Aborsi Sebelum Ditiupkan Ruh Menurut Hukum Islam.

larangan aborsi itu lebih ringan dibandingkan kerusakan akibat tidak mengaborsi karena menyebabkan kematian ibu dan janin. Tidaksepatutnya terburu-buru mengaborsi janin yang telah ditiupkan ruh padanya hanya karena si ibu takut. Aborsitidak boleh kecuali ketika dipastikan kekhawatiran dan dharurahtertinggi, para dokter mampu mengeluarkan janin dari perut ibunya pada saat persalinan dengan cara apapun, dan mereka berada di antara dua pilihan antara mengorbankan janin atau ibunya, karena bila tidak, maka keduanya akan mati. Atau, ketika hamil dan sebelum waktu persalinan terjadi bahaya serius terhadap ibu jika janin tetap dikandung, sehingga mustahil untuk melangsungkan kehamilan hingga persalinan, walaupun dengan usaha menjaga kesehatan ibu. Semua ini tidak cukup dengan sekedar kemungkinan, meskipun kuat, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui.

C. Aborsi Sebelum Ditiupkan Ruh Menurut Hukum Islam.

Ulama fiqih tidak berselisih pendapat seputar pengharaman aborsi setelah ditiupkannya ruh, menganggapnya sebagai kejahatan yang mengakibatkan hukuman. Merekaberselisih pendapat tentang aborsi sebelum ditupkannya ruh ke janin dalam banyak pendapat, bahkan dalam satu madzhab sekalipun, antara yang membolehkan secara mutlak, atau sebelum empat puluh, membolehkan karena ada alasan, dan tidak boleh karena tidak alasan, atau makruh.Aborsi dilakukan dilakukan sebelum diberi ruh pada janin embrio, yaitu sebelum berumur 4 bulan, ada beberapa pendapat. 99 99 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989, hlm. 78. Perbedaanmadzhab itu adalah tidak adanya batasan tertentu berpendapat dalam madzhab-madzhab tersebut, dan tidak adanya nash- nash syaria’t yang secara langsung membahas mesalah ini. Pendapat-pendapat setiap madzhab dan menunjukkan pendapat mana yang lebih kuat. Madzhab Hanafi 1. Para fuqaha dari madzhab Hanafi membolehkan pengguguran janin sebelum peniupan ruh jika mendapat izin dari pemilik janin, yaitu kedua orangtuanya. Kebanyakan argumen yang mereka kemukakan tentang bolehnya menggugurkan janin sebelum peniupan ruh ini, karena sebelum peniupan ruh, belum terjadi penciptaan apa pun pada janin, baik sebagian ataupun keseluruhan. Dan munculnya gambaran yang sempurna pada janin menunjukan bahwa janin tersebut telah ditiupkan ruh kepadanya. Ibnu Al-Hammam berkata “bolehkah menggugurkan janin setelah kehamilan? Dibolehkan selama belum terbentuk apa pun pada janin.” Ditempat lain beliau berkata, “hal ini tidak terjadi kecuali setelah janin berusia seratus dua puluh hari, karena pada saat itu penciptaan telah sempurna dan siap ditiupkan ruh. Jika tidak demikian, berarti pendapat mereka salah. Penciptaanbenar-benar telah terjadi dan dapat disaksikan dengan indera sebelum fase ini. Ibnu Abidin menyatakan bahwa fuqaha madzhab ini berkata, diperbolehkan menggugukan kandungan selama janin masih dalam bentuk segumpal daging atau segumpal darah dan belum terbentuk anggota badannya. Mereka menetapkan bahwa waktu terbentuknya janin adalah setelah janin berusia seratus dua puluh hari. Mereka membolehkannya sebelum waktu itu, karena janin belum menjadi manusia. Ibnu Abidin mengatakan, “tetapi pendapat ini di permasalahkannya di dalam kitab Al-Bahr, bahkan pembentukan janin telah terjadi sebelum fase itu dan dapat disaksikan dengan jelas serta selaras dengan beberapa riwayat yang shahih, “Jika janin telah melalui dua kali empat puluh hari 80 hari maka Allah mengutus seorang malaikat kepadanya lalu membentuknya, menciptakan pendengaran, penglihatan dan kulitnya,” dan ini juga sesuai dengan apa yang ditemukan oleh para dokter. Tampaklah