Interpretasi Data .1 Kehidupan Buruh Perempuan Pembibitan Kelapa Sawit PTPN IV

59 kasihan dengan kondisi istri yang tidak memiliki aktifitas di pagi sampai siang hari, pada akhirnya dia mengijinkan. Matriks 4.1 Data Informan Berdasarkan Jenis kelamin, Usia, status, Agama, Pekerjaan dan Pendidikan Perakhir No Nama Jenis Kelamin Usia Tahun Status Agama Pekerjaan Pend. Terakhir 1 Rani Perempuan 37 Menikah Islam BHL SMP 2 Dewi Perempuan 47 Menikah Islam BHL SLTA 3 Sepi Perempuan 40 Menikah Islam BHL SD 4 Ria Perempuan 27 Menikah Protestan BHL SLTA 5 Siti Perempuan 39 Menikah Islam BHL SMP 6 Lili suryadi Laki-laki 50 Menikah Islam Karyawan Mandor Utama Bibitan SLTA 7 Indra Laki-laki 45 Menikah Islam Pedagang SLTA 8 Silaban Laki-Laki 28 Menikah Islam BHL SMA Sumber : data olahan peneliti, 2016 4.3 Interpretasi Data 4.3.1 Kehidupan Buruh Perempuan Pembibitan Kelapa Sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi Secara tradisional, ada beberapa peranan utama perempuan Indonesia yang dapat diidentifikasikan, yaitu; peran reproduksi, peran rumah tangga dan pendapatan yang berkaitan dengan rumah tangga dan peran produksi sosial yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan dan kesejahteraan anak, serta kerja sosial yang menunjang status keluarga. Kini selain aspek-aspek tradisional yang disebutkan diatas, semakin banyak perempuan yang bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kehidupan perempuan yang bekerja tentunya berbeda denga perempuan yang tidak bekerja. Universitas Sumatera Utara 60 Hasil temuan di Nagori Bah Jambi, kaum perempuan bekerja guna membantu perekonomian keluarga sebagai buruh harian lepas di Pembibitan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi. Buruh perempuan menjalani aktifitas sehari-hari sebagai buruh di tempat kerja dan sebagai istri atau ibu di rumah. Mereka dituntut untuk cermat dalam membagi waktu agar kedua aktifitasnya dapat berjalan dengan lancar. hal diatas sesuai dengan penuturan informan Ria, 27 Tahun: “...saya mau kerja disini untuk mendapatkan uang tambahan. Lumayan untuk nambah-nambah uang untuk beli susu anak. ...kalau kerja disini ada enaknya ada nggak enaknya, walaupun panas-panasan, capek tapi kita masih bisa bagi waktu untuk keluarga, suami. Karena siang kita uda pulang.” Menjadi buruh harian lepas bagi para perempuan di pembibitan merupakan alternatif yang dilakukan untuk menutupi pengeluaran yang semakin meningkat dan untuk mengisi kekosongan waktu pada pagi sampai siang hari dimana para anggota keluarga yang lain seperti suami yang bekerja dan anak-anak yang sekolah. Pekerjaan seperti memupuk, menyiang, dan menyiram tanaman bibit adalah jenis-jenis pekerjaan yang tiap harinya mereka lakukan. Sebagai BHL di Pembibitan berkerja dari pukul 07:00 hingga pukul 12:00 dan kadang ada yang melanjutkan untuk shift sore dari pukul 13:00 hingga pukul 16:00 untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Penghasilan BHL diitung dari jam kerja yang mereka lakukan. Rata-rata mendapatkan Rp. 30.000 – Rp. 40.000 per hari. Upah tersebut dinilai sebagian besar informan masih kurang mengingat semakin mahalnya harga-harga kebutuhan. Namun mereka harus menjalaninya daripada tidak mengerjakan apapun dan demi mendapatkan Universitas Sumatera Utara 61 penghasilan tambahan. Lowongan pekerjaan yang terbatas membuat mereka memilih pekerjaan sebagai BHL di pembibitan. Hal diatas diperkuat oleh pernyataan yang diberikan informan Sepi 47 tahun kepada peneliti, yaitu: “...kalau dibilang cukup nggak juga ya. Sebetulnya masih kurang. Kadang kalau dipikir-pikir ya, untuk beli beras aja satu tumbak udah 18 ribu, sedangkan cabe aja udah 5 ribuan. Jadi ya kalau diprediksikan ya kurang.. tapi ya dari pada nggak ada kerjaan. Lumayan lah untuk nambah-nambah.” Sebagai seorang istri yang bertanggung jawab terhadap kondisi rumah tangga, buruh perempuan pembibitan juga harus menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat bekerja. Pekerjaan tersebut dilakukan agar mereka dapat meninggalkan rumah dengan tenang. Sebagai seorang perempuan yang telah berkeluarga, mereka harus mengkombinasikan dengan baik waktunya untuk rumah dan pekerjaan. Namun prioritas terbesar yang menjadi tanggung jawabnya adalah rumah tangga. Buruh perempuan yang merangkap sebagai ibu rumah tangga melakukan pekerjaan rumahnya sebelum berangkat bekerja dan sepulang bekerja. Sesuai dengan pernyataan informan Rani 37 tahun, yaitu: ...Karena pagi-pagi kan anak-anak sudah sekolah bapaknya juga kerja, sebelum berangkat saya sudah buatin untuk anak- anak sama bapaknya sarapannya sama bajunya. Jadi saya masih perhatian sm anak-anak dan keluarga. nanti juga saya udah pulang kerja duluan sebelum anak-anak pulang sekolah. Jadi masih bisalah bagi waktunya untuk anak-anak. nanti sore kalau pergi ngaji mereka masih bisa saya urusi lagi. Masih tetaplah. Cuma waktu yang kosong awak gunakan untuk bekerja.” Selain aktifitas utama sebagai istri, ibu dan pencari nafkah dalam rumah tangga, buuh perempuan juga tidak terlepas dari kegiatan sosial maupun keagamaan. Misalnya seperti pengajian yang dilaksanakan rutin Universitas Sumatera Utara 62 sekali seminggu di lingkungan tempat tinggalnya yang diyaknini dapat memperkuat keimanan mereka disamping dapat menambah wawasan mereka tentang ilmu keagamaan. Kemudian ada juga perwiridan yang dilakukan dari rumah ke rumah. Kegiatan ini dilakukan untuk mempererat tali silaturahmi diantara sesama warga dan dapat mengurangi stres atau beban yang mereka alami. Selanjutnya kegiatan-kegiatan sosial lain seperti arisan, serikat tolong menolong dan zula-zula tarikan. Aktifitas yang begitu padat ternyata tidak mengurangi sedikitpun tanggung jawab para buruh terhadap rumah tangganya. Mereka tetap mengerjakan yang menjadi tanggung jawabnya dirumah seperti memasak, mencuci, membereskan rumah, mengurus anak dan suami dan lain-lain. Dan keseluruhan informan yang saya wawancarai menganggap keluarga sebagai prioritas yang paling utama dalam kehidupannya. Sesuai dengan pernyataan informan Siti 39 tahun berikut ini: “...Kalau kelurga itu tetap yang nomor satu. Kita kerja juga untuk keluarga, biar keluarga kita bisa makan dan anak bisa sekolah. Karena kalau mengharapkan gaji dari suami pasti tidak cukup. Kita ikut wirid sm pengajian juga untuk menjaga silaturahmi sm yang lain. Biar orang lain baik sm keluarga kita. Pokoknya semua saya lakukan untuk keluarga.” 4.3.2 Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender yang dialami Buruh Perempuan Pembibitan Kelapa sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi Permasalahan ketidakadilan gender muncul karena sistem sistem sosial dan budaya yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat atau lebih rendah daripada laki-laki. Buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN Unit Usaha PTPN IV Bah Jambi yang menjadi fokus dalam Universitas Sumatera Utara 63 penelitian ini tak luput dari permasalahan ketidakadilan gender. Secara umum para buruh tidak mempersoalkan posisinya yang mengalami ketidakadilan gender. Hal tersebut diakibatkan sudah sangat melekatnya sistem sosial patriaki dan kurangnya sosialisasi tentang konsep dan pemahaman tentang gender terhadap perempuan. Sosialisasi mengenai konsep gender paling mudah didapatkan melalui pendidikan. Namun faktanya mayoritas dari informan dalam penelitian ini memiliki status pendidikan yang cenderung rendah. Kondisi tersebut merupakan hasil dari pemikiran yang bias gender dimana yang menjadi prioritas untuk mendapatkan pendidikan adalah laki-laki. Ketidakadilan gender yang dominan masih dialami oleh perempuan termanifestasi ke dalam beberapa bentuk yaitu; Marginalisasi, Subordinasi, Marginalisasi, Beban Kerja Ganda dan Kekerasan.

