Pemanfaatan Tangkil (Gnetum gnemon) Untuk Campuran Kerupuk Dengan Variasi Perbandingan Antara Tepung Tangkil Dan Tepung Tapioka.

(1)

SKRIPSI

IMELDA SIAHAAN 070822011

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

PEMANFAATAN TANGKIL (Gnetum gnemon) UNTUK CAMPURAN KERUPUK DENGAN VARIASI PERBANDINGAN ANTARA TEPUNG

TANGKIL DAN TEPUNG TAPIOKA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

IMELDA SIAHAAN 070 822 011

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PEMANFAATAN TANGKIL (Gnetum gnemon) UNTUK CAMPURAN KERUPUK DENGAN VARIASI PERBANDINGAN ANTARA TEPUNG TANGKIL DAN TEPUNG TAPIOKA

Kategori : SKRIPSI

Nama : IMELDA SIAHAAN

Nomor Induk Mahasiswa : 070822011

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA EKSTENSI

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di:

Medan, September 2009

Komisi Pembimbing

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Prof. Dr. Harlinah SPW, M.Sc Dra. Yuniarti Yusak, MS NIP. 130 175 778 NIP. 130 809 726

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan, MS NIP. 131 459 466


(4)

PERNYATAAN

PEMANFAATAN TANGKIL (Gnetum gnemon) UNTUK CAMPURAN KERUPUK DENGAN VARIASI PERBANDINGAN ANTARA TEPUNG TANGKIL DAN

TEPUNG TAPIOKA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, September 2009

IMELDA SIAHAAN 070 822 011


(5)

PENGHARGAAN

Segala puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha kuasa yang telah memberikan Kasih setia dan anugrah kebaikan yang penulis rasakan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan tepat pada waktu yang telah ditetapkan.

Dengan sepenuh kasih penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu Dra. Yuniarti Yusak, MS, selaku pembimbing I dan Ibu Prof. Dr. Harlinah SPW, M.Sc selaku pembimbing II, yang telah banyak memberikan panduan dan membimbing penulis untuk menyempurnakan Skripsi ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada ketua dan sekretaris Departemen Kimia, Ibu Dr. Rumondang Bulan, MS dan Bapak Drs. Firman Sebayang,MS, Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, dan Ibu dan Bapak Pegawai Laboratorium Oleopangan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), rekan-rekan kuliah Sanni, Maria, Septian, Ema Suryani dan semua anak S1 Ekstensi stambuk 2007, dan teman – teman kost Simplex serta teman – teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu mendukung dengan kasihnya. Akhirnya tidak terlupakan kepada orangtua penulis, Ayahanda M. Siahaan, Ibunda tercinta M. Rajagukguk, Saudara-saudara penulis David Siahaan, ST, Martua Siahaan, dan Daniel Siahaan yang telah memberikan bantuan moril maupun materil serta doa dan dorongan kepada penulis selama menuntut ilmu sampai terselesainya skripsi ini.


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan salah satu usaha penganekaragaman bahan pangan untuk menciptakan suatu makanan baru yang bernilai gizi yang baik dan bernilai ekonomis. Telah dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan tangkil (Gnetum gnemon) untuk campuran kerupuk dengan variasi perbandingan antara tepung tangkil dan tepung tapioka dan kandungan nutriennya. Kadar nutrient yang dianalisa adalah Kadar Protein dilakukan dengan metode Kjeldahl, kadar serat dilakukan dengan metode pendidihan, penyaringan, pengeringan dan pengabuan dan kadar β – karoten dan uji organoleptik terhadap rasa, aroma dan bau dari kerupuk yang dihasilkan yang ditentukan dengan menggunakan metode skla hedonik. Kadar protein , kadar serat dan kadar β – karoten tertinggi diperoleh pada kerupuk dengan perbandingan (1:4) dengan penambahan ekstrak wortel yaitu 16,45 %, 0,38 %, dan 951,92 ppm. Sedangkan kadar protein , kadar serat dan kadar β – karotenterendah diperoleh pada kerupuk dengan perbandingan (1:3) tanpa penambahan ekstrak wortel yaitu 11,69 %, 0,18 %, dan 899,19 ppm. Kerupuk yang paling enak, ahrum renyah dan paling bannyak disukai yaitu kerupuk dengan perbandingan (1:4).


