Perlakuan Terhadap Para Tapol Kamp Konsentrasi B di Tanjung Kasau

56 hidup. Sementara untuk Golongan B “dipisahkan” dari masyarakat dengan mengumpulkan mereka di suatu tempat. Mereka “diamankan” dari kemarahan rakyat dan mencegah jangan sampai melakukan kegiatan yang meghambat upaya penertiban yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu tujuan pengamanan adalah agar mereka tidak mengembangkan misi PKI di tengah-tengah masyarakat serta menghilangkan data atau bukti keterlibatan orang lain. Sedangkan Golongan C “hanya” diberi bimbingan dan dibiarkan bebas hidup dalam masyarakat, setelah ditahan selama beberapa waktu dalam proses pengkarifikasian data mereka. Demikian lah pengklasifikasian terhadap para tapol. Untuk Sumatera Utara, Tapol golongan A di Suka Mulia, tapol golongan B di Tanjung Kasau, tapol golongan C di Kodam II Bukit Barisan.

4.2 Perlakuan Terhadap Para Tapol Kamp Konsentrasi B di Tanjung Kasau

Setelah mereka ditangkap dan diklasifikasikan, maka mereka ditempatkan di kamp-kamp masing-masing Tapol golongan A di Suka Mulia, tapol golongan B di Tanjung Kasau dan tapol golongan C di Kodam II Bukit Barisan. Di kamp-kamp masing-masing mereka diberlakukan sesuai dengan klasifikasi masing-masing. Tanjung Kasau merupakan kamp konsentrasi golongan B. Sesuai dengan golongannya mereka menjalani kegiatan berdasarkan prosedur dan rutinitas yang seharusnya dilalui dan dilaksanakan tapol golongan B. Kegiatan prosedur yang kita maksud adalah setiap para tapol menjalani proses persidangan sesuai dengan kapasitasnya sebagai anggota PKI. Persidangan ini lah salah satu dasar pemindahan klasifikasi mereka apakah tetap di golongan B atau pindah ke golongan A atau C. Hal 57 ini dilakukan selain melihat keinsyafan mereka tentang bernegara, tentang perkembangan prilakunya, juga karena terlalu padatnya kamp. Sedangkan kegiatan rutinitas adalah aturan kehidupan di kamp yang telah memiliki jadwal-jadwal tertentu dimana para tapol tidak boleh melanggarnya. Kegiatan ini sangat jauh dari kebiasaan- kebiasaan hidup mereka yang bebas dalam arti sesungguhnya bebas lahir dan batin. Sedangkan setelah di tahanan, kehidupan mereka penuh dengan peraturan yang serba mengekang sehingga tidak mampu mengembangkan diri. Ini mengakibatkan adanya tekanan psikologis terhadap para tapol. Kegiatan rutinitas itu diawali dengan bangun pagi pukul 04.00 dan shalat subuh bagi yang beragama islam. Dilanjutkan dengan senam serta apel pagi pukul 05.00 sampai pukul 06.00, kemudian dilanjutkan dengan mandi dan sarapan hingga pukul 07.00. Pada saat mandi , aktivitas dilakukan secara bersama-sama dalam satu kamar mandi yang cukup luas. Selanjutnya para tapol melakukan pekerjaan sesuai bidang di unit masing-masing. seperti unit kerja kesehatan,pertanian, peternakan, pembatikan, penjahitan dan kerajinan. Pembagian ke dalam unit kerja produksi didasarkan pada keahlian dan keterampilan masing-masing para tapol. Kemudian makan siang dilaksanakan pada pukul 12.00 hingga pukul 13.00, kemudian lanjut bekerja hingga pukul 16.00. untuk mengisi waktu luang setelah bekerja, para tapol dapat juga melakukan berbagai jenis olahraga seperti bulu tangkis, voli, tenis meja dan lain-lain. Kemudian ditutup dengan apel malam. 51 Hal yang sama terjadi secara nasional termasuk di Tanjung Kasau.Pembagian unit kerja dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin, yaitu laki-laki pada umumnya mengerjakan perkerjaan-pekerjaan keras terutama pembukaan-pembukaan lahan, 51 Lestari Ningsih, Op.cit.,hal. 85. 