Aspek Yuridis Dasar Pertimbangan Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah

39

3.1 Dasar Pertimbangan Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah

Dinamisasi perubahan lingkungan, baik pada skala makro maupun mikro, menuntut suatu organisasi untuk juga melakukan perubahan apabila organisasi tersebut ingin mempertahankan eksistensinya. Di sini, organisasai harus mampu menguasai cara-cara baru yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi, yaitu melakukan penyesuaian pola organisasi yang cenderung kaku menjadi lebih fleksibel. Dalam lingkup organisasi Pemerintahan Daerah, keluarnya PP No. 41 Tahun 2007 menuntut penyesuaian atau perubahan pada pola penataan kelembagaannya. Oleh karenanya setiap Daerah diberikan waktu maksimal 1 tahun untuk melakukan penataan kelembagaan yang disesuaikan dengan ketentuan baru tersebut. Pada dasarnya, penataan kelembagaan merupakan suatu proses yang tidak berkesudahanan, dalam artian bahwa penataan kelembagaan dilakukan seiring dengan perubahan yang terjadi, baik di lingkungan makro maupun mikro. Penataan Kelembagaan sendiri merupakan salah satu langkah untuk menata suatu sistem yaitu sistem Pemerintahan Daerah. Oleh karenanya, agar sistem tersebut berjalan dengan harmonis dalam mencapai visi dan misi yang diembannya, penataan kelembagaan harus diimbangi dengan penataan pada elemen-elemen lain dari sistem tersebut, seperti penataan SDM, Penataan Keuangan, Penataan Kebutuhan Sarana dan Prasarana serta Penataan mekanisme hubungan kerja antara unit-unit organisasi. Selanjutnya terkait dengan penataan kelembagaan, terdapat beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan untuk melakukan penataan kelembagaan Pemerintah Daerah, yang meliputi 3 aspek yaitu : aspek yuridis, aspek kebutuhan empiris dan aspek akademis.

3.1.1 Aspek Yuridis

Secara yuridis, penataan kelembagaan Pemda didasari oleh penerapan Otonomi Daerah yang saat ini berada dibawah naungan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak awal terjadinya perubahan penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian BAB III PENDEKATAN PENATAAN KELEMBAGAAN 40 diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004, telah membawa konsekuensi perubahan yang cukup mendasar pada sistem pemerintahan di Daerah. Berbagai perubahan tersebut tentu saja membawa konsekuensi yang mendasar pula termasuk dalam hal perlunya penataan kewenangan dan penataan kelembagaan daerah. Dalam aspek kewenangan daerah, peraturan perundang-undangan tentang Kewenangan Daerah seperti PP No. 25 tahun 2000 dan Kepmendagri No. 130-672002 jelas perlu disesuaikan. Demikian juga halnya dalam aspek kelembagaan, PP No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Kelembagaan Perangkat Daerah juga memerlukan penyesuaian. Keluarnya PP No. 38 tahun 2007 dan PP No. 41 tahun 2007 baru-baru ini merupakan jawaban atas kedua hal tersebut. Selanjutnya berimplikasi pada perlunya penyesuaian terhadap Organisasi Perangkat Daerah sesuai PP No. 41 Tahun 2007 tersebut, paling lama setahun sejak PP tersebut diundangkan. Sementara itu, adanya perubahan dalam kewenangan pemerintahan sebagaimana diatur dalam PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah KabupatenKota, pada gilirannya juga akan mempengaruhi perubahan pada kelembagaan di Daerah. Hal ini karena dalam hal penataan kelembagaan daerah, besarnya kelembagaan salah satunya ditentukan oleh beban kerja yang mana hal ini didasarkan atas besar kecilnya kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah. Namun demikian, di atas semuanya, keluarnya kedua PP ini dimaksudkan untuk mendorong daerah membuat organisasi perangkat daerah yang rasional dan objektif disesuaikan dengan dinamika dan potensi yang dimiliki oleh masing- masing daerah.

3.1.2 Aspek Kebutuhan Empiris