(7)

THE USING OF TANGKIL (Gnetum gnemon) AS THE MIXTURE OF CRACKERS WITH VARIOUS COMPARISON BETWEEN TANGKIL

POWDER AND TAPIOCA POWDER

ABSTRACT

This research is one of diversification effort of food substance to create an economic valuable nutrious food. It has been done tehe research about the using of Tangkil (Gnetum gnemon) as the mixture of crackers with various comparison between tangkil powder and tapioca and about it’s nutrient content also. The analyzing nutrient are protein content by using Kjeldahl method, fiberous content by using boiling, drying, and turning to dustβ – karotenaand organoleptic test about taste, smell and colour of crackers by using hedonic scale. The highest content of protein, fiberous, and beta – karotena is found in the crackers in comparison (1:4) by adding extract aof carrot namely 16,45 %, 0,38 %, and 951,92 ppm. And the lowest content of protein, fiberous, and beta – karotena is found in the crackers in comparison (1:3) namely 11,69 %, 0,18 %, and 899,19 ppm. The most delicious, aromatic, crispy and the most people like is the crackers with comparison (1:4).


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN ii

PENGHARGAAN iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Pembatasan Masalah 2

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penalitian 3

1.6 Metode Penelitian 3

1.7 Lokasi Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Multi Purpose Food 5

2.2 Tanaman Melinjo 5

2.2.1 Klasifikasi tanaman melinjo 6 2.2.2 Ciri-ciri morfologi tanaman melinjo 7 2.2.3 Manfaat tanaman melinjo 7 2.2.4 Syarat tumbuh tanaman melinjo 7 2.2.5 Pedoman budidaya tanaman melinjo 8 2.2.6 Pemeliharaan tanaman melinjo 8 2.2.7 Hama dan penyakit tanaman melinjo 8 2.2.8 Kandungan gizi melinjo 9

2.3 Tepung Tapioka 9

2.3.1 Kandungan Unsur Gizi 10

2.4 Kerupuk 10

2.5 Protein 11

2.6 Karbohidrat 13

2.6.1 Serat Makanan 14

2.7 Tanaman Wortel 14

2.8 β– karoten 16

2.9 Uji Organoleptik 17

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 18

3.1 Alat - Alat 18


(9)

3.3 Prosedur Penelitian 20 3.3.1 Penyediaan indikator dan katalis 20

3.3.2 Pembuatan reagen 20

3.3.3 Pembuatan kerupuk 21

3.3.4 Penentuan kadar protein dengan metode Kjeldahl 22 3.3.5 Penentuan kadar serat dengan metode pendidihan

penyaringan, pengeringan dan pengabuan 22 3.3.6 Penentuan kurva standar β – karoten 23

3.3.6.1 Penentuan panjang gelombang

Maksimum β– karoten 23

3.3.6.2 Penentuan kurva standar β – karoten 23 3.3.7 Penentuan kadar β – karoten sampel

(MPOB Test Method p2.6: 2004) 24 3.3.7.1 Preparasi sampel 24 3.3.7.2 Proses pemurnian β – karoten dari pelarutnya 24

3.3.7.3 Penentuan kadar β – karoten dengan

Spektrofotometer UV – Vis 24 3.3.8 Uji organoleptik 25

3.4 Bagan Penelitian 26

3.4.1 Pembuatan kerupuk 26

3.4.2 Penentuan kadar protein dengan metode Kjeldahl 27 3.4.3 Penentuan kadar serat dengan metode pendidihan

penyaringan, pengeringan dan pengabuan 28 3.4.4 Penentuan kurva standar β – karoten 29

3.4.4.1 Penentuan panjang gelombang

Maksimum β– karoten 29

3.4.4.2 Penentuan kurva standar β – karoten 29 3.4.5 Penentuan kadar β – karoten sampel

(MPOB Test Method p2.6: 2004) 30 3.4.5.1 Preparasi sampel 30 3.4.5.2 Proses pemurnian β – karoten dari pelarutnya 30

3.4.5.3 Penentuan kadar beta karoten dengan

Spektrofotometer UV – Vis 31

3.4.6 Uji organoleptik 31

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 32

4.1 Hasil Penelitian 32

4.1.1 Penentuan kadar protein 34 4.1.1.1 Analisa data dengan metode CCT

(Chauvenet Criterion Test) 34 4.1.2 Penentuan kadar serat 35

4.1.2.1 Analisa data dengan metode CCT

(Chauvenet Criterion Test) 35 4.1.3 Perhitungan Kadar β – karoten 36

4.1.2.1 Analisa data dengan metode CCT

(Chauvenet Criterion Test) 38 4.1.4 Analisa data statistik penilaian uji organoleptik 39


(10)

uji organoleptik terhadap rasa 39 4.1.4.2 Analisa data statistik pada penilaian

uji organoleptik terhadap aroma 40 4.1.4.3 Analisa data statistik pada penilaian

uji organoleptik terhadap warna 41

4.2 Pembahasan 42

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 44

5.1 Kesimpulan 44

5.2 Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 45


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Komposisi Tangkil, Tapioka dan Wortel 2 Tabel 2.1 Daftar Komposisi Bahan Makanan pada Melinjo 9 Tabel 2.2 Kandungan Unsur Gizi pada Ubi Kayu/Singkong dan Tepung 10

