atau kandidat X ataukah partai atau kandidat Y. Persoalan memilih dan tidak memilih merupakan hak seorang warga negara. Di Indonesia hak memilih dikenal
dengan hak pilih aktif yakni hak yang dimiliki seseorang untuk ikut dalam memberikan suara pada saat pemilihan umum. Memilih dan tidak memilih juga
dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik sepanjang kegiatan itu dilakukan secara sadar.
Perilaku pemilih dapat dianalisis dengan tiga pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis sebenarnya berasal dari Eropa, kemudian di Amerika serikat dikembangkan oleh para ilmuan sosial yang mempunyai latar
belakang pendidikan Eropa. Karena itu, Flanagan menyebutnya sebagai model sosiologi politik Eropa. David Denver, ketika menggunakan pendekatan ini untuk
menjelaskan perilaku memilih masyarakat Inggris, menyebut model ini sebagai social determinism approach.
Pendekatan ini sebenarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup
signifikan dalam menentukan perilaku pemilih seseorang. Karakteristik sosial Seperti pekerjaan, pendidikan dan sebagainya dan karakteristik latar belakang
sosiologis seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur dan sebagainya merupakan faktor penting dalam menentukan pilihan politik. Singkatnya,
pengelompokan sosial seperti umur, jenis kelamin, agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk
pengelompokan sosial baik secara organisasi profesi okupasi dan sebagainya,
Universitas Sumatera Utara
maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan atau kelompok- kelompok kecil lainnya, merupakan sesuatu yang sangat vital didalam memahami
perilaku pemilih seseorang, karena kelompok-kelompok inilah yang mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Dean
Jaros 1974 ketika mencoba menghubungkan antara keanggotaan dalam suatu kelompok dengan perilaku pemilih seseorang menyederhanakan pengelompokan
sosial itu kedalam tiga kelompok, yakni kelompok primer, sekunder, dan kategori. Gerald Pomper 1978 memperinci pengaruh pengelompokan sosial dalam
studi voting behavior kedalam dua variable, yakni variabel predisposisi sosial- ekonomi keluarga pemilih dan predisposisi sosial-ekonomi pemilih. Menurutnya,
predisposisi sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan perilaku pemilih seseorang. Preferensi-preferensi
politik keluarga, apakah preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak. Predisposisi sosial-ekonomi ini bisa
berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis, dan semacamnya.
Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih misalnya, tampak pada penelitian Lipset 1988. Di beberapa negara dimana partai tidak mempunyai
batas yang jelas dengan agama, kelompok minoritas di bidang ekonomi, politik ataupun diskriminan-diskriminan tertentu, cendrung untuk memilih partai yang
berpaham liberal atau partai berhaluan kiri, sementara kelompok mayoritas cenderung untuk memberikan suaranya pada partai konservatif atau partai sayap
kanan. Tingkat ketaatan beragama juga berhubungan dengan perilaku pemilih. Para pemilih yang berlatar belakang Islam santri misalnya, cendrung memilih
Universitas Sumatera Utara
partai-partai berbasis Islam. Penelitian Wald dan She serta Muhammad Reza 2009 terhadap masyarakat Banjar di Perbaungan, menunjukkan bahwa semakin
besar keterlibatan seseorang dalam aktifitas keagamaan, semakin besar kecenderungan nya untuk menyukai atau memilih partai-partai agama atau
kelompok-kelompok sayap kanan. Meskipun dari Pemilu ke Pemilu berikutnya hubungan tidak selalu
konsisten, jenis kelamin juga merupakan variabel sosiologis yang dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih. Realitas politik pada pilpres 2004 dan
2009 menunjukkan bahwa wanita lebih suka mendukung partai dan calon borjuis, setuju dengan administrasi birokrasi, menghindari pemilihan pada ekstrim kiri
maupun ekstrim kanan, dan mendukung partai moderat Arbi Sanit 2010. Aspek Geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih.
Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik. Penelitian Petterson dan Rose di Norwegia menunjukkan bahwa ikatan-
ikatan kedaerahan, seperti desa-kota, merupakan faktor yang cukup signifikan dalam menjelaskan aktivitas dan pilihan politik seseorang Perarnt Petterson and
Lawrence E Rose : 1996. Ikatan kedaerahan terutama sangat kuat dalam mempengaruhi pilihan seseorang terhadap kandidiat. Penelitian Potoski
menunjukkan bahwa kandidat umumnya lebih diterima dan dipilih oleh para pemilih yang berasal dari daerah yang sama Matthew Potoski: 1994.
Dalam berbagai ragam perbedaan pada struktur sosial, yang paling tinggi pengaruhnya terhadap perilaku pemilih adalah factor kelas status ekonomi,
terutama hampir diseluruh negeri industri. Lipset 1980 menyimpulkan ; “ More than anything else the party struggle is a conflict among class,……the lower
Universitas Sumatera Utara
income groups vote mainly for parties of the left, while the higher-income groups vote mainly for parties of the right”.
Afan Gaffar menunjukkan bahwa pengaruh kelas dalam perilaku memilih di Indonesia tidak begitu dominan. Tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku
pemilih antara mereka yang masuk katagori orang kaya ataupun orang miskin, antara yang memiliki tanah luas dan sedikit, antara yang memilki pekerjaan
sebagai pedagang dengan buruh tani, dan sebagainya Afan Gaffar : 1992. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat perilaku masyarakat
dalam sutau pemilu seperti yang diuraikan dibawah ini.
2. Pendekatan Psikologis