58 pembukaan perkebunan, pertanian dan bangunan. Sedangkan perempuan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih ringan seperti pekerjaan rumah tangga, pertanian, menjahit, munyulam dan lain-lain. Kedua kelompok ini diklasifikasikan juga berdasarkan tingkat keahlian dan berdasarkan tingkat usia. Bagi mereka yang sudah berusia lanjut, pada umumnya bersifat lebih ringan. Bagi mereka yang sudah berusia lanjut umumnya dipekerjakan sebagai pekerja taman di rumah komandan kamp. Sedangkan yang lebih muda banyak dikerjakan secara paksa. 52 Daerah kerja paksa di Sumatera Utara yang menggunakan orang orang tahanan dari kamp konsentrasi B Tanjung Kasau tahun 1966 sampai dengan tahun 1976 terdapat pada perkebunan Nagaraja, perkebunan Sarang Ginting, perkebunan Mendaris, perkebunan Laut Tador, Perkebunan Rambutan, perkebunan Cina Kasih, perkebunan Sukaluwe, perkebunan Delimuda, perkebunan Bang Abing, perkebunan Siberau, perkebunan Melati dan di kampung Rawang dalam pembuatan Kodam II Bukit Barisan Kab. Asahan. 53 Di perkebunan Rambutan, kerja paksa dikawal oleh empat orang pengawal dari kodim-0201Tebing Tinggi, sembilan orang pengawal dari Buterpera Tebing Tinggi, dan memakai 6 orang mandur yang diambil dari tahanan Tanjung Kasau sesama tahanan serta menggunakan 69 tahanan politik Tanjung Kasau yang dikerja paksakan dari tahun 1966 sampai 1969 selama tiga tahun di perkebunan Rambutan. 54 52 Wawancara dengan Bapak Tambono, Pada Tanggal 15 Juni 2013, di Tanjung Kasau. 53 Dokumen Ngadimin, Op.cit., 54 Dokumen Ngadimin, Op.cit., 59 Di perkebunan Laut Tador, kerja paksa memiliki pengawas di bawah seorang anemer yaitu Buyung Hasibuan, dan dengan tiga pengawas yang ditugaskan untuk mengawasi 38 tahanan yang bekerja di perkebunan Laut Tador. Yang pekerjakan dari tahun 1970 sampai 1971. 55 Padaperkebunan Naga Raja Kab. Simalungun, kerja paksa di bawah seorang anemer yang bernama Tan Sukai. Tan Sukai dibantu 9orang pengawas dari veteran yang ditugaskan untuk mengawasi 35 orang tahanan. Mereka dipekerjakan pada tahun 1969. 56 1. Dari pihak militer ada 10 orang anggota TNI yang di siksa sampai cacat seumur hidup, bahkan mati. Perlakuan lain yang sangat menyedihkan adalah perlakuan terhadap wanita dimana banyak wanita-wanita yang diperkosa sampai melahirkan anak di luar nikah. Selain diperkosa, banyak pula wanita-wanita yang hilang. Hal ini meninggalkan duka teramat dalam di dalam keluarga. Selain dari masyarakat biasa yang terlibat seperti di atas terdapat pula dari berbagai instansi baik pemerintah maupun pihak swasta. Sampai saat ini data-data yang baru diperoleh mereka yang terlibat, terindikasi dalam G 30 SPKI adalah sebagai berikut: 2. Dari Pegawai Negeri Sipil PNS terdapat 3 orang 3. Dari karyawan Perusahaan Negara Kereta Api PNKA sebanyak 12 orang 4. Dari karyawan BUMN PLN sebanyak 4 orang 55 Dokumen Ngadimin, Loc.cit., 56 Dokumen Ngadimin, Loc.cit., 60 5. Dari dinas Pekerjaan Umum PU sebanyak 3 orang 6. Dari BUMN PN II sebanyak 4 orang Untuk memenuhi kebutuhan skunder seperti baju dan makanan ringan mereka, maka para tapol diperjakan secara paksa dan mendapat imbalan upah yang rendah. Pendapatan itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan kualitas atau nilai yang paling rendah seperti rokok dan makanan ringan lainnya. Begitu pula kepada para pengerajin dan para petani kecil di sekitar kamp, mereka mendapatkan uang dari hasil penjualan hasil-hasil kerajinan dan pertaniannya. Mereka diberi peluang seperti itu karena mereka sudah lebih dahulu membayar kepada pihak kamp sehingga mereka mendapat keringanan untuk tidak ikut kerja paksa. Mereka yang bekerja sebagai pengerajin dan petani di sekitar kamp lebih untung, karena dengan hasil pekerjaan mereka itu pula mereka dapat mengirimkan uang ke pihak keluarganya masing-masing. 