Tapioka/100 g Bahan

Tabel 2.3 Kandungan Gizi dalam tiap 100 gram Umbi Wortel Segar 15 Tabel 2.4 Uji Kesukaan dengan Skala Hedonik 17 Tabel 4.1 Data Hasil Pengukuran Kadar Protein 32 Tabel 4.2 Data Hasil Pengukuran Kadar Serat 33 Tabel 4.3 Data Hasil Pengukuran Kadar β – karoten 33 Tabel 4.4 Data Larutan Standar β – karoten pada berbagai Konsentrasi 36


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Tabel L1. Data Kadar Nutrien Kerupuk 48 Tabel L2. Data Pengamatan Kadar Protein 49 Tabel L3. Data Statistik Kadar Protein 49 Tabel L4. Data Kadar Protein Tepung Tangkil 49 Tabel L5. Data Pengamatan Kadar Serat 50 Tabel L6. Data Statistik Kadar Serat 50 Tabel L7. Data Kadar Serat Tepung Tangkil 50 Tabel L8. Data Absorbansi Larutan Standar β – karoten pada

berbagai Panjang Gelombang Maksimum 51 Tabel L9. Data Absorbansi Larutan Standar β – karoten pada

berbagai Konsentrasi pada Panjang Gelombang 446 nm 51 Tabel L10. Data Pengamatan Kadar β – karoten Sampel 52 Tabel L11. Data Statistik Kadar β– karoten 52 Tabel L12. Data Kadar β– karoten Tepung Tangkil 52 Tabel L13. Hasil Penilaian Panelis terhadap Uji Rasa Kerupuk 53 Tabel L14. Data Penilaian Uji Rasa 54 Tabel L15. Data Statistik Uji Organoleptik terhadap Rasa 54

Tabel L16. Hasil Penilaian Panelis terhadap Uji Rasa Kerupuk 55 Tabel L17. Data Penilaian Uji Aroma 56 Tabel L18. Data Statistik Uji Organoleptik terhadap Aroma 56 Tabel L19. Hasil Penilaian Panelis terhadap Uji Rasa Kerupuk 57 Tabel L20. Data Penilaian Uji Warna 58 Tabel L21. Data Statistik Uji Organoleptik terhadap Warna 58 Grafik L1. Grafik Absorbansi Larutan Standar β – karoten pada

berbagai Panjang Gelombang Maksimum 59 Grafik L2. Kurva Larutan Standar β – karoten pada berbagai

Konsentrasi pada Panjang Gelombang 446 nm 59 Tabel L22. Harga erf (t) atau erf (hx) dari harga t 60


(14)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan salah satu usaha penganekaragaman bahan pangan untuk menciptakan suatu makanan baru yang bernilai gizi yang baik dan bernilai ekonomis. Telah dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan tangkil (Gnetum gnemon) untuk campuran kerupuk dengan variasi perbandingan antara tepung tangkil dan tepung tapioka dan kandungan nutriennya. Kadar nutrient yang dianalisa adalah Kadar Protein dilakukan dengan metode Kjeldahl, kadar serat dilakukan dengan metode pendidihan, penyaringan, pengeringan dan pengabuan dan kadar β – karoten dan uji organoleptik terhadap rasa, aroma dan bau dari kerupuk yang dihasilkan yang ditentukan dengan menggunakan metode skla hedonik. Kadar protein , kadar serat dan kadar β – karoten tertinggi diperoleh pada kerupuk dengan perbandingan (1:4) dengan penambahan ekstrak wortel yaitu 16,45 %, 0,38 %, dan 951,92 ppm. Sedangkan kadar protein , kadar serat dan kadar β – karotenterendah diperoleh pada kerupuk dengan perbandingan (1:3) tanpa penambahan ekstrak wortel yaitu 11,69 %, 0,18 %, dan 899,19 ppm. Kerupuk yang paling enak, ahrum renyah dan paling bannyak disukai yaitu kerupuk dengan perbandingan (1:4).


(15)

THE USING OF TANGKIL (Gnetum gnemon) AS THE MIXTURE OF CRACKERS WITH VARIOUS COMPARISON BETWEEN TANGKIL

POWDER AND TAPIOCA POWDER

ABSTRACT

This research is one of diversification effort of food substance to create an economic valuable nutrious food. It has been done tehe research about the using of Tangkil (Gnetum gnemon) as the mixture of crackers with various comparison between tangkil powder and tapioca and about it’s nutrient content also. The analyzing nutrient are protein content by using Kjeldahl method, fiberous content by using boiling, drying, and turning to dustβ – karotenaand organoleptic test about taste, smell and colour of crackers by using hedonic scale. The highest content of protein, fiberous, and beta – karotena is found in the crackers in comparison (1:4) by adding extract aof carrot namely 16,45 %, 0,38 %, and 951,92 ppm. And the lowest content of protein, fiberous, and beta – karotena is found in the crackers in comparison (1:3) namely 11,69 %, 0,18 %, and 899,19 ppm. The most delicious, aromatic, crispy and the most people like is the crackers with comparison (1:4).


