Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tenaga Kesehatan Yang

Pasal 77 Undnag-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menjadi dasar bagi pemerintah untuk berkewajiban melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undang. 66

2. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tenaga Kesehatan Yang

Melakukan Aborsi Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap tenaga kesehatan yang melakukan aborsi maka pembahasannya tidak tidak bisa dilepaskan dari hukuman pidana. Pada hakikatnya hukuman pidana adalah jumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggarnya. 67 1. Aturan hukum pidana dan yang dikaitkan berhubung dengan larangan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana bagi yang melanggar larangan itu; Hukumpidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat atau berisi ketentuan-ketentuan tentang: 2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk dijatuhkannya saksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya. 3. Tindakan dan upaya yang boleh atau harus yang dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya polisi, jaksa, hakim, terhadap yang disangka 66 Ibid. hlm. 90. 67 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Renika Cipta, Jakarta, 1991, hlm .4. didakwa sebagai pelanggaran hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidan terhadap dirinya, serta tindak pidana dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka terdakwa pelanggaran hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dan tindakan negara dalam upaya nagara menegakkan hukum pidana tersebut. 68 Hukum pidana seharusnya dijatuhkan untuk menegakan tertib hukum, melindunggi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di dalam masyrakat saling bergantung, kepentingan mereka dan relasi antara mereka ditentukan dan dilindungi oleh norma-norma. Penjaga tertib sosial ini untuk bagian terbesar sangat tergantung pada paksaan. Jika norma-norma tidak ditaati, akan muncul sanksi, kadangkala yang berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh dan kehilangan status atau penghargan sosial. Menyangkuthal yang lebih penting, sanksi, melalui tertib hukum negara yang melengkapi penataan sosial, dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada pelanggar norma tersebut. Ini semua tidak dikatakan dengan melupakan bahwa penjatuhan pidana dalam prakteknya masih juga merupakan sarana kekuasaan negara yang tertajam yang dapat dikenakan kepada pelanggar. Menjadi jelas bahwa dalam pemahaman di atas hukum pidana bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, namun memiliki fungsi pelayanan ataupun fungsi sosial. 69 Hukumpidana itu membentuk norma-norma dan pengertian-pengertian yang diarahkan kepada tujuannya sendiri, yaitu menilai tingkah laku para pelaku yang dapat dipidana. Menurut Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu 68 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 2. 69 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 14-15 sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan atau menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi, hukum pidana menyimpang dari bagian hukum lainnya, yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu mempunyai fungsi yang lain dari pada menambah penderitaan. Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan. 70 Berkaitan dengan hukuman pidana tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang 3 tiga hal pokok dalam hukum pidana, yaitu dari tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pemidanaan. Tindak pidana perumusan larangan untuk melakukan sesuatu, larangan untuk melakukan sesuatu, ataupun larangan untuk menimbulkan akibat tertentu. Cara perumusan tindak pidana juga berpengaruh terhadap pertanggungjawaban pidana terhadap pembuatanya. Berkaitan dengan hal ini Clarkson mengatakan “criminal liability is imposed upon Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan ultimum remidium. Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu sudah tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterepkan. Ia menunjuk pidato Menteri Kehakiman Belanda Modderman yang antara lain menyatakan bahwa ancaman pidana itu harus tetap merupakan suatu ultimum remidium. Setiap ancaman pidana itu,dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit. 70 Andi Hamzah , Op.Cit., hlm. 9-10. blameworthy actor whose conduct has caused a for posed upon blameworthy actor whose conduct conduct constitutes the forbidden harm”. Dengan demikian hakikat celaan terhadap pembuat, juga dipengaruhi oleh perumusan perbuatan yang ditetapkan sebagai tindakan pidana dalam suatu Undang-Undang. 71 71 Masrudi Muhtar, Op.Cit., hlm. 92-93. Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan menentukan subyek hukum pidana. Subyek hukmu pidana dalam ketentuan Perundang-Undang merupakan pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai wujud tanggungjawab karena kesalahannya terhadap orang lain korban tindak pidana. Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “toerekenbaarheid.” Criminalresponsibility”atau “criminal liability”. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan apakah seseorang tersangkah danatau terdakwa dipertanggungjawabkan untuk atas suatu tindak pidana crime yang terjadi atau tidak. Perkembangan pertanggungjawaban pidana pada awalnya dikaitkan dengan kesalahan pelaku. Pelaku tidak dapat dipidana kecuali ada kesalahan pada dirinya selain telah melakukan suatu tindak pidana. Ini berarti bahwa konsep “feit materil”telah ditingalkan untuk sementara waktu. Pengertianpertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna verwijbaaheid sipembuata atas perbuatanya. Penerimaan perbuatannya maka pengertian kesalahan berubah menjadi kesalahan normatif. Prinsip ini di dalam hukum pidana dikenal dengan “liability based on fault”. Asas umum yang fundamental dalam pertanggungjawaban pidana ini ialah asas “tiada pidana tanpa kesalahan” asas culpabilitas. Kesalahan merupakan masalah dalam pertanggungjawaban pidana. Berkaitan dengan kesalahan ini, menurut Sudarto bersalahnya seseorang tergantung dari 3 tiga unsur, yaitu: 1. Kemampuanbertanggungjawab pada sipembuat, artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal; dalam hal ini dipersoalkan apakah orang tertentu menjadi “norm adressat” yang mampu; 2. Hubungan batin si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan dolus atau kealpaan culpa, ini disebut bentuk-bentuk kesalahan; dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pembuat terhadap perbuatannya; dan 3. Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan. 72 Kesalahan merupakan dasar dari pertanggungjawaban pidana. Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari sipelaku dan hubangan batin antara si pelaku dengan perbuatan. Keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan merupakan apa yang lazim disebut sebagai kamampuan bertanggungjawab, sedangkan hubungan batin antara sipelaku dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan dan alasan pemaaf. Simons mengatakan, kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum nmaupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila: 72 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Menuju Keadaan Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Kencana Prenadi Media, Jakarta, 2006, hlm 93- 94. 1. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum; 2. Ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab, toerkeningsvatbaar, bila pada umumnya: 1. Keadaan jiwa: a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara; b. Tidak cacat dalam pertumbuhan gagu, idiot, imbecile dan sebagainya; c. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap, pengaruh bahwa sadarreflexe beweging, meilindusslaapwandel, mengigau karena demamkoorts, nyidam dan sebagainya dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar. 2. Kemampuan jiwanya a. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya; b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan; dan c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan Secara yuridis rumusan kemampuan bertanggungjawab tidak diatur baik di dalam KUHP maupun undang-undang yang terkait dengan hukum pidana. Namun apabila dilihat dalam memorie van toelichting secara negatif menyebutkan pengertian kemampuan bertanggungjawab itu, adanya tidak ada kemampuan bertanggungjawab pada sisi pembuat: a. Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memiliki antara berbuat atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undnag dilarang atau diperintahkan, dengan kata lain dalam hal terbutan yang dipaksa; b. Dalam hal pembuat ada di dalam suatu keadaan tertentu sehingga dia tidak dapat menghinsyafi bahwa perbutannya bertentangan dengan hukum dan tidak mengerti akibat perbuatannya itu nafsu patologi, gila, pikiran tersebut dan sebagainya. 73 73 E. Utrecht, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Max, Surabaya, 1986, hlm. 298. BAB III PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT HUKUM ISLAM