bahwa pada hakikatnya madzhab Hanafi membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh baik itu karena ada halangan ataupun tidak. Mereka telah mengungkapkan masalah ini secara mutlak tanpa embel-embel. Akan tetapi mereka mensyaratkan kebolehannya, yaitu tidak melanggar hak kedua orangtuannya, artinya tidak boleh bagi orang luar untuk menggugurkan kandungan istri kecuali atas izinnya dan izin suaminya. Karena bila itu dilakukan berarti telah melakukan penganiayaan kapada sang ibu, sehingga yang besangkutan bisa dihukum dengan hukuman yang ditetapkan oleh hakim namun tidak harus mengantinya dengan budak. Karena penggantian dengan budak tidak diwajibkan kecuali bila seseorang menggugurkan janin yang sudah ditiupkan ruh kepadanya. Istri menggugurkan janin tidak izin suaminya, maka dia berdosa dan harus memberi ganti rugi, karena suami juga mempunyai hak terhadap janin tersebut walaupun belum ditiupkan ruh kepadanya. 100 100 M. Nu’aim Yasin, Op.,Cit. hlm. 238-289. Pengharamandisini karena membunuh janin itu sendiri , melainkn karena melanggar hak orang lain tanpa seizinnya. 2. Ibnu Abidin menukil dari beberapa ahli dalam madzhab Hanafi, bahwa mereka mengaramkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh, karena janin pada masa ini merupakan bakal manusia yang akan menjadi manusia atas kehandak Allah. Seperti seseorang yang sedang ihram, ia tidak boleh memecahkan telur binatang bururan dan bila itu dilakukan, maka tetap akan mendapatkan hukuman, karena telur itu adalah bakal binatang buruan. Begitu juga orang yang merusak baal manusia. 3. Ulamamadzhab Hanafi berpendapat bahwa menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh hukumanya boleh tetapi makruh. Karena setelah zigot menempel pada dinding rahim, dia adalah hidup. Madzhab Maliki Para ulama madzhab Maliki berselisih pendapat tetang hukum pengguguran janin sebelum peniupan ruh. Perbedaan itu bisa kita klasifikasikan sebagai berikut: 1. Jumhur ulama mereka mengharamkan pengguguran kandungan setelah air mani berada di dalam rahim. Syaikh Ahmad Ad-Dardir berkata, tidak boleh mengeluarkan mani yang telah tertanam di dalam rahim walaupun sebelum berusia empat puluh hari. Syaikh Alaisy berkata, “jika rahim telah menangkap air mani, maka tidak boleh bagi suami-istri ataupun salah satu dari mereka untuk menggugurkan janinnya, baik sebelum penciptaan maupun sesudah penciptaan.” Dinukil dari pendapat Ibnu Arabi: seorang anak mempuyai tiga keadaan: pertama, keadaan sebelum adanya pencampuran antara sperma dengan ovum yang digugurkan dengan melepasnya di luar rahim ketika sperma keluar, dan ini hukumnya boleh.Kedua,keadaan setelah rahim menangkap sperma, maka pada saat itu, tidak boleh seorang pun untuk menggugurkannya. Ketiga, keadaan setelah janin mencapai kesempurnaan bentuk sebelum peniupan ruh, maka ini lebih tidak diperbolehkan untuk digugurkan. Adapun setelah peniupan ruh, maka tidak diperselisihkan lagi, ini termasuk pembunuhan. Para ulama madzhab Maliki yang mengharamkan pengguguran kandungan dari satu fase perkembangan ke fase berikutnya di atas dapat, dipahami bahwa keharamannya itu bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan umur janin hingga akhirnya pengguguran kandungan itu dianggap pembunuhan setelah peniupan ruh. Ini bisa dilihat dari penjelasan Ibnu Arabi di atas, begitu juga yang dikatakan oleh Ibnu Jauzi berikut, “Jika mani telah berada di dalam rahim, maka tidak boleh dikeluarkan dan lebih tidak diperbolehkan lagi ketika janin sudah terbentuk dan lebih tidak boleh lagi ketika janin sudah ditiupakan ruh kepadanya. Begitu juga istihsan yang dikeluarkan oleh Ibnu Rusyd Al-Maliki