4.3.2.1. Marginalisasi Terhadap Buruh Perempuan Pembibitan

Bentuk ketidakadilan gender yang berupa proses marginalisasi perempuan adalah proses pemiskinanpeminggiran yang menyebabkan kemiskinan terhadap jenis kelamin tertentu dalam hal ini perempuan yang disebabkan oleh perbedaan gender Narwoko Suyanto 2010:341. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Dengan anggapan bahwa perempuan bekerja sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah sektor publik, seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Anggapan itu dibenarkan oleh informan Rina 37 tahun yang mengungkapkan bahwa dia bekerja Universitas Sumatera Utara 64 untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Berikut kutipan transkrip wawancaranya: “karena kekurangan uang. Kerja disini kan bisa nambah penghasilan suami. Nanti uangnya untuk anak-anak sekolah. Dulu sempat jual-jualan. Tapi kadang nggak laku jadi rugi. Kalau kerja kan pasti dapat gaji. Walaupun sedikit, tapi bisa untuk membantu. Apalagi suami mendukung, yang penting kata suami kuat ngerjakannya, jangan terlalu capek.” Fakta bahwa pekerjaan perempuan sebagai BHL pembibitan dinilai sebagai pekerjaan rendah berpengaruh terhadap upahgaji yang mereka terima. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender. Proses marginalisasi lain yang peneliti temukan di lokasi pembibitan adalah sebagian besar pembagian kerja sangat ditentukan oleh sex jenis kelamin. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh BHL laki-laki cenderung mendapatkan upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Hal tersebut dijelaskan oleh informan Lili Suryadi 50 tahun yang merupakan mandor utama pembibitan. Berikut hasil kutipan transkrip wawancara dengan informan: “...beda-beda kalau gajinya. Kalau untuk penyiram, penyiang dan tukang pupuk yang ngerjakan biasanya perempuan. Tapi kalau untuk bagian penanaman sama meracun itu dikerjakan sama BHL laki-laki. Kalau gaji untuk penyiram dan penyiang biasanya sebulan merekka bisa dapat sekitar 700-800 ribu Rupiah sebulan, kalau kerjanya penuh. Kalau untuk pemupukan bisa sampai 1-2 juta sebulan. Kalau menanam sama meracun gajinya sekitar 1,5 juta sebulan. Itu kalau dirata-ratakan. Jadi bervariasi. Tergantung apa yang dikerjakan. Kalau memang pekerjaannya setengah laki-laki 1,5 dapat.” Dari penuturan informan diatas dapat diinterpretasikan bahwa jenis pekerjaan ditentukan oleh jenis kelamin. Pekerjaan yang cenderung Universitas Sumatera Utara 65 berat dan membutuhkan tenaga yang besar biasanya dilakukan oleh laki- laki dan pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan tenaga yang besar dan memerlukan kelembutan biasanya dikerjakan oleh perempuan. Pembagian kerja seperti ini telah menempatkan perempuan pada posisi yang marginal. Anggapan bahwa perempuan tidak sekuat laki-laki menjadi landasan pembagian kerja yang timpang yang implikasinya mengarah kepada perbedaan upanpenghasilan yang diterima. Dalam perspektif feminisme liberal pembagian kerja yang didasarkan atas jenis kelamin seks dinamakan pembagian divisi kerja atau pembagian kerja seksual. Pembagian kerja seksual pada umumnya menempatkan perempuan pada posisi yang marginal. Ekspresi utama teori ini adalah perempuan bisa mengklaim kesamaan dengan lelaki atas dasar kapasitas esensial manusia sebagai agen moral Ritzer Goodman 2011:420. Namun fakta bahwa buruh perempuan pembibitan kelapa sawit di PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi mengalami pemingiran merupakan akibat dari pembagian kerja seksual. Masyarakat perkebunan yang cenderung mempertahankan prinsip-prinsip ekonomi indusrti lebih menekankan aspek produktifitas daripada kemanusiaan. Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak lebih dari sekedar alat produksi sehingga nilai-nilai fundamental kemanusiaan seperti kesetaraan gender cenderung diabaikan. Maka dapat dikatakan yang memperkuat kondisi ketidakadilan gender pada buruh perempuan pembibitan di bah jambi adalah sistem masyarakat modren-kapitalis yang cenderung mengakomodasi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Universitas Sumatera Utara 66 Akibatnya posisi perempuan tetap lebih rendah dalam posisi marginal sedangkan posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki posisi sentral.

