BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Indeks Glikemik
Pada tahun 1981, David Jenkins, seorang Profesor Gizi di Universitas Toronto, Kanada mengembangkan konsep indeks glikemik IG. Konsep indeks glikemik
dikembangkan untuk memberikan klasifikasi numerik dari makanan sumber karbohidrat yang diasumsikan bahwa data tersebut akan berguna dalam situasi
dimana toleransi glukosa terganggu Jenkins, dkk., 1981. Konsep indeks glikemik adalah perpanjangan dari hipotesis serat dari Burkitt dan Trowell yang menyatakan
bahwa makanan yang mengandung serat akan lebih lambat diserap oleh usus, sehingga makanan tersebut memiliki manfaat metabolik dalam kaitannya dengan
diabetes dan pengurangan resiko penyakit jantung koroner Burkitt dan Trowell, 1977 dalam Jenkins, dkk., 2002.
Menurut FAO 1998, Indeks glikemik didefinisikan sebagai luas area di bawah kurva respon glukosa darah dari 50g karbohidrat dari makanan uji yang dinyatakan
sebagai persen terhadap 50g karbohidrat dari makanan standar yang diambil dari subjek yang sama. Pada awalnya, pangan karbohidrat yang digunakan sebagai pangan
standar untuk mengukur IG adalah glukosa murni dengan IG sebesar 100, tetapi saat ini pangan standar yang sering digunakan adalah roti putih Jenkins, dkk. 2002.
Menurut Cummings dan Stephen 2007 dalam Simila 2012, indeks glikemik adalah klasifikasi fisiologis makanan yang mengandung karbohidrat yang didasarkan pada
sejauh mana makanan tersebut meningkatkan konsentrasi glukosa darah setelah
7
Universitas Sumatera Utara
makan postprandial dibandingkan dengan karbohidrat acuan dengan jumlah yang setara.
Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat, memiliki indeks glikemik tinggi. Sebaliknya pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan
lambat, kandungan indeks glikemiknya rendah. Konsep indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang yang sehat, penderita obesitas, penderita diabetes dan
atlet Rimbawan dan Siagian, 2004. Menurut Ludwig 2000, Makanan dengan indeks glikemik rendah akan lebih lama menunda rasa lapar dibandingkan dengan
makanan dengan indeks glikemik tinggi. Sehingga indeks glikemik dapat membantu orang yang sedang menjalani program penurunan berat badan dengan memilih
makanan yang indeks glikemiknya rendah. Indeks glikemik membantu penderita diabetes dalam menentukan jenis pangan
karbohidrat yang dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Dengan mengetahui IG pangan, penderita diabetes dapat memilih makanan yang tidak menaikkan kadar
glukosa darah secara drastis sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Indeks glikemik juga membantu atlet dalam memilih makanan
untuk menunjang penampilan dan daya tahan tubuhnya. Makanan dengan indeks glikemik rendah akan dicerna dengan lambat dan akan menyimpan glikogen otot
secara perlahan sehingga glukosa ekstra akan tersedia sampai akhir pertandingan. Dengan cara ini, pangan ber-IG rendah akan meningkatkan daya tahan olahragawan
Rimbawan dan Siagian, 2004. Secara tradisional karbohidrat telah dikategorikan berdasarkan struktur utama
yang ada didalamnya menjadi karbohidrat sederhana yaitu karbohidrat yang
Universitas Sumatera Utara
mengandung sebagian besar mono-atau disakarida dan karbohidrat kompleks yang mengandung polisakarida atau pati. Karena kategorisasi ini, telah terjadi salah asumsi
dimana diasumsikan bahwa semua karbohidrat sederhana akan memiliki respon glukosa yang cepat dalam tubuh manusia dengan demikian tidak cocok untuk
penderita diabetes dan orang dengan gangguan insulin, sementara karbohidrat kompleks yang diyakini memiliki respon glukosa yang lebih kecil dalam darah
