatinya.

Dalam proses penangkapan dan penawanan ini lah terjadi berbagai tindakan kekerasan, kekejaman, amoral bahkan sampai pada pembantaian. Padahal banyak juga orang-orang yang teridikasi menjadi anggota PKI tidak memahami situasi dan kondisi yang berjalan.

3.4Penangkapan Dan Penahanan Anggota PKI dan Kader Onderbouwnya

34

Amminurasyid, “Bubarkan PKI dan Ormas-ormasnyanya (Tuntutan Tegas Umat Islam Sumatera Utara dalam Appel Akbar Tanggal 12-10-65)”, Medan: Panitia Apel Akbar Umat Islam SUMUT, 1965, hal.20.


(56)

44

mengisi dan mengartikan kemerdekaan. Kemerdekaan yang kita peroleh sejak 17 Agustus 1945 diwarnai dengan berbagai kepentingan.

Melalui organisasi itu mereka mengembangkan diri sesuai dengan status dan profesi masing-masing. Selain itu, dinamika perkembangan politik yang tidak menentu mengakibatkan masyarakat terutama golongan rakyat kecil sangat membutuhkan organisasi ini. Hal ini dikarenakan organisasi memiliki fungsi antara lain:

1. Untuk melekatkan silaturahmi; untuk mempererat kerja sama serta pusat

pengembangan diri

2. Sebagai media pendidikan dan penerangan; melalui organisasi ini mereka

mendapat berbagai informasi yang bermanfaat untuk mendukung hidup dan kehidupannya

3. Untuk menggaung/ menggemakan suara

4. Sebagai alat pertahanan kelompok.

Dinamika perkembangan politik yang dimaksud adalah setiap komponen bangsa tidak memiliki arah pandangan yang sama dalam merealisasikan arti kemerdekaan. Setiap perbedaan akan melahirkan kelompok sekaligus menjadi dasar kekuatan massa. Oleh karena itu kehadiran organisasi bagi mereka memberi jaminan untuk keamanan berekspresi maupun mengembangkan diri.

Bagi pejuang, keberhasilan melepaskan diri dari belenggu penjajahan sudah merupakan perolehan yang lebih dari cukup. Artinya, mereka tidak begitu berharap akan mendapatkan berbagai jabatan (posisi) dalam pemerintahan setelah Indonesia merdeka. Kalaupun jabatan itu diperoleh adalah karena keharusan berkat kemampuan


(57)

45

mereka dalam mengorganisasikan berbagai hal dalam konteks kehidupan berbangsa

dan bernegara.35

Setelah pengakuan kedaulatan, Republik Indonesia kembali ke negara kesatuan, pertentangan politik itu sangat tinggi. Pertarungan politik ini didasari atas penilaian atas arti kemerdekaan dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Banyak daerah-daerah secara idealis masih memperjuangkan sifat kedaerahan.

Bagi rakyat arti kemerdekaan itu tidak lebih adanya kemudahan-kemudahan dan mengembangkan diri baik itu bidang ekonomi, sosial maupun budaya. Hal ini sejalan sengan isi piagam PBB yaitu tentak Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara masalah politik kurang mendapat perhatian. Namun demikian rakyat itu selalu menyimak akan berbagai kecenderungan-kecenderungan yang terjadi baik itu secara lokal, nasional maupu n internasional.

Pada umumnya yang sering bergonjang-ganjing dalam politik adalah kalangan kelas menengah ke atas. Merekalah yang selalu memanfaatkan berbagai kelemahan dari pemerintah, kecenderungan polotik global dan lain-lain untuk kepentingan mereka. Dampaknya terjadilah ketidakstabilan yang akhirnya menyesengsarakan rakyat.

36

Konsep NKRI yang berdasarkan Pancasila mulai dipertanyakan bahkan

ada yang menganggap tidak perlu.37

35

Wawancara dengan Veteran, Bapak R Pane, Pada Tanggal 10 Mei 2013, di Tanjung Kasau.

36

Nugroho Notosusanto, “Sejarah Nasional Indonesia Jilid 5”, Jakarta: Gramedia, 2000, hal. 70.

37

C.S.T. Kansil, Op.cit., hal.110.

Ini berarti tujuan kemerdekaan NKRI semakin kabur. Dilain pihak politik global pun menyeret Indonesia ke dalam blok-blok.


(58)

46

Indonesia yang menganut politik bebas-aktif lebih condong kepada blok sosialis komunis. PKI sebagai partai yang memiliki kecenderungan memanfaatkan situasi tersebut.

Untuk memperkuat kedudukannya, PKI berusaha memasuki seluruh elemen-elemen di dalam negara baik itu sebagi aparatur negara maupunpihak swasta serta rakyat jelata. PKI mencoba mempengaruhi angkatan maupun rakyat jelata baik secara pribadi maupun kelompok.

Bagi pihak swasta, PKI memasuki berbagai perusahaan terutama perkebunan. Di dalam perkebunan, seluruh karyawan dianjurkan untuk memasuki partai PKI. Bagi yang tidak menjadi anggota diberi intimidasi akan dikeluarkan dari perkebunan. Tekanan ini sangat efektif sehingga hampir seluruh perkebunan di Sumatera Utara karyawannya memiliki haluan politik bernuansa komunis. Kepada rakyat biasa, PKI merekrut dan membentuk berbagai kekuatan dengan mendirikan berbagai organisasi

BTI, GERWANI, LEKRA, Pemuda Rakyat.38

BTI misalnya, secara tekordinir melakukan perampasan atas hak tanah (peristiwa Bandar Betsi). Memang cikal bakal terbentuknya BTI pun adalah untuk mendapatkan sebidang tanah dengan cara-cara PKI. Kepada anggota BTI banyak diberikan bantuan seperti cangkul, babat, sabit, dan alat pertanian lainnya dengan cara

Kepada berbagai organisasi ini PKI memberi perlindungan walau apa yang mereka lakukan banyak yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya. Bahkan berbagai organisasi ini dijadikan sebagai ujung tombak untuk melakukan berbagai tindakan didalam masyarakat yang mengatasnamakan keadilan dan kemajuan.