4.3.2.2. Subordinasi yang Dialami Buruh Perempuan Pembibitan

Subordinasi adalah suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Telah diketahui bahwa nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender antara laki-laki dan perempuan. Perempuan bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan rumah tangga, sementara laki-laki dalam urusan publik. Peran yang paling sering mendapatkan penghargaan dan nilai pengakuan adalah peran publik yang dilakukan oleh laki-laki. Maka sepanjang penghargaan sosial terhadap peran domestik berbeda dengan peran publik, sepanjang itu pula ketidakadilan gender sedang berlangsung. Dalam penelitian ini, buruh perempuan pembibitan telah keluar dari ruang domestiknya untuk bekerja di pembibitan kelapa sawit Bah Jambi, namun pekerjaan sebagai buruh pembibitan yang dilakukan adalah jenis pekerjaan yang kurang memiliki nilai penghargaan. Ada beberapa alasan yang menjadikan perempuan memilih jenis pekerjaan ini. Tanggung jawab atas keberlangsungan rumah tangga menjadi faktor yang membuat perempuan mengambil peran terhadap jenis pekerjaan ini. Para buruh perempuan pembibitan terbatas dalam hal memilih pekerjaan karena harus bertanggung jawab penuh dalam kegiatan rumah tangga. Pekerjaan di pembibitan dinilai para buruh perempuan tidak memakan banyak waktu sehingga mereka dapat tetap menyelesaikan pekerjaan Universitas Sumatera Utara 67 rumah tangganya. Konsekuensi dari pekerjaan berstatus rendah yang dilakukan perempuan adalah upah rendah yang diterima. Hal demikian terangkum dalam potongan transkrip wawancara peneliti dengan informan Rani 37 tahun: “...sebetulnya malu bekerja disini, anak-anak kan malu kalau mamaknya kerja kayak gini. Tapi mau bagaimana lagi, daripada nggak ada yang dikerjai, kan nggak jadi nggak ada penghasilan. Lumayan lah untuk nambah-nambah. Kalau kerja di tempat lain takutnya nggak sempat ngurusi rumah sama anak-anak nanti.” Hal senada diungkapkan oleh informan Dewi 40 tahun: “...kalau gajinya sih sikit disini. Tapi mau kerja disini karena dekat sama rumah. Jadi masih bisa ngurusi rumah. Kalau disiantar kan jauh, nanti jadi nggak bisa ngurus anak-anak sm bapaknya. Trus disini saya kerjanya Cuma sampai jam 12 aja. Jadi masih sempat ngurusi rumah” Dari penuturan kedua informan diatas dapat diinterpretasikan jika buruh perempuan cenderung memilih jenis pekerjaan yang tidak mengganggu aktifitas rumah tangganya. Mayoritas perempuan sebagai pekerja pada sektor ini menunjukkan bahwa terjadi subordinasi terhadap perempuan di ruang publik. Perempuan terbatas memilih jenis pekerjaan karena tanggung jawab rumahnya yang tidak dapat ditinggalkan bahkan dikurangi. Sehingga para buruh memilih jenis pekerjaan di pembibitan sebagai buruh harian lepas yang notabene merupakan jenis pekerjaan yang kurang memiliki nilai prestise. Selain karena alasan tanggung jawab rumah tangga, status pendidikan yang rendah menjadi faktor lain mengapa para perempuan bekerja di pembibitan. Tamatan yang rendah diakui sebagian informan sebagai bagian dari sistem sosial yang menganggap perempuan tidak Universitas Sumatera Utara 68 perlu sekolah tinggi-tinggi. Kondisi buruh perempuan yang berpendidikan rendah membuat perempuan semakin terbatas dalam memilih pekerjaan disamping memang terbatasnya lapangan pekerjaan. berikut kutipan transkrip wawancara dengan Informan Sepi 47 tahun tentang status pendidikanya: “...Saya ini kan Cuma lulusan SD, mana bisa kerja milih-milih. Dapat kerjaan ini aja udah bersyukur. Kadang saya nyesal dulu nggak mau ngelanjutin sekolah. Saya kira perempuan itu kerjaannya Cuma didapur, apalagi jaman dulu. Jadi nggak perlu sekolah tinggi-tinggi.” Dari penuturan informan diatas dapat disimpulkan bahwa perempuan kurang mendapatkan perhatian dari keluarga dalam hal mendapatkan pendidikan. Menurut perspektif feminisme liberal bahwa pada hakikatnya tidak ada perbedaan diantara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, tak terkecuali dalam hal mendapatkan pendidikan.

