penolong dan pemimpin, bersifat tegas dan memerangi mereka, serta bersikap waspada terhadap mereka.
3. Materi Dakwah
Materi Dakwah Madah ad-da’wah yang merupakan isi pesan-pesan dakwah Islam harus bersumber dari Al-Quran dan hadist sebagai sumber utama
yang meliputi tauhid, aqidah, syari’at, muamalah dan akhlak dengan berbagai cabang ilmu yang di peroleh dari kedua sumber tersebut. Serta pengembangannya
akan tetap mencakup seluruh kultur Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Materi dakwah harus sesuai dengan bidang keahlian
juru dakwah melalui metode, media dan serta objek dakwah atau mad’unya.
27
Karena tujuan dakwah adalah untuk membuat manusia memiliki kualitas aqidah, ibadah dan akhlak yang tinggi serta akan terjadi perubahan dalam diri
manusia tersebut termasuk di dalamnya perubahan dalam pola pikir dan tingkah laku,
28
maka materi dakwah disesuaikan dengan kondisi mad’u. Di mana seorang da’i
harus melihat budaya, latar belakang dan pendidikan masyarakat mad’unya. Seorang juru dakwah harus mengembangkan ide-ide baru yang tetap bersumber
dari ajaran Islam, supaya mad’u mendapat penyegaran. Materi dakwah secara umum dapat diklasifikasikan pada pokok-pokok
seperti masalah aqidah, masalah akhlaq, masalah syari’ah, dan masalah muamalah. Kemudian Ali Yafie dalam bukunya “Dakwah dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah” menyebutkan lima pokok materi dakwah, yaitu masalah kehidupan,
27
Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos,1997, Cet. 1, h. 34.
28
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004, ed. 1, Cet.1, h. 60.
masalah manusia, masalah harta benda, masalah ilmu pengetahuuan, dan masalah aqidah
. Yang terakhir inilah yang menjadi pangkal yaitu aqidah islamiyah aqidah yang mengikat hati manusia dan menguasai batinnya berdasarkan nilai
islam. Oleh karena itu yang pertama kali dijadikan sebagai materi dakwah rasulullah adalah masalah aqidah dan keimanan
.
29
4. Metode Dakwah
Metode menurut K. Prente, menerjemahkan methodus sebagai cara mengajar.
30
Dalam bahasa Inggris disebut method, dan dalam bahasa Arab di sebut dengan istilah uslub, tarikah, minhaj, dan nizam.
31
Jadi metode adalah cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud.
32
Metode dakwah
kaifiyah ad-da’wah merupakan cara-cara penyampaian
dakwah, baik terhadap individu, kelompok atau masyarakat luas agar pesan-pesan dakwah itu mudah diterima. Metode dakwah harus tepat dan sesuai dengan situasi
dan kondisi mad’u sebagai penerima pesan dakwah, di mana penerapan metode dakwah harus mendapat perhatian yang utama dari para da’i.
Menurut Ki Moesa A. Machfoeld tentang metode dakwah perlu dikutip: ”adalah cara tertentu yang digunakan dalam kegiatan dakwah
berdasarkan pemikiran yang cermat untuk mencapai tujuan dakwah. Yang dimaksud dengan pemikiran yang cermat adalah menentukan sebuah atau
beberapa cara yang didasarkan atas pertimbangan rasional dan dilakukan secara terperinci. Terperinci tahapannya mulai dari awal hingga akhir,
namun tidak sampai mengesampingkan fleksibilitas dan etika. Artinya,
29
Ali Yafie, Dakwah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta: Makalah Seminar, 1992, h. 10.
30
Woyo Wasito, Kamus Inggris –Indonesia, Jakarta: Cy Press, 1974, h. 208.
31
Elyas Anten, Asli Injilizi Arabig, Mesir : Elyas Modern Press, 1951, h. 438.
32
Munzier Suparta dan Harjani Hefni, Metode Dakwah Jakarta: Prenada Media, 2003, Cet. ke- 2, h. 6.
penerapannya harus luwes dan tanpa melangar norma yang ada dalam masyarakat, sehingga objek dakwah menjadi puas.”
33
Metode dakwah perlu dimodifikasi sedemikian rupa, disesuaikan dengan tuntutan modernitas. Demikian pula dengan penggunaan metode dakwah yang
tercantum dalam Al-Qur’an; bil hikmah, bil mauidzah hasanah dan mujadalah billati hiya ahsan,
aplikasi metode dakwah tersebut harus disesuaikan dengan mad’u
nya, maka dakwahnya juga dilakukan dengan cara berbeda-beda pula. Untuk penerapan metode dakwah di atas tersebut, sebagaimana yang ditulis
Mohammad Natsir, perlu dikutip antara lain: ”a. Golongan cendik-cendikiawan yang cinta kebenaran, dan dapat berfikir
secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Maka mereka ini harus dipanggil dengan ”hikmah”, yakni dengan alasan-alasan, dengan
dalil yang dapat diterima oleh akal mereka.
b. Golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara
kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang tinggi- tinggi. Mereka dipanggil dengan ”mauidzatun hasanah”, dengan
anjuran dan didikan yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah difahami.
c. Golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tadi,
belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak akan sesuai pula bila dilayani seperti golongan awam; mereka suka membahas sesuatu
tapi tidak hanya dalam batasan yang tertentu, tidak sanggup mendalam benar. Mereka ini dipanggil dengan ”mujadalah billati hiya ahsan”,
yakni dengan bertukar fikiran, guna mendorong supaya berfikir secara sehat, dan dengan cara yang lebih baik”.
34
5. Media Dakwah