tentang tidak wajibnya mengganti dengan budak bagi orang yang menggugurkan janin ini, yaitu tentang ciptaan yang harus diganti dengan budak. Lalu Imam Maliki berkata, setiap segumpal daging atau segumpal darah yang digugurkan dan diketahui bahwa dia bakal menjadi anak, pelakunya harus menggantinnya dengan budak,” dan Syafi’i berkata, ‘tidak diwajibkan mengganti apa-apa hingga janin itu mempunyai bentuk dan yang 101 101 Ibid. hlm. 240-241. paling benar adalah diwajibkan mengganti dengan budak bila menggugur janin yang telah ditiupkan ruh kepadanya. 2. Fuqaha Malikiyah memakruhkan pengguguran janin setelah janin terbentuk di dalam rahim sebelum berusia empat puluh hari dan mengharamkannya sesudah itu. 3. Al-Lakhami salah seorang ulama malikiyah berpendapat, bahwa menggugurkan janin sebelum berusia empat puluh hari hukumnya boleh dan tidak harus mengganti apa-apa. 4. FuqahaMalikiyah berpendapat, diberi rukhshah untuk menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh jika janin itu hasil dari perbuatan zina dan khususnya jika wanita takut akan dibunuh jika ketahuan bahwa dirinya hamil. Pendapatpara ulama madzhab Maliki ini, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka sepakat mengharamkan pengguguran kandungan jika janin telah berusia empat puluh hari. Sedangkan sebelum janin berusia empat puluh hari, mayoritas ulama merekamengharamkan, ada sebagian yang memakruhkan, Al-Lakhami membolehkan, dan sebagian lain memberikan rukhshah jika dilakukan sebelum peniupan ruh jika janin itu merupakan hasil dari hubungan zina. 102 Pendapat pertama yang paling dipegang oleh madzhab ini bahwa menggugurkan kandungan selama janin belum ditiupkan ruh kepadanya adalah boleh. Syaikh Qalyubi berkata, “ya, boleh menggugurkannya walaupun dengan Madzhab Syafi’i Para fuqaha madzhab Syafi’i berselisih pendapat dalam menetapkan hukum pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh, yang dapat kita klasifikasikan menjadi beberapa pendapat berikut: 102 Ibid. hlm. 242. obat sebelum peniupan ruh pada janin,sebagai sanggahan atas pendapat Al- Ghazali.” Ar-Ramli berkata di dalam Nihayah Al-Muhtaj, setelah menyebutkan pendapat Al-Ghazali yang mengharamkan pengguguran kandungan. “Yang benar, diharamkan setelah peniupan ruh secara mutlak dan dibolehkan sebelumnya.” Ar-Ramli juga sampai kepada suatu kesimpulan, yang akhirnya menjadi pegangan bagi madzhab ini, yaitu memakruhkan pengguguran janin sebelum peniupan ruh hingga waktu yang telah mendekati waktu peniupan ruh dan mengharamkannya setelah memasuki waktu yang telah mendekati peniupan ruh. Karena sulitnya mengetahui secara pasti waktu peniupan ruh tersebut, maka diharamkan penggugurannya sebelum mendekati waktu peniupan ruh untuk berjaga-jaga, seperti ketika peniupan ruh dan sesudahnya. Di dalam An-Nihayah di mengatakan, “Dikatakan bahwa sejak peniupan ruh, sesudahnya dan hinggadilahirkan tidak diragukan lagi haram hukumnya. Adapun sebelum peniupan ruh tidak diharamkan, sedangkan waktu yang mendekati waktu peniupan ruh, diperselisihkan antara boleh dan haram, amun yang rajih kuat adalah diharamkan, karena itu adalah yang mendekati waktu keharamannya.” Mungkin pendapat ini adalah pendapat yang Ar-Ramli sendiri codong kepadanya, dan bukan pendapat yang dianut di dalam madzhab. Mengatakanpada saat itu pula setelah memukil pendapat Al-Ghazali dan pendapat-pendapat ulama lain, “Pendapat yang benar, diharamkan setelah peniupan ruh secara mutlak dan diperbolehkan sebelumnya. “Jelaslah bahwa pendapat yang rajih menurut madzhab ini adalah pengguguran janin sebelum peniupan ruh diperbolehkan, sedangkan ketika usia janin sudah mendekati waktu peniupan