4.3.2.3. Beban Kerja Ganda yang Dialami Buruh Perempuan Pembibitan

Banyaknya jumlah perempuan dalam beberapa dekade terakhir merupakan kesuksesan aliran feminisme dalam meningkatkan peran perempuan di dunia publik. Namun perempuan yang bekerja tidak begitu saja lepas dari tanggung jawab rumah tangganya. Selain bekerja di sebagai buruh harian lepas di PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi, para buruh perempuan juga harus bertanggung jawab penuh atas kondisi rumah tangganya. hal tersebut dijelaskan oleh Informan Rani 37 tahun: “Bekerja ya bekerja, kalau urusan rumah udah nggak bisa di ganggu gugat. Capek juga iya. Tapi karena kita butuh harus Universitas Sumatera Utara 69 dikerjai. Selama bekerja harus bangun jam 4 atau jam 5 pagi biar sempat masak untuk sarapan anak sama suami. Nanti kalau pulang kerja barulah cari sayuran lagi, ngurusi anak lagi. kalau rumah harus beres, kan malu sama tetangga kalau anak- anak nggak terurus.” Dari penjelasan diatas peneliti melihat bagaimana peran rumah tangga informan tepat menjadi prioritas walaupun mereka sudah bekerja di sektor publik. Kegagalan dalam mengurus rumah tangga merupakan hal yang paling dihindari. Hal demikian terjadi kerena sebagai istri dan ibu, buruh perempuan menganggap kondisi rumah tangga secara penuh merupakan tanggung jawabnya. Jadi apabila terjadi sesuatu dengan rumah tangga para perempuanlah yang harus bertanggung jawab dan menanggung malu. Maka sebisa mungkin para buruh perempuan menjaga keberadaan rumah tangganya agar tetap harmonis dengan cara menyelesaikan semua tanggung jawabnya baik di dalam rumah maupun untuk pekerjaannya. Buruh perempuan pembibitan mengalokasikan waktunya baik sebagai ibu rumah tangga maupun buruh harian lepas di Pembibitan PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi. Masuknya perempuan yang berstatus menikah kedalam dunia pekerjaan menimbulkan persoalan tersendiri bagi para buruh perempuan pembibitan. Tidak jarang peran ganda yang dijalani para buruh perempuan pendidikan berubah menjadi beban ganda. Menurut Rosadi 2010 dalam Kusumawati 2012:161 bahwa sebagian besar budaya masyarakat di Indonesia puada umumnya dan khususnya Jawa, memosisikan peran perempuan sebagai pemeran utama dalam rumah tangga, yaitu; melahirkan dan mengasuh anak, menyiapkan Universitas Sumatera Utara 70 kebutuhan makanan, dan tata kelola ekonomi rumah tangga. adapun alokasi waktu buruh perempuan pembibitan dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.9 Alokasi Waktu Perempuan Sebagai Ibu Rumah Tangga dan Buruh Harian Lepas BHL Pembibitan Alokasi Waktu Wanita Dalam Pekerjaan Subjek Penelitian Umur tahun Status Domestik Sebagai ibu rumah tangga dalam jamhari Publik sebagai buruh pembibitan dalam jamhari Total Jam Kerja Hari Rani 37 Istri 11 5 16 Dewi 47 Istri 10 5 15 Sepi 40 Istri 11 5 16 Ria 27 Istri 8 8 16 Siti 39 Istri 9 5 14 Sumber : Data Hasil Wawancara, Januari 2016 Tabel 4.9 menunjukkan bahwa peremuan Buruh harian lepas pembibitan lebih banyak menglokasikan waktunya di ruang domestik daripada di sektor publik. Alokasi waktu yang digunakan di ruang domestik rata-rata berkisar antara 8 hingga 11 jam sehari, sedangkan alokasi waktu yang digunakan untuk ruang publik hanya berkisar antara 5 hingga 8 jam perhari. Namun jika diakumulasikan, alokasi waktu yang digunakan bekerja di ruang domestik maupun di ruang publik berkisar antara 14 hingga 16 jam perhari. Akumulasi Alokasi waktu seperti ini tentunya jauh lebih banyak dibandingkan dengan alokasi waktu laki-laki di sektor publik yang hanya berkisar diantara 9-10 jam perhari. Hal demikian tentunya menyebabkan waktu istirahat yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Beratnya beban ganda yang diemban oleh para perempuan diperparah oleh kurangnya kontribusi suami dalam aktifitas Universitas Sumatera Utara 71 domestik. Seperti yang dikemukakan informan Rani 37 tahun berikut ini : “...kalau suami nggak ada ngerjain rumah. Tapi gini ya, dia kan capek juga kerja, pulangnya pun nanti uda malam baru sampai rumah. Suami saya kan supir.” Hal senada disampaikan Informan Sepi 47 tahun: “...suami kan tanggung jawabnya nyari duit.. kalau bantu-bantu pernah juga tapi nggak sering. Itupun nggak banyak, paling dia bantuin masang gas atau bereskan pekarangan. Kalau bantu nyuci sm masak dia nggak pernah.” Dari penuturan dua informan diatas dapat dimengerti bahwa para suami cenderung tidak membantu mereka dalam kegiatan kerumahtanggan. Jikapun ada, porsinya sangat sedikit jika dibandingkan dengan pekerjaan domestik yang dilakukan perempuan. Pembagian kerja yang timpang antara laki-laki dan perempuan merupakan manifestasi ketidakadilan yang disebabkan oleh sikap egoisme suami dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Jika ada pekerjaan rumah tangga yang dilakukan, maka itu adalah pekerjaan yang sifatnya membutuhkan tenaga besar seperti mengangkat tabung gas dan membersihkan pekarangan. Stereotip semacam ini merupakan bentuk bias gender yang semakin memperkuat terjadinya beban ganda yang dialami perempuan. Kewajiban yang di emban perempuan yang bekerja tentunya juga sangat besar. Dimana ia harus berada di dalam sektor domestik dan sektor publik secara bersamaan. meskipun merasa kerepotan, sebagian besar perempuan buruh pembibitan ini ternyata tidak merasa keberatan. Meskipun kadang mereka merasa lelah