4.3Derita Para Tapol. Sekilas kita mengamati apa yang terjadi bagi para Tapol golongan B di Tanjung Kasau sebagai akibat G 30 SPKI adalah suatu hal yang biasa. Kepada para Tapol, karena bersalah mereka di tangkap, di klasifikasi dan di masukkan ke dalam kamp konsentrasi masing-masing. Di dalam kamp mereka melaksanakan kegiatan rutinitas sesuai dengan program kegiatan yang telah disusun berdasarkan prosedur yang diagendakan oleh pemerintah. Masyarakat awam pun melihat kehidupan pata Tapol tidaklah terlalu menyakitkan. Karena apa yang mereka alami adalah merupakan hal yang wajar sebagai pengkhianat negara. Sehingga derita para tapol tidak 61 terungkap. Jika ada ungkapan tentang “derita” dari para tapol dan keluarga tapol dianggap masyarakat sebagai dramatisir belaka. Tetapi tidak demikian, apabila kita telusuri lebih mendalam serangkaian derita yang mereka alami justru sangat jauh dari berprikemanusiaan. Padahal sebagai warga negara bangsa kita berlandaskan pada palsafah Pancasila yang salah satu silanya adalah “Kemanusiaan yang adil dan beradab” atau “prikemanusiaan”. Untuk mengetahui lebih jauh derita para tapol, khusunya tapol golongan B maka perlu ditelusuri bagaimana perlakuan terhadap mereka sejak dari awal penangkapan hingga dibebaskan pada tahun 1978. Begitu pula dengan kapasitas setiap orang yang terindikasi menjadi anggota PKI dan onderbouwnya belum tentu sesuai dengan ukuran para komando aksi. Seseorang yang hanya ikut-ikutan ternyata sudah dianggap sebagai dalang atau tokoh PKI maka ketika dilakukan penangkapan sesorang tersebut melakukan perlawanan karena tidak sesuai dengan hal-hal yang dituduhkan kepadanya. Atas perlawanan ini para komando aksi maupun anggotanya menganggap ini adalah perlawanan sehingga seseorang itu pun terbunuh. Keadaan-keadaan seperti ini banyak terjadi di Indonesia umumnya dan di Sumatera Utara khususnya. Terlebih-lebih kepada masyarakat yang jauh di pedalaman sehingga sukar mendapat informasi. Keselamatan orang-orang di pedalaman kebanyakan karena kuatnya peranan agama, adat dan sistem sosial. Sementara di daerah yang nilai keagamaannya rendah justru keadaan seperti yang diatas sering terjadi. 62 Hiruk-pikuk, gregetnya situasi politik dan keamanan pada saat itu memungkinkan suasana seperti di atas terjadi karena Indonesia yang heterogen baik dari segi etnis, agama, bahasa, budaya maupun sifat kedaerahan masih menonjol. Para tapol ditangkap tanpa prosedur yang jelas dan selanjutnya di bawa ke TPS. Dalam proses penangkapan menuju penahanan ternyata mereka banyak yang hilang. Berdasarkan wawancara yang dilakukan diperoleh informasi bahwa banyak para tawanan itu yang dibunuh. Mereka banyak terbunuh dan di tinggalkan. Pada umumnya mereka di hanyutkan ke sungai-sungai dan berita kematiannya pun tidak sampai ke pihak keluarganya. Tidak adanya kabar ini meninggalkan rasa khawatir yang sangat mendalam di pihak keluarga. Selain itu muncul pula rasa ketakutan yang berkepanjangan. Derita ini sangat mendalam sehingga pihak keluarga yang ditinggalkan pun banyak yang merasa putus asa. Dari proses penangkapan ini, penderitaan yang dialami dapat kita lihat antara lain berapa orang yang menjadi jandaduda, berapa orang yang menjadi yatimpiatu, berapa orang orang tua yang kehilangan putraputrinya kesemuanya itu tidak pernah terukur oleh negara bahkan pemerintah memberikan tekanan psikologis kepada pihak keluarga sehingga tidak mampu mengembangkan diri. Bahkan banyak hartanya yang dirampas. Sementara anak para tapol yang diindikasikan