Laporan HB Multikultur 2006
75 1. Sekolah memiliki otonomi yang luas dalam mengakomodasi untuk
hidupnya secara harmonis keberagaman budaya yang ada di masyarakat sekolah sesuai dengan kondisi dan situasi sekolah.
2. Sekolah secara fleksibel dapat menetapkan kebijakan lokal untuk mengatur proses pembelajaran dan pendidikan multikultural di
sekolahnya masing-masing. 3. Sekolah melibatkan secara penuh semua warga sekolah guru, pesuruh,
komite sekolah, warga sekolah, mungkin pengawas sekolah untuk membangun
dan menciptakan
kondisi yang
kondusif untuk
berlangsungnya pembelajaran dan pendidikan multikultural di sekolah. Hal ini dapat melalui kegiatan yang bersifat umum untuk satu sekolah,
maupun yang bersifat khusus, misalnya level kelas atau kelompok kelas tertentu.
4. Sekolah memfasilitasi guru dan siswa dalam pembelajaran multikultural dengan model terpadu dengan mata pelajaran, misalnya berperan dalam
menyediakan modul, media, area, fasilitas, atau iklim sekolah yang mendukung.
Untuk selanjutnya, draf model manajemen sekolah ini akan direvisi dan divalidasi pada tahap kedua penelitian ini.
G. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data awal diperoleh gambaran bahwa dari 15 sekolah yang dipilih menunjukkan heterogenitas kultur secara rasetnis,
agama, jenis kelamin, maupun latar belakang ekonomi. Pada sebagian besar sekolah, variasi agama yang dianut siswa ada tiga atau lebih, lainnya hanya
2 variasi, bahkan ada yang semua siswa beragama sama. Di samping itu, latar belakang sosial ekonomi siswa dilihat dari pekerjaan orang tua siswa,
juga sangat beragam. Dilihat dari pengetahuan terhadap pembelajaran multikultural, hampir
semua kepala sekolah, guru, dan komite sekolah mengaku belum tahu tentang pembelajaran multikultural, bahkan banyak juga yang belum pernah
mendengar. Hasil wawancara awal kepada para guru yang ada di 15
Laporan HB Multikultur 2006
76 sekolah, menunjukkan hampir semua guru belum mengetahui tentang
pendidikan multikultural, bahkan mereka pun belum pernah membaca tentang artikel pendidikan multikultural. Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan multikultural merupakan konsep yang masih asing bagi guru. Para guru sekolah dasar terlihat belum proaktif untuk mau menambah
wawasan mereka dengan perkembangan pengetahuan yang ada. Padahal cukup banyak tulisan tentang pendidikan multikultural yang ditulis dalam
artikel di media massa, buku-buku maupun artikel yang terdapat di internet. Oleh sebab itu, memang selayaknyalah Perguruan Tinggi proaktif untuk
selalu memberi inovasi pada guru-guru, sehingga dapat membantu mereka mengikuti perkembangan yang ada, seperti penelitian yang sedang dilakukan
ini tentang implementasi pendidikan multikultural di Sekolah Dasar. Berdasarkan penjajagan awal kondisi sekolah dan komponen-
komponen di dalamnya tersebut, maka penelitian tahap pertama ini dikonsentrasikan pada peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan
kemampuan guru dalam pembelajaran multikultural di sekolah, serta pengembangan model pembelajaran multikultural dan manajemen sekolah
yang mendukung. Sedang untuk tahap kedua, perlu dilanjutkan dengan pemantapan dan penerapan model tersebut. Untuk keperluan ini, tidak
semua sekolah yang dilibatkan pada tahap pertama digunakan pada tahap dua. Untuk implementasi model dan modul pembelajaran multikultural akan
dipilih 5 sekolah dari 15 SD tersebut dengan mempertimbangkan heterogenitas kultur yang ada pada siswa dan kemampuan dan antusias
para guru, kepala sekolah, dan komite sekolah untuk melaksanakan pembelajaran multikultural di sekolahnya. Di samping itu, tetap
memperhatikan keterwakilan wilayah dari 5 kabupatenkota Kabupaten Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta. Kelima
sekolah memenuhi kriteria tersebut adalah: 1 SDN Bangirejo 1 Kota Yogyakarta, 2 SDN Samirono Kab. Sleman, 3 SDN Sekarsuli I Kab.
Bantul, 4 SDN Nanggulan I Kab. Kulon Progo, dan 5 SDN Wonosari I Kab. Gunungkidul.