dan bosan, namun mereka menganggap apa yang mereka lakukan adalah hal yang baik dan sudah Universitas Sumatera Utara 72 seharusnya dilakukan oleh seorang istri maupun ibu dalam keluarga. Saat pendapatan suami masih kurang, maka para buruh perempuan mengambil peran untuk menambah penghasilan untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga, meskipun menjadi beban yang berat karena harus menjalani beban ganda. Hal ini sesuai dengan pendapat Informan Siti 39 tahun sebagai berikut: “...Kerja disini capek sih. Tapi kerja disini kan bisa nambah penghasilan suami yang kurang. Nanti uangnya untuk anak- anak sekolah. Dulu sempat jual-jualan. Tapi kadang nggak laku jadi rugi. Kalau kerja kan pasti dapat gaji. Walaupun sedikit, tapi bs untuk membantu.” Kontribusi buruh perempuan terhadap ekonomi keluarga ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar dimana upah yang didapatkan dari bekerja digunakan untuk keperluan anak sekolah maupun keperluan rumah tangga lainnya. Walaupun upah yang diterima masih jauh dari cukup, namun mereka tetap bersyukur karena masih bisa dipekerjakan dan mendapatkan gaji. Keberadaan perempuan dalam peran ganda tentunya tidak terlepas dari keputusan suami yang tidak merasa keberatan jika istrinya bekerja di sektor publik. Seperti yang dikemukakan informan Yani 37 Tahun seperti berikut ini : “...Apalagi suami mendukung, yang penting kata suami kuat ngerjakannya, jangan terlalu capek.kalau suami nggak nginjinin ya saya nggak mungkin pergi kerja kayak gini” Penuturan informan yani menjelaskan tentang bagaimana seorang istri harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari suami untuk bisa bekerja. Ijin tersebut penting karena tugas utama sebagai seorang istri Universitas Sumatera Utara 73 dan ibu tidak boleh semata-mata ditinggalkan karena alasan pekerjaan. hal demikian disampaikan oleh informan Indra 45tahun yang merupakan suami dari informan kunci Dewi, berikut kutipan transkrip wawancaranya : “Saya tidak mempersalahkan jika istri di bibitan sampai siang. Yang penting kalau udah kerja jangan lupakan rumah sama anak-anak.” Hal tersebut senada dengan apa yang dikatan oleh informan Silaban 28 tahun yang merupakan suami dari informan kunci ria, berikut hasil kutipan wawancaranya: “Saya bilang sama istri jangan terlalu capek. Kalau nggak kuat ya nggak usah dipaksakan. Tapi saya kasihan juga kalau dia nggak kerja, nggak tau mau ngapain dirumah. Anak-anak sekolah saya juga kerja. Jadi waktunya banyak kosong, sayang juga kalau nggak dipakai.” Penuturan kedua informan diatas menjelaskan bahwa pada umumnya tidak keberatan apabila istrinya memiliki peran ganda asal pekerjaan rumah tangga tetap dilaksanakan dengan baik. Meskipun perempuan sudah memasuki ruang publik sebagai pencari nafkah, namun mereka tetap diharapkan menjalankan peran domestiknya dengan baik. Menurut Wilson dalam Kusumawati 2012:163, hal ini berkaitan dengan pandangan tradisional yang didukung kuat oleh ideologi, yaitu pandangan yang mengasumsikan perempuan “secara alami” tepat untuk peran-peran domestik dan pengasuhan maternal dan laki-laki dengan peran pencari nafkah, sehingga ketika semakin banyak perempuan memasuki ranah publik, harapan sosial bahwa perempuan yang menikah bertanggung jawab utama atas pekerjaan domestik tetap berlangsung. Universitas Sumatera Utara 74 Hubungan antara buruh perempuan pembibitan dengan anak tetap berjalan dengan baik. Seperti yang dikemukakan oleh informan Rani 37 tahun seperti berikut ini: “kalau waktu untuk anak-anak kalau terkurangi nggak ya. Karena pagi-pagi kan mereka uda sekolah, sebelum berangkat saya sudah buatin sarapannya sama bajunya. Jadi saya masih perhatian sm anak-anak. nanti juga saya udah pulang kerja duluan sebelum anak-anak pulang sekolah. Jadi masih bisalah bagi waktunya untuk anak-anak. nanti sore kalau pergi ngaji mereka masih bisa saya urusi lagi. Masih tetaplah. Cuma waktu yang kosong awak gunakan untuk bekerja.” Dari hasil wawancara diatas menunjukkan bahwa meskipun perempuan bekerja setiap harinya, namun intensitas interaksi dengan anak-anaknya tidak terkurangi sama sekali. Hal ini dapat terjadi karena sebelum berangkat kerja para perempuan pembibitan sudah menyiapkan anak untuk berangkat sekolah seperti menyiapkan sarapan dan seragam sekolah anak. mereka biasanya sudah pulang dari tempat kerja sebelum anak-anak pulang sekolah. Sebagian besar dari informan membantu anak-anak dalam mengerjakan tugas rumah dari sekolah. Hal ini adalah bagian dari fungsi produksi sosial perempuan dalam keluarga yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan dan kesejahteraan anak, serta kerja sosial yang menunjang status keluarga. Dalam perspektif feminisme liberal fakta bahwa perempuan sudah mendapatkan ruang untuk berekspresi di ruang publik teentunya menjadi kemenangan gerakan perempuan dan kemenangan feminisme liberal Ritzer Goodman 2011:422. Namun ketimpangan masih dialami perempuan dalam bentuk beban kerja ganda seperti alokasi waktu yang lebih panjang untuk bekerja daripada laki-laki dan waktu istirahat yang Universitas Sumatera Utara 75 lebih sedikit daripada laki-laki. dua ruang yang secara konstan berinteraksi dalam kehidupan perempuan dan lebih banyak ketimbang laki-laki dan kedua ruang itu masih dibentuk oleh ideologi patriakis dan seksisme Davis, 1997 dalam Ritzer Goodman 2011:422.

