18
5. Pola Asuh di Keluarga Jawa
Keluarga Jawa merupakan bagian kecil dari berbagai keluarga yang ada di dunia. Keluarga Jawa sebagai suatu tempat berlangsungnya
kegiatan-kegiatan dan hubungan-hubungan antara angota keluarga mengalami suatu proses yang terjadi antara orang tua dengan anak yang
disebut dengan proses pengasuhan. Geertz 1983: 154 mengidentifikasi kaidah dasar atau prinsip dasar dalam kehidupan masyarakat Jawa yaitu
prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Kedua prinsip itulah yang mendasari masyarakat Jawa dalam bersikap dan melakukan segala
tindakan. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat
dalam keadaan yang harmonis Franz Magnis Suseno, 1999: 39. Menurut Geertz 1983: 157 perilaku untuk bersikap rukun diperoleh masyarakat
Jawa melalui proses sosialisasi yang panjang dari dia kecil sampai dewasa, yaitu melalui pola pengasuhan oran tua Jawa kepada anaknya
yang dibagi dalam beberapa tahap. Pada lingkungan keluarga inilah terjadi pewarisan nilai budaya masyarakat kepada anaknya.
Prinsip kedua yaitu prinsip hormat, menyatakan bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat
terhadap orang lain, sesuai dengan derajat kedudukannya Franz Magnis Suseno, 1999: 60. Geertz 1983: 116 menguraikan bahwa pendidikan
tercapai dalam tiga perasaan yang terpelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang menuntut sikap hormat, yaitu wedi, isin dan sungkan.
Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun
19 sebagai rasa takut terhadap akibat dari suatu tindakan. Isin berarti malu,
anak belajar untuk merasa malu dalam mengembangkan kepribadian Jawa. Orang Jawa merasa isin apabila ia tidak dapat menunjukkan sikap
hormat terhadap orang yang pantas di hormati. Para orang tua Jawa memiliki model pengasuhan yang berbeda
dengan yang biasa dikenal dalam masyarakat Barat. Geertz 1983: 98- 160 mengindikasikan beberapa model pengasuhan pada orang tua Jawa
yaitu: menakut-nakuti anak dengan ancaman tentang nasibnya yang mengerikan di tangan orang lain atau makhluk halus, jarang memberi
hukuman yang akan menghilangkan kasih sayang, mengajarkan kepatuhan dan kesopanan, membelokkan dari tujuan yang tak diinginkan,
memberi perintah terperinci dan tidak emosional tanpa ancaman hukuman.
Menurut Geertz 1983: 114, salah satu ajaran penting yang ditanamkan kepada anak kecil ialah orang-orang asing yang tak akrab
dikenalnya akan dipukul rata sebagai wong liya orang lain yang tidak dapat dipercaya. Model pengasuhan ini sebenarnya mengisyaratkan
pentingnya sikap waspada dan selalu hati-hati. Selain itu, model pengasuhan ini akan membentuk karakter sopan dan santun pada siapa
saja yang mereka temui. Dalam Geertz 1983: 105 dijelaskan bahwa saat anak-anak masih
bayi, mereka sudah dikenalkan dengan nilai-nilai kesopanan, misalnya memegang atau mengambil sesuatu dengan tangan sendiri dan orang tua
akan mengajarkan untuk menggunakan tangan kanan karena tangan
20 kananlah yang dianggap sopan jika menerima atau memegang sesuatu.
Dalam hal kesopanan bertutur, orang tua dalam masyarakat Jawa akan mengajarkan anak untuk berbicara dengan penuh kesopanan, baik
terhadap orang tua, orang yang lebih tua, ataupun dengan orang lain. Perilaku tersebut juga diajarkan pada anak mereka yang masih bayi, saat
ada orang lain yang menyapa mereka. Pengasuhan ini dimaksudkan agar anak memiliki karakter sopan dan santun dalam bertutur kata. Untuk itu,
para orang tua akan sebisa mungkin mengajarkan anak berbahasa dengan memperhatikan unggah-ungguh yang ada.
Membelokkan dari tujuan yang diinginkan berarti orang tua berusaha untuk mengalihkan perhatian dan menunda keinginan anak
dengan cara-cara pengalihan tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk karakter pada diri anak agar tidak selalu berpikir bahwa
apapun keinginannya harus serta merta dipenuhi seketika itu juga. Secara tidak langsung, model pengasuhan ini membentuk karakter sabar pada
anak. Orang tua Jawa seringkali memberikan perintah terperinci pada anak. Hal ini menekankan bahwa pada dasarnya orang tua Jawa selalu
berusaha untuk mengkomunikasikan apa yang mereka pikirkan kepada anak-anaknya dengan bahasa yang dipahami oleh anak.
Bagi orang tua Jawa, mereka tidak akan serta merta marah pada anaknya jika anak tidak mematuhi perintah-perintah. Biasanya, orang
menunggu sampai datang kesempatan, baru dikemudian hari untuk mengajar nilai-nilai apa yang seharusnya pada anak. Bagi masyarakat
Jawa, hukuman tidak selamanya berupa fisik, ataupun ungkapan verbal
21 kasar lainnya. Bahkan, Geertz 1983: 114-115 mengungkap bahwa caci
maki dalam pandangan masyarakat Jawa merupakan hal yang sangat buruk. Hukuman yang paling ditakuti pada anak-anak Jawa adalah
disisihkan secara emosional, tidak diajak bermain oleh teman sebaya atau saudara, atau juga tidak bicara
–diabaikan oleh orang tua mereka. Berdasarkan uraian tentang kaidah atau prinsip hidup orang Jawa
dan bentuk pengasuhan yang dilakukan orang tua Jawa, maka dapat disimpulkan bahwa pengasuhan dalam keluarga Jawa selalu dikaitkan
dengan dua prinsip hidup orang Jawa, yaitu prinsip hidup rukun dan hormat. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengasuhan dalam budaya
Jawa memiliki karakteristik yang disesuaikan dengan tradisi dan nilai Jawa.
6. Arti Penting Pola Asuh Bagi Perkembangan Manusia