BAB II KERANGKA TEORI
2.1. Sejarah Berdirinya Majelis Ulama Indonesia
Kedudukan Majelis Ulama Indonesia berpusat di tingkat nasional yang dimana setiap cabang tersebar pada seluruh tingkat provinsi dan daerah kabupaten
dan kota. Para anggotanya tidak hanya terdiri para ulama saja, akan tetapi juga terdiri dari para aktivis organisasi Islam dan cendekiawan atau sarjana umum yang
dipandang berperan penting dalam pembinaan umat Bustanudin, 2003; 120 Pada masa awal pembentukan Majelis Ulama Indonesia hanya bertugas
sebagai pemberi nasihat, dan tidak di perbolehkan melakukan program praktis. Hal ini tidak terlepas dari pegawasan oleh pemerintahan orde baru pada saat itu. Pada
tanggal 21 juli 1975 diadakan Konferensi Nasional Pertama para ulama, dalam pidatonya presiden Soeharto secara khusus menyarankan bahwa MUI tidak boleh
terlibat dalam program-program praktis seperti menyelenggarakan madrasah- madrasah, mesjid-mesjid, rumah-rumah sakit, karena kegiatan-kegiatan semacam ini
diperuntukkan bagi organisasi Islam yang telah ada, demikian juga pada kegiatan politik praktis, karena hal ini termasuk kegiatan partai politik yang telah ada Atho
Mudzar, 1993:63.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Sosiologi memandang agama
Sosiologi memandang agama sebagai salah satu dari institusi sosial, sebagai subsistem dari sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai
salah satu pranata sosial. Karena posisinya sebagai subsistem, maka eksistensi dan peran agama dalam suatu masyarakat tak ubahnya dengan posisi dan peran subsistem
lainnya, meskipun tetap mempunyai fungsi yang berbeda. Dengan kata lain, posisi agama dalam suatu masyarakat bersama-sama dengan subsistem lainnya seperti
subsistem ekonomi, politik, kebudayaan, dan lain-lain yang saling mendukung terhadap eksistensi masyarakat. Agama dalam hal ini tidak dilihat berdasarkan apa
dan bagaimana isi ajaran dan doktrin keyakinan, melainkan bagaimana ajaran dan keyakinan agama itu dilakukan dan mewujud dalam prilaku para pemeluk dalam
kehidupan sehari-hari Suyanto,2004: 241. Elizabeth Nottingham menegaskan bahwa fokus utama perhatian sosiologi
terhadap agama adalah bersumber pada tingkah laku manusia dalam kelompok sebagai wujud pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari dan peranan yang
dimainkan oleh agama selama berabad-abad sampai sekarang dalam perkembangan kelangsungan hidup kelompok masyarakat. Nottingham menjelaskan bahwa tidak
ada defenisi agama yang benar-benar memuaskan, hal ini dikarenakan kemajemukan kehidupan yang ada di masyarakat yang pada akhirnya membutuhkan pendeskripsian
yang luas ketimbang pada pendefenisian http:arifinzain.wordpress.com. Menurut Hendropuspito 1983:71, sosiologi tidak berhak memberikan
evaluasi tentang moralitas tingkah laku pemeluk agama, karena tugasnya hanya bersifat konstantif menyaksikan. Dalam batasan ini sosiologi hanya mengumpulkan
Universitas Sumatera Utara
pendapat atau penilaian yang diberikan pemeluk agama yang bersangkutan, atau motivasi yang melatarbelakangi tindakan itu. Ternyata dasar motivasi dan penilaian
pemeluk-pemeluk agama yang bersangkutan dapat berbeda secara radikal dari yang dipakai para pengamat rasionalis dan materialis. Apa yang menurut ukuran materialis
suatu kerugian, bagi manusia religius bukan sebagai kerugian tetapi keuntungan, bahkan suatu kebahagiaan yang menyangkut eksistensinya. Sebagaimana halnya
tentang larangan yang diajarkan agama berpengaruh pada atas proses sosial atau jalannya kehidupan masyarakat, demikian juga ajaran moral yang bersifat
deterministis berpengaruh pada cara berpikir dan pola tingkah laku para penganut yang bersangkutan. Determinisme mengajarkan bahwa terdapat mekanisme kausal
dari dunia supra-empiris atas dunia empiris. Apa yang terjadi didunia yang kelihatan baik atau buruk tentu akan mendapat balasan atas perbuatan yang dilakukan.
