BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KONFLIK HKBP
3.1 Faktor Konflik HKBP 1962-1964
Setelah HKPB lepas dari konflik yang terjadi pada tahun 1942 yaitu konflik HKBP dan BNZ Batak Nias Zending yang dipimpin oleh Kolonial Belanda. Konflik
ini muncul karena pemerintah Kolonial Belanda memutuskan bahwa HKBP berada di bawah pembinaan BNZ, tujuannya ini adalah untuk meneruskan program RMG
tanpa orang Indonesia sesuai dengan kehendak pemerintah kolonial.
25
3.1.1. Perubahan anggaran dasar dan rumah tangga aturan-peraturan
Setelah itu muncul kembali konflik baru di dalam tubuh HKBP pada tahun 1962 yang menimbulkan terbentuknya GKPI Gereja Kristen Protestan Indonesia.
Konflik ini terjadi mulai awal masa kepemimpinan Ephorus Pdt TS Sihombing yang terpilih melalui Sinode Agung Istimewa. Dimana banyak inspirasi-inpirasi baru yang
menginginkan HKBP lebih maju. Akibat dari perbedaan ide, para pendeta yang tidak setuju dengan perubahan aturan dan peraturan keluar dari HKBP dan membentuk
gereja yang baru yaitu GKPI.
Anggaran dasar dan rumah tangga ini adalah yang mengatur semua tata letak sebuah organisasi ataupun gereja. Di dalam gereja HKBP pada tahun 1962 diadakan
Sinode Agung yang membahas tentang aturan dan peraturan di mana banyak
25
Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Op.cit., hlm. 7
Universitas Sumatera Utara
perubahan sehingga menimbulkan pro dan kontra. Adapun beberapa perubahan yang terjadi dalam aturan dan peraturan adalah:
26
a. Dihapusnya golongan Kasbestuur pengawas kas dan harta. Tugas kasbestuur
adalah mengelola dan mengawasi keungan jemaat, termasuk segala bentuk yuran dan seluruh harta milik jemaat serta bangunan genung jemaat. Keuntungan yang
diharapkan berakhirnya dualism antara golongan sintua dan anggota kasbestuur bisa disintuakan. Kerugiannya adalah tertutup kesempatan anggota jemaat
berpartisipasi dalam bidang kepemimpinan jemaat presbiterialisme. b.
Pusat koordinasi diturunkan dari distrik ke tingkat resort. Rapat resort menjadi rapat terdekat ke Sinode Godang. Sinode Distrik dihapuskan.
c. Hapusnya utusan ke Sinode Godang atas nama golongan pendeta, guru, sintua.
d. Hapusnya anggota Majelis Pusat yang mewakili satu daerah distrik atau
golongan. Sebab anggota Majelis Pusat seharusnya memikirkan pelayanan se- HKBP dan bukan memperjuangkan kepentingan golongan atau daerah.
e. Sinode Godang diadakan satu kali dalam dua tahun, dan masa jabatan yang
terpilih oleh Sinode Godang jadi enam tahun. f.
Ephorus dan Sekretaris Jenderal. Adanya pergeseran tugas kepemimpinan di tingkat paling atas; antara Ephorus dan Sekretaris Jenderal berbeda dengan Tata
Gereja 1950 Tata Gereja 1062 tidak lagi mempertahankan “dwi tunggal” antara Ephorus dan Sekretaris Jenderal, tetapi melimpahkan kepemimpinan HKBP
kepada Ephoru, jadi kembali ke Tata Gereja 1930.
26
Pdt. Dr. JR. Hutauruk, Menata Rumah Allah, Pearaja tarutung: Kantor pusat HKBP, 2008, hlm 9-10
Universitas Sumatera Utara
Perubahan yang dilakukan ini adalah merupakan modernisasi management untuk meningkat mutu pelayanan dalam lingkungan HKBP. Akan tetapi dalam
pemasukan variable management modern kedalam organisasi gereja beralawal dari masuknya tokoh awam yang memiliki kekayaaan yang melimpah dalam perusahaan
modern sebagai pimpinan gereja dan duduk dalam fungsional Parhalado Pusat majelis pusat yang sangat berpengaruh dan menentukan. Sejak itu perjalan
organisasi HKBP berubah dari pengolaan cara tradisional ke cara modern.
