19
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada umumnya tanah-tanah mineral di daerah tropika basah kekurangan unsur hara, seperti nitrogen dan fosfor, dan mengandung bahan organik tanah rendah.
Nitrogen adalah unsur hara esensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar dan pada tanah pertanian yang tidak dipupuk tanaman sering menunjukkan gejala
defisiensi N. Menurut Sanchez 1976 nitrogen merupakan unsur hara terpenting yang membatasi produksi tanaman di daerah tropika. Oleh karena itu, pemupukan N sangat
diperlukan untuk mendapatkan produksi tanaman yang optimal. Pemupukan N dapat dilakukan dengan menambahkan pupuk N organik seperti
pupuk hijau kacang-kacangan, pupuk buatan atau kombinasi keduanya. Penambahan pupuk hijau selain menambah unsur hara N juga dapat meningkatkan bahan organik
tanah dan memperbaiki sifat-sifat tanah. Pupuk hijau yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami dekomposisi dan melepaskan N. Kedua proses tersebut
dipengaruhi oleh banyak faktor, yang berarti pula mempengaruhi penyediaan N. Oleh karena itu, untuk menghasilkan pemupukan N yang tepat diperlukan evaluasi kapasitas
dan pola penyediaan N dari pupuk hijau, pupuk buatan dan kombinasinya. Pengelolaan pemupukan N sering dihadapkan pada masalah rendahnya efisiensi,
yang disebabkan oleh besarnya kehilangan N melalui pencucian, volatilisasi dan denitrifikasi. Kehilangan N tersebut sering berakibat buruk terhadap lingkungan. Hasil
penelitian Xu et al. 2000 menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan pupuk N pada Cambisol yang ditanami gandum dan dipupuk N 345 kg ha
-1
hanya sebesar 17,7. Palm 1995 dan Giller dan Cadisch 1995 menyatakan bahwa hanya kira-kira 20
dari N yang dilepaskan pangkasan pohon atau serasah diambil oleh tanaman. Rendahnya efisiensi pemanfaatan pupuk N tersebut disebabkan oleh tingginya
pencucian Parr, 1972; Kibunja et al., 2002 dan denitrifikasi Addiscott dan Powlson, 1992; Parr, 1972. Xu et al. 2000 menemukan bahwa kehilangan N karena pencu-
cian mencapai 20-36,8. Tanah-tanah di daerah tropika basah seperti di Indonesia yang memiliki curah hujan tinggi, potensi kehilangan N karena pencucian sangat
besar. Pemupukan N buatan, khususnya pada takaran tinggi yang melebihi kemampuan
tanaman untuk mengambilnya, dapat menyebabkan pencucian nitrat tinggi Angle
20 et al
., 1993; Roth and Fox, 1990 yang dapat mengancam kualitas air tanah. Ruser et al
. 2001 juga melaporkan bahwa pemupukan N buatan dalam takaran tinggi memberikan sumbangan besar terhadap emisi nitrous oksida N
2
O. Rendahnya efisiensi pemanfaatan N dan akibat buruk terhadap lingkungan tersebut antara lain
disebabkan oleh ketidakselarasan antara penyediaan N dengan permintaan tanaman. Oleh karena itu, salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
tersebut adalah dengan penyelarasan antara penyediaan N dari sumbernya dengan permintaan N tanaman yang menyangkut waktu dan jumlahnya.
Sebenarnya konsep keselarasan telah dikembangkan sejak tahun 1980 oleh Swift Swift et al., 1980; Swift et al., 1981; Anderson dan Swift, 1983. Namun baru tahun
1985 para peneliti TSBF Tropical Soil Biology and Fertility mengembangkan konsep tersebut lebih lanjut. Melalui program TSBF, mereka memperkenalkan hipotesis
keselarasan TSBF, 1985; 1987. Mereka juga mengemukakan bahwa pendekatan asli terhadap konsep keselarasan adalah bahwa kehilangan hara dapat diminimumkan
dengan pencocokan pola ketersediaan hara dengan permintaan tanaman, yang memu- satkan pada pengurangan awal hara berlebih dari pupuk mineral dan bahan organik
kualitas tinggi dengan pencampuran bahan kualitas lebih rendah yang mengimobilisasi hara. Imobilisasi akan diikuti oleh pelepasan hara pada saat permintaan lebih banyak
oleh tanaman yang sedang tumbuh Palm et al., 2001. Pendekatan percobaan untuk mencapai keselarasan dilakukan dengan mem-
bandingkan pola pelepasan N dari bahan organik berbeda kualitas Constantinides dan Fownes, 1994; Handayanto et al., 1994; Palm dan Sanchez, 1991; Tian et al., 1993.