PKI ikut merasakan penderitaan karena tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri. Atas perlakuan tersebut jelas rasa- rasa kemanusiaan tidak ada sama sekali. Selanjutnya ketika mereka berada di TPS-TPS mereka diperlakukan tidak lebih dari segerombolan domba yang dikandangkan. Mereka diarak kesana-kemari sesuai dengan tuntutan para pelaku aksi. Mereka mendapat perlakuan dengan 63 tindakan yang sangat kejam. Mulai dari tingkat penghinaansampai tingkat penyiksaan bahkan ada yang terbunuh. Seolah-olah mereka manusia yang tak berarti dan tak berjasa. Lain lagi sarana dan prasarana yang tidak mendukung di TPS, mulai dari pemanfaatan kamar mandi sampai kepada makanan yang tidak mencukupi. Semua yang terjadi itu adalah diluar dari kebiasaan mereka. Perubahan pola hidup seperti ini secara tidak sadar merupakan siksaan batin yang tak ternilai. Bagi mereka yang terindikasi sebagai orang-orang PKI dan onderbouwnya mungkin menganggap itu sebagai resiko dari perjuangan mereka. Setidaknya dengan adanya pandangan seperti itu, mereka sedikit terhibur. Sebaliknya, bagi mereka yang salah tangkap atau mereka yang tidak menyadari digolongkan sebagai anggota onderbouw PKI, keeadaan ini sangat memilukan. Karena apa yang terjadi adalah diluar perkiraan mereka. Selain itu banyak lagi penderitaan yang mereka rasakan antara lain keterbatasan untuk menjalankan ibadah sampai pada ketidak pastian nasib mereka. Dalam proses pengklasifikasian pun mereka mengalami penderitaan. Mereka juga diperlakukan tidak manusiawi. Juru periksa memperlakukan sangat kejam, hanya untuk mendapatkan status di dalam keterkaitannya dengan PKI. Mereka di bentak, dimaki, dipukul, ditujang, bahkan ada yang sampai tidak sadarkandiri. Penderitaan ini menimbulkan traumatik terhadap para tapol. Pemeriksaan dan tidakan ini terjadi secara berulang-ulang dan sesuai dengan tingkatannya dalam organisasi. Untuk memberikan informasi pun mereka mengalami derita yang sama. sementara para juru periksa kelihatannya tidak pernah berterima kasih. Padahal itu adalah tugas juru periksa. 64 Setelah mereka diklasifikasikan sesuai dengan golongannya, mereka di tempatkan di TPU yang diperuntukkan untuk golongan masing-masing. Di TPU masing-masing penderitaan yang sama terulang kembali namun sudah disetarakan sesuai dengan golongannya masing-masing. Bila di TPS, bentuk penderitaan dan tekanan yang mereka peroleh sifatnya tidak terduga tetapi setelah di TPU bentuk penderitaan dan tekanan sudah terstruktur. Terstrukturnya tekanan-tekanan ini berjalan sesuai dengan program-program yang telah disusun oleh TPU masing- masing. Apabila tidak terdapat kesalahan, maka kegiatan mereka setiap individu sesuai dengan program di atas. Permasalahannya apabila terdapat kesalahan dari setiap individu baik sengaja maupun tidak akan mendapat penyiksaan baru. Jelas ini akan menambah derita. Secara terstruktur kegiatan-kegiatan para tapol di TPU sudah diungkap pada bab sebelumnya. Disana terungkap serangkaian rutinitas, tanpa memperhatikan derita dibalik rutinitas itu. Dari hasil wawancara yang dilakukan ternyata banyak derita yang tak terungkap. 57 57 Wawancara dengan Ibu Kamsih, pada tanggal 12 Mei 2013. Bagi mereka yang bekerja dalam TPU kelihantannya sedikit lebih nyaman tetapi tanpa diketahui posisi mereka. Mereka diperbolehkan bekerja di TPU karena sudah membayar kepada pihak kampTPU. Tetepi apabila ada tamu yang datang mengunjungi kamp mereka di siksa, seolah-olah menunjukkan kepada tamu bagaimana sakitnya di dalam kamp. Harapannya tamu pun akan meyiarkan derita ini keluar sebagai shock therapy kepada masyarakat lain. Anehnya di lingkungan luar kamp menganggap itu adalah hal yang wajar. 