2. Pengetahuan Orang Tua Tentang Kekerasan Seksual Pada Anak
Prasekolah a.
Tingkat Pengetahuan Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 55 responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang kekerasan seksual pada anak
prasekolah dan 45 memiliki pengetahuan yang baik. Maka dapat dikatakan bahwa rata
– rata orang tua di Kelurahan Grogol Selatan memiliki pengetahuan yang kurang tentang kekerasan seksual pada anak prasekolah.
Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Chen 2007 di Tiongkok bahwa pengetahuan orang tua tentang kekerasan seksual pada
anak masih sangat minim. Kontribusi dari semua pihak terkait tentu sangat penting untuk
dilakukan. Pemberian edukasi yang berkala mengenai pengetahuan tentang kekerasan seksual pada anak perlu dipaparkan kepada orang tua. Peran serta
perawat, pemerhati anak, maupun petugas kesehatan lainnya dalam peningkatan pengetahuan orang tua di Kelurahan Grogol selatan akan
sangat membantu. Melalui pendidikan kesehatan sebagai salah satu sarana meningkatkan pengetahuan diharapkan perawat bisa memberikan andil
yang besar.
b. Distribusi Frekuensi Jawaban
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden mengetahui pengertian kekerasan seksual pada anak. Sebanyak 74,2
responden menjawab benar bahwa kekerasan seksual pada anak adalah sengaja mempertontonkan hubungan suami istri di depan anak. Namun pada
domain jenis kekerasan seksual pada anak, terdapat 52,5 responden menjawab salah bahwa memotret anak saat telanjang sebagai pemenuhan
hasrat seksualnya merupakan kekerasan seksual non-fisik. Hal ini dapat berarti bahwa karena keterbatasan pengetahuan orang tua, sehingga orang
tua di Kelurahan Grogol Selatan belum dapat membedakan jenis kekerasan seksual pada anak dengan baik.
Responden menjawab salah pernyataan bahwa seseorang yang melakukan kekerasan seksual pada anak di sebut dengan pedofilia sebanyak
52,5. Selain itu sebanyak 64,2 responden juga menjawab benar, bahwa pedofilia atau pelaku kekerasan seksual pada anak tidak memiliki ciri atau
tanda yang pasti. Menunjukkan bahwa pengetahuan orang tua rendah terhadap pelaku kekerasan seksual. Hal ini dapat berarti bahwa orang tua
belum familiar dengan sebutan atau istilah dalam kekerasan seksual pada anak. Selain itu pada domain korban kekerasan seksual, pada anak bahwa
anak dengan cacat fisik dan mental tidak mungkin menjadi korban kekerasan seksual, sebanyak 63,3 responden menjawab benar. Hal ini
akan sangat membahayakan anak dengan kondisi cacat fisk maupun mental, padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh Westcott dan Jones 2007
mengatakan bahwa resiko kekerasan seksual meningkat dengan anak yang memiliki kecacatan fisik dan retardasi mental.
Salah satu tanda dan gejala psikologis dari korban kekerasan seksual pada anak yang dapat dijadikan sebuah indikator bagi orang tua
adalah anak sering berperilaku ganjil seperti mempraktekkan orang sedang berciuman merupakan tanda psikologis korban kekerasan seksual, namun
responden sebesar 56,7 masih menjawab salah, begitu pula dengan pernyataan anak tiba-tiba takut masuk ke kamar mandi merupakan salah
satu tanda psikologis korban kekerasan seksual, sebanyak 52,5 responden masih menjawab salah. Padahal anak tidak harus selalu memperlihatkan
tanda dan gejala fisik, maka orang tua juga harus lebih mengetahui indikator secara psikologis agar lebih sensitif terhadap kelainan perilaku anak secara
tiba – tiba Indriati, 2014.
Pada domain pencegahan kekerasan seksual pada anak, hanya sebanyak 42,5 responden yang menjawab benar pernyataan bahwa
bahasan mengenai seksualitas dan organ reproduksi perlu dipaparkan orang tua kepada anak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Chen
2007 di Tiongkok bahwa banyak orang tua yang merasa kurang percaya diri dan tidak memahami kosa kata mengenai bahsan seksual, atau dengan
kata lain pengetahuan orang tua masih sangat minim menganai bahasan seksualitas. Selain itu penelitian serupa yang dilakukan oleh Tang dan Yan
2004 juga mengungkapkan bahwa orang tua sering dibatasi oleh mitos bahwa bahasan seksualitas merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan
dengan anak.
Pernyataan bahwa perlu untuk mengajarkan anak keterampilan perlindungan diri dari tindak kekerasan seksual sebanyak 52,5 menjawab
dengan salah. Senada dengan itu pernyataan bahwa tidak menyebut alat kelamin anak dengan sebutan lain seperti “burung” atau “apem sebanyak
52,5 responden menjawab tidak benar. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan orang tua tentang pencegahan kekerasan seksual masih kurang.
Padahal pencegahan kekerasan seksual merupakan hal yang penting untuk di ketahui orang tua adalam rangka melindungi anak sedari dini akan
ancama kekerasan seksual. Tidak menamai alat kelamin anak dengan sebutan lain adalah salah satu pencegahan kekerasan seksual pada anak,
karena pada umumnya pedofilia memanfaatkan kesempatan tersebut untuk merayu anak dengan mengajak mereka bermainan “burung – burungan”
misalnya. Oleh karena itu penting sekali orang tua membahas seputar seksualitas, kesehatan organ reproduksi, bahaya kekerasan seksual dan
menamainya dengan nama yang semestinya, penis untuk alat kelamin laki –
laki dan vagina untuk alat kelamin permpuan Cruise, 2013.
B. Pembahasan Bivariat
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai hasil analisa hubungan karakteristik orang tua peran sebagai orang tua, usia, pendidikan, status
pekerjaan, status pernikahan, status pekerjaan, dan pendapatan dengan pengetahuan orang tua tentang kekerasan seksual pada anak prasekolah.
Secara lebih jelas sebagai berikut:
1. Hubungan peran sebagai orang tua dengan pengetahuan orang tua