4.3.2.4. Stereotip pada Buruh Perempuan Pembibitan Kelapa Sawit

Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotipe gender laki-laki dan perempuan. Stereotipe itu sendiri berarti pemberian citra bakuatau labelcap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau bias. Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negatif juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan. Pelebelan yang bernuansa gender juga dialami oleh para buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN IV Unit Usaha Bah Jambi. Lebel seperti pencari nafkah tambahan, sebagai penanggung jawab ranah domestik hingga lebel yang mengarah kepada sifat atau peringai perempuan seringkali ditimpakan kepada perempuan. Sifat feminisme perempuan seperti, sifat lemah lembut, irasional, sabar, mudah diatur, penyayang, telaten dan cengeng dijadikan alasan mempertahankan Universitas Sumatera Utara 76 perbedaan gender yang berlangsung. Selain itu peran publik dan sistem pembagian kerja di masyarakat seringkali didasarkan atas lebel yang diberikan atas dasar anggapan gender. Di lokasi Pembibitan PTPN IV Bah Jambi ditemui fakta bahwa mayoritas buruh harian lepas adalah perempuan yang sudah menikah. Keberadaan perempuan sebagai mayoritas pada sektor ini tentunya memiliki alasan atau tidak terjadi begitu saja. Menurut pihak manajemen PTPN IV Bah Jambi, penggunaan tenaga kerja perempuan dalam pengerjaan lahan pembibitan dilakukan untuk mendapatkan efektifitas dalam hal produksi. Dibawah ini adalah kutipan wawancara peneliti dengan Lily Suryadi yang merupakan Mandor Utama di pembibitan Unit Usaha Bah Jambi : “...Ya.. kalau di pembibitan ini sama kan ibaratnya seperti memelihara bayi, namanya memelihara bibit yang umur 3 bulan kita samakan aja dengan memelihara bayi. Bayi itu harus diperlakukan secara khusus, diibutuhkan kesabaran, kelembutan dan ketelatenan. Kalau laki-laki dia lebih kasar. Kayak nyiram itu harus betul-betul, pakai hati. Kalau perempuan yang kita kerjakan rasa sayang dia itu lebih sama tanaman itu. kayak ngurus anaknya nanti dibuatnya. Jadi yang kita harapkan dari perempuan itu yah kelembutan sifatnya. Dulu sudah pernah mempekerjakan laki-laki tapi hasilnya kurang efektif karena terlalu kasar dan mau cepat aja kerjanya, biar cepat pulang. Sedangkan bibit mana bisa diperlakukan kayak gitu, rusak dia. Mengurus bibit itu nggak perlu kecepatan. Contoh seperti menyiram bibit, kalau laki-laki langsung disiramnya kencang- kencang padahal udah kita arahkan. Kalau kayak gitu bisa keluar bibitnya, akarnya keluar, menguning terus mati. Kalau perempuan beda cara kerjanya. Dia lebih sabar dan lembut kalau kerja.” Dari hasil wawancara diatas dapat dilihat bahwa pihak manajemen PTPN IV Bah Jambi menganalogikan posisi tanaman bibit seperti bayi manusia yang baru lahir. Sifat keibuan perempuan yang penyayang dan sudah terbiasa merawat bayi merupakan alasan memilih Universitas Sumatera Utara 77 perempuan untuk mengerjakan lahan pembibitan. Pembagian kerja berdasarkan stereotip gender digunakan untuk mencapai efektifitas kerja. Kondisi bibit yang rentan perlakuan kasar membuat para perempuan dinilai tepat untuk mengerjakan lahan di pembibitan. Asumsi dan fakta bahwa perempuan lebih sabar dan penyayang daripada laki-laki dijadikan alasan utama pembagian kerja. Pembagian kerja yang didasarkan atas perbedaan gender dapat dikatakan sebagai keadaan yang memperkuat kondisi ketidakadilan gender. Jenis pekerjaan yang dilakukan perempuan dalam lokasi kerja pembibitan pada umumnya mengarah kepada pekerjaan yang tidak terlalu memerlukan tenaga besar dan jenis pekerjaan yang memerlukan kesabaran dan ketelatenan. Asumsi bahwa perempuan lebih lemah secara fisik daripada laki-laki serta lebih sabar dan telaten menempatkan perempuan dalam jenis pekerjaan ini. Namun yang menjadi perhatian peneliti adalah perbedaan upah yang diterima masing-masing jenis pekerjaan