Pengukuran Indeks Glikemik Pangan

dengan menurunkan atau menunda penyerapan karbohidrat. Lamanya proses penyerapan mengakibatkan respon glukosa darah menjadi rendah.

e. Kadar Lemak dan Protein Pangan

Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi mempunyai IG lebih rendah daripada pangan sejenis yang berlemak rendah. Walaupun demikian, kita tetap memerlukan makanan berkadar lemak rendah. Pangan berkadar lemak tinggi, apapun jenisnya dan ber-IG rendah atau tinggi harus dikonsumsi secara bijaksana Rimbawan dan Siagian, 2004.

f. Kadar Anti-Gizi Pangan

Beberapa pangan secara alamiah mengandung zat yang dapat menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat yang berpotensi menyebabkan efek merugikan terhadap status gizi disebut zat anti-gizi. Beberapa zat anti-gizi tetap aktif walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti-gizi pada biji-bijian dapat menghambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya, IG pangan menurun Rimbawan dan Siagian, 2004.

2.1.2 Pengukuran Indeks Glikemik Pangan

Beberapa pilihan metodelogi harus dilakukan dalam pengukuran IG, seperti metode pengambilan sampel darah, pemilihan dan pengulangan makanan acuan, verifikasi kandungan karbohidrat yang tersedia dari makanan, jumlah dan jenis subjek, dan perhitungan IAUC Simila, 2012. Universitas Sumatera Utara Menurut FAO 1998, pengambilan sampel darah yang direkomendasikan untuk mengukur IG adalah pengambilan sampel darah kapiler. Hal ini disebabkan darah pada pembuluh darah kapiler lebih mudah untuk didapatkan, selain itu kenaikan glukosa darah di plasma vena lebih besar dari darah kapiler. Pangan acuan yang digunakan untuk mengukur indeks glikemik pangan adalah roti putih atau glukosa murni FAO, 1998. Pemberian pangan acuan dan pangan uji dalam pengukuran IG dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan subjek yang sama untuk mengurangi efek keragaman respon glukosa darah dari hari ke hari. Untuk mendapatkan respon rata-rata yang representatif untuk pangan acuan, dianjurkan untuk melakukan pengukuran IG pangan acuan secara berulang untuk setiap subjek. Dalam pengukuran indeks glikemik, porsi makanan yang diuji harus mengandung 50g karbohidrat FAO, 1998. Untuk mendapatkan nilai yang setara dengan 50g karbohidrat dalam pangan acuan ataupun pangan uji perlu dilakukan pengujian karbohidrat untuk memverifikasi kandungan karbohidrat yang terdapat dalam pangan tersebut. Perhitungan IAUC merupakan salah satu hal yang paling penting dalam pengukuran nilai indeks glikemik pangan. Sejumlah metode yang berbeda telah digunakan untuk menghitung daerah di bawah kurva. Untuk sebagian besar data indeks glikemik, area di bawah kurva telah dihitung sebagai daerah tambahan di bawah kurva respon glukosa darah IAUC, dengan mengabaikan daerah di bawah konsentrasi puasa. Hal ini dapat dihitung secara geometris dengan menerapkan aturan trapesium FAO, 1998. Menurut Rimbawan dan Siagiaan 2004, luas daerah dibawah kurva dianggap menggambarkan jumlah total respon glikemik, tidak hanya Universitas Sumatera Utara satu titik yang diberikan oleh puncak respon glukosa darah. Para ahli statistik menganjurkan penggunaan luas area dibawah kurva sebagai angka yang menggambarkan respon glukosa darah secara benar. Menurut Monro dan Shaw 2008, pengukuran nilai indeks glikemik pangan dapat menggunakan rumus sebagai berikut: IG = IAUC food IAUC glucose x Wt Glucose Wt Available Carbohydrate x 100 Dimana � � � � ℎ = 50 � 50� = 1 dengan demikian, IG = IAUC food IAUCglucose x 100 Keterangan: IG : Indeks Glikemik IAUC food : Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan uji IAUC glucose :Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap glukosa murni pangan acuan Wt : Berat gr Menurut Miller, dkk 1996 dalam Rimabawan dan Siagian 2004, prosedur penentuan indeks glikemik pangan adalah sebagai berikut: a. Pangan tunggal yang akan dientukan indeks glikemiknya mengandung 50 gram karbohidrat diberikan kepada relawan yang telah menjaani puasa penuh kecuali air selama ± 10 jam sekitar pukul 22.00 sampai pukul 08.00 pagi besoknya. b. Selama dua jam pasca-pemberian atau tiga jam bila relawan menderita diabetes, sampel darah sebanyak 50 µL – finger-prick capillary blood samples method – diambil setiap 15 menit pada jam pertama, kemudian 30 menit pada jam kedua Universitas Sumatera Utara yaitu berturut-turut pada menit ke 0 sebelum pemberian, 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 untuk diukur kadar glukosanya. Kadar glukosa dapat diukur dengan metode glucose oxidase peroxidase reagent. c. Pada waktu yang berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan pangan acuan 50gr glukosa murni atau white bread diberikan kepada relawan. Hal ini dilakukan sebanyak dua kali dilakukan pada hari lain, minimal tiga hari setelah perlakuan pertama untuk mengurangi efek keragaman respon gula darah dari hari ke hari. d. Kadar gula darah pada setiap waktu pengambilan sampel ditebar pada dua sumbu waktu x dan kadar glukosa darah y. e. Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan.

2.2 Talas Belitung Xanthosoma sagittifolium

Dokumen yang terkait

Pemanfaatan Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium) dalam Pembuatan Cookies

2 29 135

Studi Pembuatan Dodol Tapai Talas Belitung (Xanthosoma Sagittifolium)

1 7 36

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG TALAS KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium) PADA PEMBUATAN BOLU Pengaruh Penambahan Tepung Talas Kimpul (Xanthosoma Sagittifolium) Pada Pembuatan Bolu Kukus Terhadap Tingkat Pengembangan Dan Daya Terima.

0 2 17

PENGARUH SUBSTITUSI TEPUNG TALAS BELITUNG (Xanthosoma Sagittifolium) TERHADAP TINGKAT PENGEMBANGAN Pengaruh Subtitusi Tepung Talas Belitung Terhadap Tingkat Pengembangan Dan Daya Terima Donat Talas.

0 1 18

PENGARUH SUBSTITUSI TEPUNG TALAS BELITUNG (Xanthosoma Sagittifolium) TERHADAP TINGKAT PENGEMBANGAN Pengaruh Subtitusi Tepung Talas Belitung Terhadap Tingkat Pengembangan Dan Daya Terima Donat Talas.

0 5 13

Pengaruh Substitusi Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium L. Schott) dan Tepung Ampas Tahu pada Tepung Terigu Terhadap Mutu Mi Kering.

0 0 4

MODIFIKASI TEPUNG UMBI TALAS BELITUNG (Xanthosoma sagittifolium) DENGAN METODE PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN DAN APLIKASINYA PADA PRODUK COOKIES Modification of Belitung Taro (Xanthosoma sagittifolium) Flour With Pressurized Heating-Cooling Methods and

0 1 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Indeks Glikemik - Pengukuran Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung (Xanthosoma Sagittifolium)

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengukuran Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung (Xanthosoma Sagittifolium)

1 0 6

Pengukuran Indeks Glikemik Cookies Tepung Talas Belitung (Xanthosoma Sagittifolium)

0 0 12