Praktek Kehidupan Bergereja PENGARUH KONFLIK HKBP TERHADAP JEMAAT DI SAMOSIR

meninggal, dan ekstern yaitu budaya masyarakat batak yang berideologikan Dalihan Na Tolu yang menjadi tonggak untuk kesatuan orang Batak Toba, dan sistem ketahanan nasional sehingga melibatkan pemerintah turut untuk mencampuri masalah yang ada dalam tubuh HKBP.

4.1 Praktek Kehidupan Bergereja

Konflik yang terjadi dalam tubuh HKBP adalah karena adanya faktor kepentingan seseorang atau lebih. Untuk mendapatkan kepentingan tersebut para pelaku yang mengakibatkan konflik HKBP semakin besar dan mempunyai pengaruh terhadap Negara dan khususnya pada masyarakat batak toba. Pada masa konflik tahun 1962 jemaat di Samosir pecah menjadi dua kelompok yaitu Jemaat yang pro dengan Ephorus yang terpilih yaitu Pdt Ds. Tunggul Sihombing, dan Jemaat yang pro dengan Pendeta yang telah di pecat akibat dari tidak setujunya atas mutasi yang dilakukan Ephorus yang terpilih atau parreformasi. 55 Dalam konflik 1962 sebagian warga HKBP tidak melakukan kebaktian dalam rumah sebagai tempat kebaktian alternatif karena pada saat konflik terjadi mereka lebih memilih untuk kebaktian bergantian memakai gedung gereja secara bergilir untuk menghindari bentrok dengan kedua kelompok. Akan tetapi dalam penggunaan gedung gereja sering terjadi konflik adu mulut atau saling menghujat karena Perpecahan ini merupakan konflik yang terjadi dalam tubuh HKBP antara pengurus gereja, dimana para pengurus pusat saling tidak percaya akan keputusan yang pada sinodistan yang dianggap sebagai keputusan dalam rapat tertinggi. 55 Wawancara dengan S. Manalu tanggal 21 November 2010. Universitas Sumatera Utara persoalan kunci gereja. Kesimpangsiuran dalam praktek kehidupan yang terjadi selama para konflik terjadi membuat banyak warga HKBP pada saat itu memilih untuk berpindah ke gereja yang lain dan sebagian lagi lebih memilih untuk berdiam diri, dan tidak memilih kedua kelompok tersebut akan tetapi tetap melakukan kegiatan ibadah dalam gereja. Konflik 1988 terjadi dalam tubuh HKBP yang mengakibatkan pecahnya jemaat menjadi dua yaitu Monjo SAI TIARA dan SSA Aturan dan Peraturan SAE Nababan. Konflik ini berawal tuduhan terhadap pemimpin HKBP yang mengajarkan ajaran sesat sampai dengan periodesasi kepemimpinan yang melibatkan pemerintah dalam konflik tersebut. Konflik yang terjadi dalam tubuh HKBP, menyebabkan terjadinya polarisasi di antara jemaat dalam menentukan sikap dan pandangan terhadap konflik tersebut. Polarisasi tersebut sudah mengarah pada perpecahan dalam jemaat HKBP yang berdampak negatif bagi perkembangan gereja HKBP itu sendiri dan dalam menjalankan fungsi sosialnya untuk melayani jemaatnya sendiri. Dalam praktek kehidupan bergereja kebaktian dilakukan secara bergilir dalam waktu yang berberbeda dan dipimpin oleh pimpinan dari kelompok masing-masing. Kebaktian bergilir ini dilakukan untuk menghindari konflik fisik antara jemaat, pernah terjadi di Resort Pangururan pada saat kelompok SAI TIARA telah selesai melaksanakan kebaktian dan keluar dari gereja dan pulang besama-sama dan jumpa di jalan dengan kelompok SSA, dijalan tersebut terjadi saling mencemohkan dan Universitas Sumatera Utara saling mengejek. 56 Pada era konflik ini banyak warga HKBP rajin bergereja, warga yang rajin ini pada umumnya adalah laki-laki dimana mereka berperan dalam masalah tersebut sehingga merumitkan masalah pada masa konflik tersebut. Masuknya warga HKBP yang jarang bergereja sebelum konflik ini di pandang karena adanya kepentingan tersendiri dalam konflik tersebut. Dari contoh tersebut kedua kelompok saling mempertahankan apa yang mereka anggap benar dan tidak menghiraukan apa itu merupakan keluarga dekat. Krisis HKBP juga mempunyai implikasi yang rumit dalam praktek-praktek kehidupan bergereja. Hal ini secara khusus sangat terasa dalam pelaksanaan ibadah perkawinan, upacara pemakaman dll. Dalam upacara perkawinan misalnya adanya muncul hambatan karena pengantin berasal dari jemaat yang berbeda sikapnya. Di Resort HKBP Limbong Sagala pernah ada perkawinan dimana yang kawin adalah berasal dari kelompok SSA maka pendeta yang memberkati adalah dari kelompok mereka, kelompok SAI Tiara hanya mengikuti prosesi perkawinan dan tidak melakukan sebagai manahalnya dalam acara perkawinan sebelum konflik terjadi, begitu juga sebalik apabila kelompok SAI Tiara yang menikah maka pendeta dari kelompok merekalah yang memberkati. 57 56 Wawancara dengan Pdt. K. Sirait. MTh. 57 Wawancara dengan J. Simbolon. Tanggal 11 November 2010 Sebagian warga lebih memilih apatis akan masalah HKBP. Keapatisan ini adalah karena bisnis, keluarga, masalah tersebut dipandang tidak efektif dalam bergereja karena di dalam bergereja tersebut bukanlah mencari kubutuhan akan hal duniawi akan tetapi mencari ketenangan jiwa untuk Universitas Sumatera Utara bersekutu dengan Tuhan.

4.2. Terbentuknya Gereja Baru dan Munculnya Tempat Kebaktian Alternatif