menmpatkan perempuan dalam posisi yang tersubordinat dari laki-laki. Jenis pekerjaan yang membutuhkan tenaga besar dan keahlian khusus seperti menanam, membongkar muat dan meracun bibit merupakan pekerjaan yang dilakukan buruh laki-laki di pembibitan Bah Jambi. Jenis pekeejaan ini mendapatkan upah yang lebih besar dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh para buruh perempuan seperti penyiraman, penyiangan dan pemupukan bibit yang cenderung lebih mengutamakan aspek kesabaran dan ketelatenan Universitas Sumatera Utara 78 daripada aspek tenaga maupun keahlian. Pembedaan upah yang terjadi dibenarkan oleh Informan Lili Suryadi 50 tahun sebagai beritkut: “Kalau untuk penyiram dan penyiang atas kalau mereka bekerja penuh selama 8 jam, mereka bisa dapat hampir 1 juta tiap bulannya. Kalau untuk pemupuk sama menyiang bawah bisa sampai 1,2 juta kalau kerja penuh. Tapi kalau menanam, meracun sama bongkar muat tanaman bibit bisa sampai 1,5 juta perbulannya. Jadi bervariasi, tergantung apa yang dikerjai. Kalau memang pekerjaannya itu setengah laki-laki kayak menanam sama bongkar muat gajinya pasti lebih besar.” Dari hasil wawancara diatas dapat dilihat bagaimana pembedaan upah dan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin seks. Kategorissasi jenis pekerjaan dan kisaran upah dapat lebih mudah dipahami dengan melihat tabel dibawah ini : Tabel 4.10 Pembagian Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin dan kisaran Upah No. Jenis Pekerjaan Pekerja Perempuan Laki-laki Kisaran Upahbulan Rupiah 1 Penyiram bibit Perempuan 700.000 – 1.000.000 2 Penyiang atas Perempuan 700.000 – 1.000.000 3 Penyiang bawah Perempuan 900.000 – 1.200.000 4 Pemupukan bibit Perempuan 900.000 – 1.200.000 5 Penanaman bibit Laki-laki 1.000.000 – 1.500.000 6 Bongkar muat bibit Laki-laki 1.000.000 – 1.500.000 7 Pemberantasan Hama meracun Laki-laki 1.000.000 – 1.500.000 Sumber : data hasil wawancara dengan mandor 1 pembibitan Dari tabel diatas dapat dilihat dengan jelas bagaimana pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dimana perempuan cenderung bekerja pada jenis pekerjaan yang memiliki upah lebih rendah daripada jenis Universitas Sumatera Utara 79 pekerjaan yang dilakukan laki-laki. Kondisi pembagian kerja yang demikian merupakan hasil dari stereotip yang melekat pada masing- masing jenis kelamin. Stereotip lainnya yang melekat pada diri para perempuan yang dijadikan pertimbangan perusahaan yang kaitannya dengan rekrutmen para buruh harian lepas adalah sifat penurut dan memiliki rasa malu yang tinggi. Dua sifat yang dimiliki para perempuan berfungsi terhadap efektifitas mandor dalam melakukan koordinasi dengan para perempuan BHL. Berikut Hasil kutipan wawancara dengan Informan Lili Suryadi yang menjelaskan hal diatas: “... kalau laki-laki waktu diawasi bagus, tapi kalau nggak kita awasi sering membandel. Dulu sudah pernah mempekerjakan laki-laki tapi hasilnya kurang efektif karena terlalu kasar mau cepat aja kerjanya, kalau nggak diawasi. Maksudnya biar cepat pulang. Kalau perempuan, diperintah sekali aja cukup, karena reasa malunya itu besar. Dibilangi sekali aja uda ngerti. Beda dibandingkan dengan laki-laki. kalau perempuan uda ditegur sekali gak bakalan diulangi lagi. Dari hasil wawancara diatas dapat dilihat bahwa perempuan lebih mudah diatur daripada laki-laki karena sifat penurut yang dimilikinya. Rasa tahu malu yang besar memudahkan mandor dalam memberikan perintah dan mengawasi para BHL. Stereotip seperti ini berpengaruh positif terhadap perusahaan dalam mencapai target industri di pembibitan. Sebagai salah satu pembibitan terbaik di Sumatera Utara, pembibitan PTPN Unit Usaha Bah Jambi menekankan aspek produktifitas daripada aspek kemanusiaan dengan menggunakan prinsip- prinsip ekonomi kapitalis yang menjadikan perempuan sebagai alat produksi yang bermutu dengan ongkos produksi yang murah. Universitas Sumatera Utara 80

