BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik atau sengketa adalah istilah-istilah yang sering ditemukan atau di dengar dalam kehidupan sehari-hari. Konflik atau sengketa bisa
saja terjadi dikarenakan hal yang sepele, misalnya konflik antar tetangga yang mempermasalahkan batas tanah, sengketa pelanggaran perjanjian
atau kontrak. Akan tetapi setiap orang sudah pasti tidak menginginkan suatu konflik atau sengketa terjadi di dalam kehidupannya.
Sebuah konflik, yakni sebuah situasi di mana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi
sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang
menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada
pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.
1
1
Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi. 1997. “Sengketa dan Penyelesaiannya”. Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I.
Jakarta: Indonesian Center for Environment Law, hlm.1., dalam skripsi Ririn Bidasari hlm.25
Dengan kelebihan dan kekurangan yang diberikan Tuhan kepada manusia, membawa manusia itu kedalam bermacam-macam konflik atau
sengketa, sengketa itu bisa terjadi dengan manusia lain, alam lingkungannya bahkan dengan dirinya sendiri. Pada kodratnya Tuhan juga
memberikan kelebihan sehingga manusia tersebut dapat melakukan
penyelesaian konflik atau sengketa. Manusia selalu berusaha mencari bagaimana cara penyelesaian konflik dalam rangka untuk selalu mencapai
posisi yang baik dan seimbang agar dapat tetap bertahan hidup. Apabila ada manusia yang tidak mau berusaha untuk mencari cara penyelesaian
sengketa maka manusia tersebut memiliki fikiran dan jiwa yang tidak waras karena menghendaki adanya persengketaan tersebut.
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses. Proses yang tertua melalui proses Litigasi yaitu melalui pengadilan. Dan
kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa ini melalui kerja sama atau koorpratif diluar pengadilan. Proses penyelesaian sengketa di
luar pengadilan ini disebut dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hukum Acara Perdata merupakan keseluruhan peraturan yang
bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan kekuasaan Negara. Perantaraan Negara
dalam mempertahankan dan menegakan hukum perdata materil itu terjadi melalui peradilan dan cara ini lah yang disebut Litigasi.
2
Pada dasarnya dalam cara Litigasi, inisiatif berperkara ada pada diri orang yang berperkara dalam hal ini penggugat. Dengan kalimat lain
ada atau tidak adanya sesuatu perkara, harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa, bahwa haknya atau hak mereka dilanggar,
yaitu oleh penggugat atau para penggugat.
3
2
Ibid. hlm.27
3
Satjipto Rahardjo, Perumusan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni, 1978, dalam skripsi Ririn Bidasari Tahun 2006 FakultasHukum USU, hlm 3
Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang egois yang belum mampu merangkul kepentingan
bersama, cendrung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan
menimbulkan permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat
kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat
overloaded. Lamban dan buang waktu waste of time. Biaya mahal very expensive dan kurang tanggap unresponsive terhadap kepentingan
umum. Atau dianggap terlampau formalistic formalistic dan terlampau teknis technically.
4
Perkembangan penyelesaian sengketa melalui kerja sama kooperatif diluar pengadilan atau yang disebut dengan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang merupakan kebalikan penyelesaian sengketa Apabila menggunakan penyelesaian dengan cara yang tidak
sederhana dan biaya yang mahal maka akan terjadi penumpukan perkara di pengadilan. Para pihak yang berperkara juga harus menunggu sementara
bukan hanya hal berperkara itu saja yang harus di selesaikan mereka melainkan masih banyak kebutuhan lain yang harus diselesaikan oleh para
pihak. Untuk mengatasi penumpukan perkara tersebut maka perkembangan penyelesaian melalui kerja sama koorperatif di luar
pengadilan ini sangat bermanfaat bagi para pihak yang menginginkan perkara mereka cepat selesai.
4
Hukum dan Masyarakat, Bandung L Angkasa, 1980, dalam skripsi Ririn Bidasari Tahun 2006 Fakultas Hukum USU, hlm.3
melalui Litigasi di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa menghasilkan kesepakatan yang bersifat
“win-win solution”, dijamin kerahasian sengketa para pihak, terhindar dari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif,
menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.
Penyelesaian sengketa dengan cara tersebut merupakan dambaan setiap orang karena memiliki sifat sederhana, cepat dan biaya ringan.
Bersamaan dengan itu di dalam Hukum Acara Perdata yang terdapat suatu asas yang terdapat dan tercantum dalam penjelasan Undang-Undang No.48
Tahun 2009 Tentang kekuasaan kehakiman, Pasal 2 angka 4 yang secara lengkap berbunyi :
“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”.
5
1. Negosiasi penyelesaian melalui perundingan secara bipartite
dua pihak Ada beberapa bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang umum
digunakan, misalnya :
2. Mediasi negosiasi dengan dibantu oleh pihak ketiga yang
disebut Mediator 3.