65 Bagi para tapol yang bekerja di luar kamp yang di pekerjakan di berbagai tempat antara lain di perkebunan, pembangunan, persawahan maupun di rumah- rumah kepala kamp mereka diperlakukan bagaikan budak. Mereka bekerja dengan kontrak waktu yan demikian ketat dengan asupan pangan yang sangat rendah. Hal ini mengakibatkan banyak para pekerja yang sakit, kelaparan hingga mati. Sementara itu apabila ada kelengahan apalagi kesalahan maka para tapol ini akan mendapat perlakuan yang sangat sadis. Mereka ditunjang, dipukul, dan dicambuk oleh kepala mandur atau pengawas yang ditugaskan di tempat mereka dipekerjakan. Tindakan kekerasan itu kadang kala disaksikan oleh komando operasional lapangan tanpa memberikan larangan atau perlindungan terhadap para pekerja tapol. Kejadian itu seperti hiburan bagi para mandor dan kepala oprasional lapangan. Perlakuan ini jelas sangat bertentangan dengan hati nurani sebagai sesama anak bangsa. Khusus kepada para wanita, selain mendapat perlakuan seperti di atas, mendapat perlakuan lain yaitu apabila dibutuhkan mereka dijadikan sebagai pemuas nafsu. Baik kepada para petugas kamp maupun tamu yang berhubungan dengan kamp. Para wanita itu terpaksa memberikan pelayanan. Apabila menolak maka mereka akan mendapat siksaan. Sementara itu derita para tapol sebagai dampak G 30 SPKI itu bukan hanya yang mereka alami. Banyak keluarga para tapol menjadi teriksa. Hanya untuk meringan kan beban derita mereka mulai dari penangkapan sampai ke dalam kamp konsentrasi, istri-istri mereka pun menjadi korban. Tidak jarang istri korban jadi langganan pemuas nafsu para petugas tapol dengan alasan meringankan derita suaminya. Yang lebih menyedihkan adalah apa yang dialami istrinya, diketahui oleh 66 suami di dalam tahanan. Namun untuk mengutarakan rasa sakit hati pun tidak mampu, apa lagi mengadu. Selanjutnya banyak pula istri tapol, ketika mereka dalam penjara menikah dengan lelaki lain. Sehingga muncul rasa kecewa yang sangat mendalam. Keteka mereka terbebas, tak ada jalan untuk kembali. Selain itu berita tentang hak aktif sebagai warga negara telah dicabut yaitu para anak dan keturunannya tidak dapat menjadi aparatur negara baik sebagai pegawai negeri maupun angkatan. Berita ini sampai kepada mereka di kamp sehingga rasa prustrasi semakin mendalam. Sebagai ayah atau ibu mereka berharap ingin menitipkan yang terbaik kepada putra-putrinya. Tetapi kenyataan lain, mereka yang diindikasikan terlibat G 30 SPKI menjadikan harapan anak-anaknya pupus atau sirna. Sementara itu banyak pula diantara para tahanan yang harta kekayaannya tanah diambil oleh para petugas kamp dan mereka yang mengatas namakan petugas kamp. Ketika mereka di dalam tahanan lahan-lahan mereka banyak yang terlantar. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para petugas untuk menguasainya. Penguasaan lahan ini dipermudah karena bayak surat-surat tanah tersebut tidak sesuai dengan prosedur hukum. Selain itu ada pula yang merelakan tanahnya asal proses tahanannya di permudah atau diringankan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, mengenai perebutan tanah tersebut ada 111 buah kasus. Demikian perlakuan yang diterima oleh para tapol golongan B di Tanjung Kasau sehingga menciptakan suatu derita yang tidak berkesudahan. 67 Demikian lah penderitaan para tapol di dalam kamp konsentrasi B di Tanjung Kasau. Derita ini berlangsung secara terus menerus sejak mereka di tawan hingga proses pelepasan pada tahun 1978.

4.4 Pandangan Masyarakat Terhadap Para Tapol di Kamp Konsentrasi BTanjung Kasau