3.1.2. Pemecatan Pendeta.
Penyebab dipecatnya para pendeta ini adalah tidak bersedia pindah ke wilayah lainnya dan dianggap pembangkang keputusan pimpinan. Dibalik alasan itu adalah
karena para pendeta yang di pecat tidak bersedia memilih Pdt DS. Tunggul Sihombing sebagai Ephorus yang melakukan pemecatan. Sesuai kehendak
perekayasa dalam Sinode Godang oktober 1962, maka majelis jemaat yang membela dan mempertahankan pendeta yang dipecat, juga dipecat. Akibatnya muncul dua
kubu kelompok yang berhadapan dengan secara frontal di setiap gereja yang bergolak, yaitu kelompok pro-pendeta yang dipecat dan kelompok pro-Ephorus.
27
Ketidak bersediaan para pendeta dan guru jemaat yang di mutasi ke daerah lain dianggap tidak adil karena adanya faktor geneologis kemargaan. Sistem
penempatan ini maksudnya sistem penempatan dalam oragnisasi modern dalam aplikasinya ditunjang oleh sistem nepotisme bahkan sistem primordialisme. Faktor-
27
Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Op.cit, hlm. 386.
Universitas Sumatera Utara
faktor tersebut mengakibatkan situasi ketidakpuasan dalam seluruh tingkat kepemimpinan gereja.
28
Bentuk perjuangan yang dilakukan Dewan Keutuhan HKBP adalah melakukan perjalanan doa sepanjang 250 km dari medan ke Pearaja Tarutung,
tokohnya ialah Prof. Apul Panggabean, MA dan R.M. Simanjuntak MSc Untuk membela idealismenya para pendeta yang dipecat membentuk
kelompok perlawanan dalam wadah Panitia Panindangi Reformasi PPR. Panitia di bentuk untuk penghubung kesatuan HKBP supaya tidak terjadi perpecahan. Sasaran
dari kelompok ini adalah menolak kebijaksanaan Ephorus dan Sekretaris Jenderal serta menghimpun pandangan dan saran-saran warga untuk disampaikan pada
pimpinan HKBP. Namun usaha ini tidak mendapat tanggapan dari pimpinan HKBP. Dalam kelompok PPR ada dua sikap yang berbeda yaitu setuju dan tidak
setuju pada usaha rekonsiliasi dengan kelompok Ephorus. Akibatnya kelompok ini dibubarkan dan dibentuklah Dewan Keutuhan HKBP pada 27 Oktober 1963 di
Pematang Siantar. Ini adalah suatu dewan keanggotaan yang lebih luas dn bertugas menampung tugas pucuk pimpinan HKBP melanjutkan tugas panitia penghubung
serta melengkapi lembaga-lembaga yang ada dalam organisasi pusat HKBP. Salah satu rencana kerja yang dicanangkannya ialah membentuk komposisi dan
menentukan pejabat yang duduk dalam organisasi Dewan Keutuhan.
29
28
Einar sitompul, dan Rany MP. Hutabarat. Gereja di pentas politik: belajar dari kasus HKBP. Jakarta: Yakoma. 1997. hlm. 52-56
29
Prof. Apul Panggabean , MA, mantan Rektor IKIP Medan dan R.M. Siamanjuntak, MSc terkenal dengan nama julukan Guru Rondang, mantan Dekan FIP IKIP Medan.
diikuti 25 orang pemuda dan orang tua. Aksi itu disambut secara antusias oleh masyarakat di
Universitas Sumatera Utara
Tarutung, tetapi dicoba digagalkan diporsea oleh serombongan Jawara suruhan seorang anggota Kerbestuur pengawas kas dan harta sekaligus pengusaha.
Kelompok-kelompok mediator ini ternyata gagal mengajak pimpinan HKBP untuk perdamaian demi keutuhan gereja.
Akhirnya para anggota mediator berubah sikap dan kelompok mediator berhadapan secara frontal. Sejak kelompok ini berubah nama menjadi dewan
keutuhan HKBP, Pimpinan HKBP memandang gerakan ini sebagai perebutan kekuasaan dari bawah. Dewan keutuhan ini berubah nama menjadi Dewan
Koordinasi HKBP 1950, salah satu tuntutan kelompok ini adalha membatalkan peraturan yang baru hasil sinode tahun1962 dan kembali ke peraturan tahun 1950.
Kelompok perlawanan ini adalah gabungan antara kelompok perlawanan PPR Panitia Panindangi Reformasi yang beranggotakan 22 orang pendeta yang dipecat
dengan kelompok mediator dewan keutuhan HKBP.
