Diperburuk dengan kondisi birokrasi Indonesia yang tumpang tidih, sehingga tidak adanya kejelasan akan siapa ataupun lembaga mana
yang sepenuhnya berwenang terhadap permasalahan dan mengambil alih pemanfaatan Selat Malaka dari tangan asing. Dengan tidak
memiliki kemampuan teknologi dan Sumber Daya Manusia SDM yang memadai kepentingan ekonomi nasional Indonesia tidak akan bisa
terpenuhi. Dengan adanya presiden Indonesia yang baru, diharapkan untuk memperhatikan masalah ini.
3. Masalah pandu kapal
Begitu strategis dan pentingnya Selat Malaka, selama ini telah di sia-siakan Pemerintah Indonesia. Akibatnya Negara Indonesia harus
kehilangan potensi pendapatan puluhan triliun rupiah setiap tahunnya dari potensi ekonomi Selat Malaka yang menjadi jalur pelayaran
tersibuk di dunia yang dilalui lebih dari 90.000 kapal berbagai ukuran setia tahunnya dengan muatan kargo dan minyak dari seluruh dunia.
Meski Indonesia memiliki sebagian besar atas wilayah Selat Malaka, namun Negara Indonesia tidak berdaya menghadapi Negara Singapura
dan Negara Malaysia yang dimana kedua negara ini juga adalah negara pantai dalam pemanfaatan potensi ekonomi Selat Malaka tersebut.
Dua negara tersebut yaitu Singapura dan Malaysia, khususnya Singapura sejak lama menikmati puluhan triliun rupiah setiap bulannya
dari bisnis pelayaran dan perkapalan di Selat Malaka. Dari usaha jasa
Universitas Sumatera Utara
pandu kapal saja, Negara Singapura disinyalir memperoleh separuh dari omset bisnis itu atau sekitar 30 triliun rupiah setiap tahunnya. Dengan
asumsi jumlah kapal yang melalui Selat Malaka pertahun sebanyak 90.000 kapal berarti sebulannya sebanyak 7.500 kapal yang lalu lalang
dan jika jasa pandu kapal dikenanakan biaya sebesar 65.000 dollar Amerika Serikat, maka jika terdapat 90.000 kapal pertahunnya berarti
omset bisnis ini pertahun mencapai 58 triliun rupiah. Bila Negara Singapura mengelola separuh dari omset tersebut maka pendapatan
negeri kota itu sekitar 30 triliun rupiah per tahun, dimana sisanya dibagi kepada Negara Malaysia dan Negara Indonesia.
Negara Singapura juga menikmati pendapatan dari biaya lego jangkar dan labuh kapal yang nilainya mencapai puluhan triliun rupiah
setiap bulannya. Negara Singapura juga menikmati pendapatan dari penjualan air bersih dan Bahan Bakar Minyak BBM yang nilainya
juga mencapai puluhan triliun rupiah setiap bulannya. Indonesia yang memiliki sebagian besar atau sekitar 80 wilayah Selat Malaka
ironisnya hanya menjadi penonton dan yang lebih ironisnya lagi Indonesia menjadi pemasok barang yang dijual Negara Singapura ke
atas kapal asing tersebut, contohnya air bersih dan Bahan Bakar Minyak serta Gas.
Salah satu Pejabat di Kementrian Perhubungan, Capt. Purnama S. Meliala menyadari bahwa Negara Indonesia telah kehilangan potensi
Universitas Sumatera Utara
pendapatan triliun rupiah setiap bulannya dari potensi ekonomi Selat Malaka disebabkan ketidakmampuan Negara Indonesia menangkap
peluang tersebut. Dari usaha jasa pandu, Negara Indonesia telah ketinggalan jauh dibanding Negara Singapura, bahkan Negara
Singapura baru menyatakan siap mengelola bisnis jasa pandu kapal pada tahun 2008 dan ironisnya hingga saat ini jasa pemandu kapal
Indonesia yang jumlahnya hanya puluhan tersebut lebih banyak menganggur karena kapal asing lebih memilih jasa pemandu dari
Negara Singapura dan Negara Malaysia. Pasalnya, pemandu Negara Indonesia belum banyak yang memiliki sertifikat dari International
Maritime Organization IMO sehingga diragukan keahliannya dalam
memandu kapal. Upaya yang dilakukan supaya kapal-kapal asing tersebut memakai
jasa pemandu kapal dalam negeri, Negara Indonesia telah berulang kali membuat regulasi. Pertama, pada tahun 2007 dengan mengeluarkan
Surat Keputusan SK Dirjen Perhubungan Laut Hubla Nomor: PU.6318DJPL.07 tangal 28 Desember 2007 tentang Penetapan
Perairan Pandu Luar Biasa di Selat Malaka dan Selat Singapura. Dimana dalam Surat Keputusan SK tersebut disebutkan wilayah
perairan Selat Malaka dan Selat Singapura sebagai perairan pandu ditetapkan dengan batas-batas yang meliputi sebelah Utara Tanjung
Balai Karimun sampai perairan sebelah Utara Pulau Batam.
Universitas Sumatera Utara
Setahun kemudian, pemerintah juga membuat Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 tahun 2008 yang di dalam pasal 198 ayat 1
disebutkan bahwa “Pemerintah dapat menetapkan perairan tertentu sebagai perairan wajib pandu danperairan pandu luar biasa. Artinya,
setiap kapal yang berlayar di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa itu wajib menggunakan jasa pemanduan”.
Ternyata, aturan tersebut justru dimanfaatkan untuk kapal yang hanya melintasi perairan dalam negeri yang mengangkut muatan kargo
antar daerah. Sedangkan bagi kapal asing yang lebih banyak lalu lalang di Selat Malaka yang potensinya justru lebih besar tidak tersentuh. Pada
kenyataannya kapal-kapal asing tersebut menurut Purnama banyak yang melewati perairan Indonesia yang mestinya sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 17 tahun 2008 harus dipandu oleh pemandu dari Negara Indonesia. Kondisi tersebut mengalami pembiaran cukup lama,
sementara aksi pemandu dari negara asing sudah semestinya dihentikan karena illegal
184
184
Selat Malaka Potensi Yang Diabaikan, dalam
dan terdapat ketidakefektipan dalam usaha kegiatan pemanduan di Selat Malaka yang memiliki panjang 245 mil tersebut.
Dengan fakta bahwa 80 wilayah Selat Malaka merupakan wilayah Indonesia yang seharusnya kewenangan kepanduan dilakukan
dilakukan oleh Indonesia.
http:wikileaks- wikileaksindonesia.blogspot.com201210selat-malaka-potensi-yang-diabaikan.html
. diakses pada 5 April 2014 pkl 13:17.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan