15
Tabel 5.2 Total curah hujan 5 hari sebelum kejadian hujan terpilih di DAS Ciliwung bagian hulu
Curah Hujan mm SubDAS
10 1 181 92 183 275 147 169 3011 1412
Cibogo 46 43 60 78 37 26 42 66 108
Ciesek 77 14 74 70 76 55 68 22 183
Cisarua 30 56 50 69 25 29 32 69 111
Cisukabirus 43 50 57 80 29 22 31 74 88
Ciseuseupan 170 65 147 164 112 82 43 97 193
Tugu 25 68 41 47 22 56 13 51 149
Hasil perhitungan, data dari Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai Ciliwung-Cisadane 2004
2. Kebun atau kebun campuran yang
ditanami nangka, mangga, kelapa, bambu, kaliandra, lamtoro dan sejenisnya
diklasifikasikan ke dalam leguminosa ditanam rapat atau pergiliran tanaman
padang rumput menurut kontur dan berkondisi hidrologi buruk.
3. Pemukiman DAS Ciliwung bagian hulu
disetarakan dengan pemukiman yang rata- rata kedap air 65.
4. Sawah berteras menurut kontur
diklasifikasikan ke dalam padi-padian berteras baik.
5. Tegalan dengan tanaman semusim yang
ditanami jagung, singkong, padi gogo diklasifikasikan ke dalam tanaman
semusim menurut lereng dengan kondisi buruk.
Kondisi hidrologi tanah ditunjukkan berdasarkan pembagian kelompok hidrologi
tanah HSG yang ditentukan dari jenis tanah. Berdasarkan peta tanah semi detail 1992,
kelompok hidrologi tanah di DAS Ciliwung bagian hulu ditentukan dengan mengikuti
pengelompokkan menurut Fakhrudin 2003.
Kondisi kandungan air tanah KAT sebelumnya ditentukan berdasarkan jumlah
curah hujan pada lima hari sebelum kasus kejadian hujan terpilih Tabel 5.2 dan
dianggap berlangsung pada musim tumbuh.
Nilai bilangan kurva pada masing-masing subDAS dihitung berdasarkan bobot luas setiap
bentuk penggunaan lahan menurut kelompok hidrologi tanahnya. Berdasarkan hasil
perhitungan, rata-rata bilangan kurva di DAS Ciliwung bagian hulu pada tahun 2004 sebesar
72,14 pada kondisi rata-rata atau KAT II. Selain bilangan kurva, luas daerah
impervious juga mempengaruhi volume limpasan dari suatu DAS. Berdasarkan faktor
imperviousness pada Tabel 3.4, DAS Ciliwung bagian hulu memiliki luas wilayah impervious
sebesar 10,3 atau sekitar 15,24 km
2
. Tabel 5.3 menunjukkan nilai bilangan kurva dan
imperviousness pada tiap subDAS di DAS Ciliwung bagian hulu pada kondisi KAT I, II
dan III.
Tabel 5.3 Nilai bilangan kurva dan imperviousness tiap
SubDAS di DAS Ciliwung bagian hulu tahun 2004
SubDAS CN
I CN
II CN
III Imp
Cibogo 68,06 83,53 92,11 12,73
Ciesek 59,97 78,11 89,14 10,78
Cisarua 41,35 62,67 79,43 10,60
Cisukabirus 41,71 63,01 79,67 8,50 Ciseuseupan 64,78 81,41 90,97 12,41
Tugu 48,88 69,48 83,96 8,96
Hasil perhitungan
5.3 Penyusunan Basin Model
Penyusunan basin model merupakan salah satu tahap penting dalam analisa sistem
hidrologi menggunakan HEC-HMS. Dalam basin model, perlu disusun konfigurasi yang
menggambarkan representasi fisik dari suatu DAS berdasarkan elemen-elemen hidrologi.
Terdapat tujuh elemen hidrologi yang tersedia dalam HEC-HMS, yaitu Subbasin, Reach,
Reservoir, Junction, Diversion, Source, dan Sink.
Pada penelitian ini elemen hidrologi yang digunakan untuk mengkonfigurasi DAS
Ciliwung bagian hulu terdiri dari 6 subbasin, 4 reach, 4 junction dan 1 sink, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 5.1.
Penyusunan basin model juga mencakup perhitungan pada 4 submodel utama, yaitu loss
model, direct runoff model, baseflow model, serta routing model. Metode dan parameter
yang diperlukan sebagai masukan basin model tertera pada Tabel 5.4. Semua parameter
masukan HEC-HMS dihitung pada masing- masing subDAS untuk setiap kasus kejadian
hujan terpilih.
16
Gambar 5.1
Konfigurasi DAS Ciliwung bagian hulu dalam basin model HEC-HMS
Tabel 5.4 Metode dan parameter masukan HEC-HMS
Model Metode Parameter
Initial abstraction Bilangan kurva
Loss SCS Loss
Model Imperviousness
Time lag Snyder Snyder UH
Koefisien puncak SCS UH
Time lag SCS Waktu konsentrasi
Direct Runoff
Clark UH Koefisien
simpanan Aliran dasar awal
Konstanta resesi Baseflow
Baseflow Recession
Aliran threshold Travel time
Routing Muskingum
routing Faktor pembobot
1 Loss Model
Curah hujan yang jatuh pada suatu DAS akan mengalami proses infiltrasi, intersepsi,
evaporasi dan bentuk kehilangan lainnya sebelum menjadi limpasan. Loss model
menghitung besar curah hujan efektif dari pengurangan total curah hujan yang turun
dengan precipitation loss. Penelitian ini menggunakan metode SCS, dimana merupakan
metode yang sederhana, terukur, serta stabil USACE 2000. Bedient dan Huber 1988
menyatakan bahwa pendekatan SCS sudah diterapkan dengan baik di beberapa negara,
karena metode ini mempertimbangkan bentuk penggunaan lahan, sifat hidrologi tanah dan
dapat dilakukan pada daerah yang tidak terukur.
Parameter SCS yang diperlukan sebagai masukan dalam loss model adalah initial
abstraction, bilangan kurva, dan persentase imperviousness.
Initial abstraction Ia
merupakan fungsi dari penggunaan dan penutupan lahan serta kondisi hidrologi seperti
intersepsi, infiltrasi, depression storage serta kelembaban tanah terdahulu. Dalam metode
SCS, nilai Ia dihitung berdasarkan potential maximum retention dan bilangan kurva.
Penentuan bilangan kurva dan luas daerah impervious mengikuti perhitungan seperti pada
Bab 5.2. Hasil perhitungan parameter loss model pada setiap kejadian hujan terpilih
disajikan dalam Lampiran 5.
2 Direct Runoff Model
Tiga metode hidrograf sintetik, Snyder, SCS dan Clark, dipilih dalam penelitian ini
untuk direct runoff model. Ini dilakukan agar terlihat perbandingan antar hidrograf aliran
model yang dihasilkan ketiga metode hidrograf satuan. Rekapitulasi hasil perhitungan
parameter direct runoff model masing-masing subDAS tertera pada Tabel 5.5.
Parameter masukan yang diperlukan untuk metode Snyder meliputi time lag t
l
dan koefisien puncak C
p
. Time lag diartikan sebagai interval waktu antara pusat massa
hujan dengan saat terjadinya debit puncak. Berdasarkan hasil perhitungan, time lag Snyder
rata-rata tiap subDAS sebesar 3,4 jam. Koefisien C
p
diperoleh dengan cara trial-error
Nama Elemen
Hidrologi Cibogo Subbasin
Ciesek Subbasin Cisarua Subbasin
Cisukabirus Subbasin Ciseuseupan Subbasin
Tugu Subbasin J-1 Junction
J-2 Junction J-3 Junction
J-4 Junction Outlet Hulu
Sink R-1 Reach
R-2 Reach R-3 Reach
R-4 Reach
17 pada saat kalibrasi. Nilai awal yang digunakan
adalah 0,8. Selain perhitungan hujan efektif, SCS juga
mengembangkan hidrograf satuan sintetik yang didasarkan atas hidrograf tak berdimensi
dimensionless. Dalam HEC-HMS, metode SCS hanya memerlukan paramater time lag
sebagai masukan. Berdasarkan hasil perhitungan, time lag SCS rata-rata tiap
subDAS sebesar 1,9 jam.
Metode hidrograf satuan Clark memerlukan waktu konsentrasi T
c
dan koefisien simpanan R sebagai parameter
masukan. Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan gelombang air untuk mengalir
dari titik terjauh dalam DAS menuju outlet, atau disebut juga waktu ekuilibrium dimana
aliran keluar sama dengan aliran yang masuk ke dalam DAS. Berdasarkan persamaan waktu
konsentrasi menurut Johnston Cross 1949, dalam USACE 2000, nilai T
c
rata-rata tiap subDAS diperoleh sebesar 3,8 jam.
Parameter R dapat dihitung sebagai aliran di titik inflection point pada bagian falling limb
dari suatu hidrograf dibagi dengan fungsi waktu terhadap aliran. Berdasarkan hidrograf
aliran dari stasiun debit Katulampa, didapatkan rata-rata R sebesar 3,38. Nilai R pada masing-
masing subdas diasumsikan proporsional dengan luas tiap subdas.
Tabel 5.5 Nilai parameter direct runoff model pada
masing-masing subDAS
Snyder SCS Clark SubDAS
Tlag jam
Cp Tlag
jam Tc
jam R
Cibogo 3,01 0,8 1,34 3,17 0,29
Ciesek 3,45 0,8 1,64 3,80 0,58
Cisarua 3,75 0,8 2,62 4,09 0,53
Cisukabirus 3,44 0,8 1,78 3,70 0,39 Ciseuseupan 3,27 0,8 2,12 4,15 0,51
Tugu 3,66 0,8 1,92 4,24 1,09
Hasil perhitungan
3 Baseflow Model
Parameter aliran dasar awal, konstanta resesi dan aliran threshold pada baseflow
model, ditentukan berdasarkan hidrograf aliran pengamatan dari SPAS Katulampa. Kontribusi
aliran dasar dan konstanta resesi pada masing- masing subDAS diasumsikan proporsional
dengan luas tiap subDAS. Persamaan yang digunakan untuk konstanta resesi, k adalah:
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎝ ⎛
− =
t Q
Q k
o t
ln ln
exp dengan Q
t
adalah aliran dasar pada periode t, dan Q
o
adalah aliran dasar awal pada t=0. Dari hidrograf pengamatan Katulampa pada
kejadian hujan terpilih, didapatkan nilai k rata- rata sebesar 0,96.
Aliran threshold merupakan aliran saat dimulainya kurva resesi pada sisi yang
menurun dari sebuah hidrograf. Pada HEC- HMS, aliran threshold ditetapkan sebagai
perbandingan terhadap aliran puncak ratio to peak. Ratio to peak dari hidrograf pengamatan
Katulampa berkisar antara 0,18 sampai 0,69 dengan rata-rata sebesar 0,38.
4 Routing Model
Perhitungan rambatan gelombang aliran sungai routing dalam HEC-HMS dituangkan
pada routing model channel flow model. Penelitian ini menggunakan metode
Muskingum. Parameter yang diperlukan adalah travel time dan faktor pembobot. Travel time
k atau waktu tempuh aliran dari titik inlet sampai outlet, ditentukan melalui hubungan
antara kecepatan aliran dengan panjang sungai.
Berdasarkan konfigurasi DAS Ciliwung bagian hulu, proses routing terbagi menjadi 4
elemen atau reach, yaitu R-1, R-2, R-3 dan R- 4. Keempat elemen tersebut berada pada satu
subDAS Ciseuseupan. Menurut penelitian Irianto 2000, rata-rata lebar atas permukaan
saluran subDAS Ciseuseupan sebesar 24,3 m. Slope rating curve di SPAS Katulampa
diketahui sebesar 30,35 sehingga kecepatan aliran untuk keempat reach diperkirakan
sebesar 1,25 ms. Berdasarkan data tersebut, parameter k untuk R-1, R-2, R-3 dan R-4
berturut-turut adalah 0,4, 0,29, 0,23 dan 0,98 jam.
Faktor pembobot x dalam metode Muskingum berkisar antara 0 sampai 0,5
dengan rata-rata 0,2 untuk aliran alami. Pada penelitian, penentuan nilai x diperoleh dari
hasil trial-error pada saat kalibrasi, dengan menggunakan nilai rata-rata sebagai nilai
masukan awal.
5.4 Hidrograf Aliran Pengamatan