ruh makruh hukumnya, sedangkan setelah peniupan ruh haram hukumnya. Penjelasan di dalam kitab Hasyiyah Al-Jumal.” Syaikh Qalyubi menukil pendapat dari “Bebarapa ulama madzhab Syari’i, bahwa menggugurkan kandungan pada masa‘alaqahsegumpal darah dan nuthfah zigot diperbolehkan dan diharamkan setelah itu, seperti yang dikatakannya di dalam Hasyiyahnya Al-Karabisi berkata, “saya bertanya kepada Abu Bakar bin Sa’id Al-Furati tentang seorang laki-laki yang memberi minum seorang perempuan untuk menggugurkan kandungannya, lalu beliau menjawab, “selama janinnya masih dalam keadaan zigot atau segumpal darah, insya Allah diperbolehkan.” Al-Bayjirami menukil dari Abu Ishaq Al-Marwazi, bahwa dia berkata. “Diperbolehkan menggugurkan janin yang masih berupa nuthfah zigot dan ‘alaqah segumpal darah. Pendapat ini dinukil dari Abu Hanfiyah. 103 Imam Abu Hamid Al-Ghazali mengharamkan pengguguran janin pada semua fase perkembangan kehamilan dengan terus terang dia mengatakan bahwa janin dengan segala perkembangan umurnya sebelum peniupan ruh, haram untuk digugurkan. Kita sebutkan di sini argumennya di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin untuk menambah kesempurnaan pemahaman. Setelah membolehkan penumpahan air mani di luar rahim namun lebih baik tidak melakukannya, dia berkata, “Penumpahan air mani di luar rahim bukan pengguguran dan pembunuhan, karena Berdasarkan ini,maka pengguguran kandungan yang sudah menjadi segumpal daging atau pada empat puluh hari sebelum peniupan ruh, hukumnya haram. Pembatasan inilah yang dimaksudkan oleh Ar-Ramli dan pernyataannya. 103 Amhar nasution, Op.,Cit. hlm. 39-40. pengguguran adalah kejahatan terhadap wujud manusia dan wujud ini bertingkat- tingkat. Tingkat terendah dari wujud ini adalah ketika air mani tumpah di dalam rahim dan bercampur dengan ovum wanita sehingga siap menerima kehidupan. Merusak wujud ini adalah kejahatan dan jika sudah menjadi segumpal darah segumpal daging, maka kejahatan itu lebih keji, dan jika telah ditiupkan ruh dan telah menjadi ciptaan yang sempurna,kejahatanitu bertambah keji lagi dan kejahatan terkeji dalam hal ini adalah jika melakukan pembunuhan terhadap anak yang sudah dilahirkan. Pendapat yang dipegang oleh Al-Ghazali ini berpengaruh terhadap sebagaian ulama Syafi’iyah yang datang sesudah Al-Ghazali. Mungkin apa yang saya nukil dari Ar-Ramli di atas yang memakruhkan pengguguran kandungan empat puluh hari sebelum peniupan ruh itu, merupakan salah satu dari adanya pengaruh tersebut. Begitu juga yang dinukil oleh Qalyubi dari beberapa ulama madzhab Syafi’i yang membolehkan pengguguran janin pada fase zigot dan segumpal darah dan mengharamkannya setelah itu, atau pada fase segumpal daging, kerena dekatnya masa itu dengan masa peniupan ruh. Secara singkat dapat dikatakan, tidaksatu pun ulama madzhab Syafi’i yang melarang untuk menggugurkan janin sebelum peniupan ruh jika kehamilan itu merupakan hasil dari zina yang terjadi pada wanita.” Pendapat ini tidak dianggap sebagai pendapat yang kuat di dalam madzhab ini, sehingga mereka membolehkan secara mutlak dan apabila da uzur. Tujuan para ulama itu adalah mensyaratkan bagi orang-orang yang mengharamkan atau memakruhkan dari ulama madzhab ini, bahkan memang pengguguran itu tidak diperbolehkan jika tidak ada alasan yang rasional, jika ada alasan yang rasional, maka semuanya membolehkan. 104 MadzhabHambali, ada beberapa pendapat tentang tentang hukum pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh. Madzhab Hambali 105 1. Pendapat mereka secara umum dalam madzhab, membolehkan pengguguran kandungan pada fase perkembangan pertama sejak terbentuknya janin, yaitu fasenuthfahzigot, yang usianya maksimal empat puluh hari, dan setelah empat puluh hari tidak boleh digugurkan. 