income groups vote mainly for parties of the left, while the higher-income groups vote mainly for parties of the right”.
Afan Gaffar menunjukkan bahwa pengaruh kelas dalam perilaku memilih di Indonesia tidak begitu dominan. Tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku
pemilih antara mereka yang masuk katagori orang kaya ataupun orang miskin, antara yang memiliki tanah luas dan sedikit, antara yang memilki pekerjaan
sebagai pedagang dengan buruh tani, dan sebagainya Afan Gaffar : 1992. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat perilaku masyarakat
dalam sutau pemilu seperti yang diuraikan dibawah ini.
2. Pendekatan Psikologis
Jika pendekatan sosiologis berkembang di Amerika Serikat berasal dari Eropa Barat, pendekatan psikologis merupakan fenomena Amerika Serikat karena
dikembangkan sepenuhnya di Amerika Serikat melalui Survey Research Centre di universitas Michigan. Pelopor utama pendekatan ini adalah seorang ilmuan besar
August Campbell Firmanzah : 2008. Munculnya mazhab ini merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka
terhadap pendekatan sosiologis yang dianggap secara metodologis sulit di ukur, seperti bagaimana mengukur secara tempat jumlah indikator kelas sosial, tingkat
pendidikan, agama dan terus sebagainya. Apalagi pendekatan sosiologi umumnya hanya sebatas menggambarkan dukungan suatu kelompok tertentu pada suatu
partai politik, tidak sampai pada penjelasan mengapa suatu kelompok tertentu memilih atau mendukung suatu partai politik tertentu, sementara yang lain tidak.
Di samping itu, secara materi patut dipersoalkan apakah benar variabel-variabel
Universitas Sumatera Utara
sosiologi seperti status sosial ekonomi-keluarga, kelompok-kelompok primer ataupun sekunder, itu yang memberikan urutan pada perilaku pemilih. Tidakkah
variabel-variabel itu dapat dihubungkan dengan perilaku memilih kalau ada sosialisasi. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini, sosialisasilah sebenarnya
yang menentukan perilaku pemilih seseorang, bukan karakteristik sosiologis. Seperti namanya, pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan
konsep psikologis-terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku pemilih. Menurut pendekatan ini para pemilih di Amerika Serikat
menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologi yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi yang mereka terima. Sosialisasi
politik yang mereka terima seseorang pada masa kecil baik dilingkungan keluarga maupun pertemanan dan sekolah misalnya, sangat mempengaruhi
pilihan politik mereka, khususnya pada saat pertama kali menentukan pilihan politik.
Mengapa pendekatan psikologis menganggap sikap merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih seseorang? Hal ini disebabkan oleh
fungsi sikap itu sendiri, yang menurut Greenstein mempunyai tiga fungsi, pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap suatu
obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang bersikap
tertentu merupakan akibat dari keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang disegani atau kelompok panutan. Ketiga, sikap merupakan
fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud
Universitas Sumatera Utara
mekanisme pertahanan diri defence mechanism dan eksternalisasi diri seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi dan identifikasi.
Namun sikap bukanlah suatu yang bersifat asal jadi, tetapi terbentuk melalui proses yang panjang. Mulai baru lahir sampai dewasa. Pada tahap pertama
informasi pembentukan sikap berkembang pada masa anak-anak. Anak-anak mulai mempersonifikasikan politik. Fase ini merupakan proses belajar keluarga.
Anak-anak belajar pada orang tuanya bagaimana perasaan mereka terhadap pimpinan-pimpinan politik, bagaimana orang tua mereka menangkap isu-isu
politik dan sebaginya. Tahap kedua adalah bagaimana sikap politik dibentuk pada saat menginjak dewasa ketika menghadapi situasi diluar keluarga, seperti
disekolah, kelompokteman sebaya dan sebagainya. Tahap yang ketiga adalah nantinya bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-kelompok acuan seperti
pekerjaan, mesjid atau gereja, partai politik, dan asosiasi-asosiasi yang lain. Melalui proses sosialisasi inilah kemudian berkembang ikatan psikologis
yang kuat antara seseorang dengan organisasi kemasyarakatan atau partai politik yang berupa simpati terhadap partai politik. Bagi penganut pendekatan ini, konsep
identifikasi partai dijadikan variabel sentral untuk menjelaskan perilaku memilih seseorang.
Pendekatan ini menggunakan konsep psikologi terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku pemilih. Variabel-variabel itu tidak dapat
dihubungan dengan perilaku pemilih kalau ada proses sosialisasinya. Oleh karena itu menurut pendekatan ini sosialisasilah sebenarnya yang menetukan perilaku
politik seseorang. Oleh karena itu pilihan seseorang anak yang telah melalui tahap sosialisasi politik tidak jarang sama dengan pilihan politik orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu
dan orientasi kepada kandidat.
3. Pendekatan Rasional