4.3.2.5. Kekerasan Yang Dialami Buruh Perempuan Perkebunan

Kekerasan violence artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Dari penelusuran yang dilakukan peneliti melalui beberapa teknik pengumpulan data, peneliti sangat sulit menemukan kekerasan yang sifatnya kekerasan fisik maupun non fisik dari keluarga maupun lingkungan kerja. Kekerasan secara langsung menurut sebagian besar informan tidak pernah dialami. Jikapun ada maka menurut sebagian buruh perempuan tidak baik menceritakan permasalahan rumah tangga di ruang publik. Seperti yang dikemukakan informan Rani 37 tahun dibawah ini: “Namanya keluarga pasti pernah ada cekcok. Tapi suami tidak pernah sampai main tangan. Kalaupun ada pamali nyritainnya sama orang lain. Nggak baik.” Universitas Sumatera Utara 81 Peneliti tidak dapat menggali lebih dalam mengenai kekerasan yang dialami oleh buruh perempuan. Hasil temuan di lapangan menunjukkan tidak terjadi kekerasan secara fisik maupun non fisik terhadap buruh perempuan pembibitan dalam kedua perannya. Universitas Sumatera Utara 82 BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

Budaya Politik Masyarakat Perkebunan (Studi Kasus PTPN IV Bah Jambi)

0 26 103

Buruh Nyerep Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus pada buruh nyerep di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV Kabupaten Simalungun)

0 30 91

Buruh Nyerep Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus pada buruh nyerep di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV Kabupaten Simalungun)

0 0 10

Buruh Nyerep Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus pada buruh nyerep di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV Kabupaten Simalungun)

0 1 8

Buruh Nyerep Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus pada buruh nyerep di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV Kabupaten Simalungun)

0 1 10

Buruh Nyerep Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus pada buruh nyerep di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV Kabupaten Simalungun)

0 1 2

Buruh Nyerep Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi kasus pada buruh nyerep di Afdeling V Unit Usaha Padang Matinggi PT Perkebunan Nusantara IV Kabupaten Simalungun)

0 1 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep gender - Manifestasi Ketidakadilan Gender Pada Masyarakat Perkebunan (Studi deskriptif pada buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN IV unit usaha Bah Jambi)

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Manifestasi Ketidakadilan Gender Pada Masyarakat Perkebunan (Studi deskriptif pada buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN IV unit usaha Bah Jambi)

0 0 12

Manifestasi Ketidakadilan Gender Pada Masyarakat Perkebunan (Studi deskriptif pada buruh perempuan pembibitan kelapa sawit PTPN IV unit usaha Bah Jambi)

0 0 12