3.1.3. Masuknya Pemerintah Sebagai Penyeimbang
Pada akhirnya konflik ini terbuka pada lingkungan jemaat gereja. Sehingga banyak jemaat yang terlibat dalam masalah HKBP, yang mengakibatkan semakin
meningkatnya intensitas konflik. Meningkatnya konflik ini dapat berakibat buruk bagi bangsa dalam bidang keamanan, dengan kondisi ini mendapat perhatian dari
pemerintah sebagai pelindung masyarakat dari ancaman konflik. Terjadinya konflik dalam tubuh HKBP ini adalah karena adanya anggapan
bahwa HKBP didominasi oleh oleh marga-marga tertentu yang berasal dari Kampung
Universitas Sumatera Utara
Toba, humbang, dan samosir. Anggapan ini muncul dari kelompok marga Hutagalung, Hutabarat, dan Lumbang Tobing, yang dikenal dengan orang Silindung.
Memuncaknya konflik semakin tajam ketika pengurus pusat HKBP, lewat Sinode Agung I ini akibat pemecatan 22 orang pendeta dari kubu Silindung.
Selebaran-selbaran pro dan kontra bertebaran yang diikuti demonstrasi. Dan konpromi makin jauh ketika T. D Pardede Alm, sebagai ketua yayasan Universitas
HKBP Nommensen mengeluarkan dari keanggotaan organisasi secara tidak terhormat Dr. Andar Lumban Tobing, dari jabatan Rektor Universitas HKBP Nommensen dan
Dr. Sutan M. Hutagalung dari keanggotaan HKBP yang merupakan kubu dari Silindung. Berkobarlah sakit hati dikalangan intelektual Kristen yang tak rela diatur
oleh donator dari kalangan awam.
30
Awal masuknya pemerintah dalam konflik HKBP pada sinode Agung Instimewa pada tanggal 19-25 juli 1964 di Parapat yang dihadiri wakil Menteri
Agama Ds. W. Rumambi dan wakil pemerintah Sumatera Utara Ds. P. R. Telaumbanua. Dalam sidang ini berhasil merumuskan yang tampaknya menampung
tuntutan kelompok perlawanan, bahkan dapat dikatakan melegakan kedua belah pihak Memanasnya masalah HKBP mendapat perhatian besar dari pemerintah untuk
campur tangan dalam konflik ditubuh HKBP yang beralaskan
untuk menyeimbangkan pengurus HKBP yang berargumen berbeda. Masuknya pemerintah
untuk campur tangan melalui Gubernur Sumatera Utara sebagai daerah pimpinannya. Posisi pemerintah pada puncak konflik ternyata tidak obyektif dan memihak kepada
pimpinan HKBP.
30
Majalah tempo No. 48. 30 januari 1993. hlm. 29.
Universitas Sumatera Utara
yang terlibat konflik, namun pelaksanaan keputusannya tidak terwujudkan. Akibatnya gerakan perlawan di dalam geraja tetap eksis.
31
Gubernur Sumatera Utara Kolonel Ulung Sitepu menilai bahwa kputusan sinode Agung istimewa di parapet tidak dapat menghasilkan perdamaian dan
ketentraman, maka semua kelompok yang bertikai diundang untuk berembuk pada 14 Agustus 1964. Akan tetapi kelompok perlawanan menganggap pertemuan itu sebagai
pengadilan terhadap kelompok perlawanan. Gubernur pada kesempatan itu tanpa memberi kesempatan membela diri menyatakan pelarangan atas semua badan-badan
perlawanan yang muncul dalam gereja HKBP serta menetapkan keputusan Sinode Agung Istimewa 23 Juli 1964 sah.
32
31
Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Op.cit, hlm. 390.
32
Ibid, hlm. 390.
Dengan penetapan ini Gubernur muncul sebagai pemenang yaitu Pdt. TS. Sihombing dan tidak menunjuk sikap sebagai penyeimbang
dalam masalah konflik sosial. Keberpihakan Gubernur ditandai dengan pelarangan golongan tersisih untk melakukan kegiatan dengan mengatasnamakan gereja HKBP.
Larangan tersebut ternyata membuka jalan bagi golongan tersisih untuk mendirikan satu gereja yang mandiri yang dinamakan Gereja Kristen Protestan Indonesia.
3.2. Faktor Konflik HKBP 1988 - 1998