Gibson, 2010. Pada kenyataannya, banyak pangan berkarbohidrat roti, kentang, dan beras
dicerna dan diserap sangat cepat sehingga dengan cepat meningkatkan kadar glukosa darah. Selain itu, pangan bergula tinggi permen dan es krim dalam jumlah sedang
tidak meningkatkan kadar glukosa darah secara drastis. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama proses pencernaan memiliki indeks glikemik
tinggi, sebaliknya pangan yang indeks glikemiknya rendah, karbohidrat yang terkandung dalam pangan tersebut akan dipecah dengan lambat sehingga pelepasan
glukosa ke dalam darah berjalan lambat Rimbawan dan Siagian, 2004. Efek metabolisme berhubungan dengan tingkat penyerapan glukosa di usus
kecil. Tingkat penurunan penyerapan glukosa setelah mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat yang ber-IG rendah akan mengurangi kenaikan postprandial
hormon di usus misalnya, incretins dan insulin. Penyerapan karbohidrat secara berkepanjangan akan mempertahankan penekanan asam lemak bebas FFA dan
respon counterregulatory, sehingga pada saat yang sama konsentrasi glukosa darah rendah, begitu sebaliknya Jenkins, dkk., 2002.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Jenny Miller dalam Waspadji 2003, nilai indeks glikemik dikatagorikan menjadi tiga kelompok yaitu pangan IG rendah dengan rentang nilai IG
55, pangan IG sedang intermediate dengan rentang nilai IG 55-70, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG 70. Nilai indeks glikemik beberapa pengolahan
pangan sumber karbohidrat dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Nilai Indeks Glikemik Beberapa Pengolahan Pangan Sumber Karbohidrat
Peneliti Jenis Produk Olahan
Indeks Glikemik
Tahun
Waspadji et al Singkong Rebus
94,46 2003
Ningrum Sponge Cake Sukun
57,9 2011
Hasan et al Oyek Singkong
40 2011
Utami Umbi Suweg Kukus
36 2008
Utami Umbi Garut Kukus
32 2008
Lukitaningsih Umbi gayong
20,8 2012
Lukitaningsih Umbi Porang
20,6 2012
Lukitaningsih Umbi Walur
16,9 2012
Universitas of Sidney Talas Colocasia esculenta
54 -
Universitas of Sidney Talas Belitung Santhosoma
sagittifolium Rebus 50
- Septiyani
Tiwul Instan Tinggi Protein 94,7
2012 Rahkmawati et al
Sukun Rebus 85
2011 Rahkmawati et al
Cookies Sukun 80
2011 2.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan
Jenis pangan yang sama dapat memiliki IG yang berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan metode pengujian yang dilakukan dan juga karakter fisik
dan kimia dari makanan. Dua makanan yang sama mungkin memiliki bahan yang
berbeda atau mungkin telah diproses dengan metode yang berbeda, sehingga terdapat perbedaan yang signifikan dalam jumlah karbohidrat dan nilai IG-nya. Dua merek
yang berbeda dari jenis yang sama dari makanan, seperti kue polos, mungkin rasanya terlihat hampir sama, tapi perbedaan jenis tepung yang digunakan, kadar air, dan
Universitas Sumatera Utara
waktu memasak dapat mengakibatkan perbedaan derajat pati gelatinisasi dan akibatnya nilai IG-nya berbeda. Perbedaan dalam metode pengujian meliputi
penggunaan berbagai jenis sampel darah kapiler atau vena, periode waktu percobaan yang berbeda, dan bagian-bagian yang berbeda dari makanan 50 g dari
total bukan dari karbohidrat yang tersedia Foster-Powell, dkk., 2002. Berbagai faktor dapat menyebabkan perbedaan indeks glikemik pangan yang
satu dengan pangan yang lain. Menurut Rimbawan dan Siagian 2004, beberapa faktor yang mempengaruhi IG pangan adalah cara pengolahan tingkat gelatinisasi
pati dan ukuran partikel, perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya oemotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti-
gizi pangan.
a. Proses Pengolahan