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Multi purpose food (MPF) merupakan suatu teknologi tepat guna yang mempunyai tujuan untuk menciptakan suatu makanan baru yang mempunyai nilai gizi yang baik dan bernilai ekonomis rendah serta dapat menciptakan makanan yang siap saji tetapi mempunyai mutu yang tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia dalam bidang pangan. (Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 1997)

Kadar nutrien (karbohidrat, protein, lemak, air dan abu) dari bahan makanan sangat penting untuk diketahui. Dimana seperti protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Kandungan air sangat berpengaruh terhadap konsistensi bahan pangan, pada umumnya keawetan bahan pangan mempunyai hubungan erat dengan kadar air yang dikandungnya. (Winarno, F.G, 1980)

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia tahun 1999, kerupuk adalah suatu produk makanan kering yang dibuat dari tepung pati dengan penambahan bahan-bahan lainnya dan bahan-bahan tambahan-bahan makanan yang diijinkan. Bahan baku yang paling banyak digunakan untuk pembuatan kerupuk adalah tepung tapioka, namun ada juga yang menggunakan bahan baku tepung kedelai, dan tepung sagu. Namun selama ini produk kerupuk hanya digunakan sebagai makanan ringan yang bersifat sebagai makanan sampingan/cemilan saja tanpa memperhatikan nilai maupun mutu gizinya. (http://ptp2007.wordpress.com/2008/03/27/kerupuk-tinggi-kalsium-perbaikan-nilai-tambah-limbah-cangkang-kerang-hijau-melalui-aplikasi-teknologi-tepat-guna/)

Berdasarkan uraian di atas, untuk meningkatkan kandungan nutrient dari kerupuk asli yang hanya menggunakan bahan pokok tepung tapioka, peneliti tertarik memanfaatkan tangkil yang dibuat menjadi tepung tangkil dan diaplikasikan sebagai


(17)

bahan tambahan dalam produk kerupuk, berdasarkan Daftar komposisi bahan makanan, Direktorat Gizi Departemen Kesehatan tangkil memiliki nilai gizi yang cukup tinggi yang dibutuhkan oleh tubuh. Untuk menambah daya tarik dari kerupuk yang dihasilkan, Peneliti melakukan penambahan zat warna alami yaitu wortel.

Berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan, Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1996, adapun kandungan gizi dari tangkil, tapioka dan wortel dapat dilihat pada tabel 2 dalam tinjauan pustaka.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan daftar komposisi bahan makanan, Direktorat Gizi Departemen Kesehatan tangkil memiliki nilai gizi yang cukup tinggi yang dibutuhkan oleh tubuh Pemanfaatan tangkil pada umumnya digunakan sebagai bahan pelengkap sayur yang sudah cukup popular di kalangan masyarakat. Namun pada kenyataannya, tidak semua masyarakat menyukai tangkil tersebut. Untuk mengatasi permasalahan ini, maka peneliti tertarik memanfaatkan tangkil dengan cara mengolahnya menjadi kerupuk dengan memvariasikan perbandingan tepung tangkil dengan tepung tapioka dan melakukan pemeriksaan pendahuluan pada tangkil serta menganalisa kadar nutrient bahan pangan yang dihasilkan (protein, serat, dan β – karoten), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai MPF (Multi Purpose Food).

1.3. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, Penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut:

1. Sampel yang digunakan adalah tangkil yang diperoleh dari daerah Tembung. 2. MPF berupa bahan pangan kerupuk dengan memvariasikan perbandingan

tepung tangkil dengan tepung tapioka, yaitu 1:1, 1:2, 1;3, 1:4 dengan penambahan wortel dan tanpa penambahan wortel.


(18)

4. Parameter yang dianalisa dibatasi pada penentuan kadar protein, kadar serat, dan kadar β – karoten pada kerupuk terbaik pada perbandingan 1:3 dan 1:4 dengan penambahan wortel dan tanpa penambahan wortel.

5. Bagaimana uji organoleptis terhadap uji rasa, aroma, dan warna dari kerupuk pada jenis kerupuk dengan perbandingan 1:3 dan 1:4.

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini:

1. Untuk menentukan kandungan nutrien dari bahan pangan yang dihasilkan serta kualitas rasa, warna, dan bau dari kerupuk yang dihasilkan secara uji organoleptik.

