Laporan HB Multikultur 2006
74
c. Tahap Tiga
Beberapa masukan yang diperoleh pada tahap dua menjadi bahan penyempurnaan draf modul yang dilakukan oleh tim peneliti dibantu oleh
beberapa guru tim perumus. Pada tahap tiga ini, dibuat tim kecil untuk memudahkan penyelesaian. Namun tidak semua masukan yang ada dapat
diakomodasi pada tahap tiga ini, khususnya penambahan cerita dan materi. Hal itu akan dikerjakan pada tahun ke-II, sebab tahun 2006 ini tahun ke-I
sebenarnya baru draf awal. Oleh sebab itu, untuk tahun ke-II isi modul akan ditambah topik maupun cerita-cerita yang berkaitan dengan pendidikan
multikultural agar lebih lengkap dan sesuai permintaan para guru.
F. Pengembangan Draf Model Manajemen Sekolah
Tahap-tahap pengembangan draf model manajemen sekolah yang mendukung pelaksanaan pembelajaran multikultural, dilakukan sejalan
dengan pengembangan model pembelajaran multikultural sebagaimana di jelaskan di depan. Kompponen yang terlibat dalam pengembangan draf
model manajemen ini adalah kepala sekolah dan komite sekolah. Pada tahap pertama, dilakukan orientasi dan sosialisasi pembelajaran dan
pendidikan multikultural di SD kepada para kepala sekolah dan komite sekolah, dengan mendatangkan nara sumber. Tahap kedua, tim peneliti
bersama kepala sekolah dan komite sekolah melakukan analisis aspek dan model-model manajemen sekolah untuk menemukan model manajemen
sekolah yang cocok
dilaksanakan untuk menunjang pembelajaran multikultural di sekolah. Tahap ketiga, menetapkan dan mendeskripsikan
rambu-rambu manajemen sekolah yang akan dikembangkan. Dari tahap demi tahap tersebut, dapat menghasilkan kesepakatan
tentang manajemen sekolah untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran multikultural di SD. Model yang disepakati pada prinsipnya menggunakan
model manajemen berbasis sekolah MBS, namun dengan konsentrasi pada layanan pembelajaran dan pendidikan multikultural bagi siswa. Selanjutnya,
draf model tersebut dinamakan Manajamen Berbasis Sekolah Multikultural = MBS-MK. Beberapa ciri MBS-MK antara lain sebagai berikut:
Laporan HB Multikultur 2006
75 1. Sekolah memiliki otonomi yang luas dalam mengakomodasi untuk
hidupnya secara harmonis keberagaman budaya yang ada di masyarakat sekolah sesuai dengan kondisi dan situasi sekolah.
2. Sekolah secara fleksibel dapat menetapkan kebijakan lokal untuk mengatur proses pembelajaran dan pendidikan multikultural di
sekolahnya masing-masing. 3. Sekolah melibatkan secara penuh semua warga sekolah guru, pesuruh,
komite sekolah, warga sekolah, mungkin pengawas sekolah untuk membangun
dan menciptakan
kondisi yang
kondusif untuk
berlangsungnya pembelajaran dan pendidikan multikultural di sekolah. Hal ini dapat melalui kegiatan yang bersifat umum untuk satu sekolah,
maupun yang bersifat khusus, misalnya level kelas atau kelompok kelas tertentu.
4. Sekolah memfasilitasi guru dan siswa dalam pembelajaran multikultural dengan model terpadu dengan mata pelajaran, misalnya berperan dalam
menyediakan modul, media, area, fasilitas, atau iklim sekolah yang mendukung.
Untuk selanjutnya, draf model manajemen sekolah ini akan direvisi dan divalidasi pada tahap kedua penelitian ini.
G. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data awal diperoleh gambaran bahwa dari 15 sekolah yang dipilih menunjukkan heterogenitas kultur secara rasetnis,
agama, jenis kelamin, maupun latar belakang ekonomi. Pada sebagian besar sekolah, variasi agama yang dianut siswa ada tiga atau lebih, lainnya hanya
2 variasi, bahkan ada yang semua siswa beragama sama. Di samping itu, latar belakang sosial ekonomi siswa dilihat dari pekerjaan orang tua siswa,
juga sangat beragam. Dilihat dari pengetahuan terhadap pembelajaran multikultural, hampir
semua kepala sekolah, guru, dan komite sekolah mengaku belum tahu tentang pembelajaran multikultural, bahkan banyak juga yang belum pernah
mendengar. Hasil wawancara awal kepada para guru yang ada di 15