meliputi beberapa hal yaitu edukasi, berhenti merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis, dan nutrisi.
27
2.2 C-reactive protein CRP
CRP ditemukan oleh Tillett dan Francis pada tahun 1930, dinamai CRP karena kemampuannya untuk mengendapkan C-polisakarida dari Streptococcus pneumoniae.
CRP merupakan protein fase akut yang memiliki kemampuan untuk mengikat bakteri kemudian memfasilitasi pengikatan komplemen yang diperlukan untuk memfagositosis
bakteri. CRP merupakan penanda sistemik yang sangat peka terhadap reaksi inflamasi
dan kerusakan jaringan. Respon fase-akut meliputi respon nonspesifik yang fisiologis dan biokimia terhadap berbagai bentuk kerusakan jaringan, infeksi, peradangan, dan
keganasan. Protein fase-akut terdiri atas penghambat proteinase, koagulasi, komplemen dan protein transport, tetapi hanya molekul protein SAA yang memiliki sensitifitas, dan
kecepatan respon yang sebanding dengan CRP.
1
2.2.1 Struktur dan filogeni CRP
CRP termasuk dalam famili pentraksin dari protein plasma calcium-dependent ligand-binding
, yang pada manusia merupakan komponen dari SAP. Molekul CRP pada manusia terdiri dari lima polipeptida yang identik, masing-masing terdiri atas 206 residu
asam amino. Secara struktural CRP adalah molekul simetris yang terdiri dari lima protomers
tidak kovalen yang berhubungan dengan promoter. Setiap protomer memiliki dua ion kalsium yang bertanggung jawab untuk pengikatan posfoklorin spesifik. Posfoklorin
merupakan unsur utama dari polisakarida bakteri dan jamur dan yang paling banyak pada
29
Universita Sumatera Utara
sel membran biologis, seperti residu posfoklorin dari C kapsuler-polisakarida dari Streptococcus
pneumoniae. Protein ini dinamakan C-reactive karena reaksi ini. Monosit memiliki reseptor untuk CRP dan selanjutnya CRP akan meningkatkan
produksi sitokin. CRP berperan juga dalam proses atherogenesis. Aktifasi CRP lebih lanjut dapat mengakibatkan produksi sitokin pro-inflamasi dan diferensiasi monosit
menjadi makrofag. Dengan keberadaan lipoprotein teroksidasi densitas rendah, CRP akan memfasilitasi produksi sel-sel busa yang akan menjadi plak aterosklerotik.
30
31
Gambar 5. CRP pada patogenesis PPOK. LPS: lipopolisakarida; PAH: polyaromatic hydrocarbons
; BEC: bronchial epithelial cell; GM-CSF: granulocyte- monocyte colony-stimulating factor
; MPO: myeloperoxidase; MØ: macrophage; TIMP: tissue inhibitors of metalloproteinase
; aAT: a1-antitrypsin; VEGF: vascular endothelial growth factor
; END: endothelial cell; CRP: C-reactive protein.
19
2.2.2 Fungsi CRP
CRP berperan dalam pertahanan tubuh manusia melalui respon inflamasi alamiah yang merupakan pertahanan tubuh pertama. CRP bekerja secara bersamaan dengan
sistem imunitas didapat untuk melawan patogen dan mikroba. CRP akan mengikat
Universita Sumatera Utara
antigen melalui mekanisme yang melibatkan kalsium yang berperan menambah aktifitas proses fagositosis. Konsentrasi serum CRP mencapai kadar patologis jika diatas 5 mgl.
CRP dapat digunakan untuk memonitor inflamasi akibat dari infeksi maupun tidak infeksi, dan untuk menilai kemajuan terapi.
Nakou
32
dkk 2008 dalam analisanya menyimpulkan CRP dapat berperan dalam menginduksi apoptosis sel otot polos pembuluh darah koroner, dapat menginduksi
pelepasan IL- 1 dan TNFα oleh monosit, meningkatkan pembentukan radikal oksigen
dengan monosit dan netrofil, menginduksi aktivasi komplemen, menginduksi ekspresi dari molekul adhesi melalui sel endotel ICAM-1, VCAM-1, E-selektin dan
menginduksi produksi dari tissue factor dari monosit.
33
Gan dkk. 2004 dalam studi metaanalisanya menganalisa 14 studi original dengan membandingkan kadar serum CRP, fibrinogen, leukosit dan TNF-
α , IL-6, dan IL-8 pada pasien PPOK dan kontrol sehat. Hasilnya adalah pasien PPOK secara
signifikan mengalami peningkatan kadar CRP, fibrinogen, leukosit dan TNF- α
dibandingkan dengan kontrol yang sehat, yang mengindikasikan bahwa inflamasi sistemik persisten terjadi pada PPOK. Ditemukan juga bahwa pada pasien PPOK yang
telah berhenti merokok terdapat bukti adanya inflamasi sistemik yang rendah. Hal ini menjelaskan bahwa ketika terjadi PPOK, berhenti merokok tidak sepenuhnya menepis
proses inflamasi yang berhubungan dengan kondisi ini.
34
Bagaimana dan kenapa pasien PPOK mengalami inflamasi sistemik masih belum dapat dijelaskan. PPOK dikarakteristikkan dengan proses inflamasi yang kuat pada
saluran napas, parenkim, dan pembuluh darah paru. Ada kemungkinan dalam beberapa kasus bahwa proses inflamasi ini meluas ke sirkulasi sistemik yang selanjutnya
menimbulkan reaksi inflamasi yang luas. Bagaimanapun mekanismenya, proses inflamasi sistemik pada PPOK telah dikaitkan dengan berbagai komplikasi seperti
Universita Sumatera Utara
kehilangan berat badan, kaheksia, osteoporosis, dan penyakit kardiovaskular. Hubungan antara PPOK, peradangan sistemik, dan penyakit kardiovaskular sangat erat dimana
lebih dari setengah pasien dengan PPOK meninggal karena penyakit kardiovaskular. Selain itu, selama periode eksaserbasi terjadi peningkatan secara signifikan kadar
plasma CRP, fibrinogen dan kadar serum IL-6, yang selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien dengan PPOK.
Olafsdottir dkk. 2007 dalam studi kohort mengikutsertakan 53 pasien PPOK. Dengan hasil bahwa kadar CRP lebih besar pada penderita PPOK dibanding yang tidak
1,4 mgl vs 1,0 mgl, p=0,003, subjek dengan peningkatan kadar CRP OR 95 CI 3.21 1.13–9.08 memiliki resiko menderita PPOK dan penurunan FEV
34
1
pada laki-laki rata-rata 44 mL dan perempuan rata-rata 31 mL. Laki-laki dengan kadar CRP 0,46
mgl mengalami penurunan FEV
1
sementara pada kadar yang sama perempuan tidak mengalami penurunan FEV
1
yang signifikan. Hubungan negatif antara CRP dan FEV
1
terjadi lebih besar pada laki-laki dibanding perempuan p=0,04, terdapat hubungan kadar CRP dan FVC p=0,01 pada laki-laki saja.
Olafsdottir 2011 dalam disertasinya menyimpulkan terdapat hubungan antara kadar CRP dan gejala respirasi seperti mengi, sesak napas yang berhubungan dengan
aktifitas, batuk malam hari, dimana hal ini menunjukkan bahwa penanda inflamasi sistemik tidak hanya bermanfaat sebagai penanda penyakit tahap lanjut tetapi juga untuk
menilai perjalanan penyakit.
35
36
2.2.3 Kadar CRP