2. Untuk membandingkan kandungan nutrien dari hasil kerupuk tangkil dengan perbandingan tepung tapioka.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Untuk mensosialisasikan pemanfaatan tangkil sebagai bahan tambahan dalam pembuatan kerupuk dengan perbandingan tepung tapioka.

2. Dapat memanfaatkan dan meningkatkan nilai gizi bahan makanan yang rendah nilai gizinya menjadi suatu bahan pangan yang tinggi nilai gizinya.

1.6. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia/KBM (Kimia Bahan Makanan) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Laboratorium Pangan Teknologi Hasil Pertanian (THP) Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Laboratorium Oleopangan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) atau Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI), Jl. Brigjend Katamso No. 51 Kp. Baru Medan.


(19)

1.7. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan eksperimen laboratorium, yang menggunakan metode statistik. Penelitian ini dilakukan dengan cara:

1. Pengambilan Sampel 2. Penyediaan Sampel, yaitu:

a. dihaluskan

b. dikeringkan dalam oven pada suhu 500C c. ditumbuk menjadi tepung

d. ditimbang tepung tangkil kering

e. ditentukan parameter kadar protein, kadar serat, kadar air dan kadar β – karoten, yaitu:

 Penentuan Kadar Protein dilakukan dengan metode Kjeldahl.

 Penentuan Kadar Serat dilakukan dengan metode pendidihan, penyaringan, pengeringan dan pengabuan.

 Penentuan Kadar β – karoten dengan MPOB Test Method p2.6: 2004.

f. pembuatan kerupuk dengan variasi perbandingan antara tangkil dan tepung tapioka 1:1, 1:2, 1:3, 1:4 dengan penambahan wortel dan tanpa penambahan wortel.

g. dilakukan uji organoleptik dengan skala hedonik.

h. ditentukan kerupuk terbaik dari variasi perbandingan kerupuk yang ad kemudian diukur parameter kadar protein, kadar serat, kadar air dan kadar β – karoten.

i. dilakukan uji organoleptik dengan skala hedonik.

j. data diolah secara statistik dengan metode CCT (Chauvenet Criterion Test).


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Multi Purpose Food ( MPF )

Usaha penganekaragaman pangan sangat penting artinya sebagai usaha untuk mengatasi masalah ketergantungan pada satu bahan pangan pokok saja. (Suyarno, E., 1989). MPF (Multi Purpose Food) merupakan teknologi tepat guna yang mempunyai tujuan untuk menciptakan makanan baru yang mempunyai nilai gizi yang baik, menciptakan makanan yang lezat dan bernilai ekonomis rendah dan menciptakan makanan yang siap saji tetapi mempunyai mutu yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam bidang pangan. (Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 1997)

Menurut W.C. Rose 1950 bahwa MPF mempunyai 4 fungsi yaitu: 1. Konsumsi protein boleh dipenuhi oleh protein nabati

2. Peningkatan nilai gizi bahan makanan yang rendah nilai gizinya 3. Pemanfaatan bahan makanan rendah nilai gizi

4. Diversifikasi bahan pangan.

2.2. Tanaman Melinjo

Melinjo banyak manfaatnya, hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Daun muda (disebut dengan so) dan tangkil dapat digunakan sebagai bahan sayuran yang cukup popular di kalangan masyarakat. Bahkan kulit biji yang tua itu setelah diberi bumbu kemudian digoreng menjadi makanan ringan yang cukup lezat. Semua bahan makanan yang berasal dari tanaman melinjo mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi, selain karbohidrat juga mengandung lemak, protein, mineral dan vitamin – vitamin. (Sunanto, 1992)


(21)

Gambar 2.1. Tanaman Melinjo (Gnetum gnemon).

(http://iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=270

)

2.2.1. Klasifikasi Tanaman Melinjo

Dalam dunia tumbuh – tumbuhan, dikenal adanya suatu divisi yang dinamakan Spermatophyta (tumbuhan berbiji). Divisi ini dibagi dalam dua subdivisi: Gymnospermae (tumbuhan berbiji telanjang/terbuka) dan Angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup). Seperti telah dijelaskan di atas, ke dalam kelompok Gymnospermae itulah melinjo digolongkan. Sementara itu Angiospermae masih dibagi lagi menjadi dua kelas, yaitu Monocotyledonae ( tumbuhan biji berkeping satu) dan Dicotyledone (tumbuhan biji berkeping dua). Jenis ini dikatakan sebagai bentuk peralihan antara

Gymnospermae dan Angiospermae. (Tim Penulis PS, 1999)

Secara garis besar, klasifikasi tanaman melinjo dalam dunia tumbuh – tumbuhan adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Gymnospermae Kelas : Gnetinae

Ordo : Gnetales Famili : Gnetaceae Genus : Gnetum

Spesies : Gnetum gnemon (melinjo) (Tim Penulis PS., 1999)

Tangkil Melinjo


(22)