Kesimpulan dari semua penelitian tersebut adalah bahwa tidak ada bahan organik tunggal yang melepaskan N dalam keselarasan sempurna dengan permintaan tanaman.
Pelepasan N selaras tersebut ditunjukkan oleh mineralisasi awal lambat yang diikuti oleh mineralisasi besar dan cepat Palm et al., 2001.
Usaha mendapatkan keselarasan juga telah dilakukan dengan pencampuran bahan organik berbeda kualitas Becker dan Ladha, 1997; Handayanto et al., 1997;
Mafongoya et al., 1997a. Pencampuran tersebut umumnya menghasilkan pola mine- ralisasi setara dengan rata-rata tertimbang dari pola dua bahan terpisah Handayanto
et al ., 1997 dan Mafongoya et al., 1997a. Walaupun terdapat pengurangan N tersedia
segera setelah aplikasi bahan organik tersebut, namun tidak diikuti oleh periode pelepasan N cepat sebagaimana diprediksi dari hipotesis keselarasan asli. Bahkan
21 pencampuran residu jagung bahan organik kualitas rendah dengan daun gude bahan
organik kualitas tinggi menghasilkan mineralisasi N jauh lebih rendah daripada perlakuan individunya Sakala et al., 2000.
Pencampuran sumber hara organik dan mineral juga dapat meningkatkan keselarasan Jones et al., 1997. Hal itu antara lain disebabkan penambahan pupuk N
mineral pada input organik meningkatkan mineralisasi N Lupwayi and Haque, 1999. Hasil penelitian Sakala et al. 2000 juga sejalan dengan itu, yaitu bahwa penambahan
N-NH
4 +
pada batang jagung pada takaran yang semakin meningkat menghasilkan waktu imobilisasi lebih pendek 10 hari dengan 150
μg, ~12 hari dengan 100 μg dan 50 hari dengan 50
μg N-NH
4 +
g
-1
tanah. Namun, peningkatan mineralisasi tersebut belum tentu selaras dengan permintaan tanaman. Oleh karena itu, perlu pengaturan
waktu aplikasi yang tepat dengan saat permintaan tanaman tinggi. Hasil penelitian Mafongoya et al. 1997a di Zimbabwe yang merupakan daerah
semiarid menunjukkan bahwa aplikasi pangkasan Kaliandra sekaligus saat tanam nyata memperbaiki pengambilan N, dan hasil biji jagung dibanding aplikasi empat minggu
setelah tanam. Mereka juga menyatakan bahwa aplikasi pangkasan dipisah tidak berpengaruh terhadap “recovery” N. Untuk daerah tropik seperti Indonesia yang
mempunyai curah hujan tinggi, diduga pengaruhnya akan berbeda. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan waktu aplikasi berbagai sumber N
yang menghasilkan keselarasan penyediaan N dengan permintaan tanaman, yang sesuai dengan iklim di Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian-penelitian yang telah dilakukan masih bersifat parsial. Padahal keselarasan berpeluang besar dapat
dicapai melalui pengaturan jumlah dan kombinasi sumber N yang dilakukan secara simultan dengan pengaturan waktu aplikasinya. Dengan cara demikian diharapkan
jumlah N tersedia dan waktunya sesuai dengan permintaan tanaman. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dicoba dua jenis pupuk hijau yaitu Glirisidia bahan organik
kualitas tinggi dan Flemingia bahan organik kualitas sedang tunggal atau kombinasi di antara keduanya atau dikombinasi dengan Urea yang diberikan sekaligus saat tanam
atau terpisah dua kali yaitu saat tanam dan tiga minggu setelah tanam. Kedua jenis pupuk hijau tersebut dipilih karena keduanya mempunyai potensi
tinggi dalam menghasilkan biomasa, mengandung N cukup tinggi dan sudah cukup dikenal petani, sehingga potensial untuk dikembangkan sebagai sumber N. Namun,
22 informasi tentang kapasitas dan pola penyediaan N dari ke dua pupuk hijau tersebut,
tanpa atau dengan kombinasi di antara keduanya atau dikombinasikan dengan Urea, yang diberikan sekaligus atau terpisah masih terbatas.
Menurut Sutoro et al. 1988 laju pertumbuhan tanaman jagung pada fase awal relatif lambat, tetapi tanaman tumbuh dengan cepat setelah berumur empat minggu.
Oleh karena itu, pemberian 20 N dari pupuk hijau Flemingia atau Glirisidia pada saat tanam yang diikuti pemberian 80 N dari pupuk hijau Glirisidia atau Urea pada
tiga minggu setelah tanam diduga dapat menghasilkan keselarasan lebih tinggi.
1.2. Kerangka Pemikiran dan Tahapan Penelitian