Tanaman jeruk keprok Citrus nobilis Lour. diduga berasal dari Asia
Tenggara Purseglove, 1979, kemudian menyebar ke seluruh dunia terutama di daerah subtropik. Ada beberapa jenis jeruk keprok yang memiliki nilai ekonomis
tinggi seperti keprok Pulung Ponorogo, keprok Tawangmangu Karanganyar, Surakarta, keprok Grabag Magelang dan keprok Brastepu Tanah Karo, Sumatera
Utara Kanisius, 1994.
Pohon jeruk keprok mencapai ketinggian 6-10 m, berduri, dengan bentuk batang bulat dan mempunyai jumlah percabangan yang banyak. Dahannya kecil dan
letaknya terpencar serta tidak beraturan. Bentuk daun bulat telur memanjang dengan pangkal tumpul dan mempunyai ujung yang runcing. Permukaan daun bagian atas
berwarna hijau tua mengkilat sementara permukaan daun bagian bawah berwarna hijau muda. Buah berbentuk bulat, kulit buah tebal, permukaannya kasar dan berpori-
pori besar. Biji bersifat poliembrionik dan berwarna sedikit kekuningan sementara embrio berwarna hijau keputihan.
Jeruk keprok ini mengandung sejumlah nutrisi, di antaranya vitamin B
1
dan vitamin C. Selain itu jeruk ini juga mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, karoten,
asam sitrat dan glukosida. Jeruk ini bermanfaat sebagai pereda berbagai penyakit, misalnya sebagai obat batuk dan menghilangkan rasa mual Ball, 1997.
Keistimewaan lain dari jeruk keprok ini adalah kulit buah yang memiliki aroma yang sangat wangi yang dapat dijadikan sebagai pengharum rambut serta bahan wangi-
wangian.
2.2 Kultur Jaringan Tanaman Jeruk
Kultur jaringan tanaman merupakan teknik budidaya perbanyakan sel, jaringan, dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik
atau bebas dari mikroorganisme. Secara umum perbanyakan tanaman berdasarkan perkembangan dan siklus hidupnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
perbanyakan secara seksual dan perbanyakan secara aseksual Santoso Nursandi, 2004.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk kultur jaringan tanaman beberapa jenis jeruk. Penggunaan metode in vitro untuk kultur jaringan tanaman jeruk telah
dimulai oleh Bove Morel 1957 dalam Nurwahyuni 2001, dan sejak itu kultur jaringan tanaman jeruk banyak mendapat perhatian. Regenerasi tanaman jeruk secara
kultur jaringan telah dilakukan diantaranya dari bagian tunas aksilar yang menghasilkan kalus Altman Goren, 1971 dalam Reinert Bajaj, 1989, bagian
daun dan batang serta bagian reproduktif lainnya seperti ovary, embrio somatik Chaturvedi Mitra, 1975 dalam Yeoman, 1986, bagian bakal buah Carimi et al.,
1998 dalam Nurwahyuni, 2001 dan bagian protoplas Da Gloria, 2000 dalam Nurwahyuni, 2001. Pembentukan embrio dan planlet untuk beberapa varietas jeruk
telah dilakukan misalnya berasal dari kalus nucellar yang sama Rangan et al., 1969; Bitters et al., 1972; Kochba et al., 1972 dalam Reinert Bajaj, 1989. Peneliti lain
Ranga Swamy 1961 Sabharwal 1963 dalam George Sherrington 1984 telah berhasil mengkulturkan embrio dari jaringan nucellar jeruk.
Menurut Ghorbel et al. 1998 dalam Nurwahyuni 2001, perbanyakan tanaman jeruk secara in vitro melalui kultur jaringan memiliki beberapa keuntungan
diantaranya adalah dapat menghasilkan bibit klonal secara massal dalam waktu yang singkat juga dapat meningkatkan kualitas tanaman karena menghasilkan tanaman
jeruk yang seragam dan tingkat kesehatan lebih baik.
Pada kultur jaringan banyak faktor-faktor penting yang sangat mempengaruhi keberhasilan dalam suatu pengkulturan diantaranya adalah media yang digunakan.
Media tanam dalam kultur jaringan harus berisi semua zat yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan eksplan Hendaryono Wijayani, 1994. Media yang paling
baik untuk diferensiasi kalus dan perkembangan planlet adalah media Murashige dan Skoog 1962 atau modifikasinya. Media dasar MS digunakan untuk hampir semua
macam tanaman Heinz Mee, 1969 dalam Reinert Bajaj, 1989 sedangkan media yang sering digunakan pada kultur jeruk adalah Murashige Tucker 1969,
Gamborg’s B5 dan EME Tang et al., 2006 serta Cultivation media Pena et al., 2004. Sebagai tambahan biasanya diberi zat organik lain seperti air kelapa, ekstrak
ragi, gandum, pisang, tomat, taoge, jeruk, kentang, apel, alpukat, pepaya, dan masih banyak lagi Hendaryono Wijayani, 1994.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Suryowinoto 1996, dalam budidaya tanaman dengan menggunakan teknik kultur jaringan, pemberian zat pengatur tumbuh dalam media juga perlu
diperhatikan karena mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan eksplan tersebut menjadi bibit yang baru. Dalam kultur jaringan zat pengatur tumbuh auksin dan
sitokinin sangat berpengaruh Gunawan, 1995. Auksin dan sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi
pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ.
Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi pemanjangan sel. Jenis auksin buatan yang biasa digunakan adalah IBA, 2,4-D dan NAA sedangkan
yang alami biasa digunakan IAA Katuuk, 1989. Sitokinin alamiah yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah zeatin dan 2-iP, sedangkan untuk sintetik
meliputi BAP dan kinetin Wattimena, 1992. BAP merupakan zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kultur in vitro karena sangat efektif dalam menginduksi
pertumbuhan daun dan penggandaan tunas, mudah didapat dan harganya relatif murah George Sherrington, 1984. BAP merupakan turunan adenin yang disubstitusi pada
posisi 6 yang bersifat paling aktif Wattimena, 1992. Dalam kultur jaringan zat pengatur tumbuh auksin atau sitokinin dapat diberikan secara bersama-sama ataupun
salah satunya saja, tergantung dari tujuan kita Hendaryono Wijayani, 1994.
Faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah pemilihan eksplan diantaranya organ sumber eksplan, umur organ, musim, ukuran dan kualitas tanaman
induk Barlass Skene, 1982 dalam Nurwahyuni, 2001. Eksplan yang digunakan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif, karena jaringan tanaman yang masih
muda mempunyai daya regenerasi yang lebih tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri dan relatif bersih mengandung lebih sedikit kontaminan. Sementara itu, jaringan
tanaman yang sudah tua lebih sulit beregenerasi dan biasanya mengandung lebih
Universitas Sumatera Utara
banyak kontaminan Yusnita, 2003. Selain faktor-faktor yang disebutkan di atas, faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, pH serta kelembaban juga akan menjadi
perhatian dalam kultur jaringan tanaman dalam usaha perbaikan kualitas bibit jeruk.
2.3 Kultur Embrio