2.2.2. Ciri – ciri Morfologi Tanaman Melinjo

Seperti umumnya tumbuhan tingkat tinggi, pohon melinjo juga dapat dibedakan atas akar, batang, daun, dan bunga. Melinjo yang tumbuh dari biji bersistem perakaran tunggang, seperti halnya tumbuhan Dicotyledone. Batang melinjo berkayu dan bercabang. Tinggi pohon ini antara 5 – 22 meter. Bentuk percabangannya sangat khas. Pohon melinjo berdaun rimbun. Bunga melinjo membentuk kerucut dengan karangan bunga melingkar. (Tim Penulis PS, 1999)

2.2.3. Manfaat Tanaman Melinjo

Daun muda, perbungaan, tangkil, dan buah tua melinjo dimasak sebagai sayur (terutama sayur asem). Bijinya merupakan bagian yang terpenting; buahnya tidak lain dari biji yang terbungkus oleh kulit dalam yang kaku (kulit biji) dan kulit luar yang tipis dan dapat dimakan. Biji melinjo umumnya direbus atau dijadikan emping dan digoreng. Suatu macam serat yang berkualitas tinggi dihasilkan dari kulit batang bagian dalam; kulit ini dimanfaatkan sebagai tali panah yang terkenal di pulau Sumba, juga untuk tali pancing atau jaring, berkat ketahanannya terhadap air laut. Kayu melinjo tak ada manfaatnya yang khusus, mungkin alasannya ialah karena kambium sekundernya membentuk struktur batang yang tidak normal. (http://iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=270)

2.2.4. Syarat Tumbuh Tanaman Melinjo

Pohon melinjo tumbuh liar di hutan-hutan; umum dijumpai di pinggiran sungai di Niugini. Tidak ada persyaratan khusus mengenai kualitas tanah dan kedalamannya, tetapi diperlukan retensi kelembapan yang memadai, demikian juga air irigasi, untuk menjembatani musim kemarau. Pohon melinjo dianjurkan untuk program penghijauan wilayah. (http://iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=270)


(23)

2.2.5. Pedoman Budidaya Tanaman Melinjo

Pohon melinjo diperbanyak dengan benih, juga dapat dilakukan dengan cara stek. Untuk sejumlah kecil pohon semai yang tumbuh spontan di bawah-bawah pohon yang berbuah dapat dikumpulkan dan dipelihara di persemaian sampai cukup besar untuk ditanam di lapangan. Untuk memperoleh pohon dalam jumlah besar, buah-buah matang berukuran besar yang telah berjatuhan dari pohonnya, dikumpulkan. Kulit buahnya dibuang dan bijinya dikering-anginkan serta disimpan sampai terkumpul dalam jumlah yang besar. Benih yang akan ditumbuhkan diprasemaikan (pre-germinated) dalam kotak yang diisi dengan beberapa lapis pasir yang letaknya berselang-seling dengan lapisan benih.

(http://iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=270)

2.2.6. Pemeliharaan Tanaman Melinjo

Pohon melinjo dapat segera pulih dari pemangkasan yang dilakukan untuk membatas tinggi pohon, dengan maksud untuk merangsang terjadinya pucuk secara serempak, yang akan dimanfaatkan sebagai sayuran, atau untuk memperbaiki bentuk pohon setelah berulang-ulang dipanen pucuknya. Perbungaan muncul dari pucuk muda, juga dari cabang-cabang yang lebih tua. (http://iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=270)

2.2.7. Hama dan Penyakit Tanaman Melinjo

Tak ada laporan mengenai hama dan penyakit, kecuali hama sejenis serangga pengisap yang dijumpai di kabupaten Batang, yang kadang-kadang menghancurkan panen. Pohon melinjo mungkin perlu dijaga dari serangan tikus dan bajing.


(24)

2.2.8. Kandungan Gizi Melinjo

Tabel 2.1. Daftar Komposisi Bahan Makanan pada Melinjo No. Kandungan Unsur Gizi Daun

Melinjo

Emping

Melinjo Tangkil

1 Kalori (kal) 99 345 66

2 Protein (g) 5,0 12,0 5,0

3 Lemak (g) 1,3 1,5 1,7

4 Karbohidrat (g) 21,3 71,5 13,3

5 Air (g) 70,8 13,0 80,0

6 Vitamin A (SI) 10.000,00 0 1.000,00

7 Kalsium 219 100 163

Sumber:Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1996

2.3 Tepung Tapioka

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman singkong diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Dicotylledonae (biji berkeping dua) Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae Genus : Manihot Species : Manihot esculenta.