Jika kita perhatikan dengan seksama terbentuknya organisasi keagamaan lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi didalam masyarakat. Di dalam
masyarakat primitif agama merupakan fenomena yang menyebar kedalam berbagai bentuk perkumpulan manusia, misalnya dari keluarga sampai ke kelompok kerja.
Pada masyarakat ini agama merupakan salah satu aspek kehidupan semua kelompok sosial. Tampilnya organisasi yang mengelolah masalah keagaamaan dapat dijumpai
dalam masyarakat dimana fungsi diferensiasi internal dan stratifikasi yang ditimbulkan oleh perkembangan agama telah berkembang. Kehadiran organisasi
keagamaan tersebut telah menunjukkan salah satu aspek dari semakin meningkatnya pembagian kerja dan spesifikasi fungsi yang merupakan atribut penting masyarakat
perkotaan. Dalam masyarakat modern, organisasi untuk memenuhi kebutuhan adaptif
Universitas Sumatera Utara
cenderung dibuat terpisah dari organisasi yang memberikan jalan keluar bagi kebutuhan ekspresif.
Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus semula berasal dari pengalaman keagamaan yang dialami oleh pendiri agama tersebut atau para
pengikutnya. Dari pengalaman demikian lahir suatu bentuk perkumpulan keagamaan, yang kemudian disebut organisasi keagamaan yang sangat terlembaga F
O’Dea,1996: 69-70. Usaha untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh ajaran agama
mendorong pengikutnya membentuk kerjasama tertentu untuk mencapai tersebut. Kerjasama tersebut dapat berbentuk organisasi, baik sosial dan politik keagamaan
Bustanudin,2003: 117. Menurut Betty Scharf 2004:34 sosiologi melihat agama sebagai salah satu
dari Instusi sosial,yang terwujud kedalam suatu lembaga yang baku, salah satunya seperti institusi agama sebagai subsistem sosial yang mempunyai fungsi sosial
tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial. Karena peran institusi agama sebagai sub sistem, maka eksistensi institusi agama tersebut dalam masyarakat tak
ubahnya sebagai subsistem lainnya institusi ekonomi, institusi keluarga, institusi hukum, institusi politik, institusi pendidikan, meskipun tetap mempunyai fungsi
yang berbeda. Menurut Horton dan Hunt 1987:46, yang dimaksud dengan pranata sosial
atau lembaga sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah suatu
sistem hubungan sosial yang terorganisir yang mengentahjawahtahkan nilai-nilai
Universitas Sumatera Utara
serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. Dalam penjelasan diatas maka dapat dikaitkan bahwa institusi agama
merupakan subsistem dari institusi sosial atau lembaga sosial yang memiliki peran sebagai bentuk sebuah lembaga yang melakukan pengendalian akan nilai dan norma
bagi pemeluknya, agar tidak lepas dari nilai dan norma yang disepakati dalam kehidupan beragama.
Menurut Soerjono Soekanto 1970:173, pranata sosial di dalam masyarakat memiliki fungsi sebagai berikut ;
1. Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah
laku atau bersikap dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. 2.
Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat
3. Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan sistem
pengendalian sosial. Sanksi-sanksi atas pelanggaran norma-norma sosial merupakan sarana agar setiap warga masyarakat tetap konform dengan norma-
norma sosial, sehingga tertib sosial dapat terwujud.
2.3. Fungsi Agama