38


(59)

47

yang sangat mudah dengan mencatatkan nama, tandatangan (cap jempol) pada lembar

kertas kosong.39

BTI merasa nyaman dengan peberian-pemberian seperti itu, dimana ada kelompok tertentu dalam negara yang merasa perduli dengan kehidupan mereka. Kehidupan mereka yang dilanda kemiskinan merasa terbantu dan tersanjung. Seolah-olah apa yang diberikan itu merupakan imbal jeripayah mereka ketika masa

perjuangan fisik 40

Sementara itu ajaran kemajuan adalah kebebasan berbuat dan bertindak sesuai dengan pemahaman mereka denagan kemerdekaan. Kegiatan ini banyak dikembangkan oleh LEKRA. LEKRA memiliki pandangan bahwa ajaran kemajuan adalah ajaran kebebasan yang berdasarkan kepada moral. Kebaikan berdasarkan moralitas manusia sangat diukur kepada tingkat pengetahuan dan pemahaman manusia itu sendiri. Oleh karena itu, kebaikan, keburukan, dan kemajuan lebih bersifat dinamis, artinya dapat berubah bergantung kepada situasi, tempat dan pelakunya(karel marks).Sangat berbeda dengan ukuran agama dan kebudayaan kita yang lebih bersifat mengikat. Hal inilah yang mendorong LEKRA dalam aktifitasnya semakin menjauh dari tradisi lokal, adat ketimuran, maupun agama. LEKRA yang

. Kehidupan mereka banyak yang terlantar setelah selesai perjuangan fisik dimana banyak perkebunan yang melepaskan mereka sebagai karyawan karena pergolakan politik antara Indonesia dengan Belanda. Dalam ketidak pastian inilah muncul PKI memberi bantuan sehingga PKI dianggap sebagai ponolong. Bagi BTI inilah rasa-rasa keadilan.

39

Wawancara dengan Nenek Ibnu, Tanggal 5 Mei 2013, di Tanjung Kasau

40


(60)

48

bergerak dalam seni lebih terbuka untuk itu karena sangat sukar dijamah oleh hukum. Sementara kehadiran seni menjadi kecenderungan terutama di kalangan kaula muda.

Daya tarik yang sangat luar biasa membuat banyak rakyat secara tidak langsung memiliki kecenderungan untuk itu. Padahal mereka tidak mengerti skenario apa yang direncanakan oleh para petinggi PKI. Kondisi inilah yang dialami oleh para anggota PKI dan ormas-ormas onderbouwnya. Ketika 1 Oktober, G 30 S/PKI dapat dikendalikan oleh Soeharto, maka keberadaan PKI serta ormas-ormas pendukungnya menjadi goncang. Banyak di antara mereka yang tidak meyakini bahwa pelaku dari kekejaman pada G 30 S/PKI adalah PKI. Begitu pula kondisinya di Sumatera Utara, kegagalan G 30 S/PKI itu membuat orang- orang PKI dan ormas onderbouwnya merasa terjebak dan terancam. Namun demikian, kondisi itu ditanggapi dengan bermacam-macam oleh PKI di Sumatera Utara. Bagi yang memiliki kesadaran kesalahan menerima akan akibat, tetapi tetap mempertanyakan antara prilaku individu di dalam PKI maupun PKI yang memiliki tujuan. Akhirnya mereka ditangkap dan ditawan kemudian selanjutnya dimasukkan ke dalam tahanan politik (tapol) setelah lebih dahulu di tentukan kedudukannya sebagai anggota PKI dan kemudian menggolongkannya.


(1)

Gambar 3: Tungku Masak yang terdiri dari 6 (Tampak Atas), merupakan alat masak yang digunakan oleh juru masak Tapol untuk para Tapol. Tungku ini terdiri dari enam lubang.

Gambar 4: Tungku Masak (Tampak Samping), yang merupakan tempat solar atau bahan bakar untuk memasak.


(2)

Gambar 5: Patok (Batas Wilayah Tapol PKI Kamp Konsentrasi B).

Gambar 6 : Sumur Yang Telah Ditutup Di Wilayah Tapol PKI Kamp Konsentrasi B, yang dulunya diguankan oleh Tapol untuk mandi dan kepentingan lainnya.


(3)

Gambar 7 : Pintu Masuk Ke Terowongan Bawah Tanah, yang dahulunya terowongan ini digunakan untuk penyimpanan mayat yang meninggal.


(4)

(5)

PETA DESA PERKEBUNAN TANJUNG KASAU

Keterangan:

Peta Desa Perkebunan Tanjung Kasau Tahun 2010.

Sumber: Kantor Kepala Desa Perkebunan Tanjung Kasau, Bapak H. Indra Syahrul, S.PdI


(6)

DENAH LOKASI BANGUNAN TAPOL PKI KAMP KONSENTRASI B TANJUNG KASAU

Denah dibuat pada tanggal 20 Bulan Juli, yang di buat berdasarkan keterangan Bapak Ngadineming.