2. IbnulJauzi berpendapat mengharamkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh di semua fase perkembangan janin. Demikian yang dinukil Al- Mardawi darinya. 3. Ulama Hambali membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh secara mutlak tanpa masyarakat fase-fase tertentu. Hal ini di nukil oleh penulis kitab Al-Furu’ dan Ibnu Aqil dan ia berkata seperti itu. Di antara ulama madzhab Hambali yang juga berpendapat seperti itu adalah Yusuf bin Abdul Hadi yang berkata, “boleh meminum obat untuk menggugurkan janin yang sudah menjadi segumpal daging. Penjelasan sikap Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni: Ibnu Qudamah Al-Hambali tidak menyatakan secara terus terang di dalam bukunya, Al-Mughni, untuk menjelaskan tentang hukum pengguguran janin sebelum peniupan ruh, baik mengharamkan maupun membolehkan. Akan tetapi kita bisa menilai dari perkataan yang diinginkan tentang diyat denda janin, 104 Ibid. hlm. 41-42. 105 M. Nu’aim Yasin, Op.,Cit. hlm. 245. bahwa dia mengharamkan pengguguran kandungan pada fase mudghah segumpal daging, atau fase persiapan untuk menerima ruh, yaitu empat puluh hari sebelum peniupan ruh, dengan syarat harus ada disaksikan oleh para ahli bahwa pada muhghah itu sudah ada bentuk manusia walaupun sedikit. Berpendapat tentang adanya diyat pada janin dan membayar kifarat pada fase ini, seperti halnya jika digugurkan setelah peniupan ruh. Wajibnya membayar kifarat menunjukkan atas haramnya tindakan ini secara qath’i dan dianggap sebagai pembunuhan. Karena kifarat tidak diwajibkan kacuali jika terjadi pembunuhan yang diharamkan. Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni. Teks aslinya berbunyi, “Demikian pula tidak wajib bertanggung jawab jika janin belum berbentuk manusia, maka jika janin itu digugurkan sebelum berbentuk manusia, tidak apa-apa. Namun, jika kita tahu bahwa ternyata janin tersebut setelah digugurkan telah berbentuk manusia walaupun kecil maka pelakunya wajib membayarnya dengan budak. Namun bila kita melihatnya sebagai awal penciptaan manusia, walaupun telah tampak bentuknya, maka di dalamnya ada dua kemungkinan, dan yang paling benar adalah tidak wajib membayar denda, karena dia belum terbentuk dan posisinya sama dengan segumpal darah, karena asalnya adalah bebas dari tanggugan, maka tidak perlu kita ragu-ragu di dalamnya. Tampakbahwa Ibnu Qudamah telah mewajibkan untuk membayar ghurrah dan kifarat pada awal pembentukan atau penciptaan janin seperti manusia, dan itu tidak terjadi pada dua fase perkembangan sebelumnya, yaitu fase nuthfah zigot dan ‘alaqah segumpal darah. Adapun fase mudghah segumpal daging, menurut pendapatnya di atas, meruakan awal dari pembentukan manusia walaupun masih sederhana, maka ia berpendapat bahwa menggugurkan kandungan setelah peniupan ruh dengan syarat janin itu sudah terbentuk walaupun sederhana, maka wajib membayar ghurrah dan kifarat. 106 “Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah handaklah ia memerdekakan seorang hambah sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluargany si terbunuh itu.” Madzhab Ibnu Hazm Azh-Zhahari Ibnu Hazm tidak mempunyai pendapat yang jelas mengenai hukum pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh, akan tetapi beliau menegaskan bahwa menggugurkan kandungan sebelum usia janin mencapai empat bulan persis tidak dianggap pembunuhan, baik disengaja manapun tidak disengaja. Karena pembunuhan adalah menghilangkan ruh dari jasad, sementara janin pada saat itu tidak mempunyai ruh. Seperti yang ditegaskan di dalam Hadits shahih dari Rasulullah, bahwa ruh tidak ditiupakan kepada anak Adam kecuali setelah empat dari awal kehamilan. Akan tetapi beliau berpendapt wajib membayar diyat atau ghurrah walaupun umumnya masih relatif dini, namun tidak wajib kifarat. Ibnu Hazm berpendapat bahwa denda ghurrah janin yang belum ditiupkan kepadanya ruh diberikan kepada ibunya bukan kepada pewarisnya, karena dia dianggap seperti anggota badan sang ibu dan dia menolak kalau denda itu diberikan kepada ahli warisnya. Beliau berkata, “adapun pendapat mereka bahwa ghurrah adalah diyat seperti hukum diyat. Dan ditetapkan di dalam Hadits shahih bahwa diyat seperti hukum diyat. Dan ditetapkan di dalam Hadits shahih bahwa diyat diwariskan kepada ahli waris, maka begitu juga dengan ghurrah.” Alasan kami dalam hal ini adalah bahwa Allah SWT berfirman, 107 106 Ibid. hlm. 246-247 107 Q.s. An-Nisa’ 4: 92 Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa membunuh seorang mukmin secara tidak disengaja, maka sebaiknya dia dilihat dari dua aspek: entah itu di qishash atau membayar diyat.” Al-Qur’an dan Sunnah di atas, bahwa diyat korban yang dibunuh secara tidak sengaja diberikan kepada keluarganya. Dan korban tidak terjadi kecuali jika hidupnya dirampas hingga akhirnya mati, tanpa ada saling pendapat di antara ahli bahasa mengenai masalah yang dijelaskan oleh Allah dan Nabinya tersebut. Janin setelah berusia seratus dua puluh hari, menurut penjelasan Rasulullah adalah menusia hidup, karena dia hidup maka dia bisa dibunuh. Adapun jika tidak yakni bahwa usianya melebihi seratus dua puluh hari, maka kami yakni bahwa dia belum hidup sama sekali. Jika belum hidup berarti tidak mempunyai ruh, jika tidak mempunyai ruh berarti tidak terbunuh melainkan dia adalah zigot atau segumpul darah dari tulang dan daging, dianggap bagian dari anggota tubuh ibunya. Seseorangtidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa dia membolehkan pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh, tetapi menisbatkan pendapat haram kepadanya lebih baik daripada menisbatkan pendapat mubah kepadanya. Demikian itu karena walaupun dia tidak menggangapnya sebagai pembunuhan, tetapi dia menyatakan bahwa itu adalah perbuatan yang harus didenda. Sedangkan denda tidak diwajibkan kecuali pada perbuatan yang menghilangkan manfaat sesuatu dan menghilangkan manfaat tanpa ada uzur penghilangannya hukumnya haram. 108 108 Ibid. hlm. 249-251

BAB IV PERBANDINGAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT HUKUM

POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Sumber Hukum 1. Di dalam KUHP Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang dengan tegas dan nyata. 109 Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. 110 a. Sumber-sumber hukum materil ini dapat ditinjau dari segi atau beberapa sudut, yaitu sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan lain sebagainya; Sumber hukum yang dikenal di Indonesia terbagi dalam beberapa kategori, yaitu sebagai berikut: b. Sumber hukum formil terbagi lagi kedalam berbagai bagian, antara lain yaitu; Undang-Undang, Kebiasaan, Keputusan Hakim jurisprudence, Traktat treaty, dan Pendapat Para Sarjana doktrin. 111 Oleh karena itu pembagian sumber hukum tersebut, maka KUHP merupakan salah satu produk hukum yang bersumber dari hukum formal yaitu Undang-Undang. Berhubung dengan tindak pidana aborsi maka hal ini diatur dalam Pasal 346-349 KUHP yang dapat dilihat dalam BAB XIV Buku ke II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. 109 C.S.T Kansil, Op. Cit., hlm. 46. 110 R. Suroso, Pengantar Ilmu Hukum, Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 117-118. 111 C.S.T Kansil, Op. Cit.,