Arbitrase Penyelesaian melalui pemeriksaan dan putusan oleh Arbiter
4. Konsiliasi negosiasi dengan dibantu pihak ketiga
5
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 “Tentang Kekuasaan Kehakiman” pasal 2 angka 4
Salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang biasa digunakan adalah melalui mediasi. Mediasi ini secara langsung merupakan
suatu kewajiban yang harus dilakukan dalam proses persidangan di pengadilan. Penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi ini dengan
“win-win solution” yang menggunakan pengadilan sebagai sarana mediator dan sekaligus dapat berperan sebagai katup penekan. Yang
diharapkan tidak hanya lebih efektif dan efesien bagi para pihak yang bersengketa, tapi juga bagi pengadilan yang bertugas menyelesaikan
sengketa mereka, dalam hal mengurangi penumpukan perkara yang dapat berimplikasi pada konflik tersebut.
Mediasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan
pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus.
6
6
Gunawan Wijaya, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. hlm.30
Mengenai mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa ini diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Penyelesaian Sengketa. Lembaga-Lembaga APS bisa dijumpai secara luas dalam
berbagai bidang seperti undang-undang bidang Lingkungan Hidup, Pertumbuhan, Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya. Mahkamah
Agung MA RI juga mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan yang mewajibkan
pihak yang bersengketa perdata, lebih dulu menempuh proses mediasi. Yaitu melalui perundingan antara pihak yang bersengketa dengan bantuan
pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kewenangan memutus mediator. Berkaitan dengan hal itu, Mahkamah Agung mewajibkan
penggunaan jasa mediasi sebagai upaya memaksimalkan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg. Lembaga
sejenis mediasi untuk menyelesaikan di luar pengadilan sudah diatur dalam Pasal 130HIR154 RBG. Pasal ini menyatakan bahwa, “Jika pada
hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang menghadiri, maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Hakim Ketua mencoba untuk
mendamaikan mereka.”
7
Terdapat unsur-unsur esensial mediasi yang telah diidentifikasi, yaitu:
Segala sesuatu yang dihasilkan dalam proses mediasi harus merupakan hasil kesepakatan atau persetujuan para pihak. Mediasi dapat
ditempuh oleh para pihak yang terdiri atas dua pihak bersengketa atau lebih. Penyelesaian dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang
bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Namun, ada kalanya karena berbagai faktor para pihak tidak mampu mencapai penyelesaian sehingga
mediasi berakhir dengan jalan buntu. Situasi ini yang membedakan mediasi dengan litigasi. Litigasi pasti berakhir dengan sebuah penyelesaian
hukum, berupa putusan hakim, meskipun penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah sengketa karena ketegangan di antara pihak sengketa
masih berlangsung dan pihak yang kalah selalu tidak puas.
7
Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. hlm.245
a. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui
perundingan berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak.
b. Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak
memihak yang disebut mediator. c.
Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam mencari
penyelesaian yang dapat diterima para pihak.
8
Mediator merupakan pihak netral yang memberikan bantuan prosedural dan substansial. Bantuan prosedural antara lain mencakup
tugas-tugas memimpin, memandu, dan merancang sesi-sesi pertemuan atau perundingan. Sedangkan bantuan substansial berupa pemberian saran-
saran kepada pihak yang bersengketa.
9
Dari uraian di atas, bahwa mediasi merupakan penyelesaian sengketa perdata yang mempermudah para pihak dalam mencapai kata
sepakat sehingga penumpukan perkara di pengadilan pun dapat di minimalisir, dikarenakan proses penyelesaian sengketa yang cepat.
Mediasi ini menguntungkan para pihak karena mengunakan proses yang Mediator sebagai pihak netral ini
mengandung pengertian bahwa mediator tidak berpihak, tidak memiliki kepentingan dengan perselisihan yang sedang terjadi, serta tidak
diuntungkan atau dirugikan jika sengketa dapat diselesaikan atau jika mediasi menemui jalan buntu.
8
Takdir Rahmadi, penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010 hlm.13
9
Ibid. hlm. 14
singkat cepat, sederhana dan efesien dan juga dengan biaya ringan. Bagi masyarakat yang memiliki kepentingan maka mediasi ini sebagai jawaban
atas penyelesaian sengketa perdata mereka. Yang diharapkan hal ini sungguh-sungguh di laksanakan di Pengadilan Negeri, terutama di
Pengadilan Negeri Medan. Di dalam mediasi, seorang penengah yang bersifat netral itu
penting sekali. Seorang penengah itu biasa disebut dengan mediator. Mediator ini memiliki peran penting di dalam mediasi. Namun, dewasa ini
banyak keluhan masyarakat yang menggunakan mediasi sebagai penyelesaian sengketa perdata. Munculnya keluhan tersebut karena
pelaksanaan mediasi yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah dicantumkan di dalam PERMA. Tidak hanya pelaksaan mediasi,
melainkan peranan mediator pun juga harus dipertanyakan bagaimana pelaksanaannya di Pengadilan Negeri tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang dan beberapa alasan diatas, maka mendorong penulis untuk mengadakan penelitian dengan judul “
EFEKTIFITAS MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI Studi Kasus di Pengadilan
Negeri Medan”
B. Rumusan Masalah