Tepung tapioka (kanji) dibuat secara langsung dari singkong segar. Tepung tapioka adalah pati dari umbi singkong yang dikeringkan dan dihaluskan. Tepung tapiokaSingkong yang telah diolah menjadi tepung tapioka dapat bertahan selama 1 – 2 tahun dalam penyimpanan (apabila dikemas dengan baik). (Lies Suprapti, 1995)


(25)

2.3.1 Kandungan Unsur Gizi

Tepung tapioka meskipun dibuat dari bahan (singkong) dengan kandungan unsur gizi yang rendah, namun masih memiliki unsur gizi. Perbandingan unsur gizi pada singkong dan tepung tapioka sebagai berikut:

Tabel 2.2 Kandungan Unsur Gizi pada Ubi Kayu/Singkong dan Tepung Tapioka/100 g Bahan

No. Kandungan Unsur Gizi Singkong Putih

Singkong Kuning

Tepung Tapioka

1 Kalori (kal) 146,00 157,00 362,00

2 Protein (g) 1,20 0,80 0,50

3 Lemak (g) 0,30 0,30 0,30

4 Karbohidrat (g) 34,70 37,90 86,90

5 Fosfor (mg) 33,00 33,00 0,00

6 Zat Besi (mg) 40,00 40,00 0,00 7 Vitamin A (SI) 0,70 0,70 0,00 8 Vitamin B (SI) 0,00 385,00 0,00 9 Vitamin C (SI) 0,06 0,06 0,00 10 Kalsium (mg) 30,00 30,00 0,00

11 Air (g) 62,50 60,00 12,00

12 Bagian yang dapat

dimakan (%) 75,00 75,00 0,00

Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI, 1981

2.4 Kerupuk

Kerupuk merupakan makanan ringan yang bersifat kering, ringan, yang terbuat dari bahan-bahan yang mengandung pati cukup tinggi. Kerupuk merupakan makanan ringan yang sangat populer, mudah cara pembuatannya, beragam warna dan rasa, disukai oleh semua lapisan usia dan suku bangsa di Indonesia ini. Namun selama ini produk kerupuk hanya digunakan sebagai makanan kudapan yang bersifat sebagai


(26)

makanan sampingan/cemilan saja dan nyaris tanpa memperhatikan nilai maupun mutu gizinya.

Kerupuk adalah bahan kering berupa lempengan tipis yang terbuat dari adonan yang bahan utamanya adalah pati. Berbagai bahan berpati dapat diolah menjadi kerupuk, diantaranya adalah ubi kayu, ubi jalar, beras, sagu, terigu, tapioka, dan talas. (http://ptp2007.wordpress.com/2008/03/27/kerupuk-tinggi-kalsium-perbaikan-nilai-tambah-limbah-cangkang-kerang-hijau-melalui-aplikasi-teknologi-tepat-guna/)

Kerupuk adalah makanan ringan yang dibuat dari adonan tepung tapioka dicampur bahan perasa. Kerupuk dibuat dengan mengukus adonan sebelum dipotong tipis – tipis, dikeringkan dibawah sinar matahari, dan digoreng dengan minyak goreng yang banyak. Kerupuk bertekstur garing dan sering dijadikan pelengkap untuk berbagai makanan Indonesia seperti nasi goreng dan gado – gado. Kerupuk biasanya dijual dalam kemasan yang belum digoreng. (http://id.wikipedia.org/wiki/kerupuk)

2.5. Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh, karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam – asam amino yang mengandung unsur – unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang, dan ada jenis protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga. Protein sebagai pembentuk energi akan menghasilkan 4 kalori tiap gram protein. (Agus Krisno Budiyanto, 2004)

Beberapa makanan sumber protein ialah daging, telur, susu, ikan, beras, kacang, kedelai, gandum, jagung, dan buah – buahan. Di samping digunakan untuk pembentukan sel – sel tubuh, protein juga dapat digunakan sebagai sumber energi apabila tubuh kita kekurangan karbohidrat dan lemak. Komposisi rata – rata unsur kimia yang terdapat dalam protein ialah sebagai berikut: Karbon 50%, Hidrogen 7%, Oksigen 23%, Nitrogen 16%, Belerang 0–3% dan fosfor 0–3%. Dengan berpedoman


(27)

pada kadar nitrogen sebesar 16%, dapat dilakukan penentuan kandungan protein dalam suatu bahan makanan. (Anna Poedjiadi, 2006)

Penentuan kadar protein dalam bahan makanan umumnya dilakukan berdasarkan penentuan empiris (tidak langsung), yaitu melalui penentuan kandungan N yang ada dalam bahan. Penentuan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen (N) yang dikandung oleh suatu bahan. Cara penentuan ini dikembangkan oleh Kjeldahl, seorang ahli ilmu kimia Denmark pada tahun 1883. Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini dengan demikian sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein).

Analisa kuantitatif protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi.