A. Aborsi Menurut Pendangan Hukum Islam

1. Pengertian Aborsi

Ditinjaudari segi linguistik, dalam perspektif syarah, kata “abortus” atau “aborsi” dikenal dengan ungkapan, Isqatu Hamli atau al-Ijhadhyang berarti menjauhkan, membuang, melempar, dan menyingkirkan. Ataudengan kata lain didefinisikan sebagai keluarnya atau gugurnya kandungan dari seorang ibu yang usia kandungannya belum mencapai 20 minggu. KonteksIslam menyatakan bahwa kehidupan janin anak dalam kandungan adalah kehidupan yang harus dihormati. 74 “Ada dua orang perempuan dari Suku Hudzail bertengkar, lantas salah satunya melempar yang lain dengan batu hingga mengakibatkan si wanita yang dilempar itu meninggal dunia beserta janin yang ada di dalam kandungannya. Lantas mereka mengadukan kasus tersebut kepada Rasulullah. Kemudian beliau memberikan keputusan bahwa diyat janinnya adalah ghurrah yaitu seorang seorang budak laki-laki atau seorang budak perempuan dan beliau memutuskan bahwa diyatnya si perempuanyang jadi korban itu dibebankan kepada ‘aaqilah si pelaku. Pelanggaranjika melakukan pengguguran terhadap janin yang sedang dikandung aborsi, apalagi aborsi tersebut tanpa alasan yang sah atau dikuatkan oleh tim medis. Perbedaan pendapat dikalangan ulama didasarkan dari sejarah pada masa Rasulullah, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, berkata: 75 74 Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Gema Insani Pres , Jakarta, 1995, hlm. 70. 75 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqig Islam Wa Adillatuhu, Jilid 7, Darul Fikri, Jakarta, 2011, hlm. 694.