1. Tahap Destruksi

Pada tahapan ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur – unsurnya. Elemen karbon, hidrogen teroksidasi menjadi CO, CO2, dan H2O. Sedangkan nitrogennya (N) akan berubah menjadi (NH4)2SO4.

Asam sulfat yang dipergunakan untuk destruksi diperhitungkan adanya bahan protein, lemak dan karbohidrat. Untuk mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran Na2SO4 dan HgO (20:1). Selain katalisator yang telah

disebutkan tadi, kadang – kadang juga diberikan Selenium. Selenium dapat mempercepat proses oksidasi karena zat tersebut selain menaikkan titik didih juga mudah mengadakan perubahan dari valensi tinggi ke valensi rendah atau sebaliknya. Proses destruksi sudah selesai apabila larutan menjadi jernih atau tidak berwarna.

2. Tahap Destilasi

Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan

penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang dapat dipakai adalah asam khlorida atau asam boraks 4% dalam jumlah yang berlebihan. Agar supaya kontak antara asam dan ammonia lebih baik maka diusahakan ujung


(28)

tabung destilasi tercelup sedalam mungkin dalam asam. Untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebihan maka diberi indikator misalnya bromcresol green + MR Destilasi diakhiri bila sudah semua ammonia terdestilasi sempurna dengan ditandai destilat tidak bereaksi basis.

3. Tahap Titrasi

Apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam khlorida 0,1 N dengan indikator (bromcresol green + MR). Akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda. Selisih jumlah titrasi sampel dan blanko merupakan jumlah ekuivalen nitrogen.

Se telah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan suatu faktor (f). Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada persentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan.

Protein

 %Nf

(Slamet Sudarmadji, 1989)

2.6. Karbohidrat

Karbohidrat adalah kelompok nutrien dalam susunan makanan, sebagai sumber energi. Jenis – jenis karbohidrat menurut ukuran molekulnya yaitu monosakarida yang umumnya terdapat dalam pangan mengandung enam atom karbon dan mempunyai rumus umum C6H12O6, disakarida merupakan gula yang mempunyai rumus umum

C12H22O11, dan polisakarida merupakan polimer yang tersusun dari banyak

monosakarida yang berikatan satu sama lain, dengan melepaskan sebuah molekul air untuk setiap ikatan yang terbentuk. Senyawa ini mempunyai rumus umum (C6H12O6)n,

dimana “n” adalah bilangan yang besar.

% 100 008

, 14 .

1000 )

(

) (

%   

 

N HCl

g sampel berat

blanko sampel

HCl ml N


(29)

2.6.1 Serat Makanan

Serat makanan adalah bahan dalam pangan asal tanaman yang tahan terhadap pemecahan oleh enzim dalam saluran pencernaan dan karenanya tidak diabsorpsi. Zat ini terdiri dari, terutama selulosa dan senyawa – senyawa dari polisakarida lainnya seperti lignin dan hemiselulosa. (P.M. Gaman, 1992)

Serat merupakan bahan yang berasal dari dinding sel tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim pada usus kecil manusia. Serat seringkali diklasifikasikan berdasarkan kelarutannya di dalam air. (Charles W. Van Way III, MD., 1999)

Prinsip. Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan dengan asam dan alkali mendidih, dan terdiri dari sellulosa dengan sedikit lignin dan pentosan. (Apriyantono, A., 1989)

Di dalam analisa penentuan kadar serat kasar diperhitungkan banyaknya zat – zat yang tak larut dalam asam encer ataupun basa encer dengan kondisi tertentu. (Slamet Sudarmadji, 1989)

Menurut metode Waren Wet (1935), langkah – langkah analisa adalah:

1. defatting, yaitu menghilangkan lemak yang terkandung dalam sampel menggunakan pelarut lemak,

2. degradasi, terdiri dari dua tahapan yaitu pelarutan dengan asam dan pelarutan dengan basa. Kedua macam proses digesti ini dilakukan dalam keadaan tertutup pada suhu terkontrol (mendidih) dan sedapat mungkin dihilangkan dari pengaruh luar. ,

3. delignifikasi, dengan menggunakan NaOH 1,25%, 4. pengeringan dan pengabuan.

2.7 Tanaman Wortel

Bagian utama yang dikonsumsi masyarakat dunia dari tanaman wortel adalah umbinya. Meskipun demikian, hampir semua bagian tanaman tersebut dapat digunakan untuk berbagai keperluan hidup dan penghidupan manusia. Menurut hasil penelitian National Cancer Institute (1991), wortel mengandung senyawa “β – karoten”. Zat ini dapat mencegah “bensopiren” penyebab kanker paru – paru.


(30)

Kandungan karoten (pro – vitamin A) pada umbi wortel dapat mencegah penyakit rabun senja (buta ayam). Wortel merupakan sayuran yang multi guna bagi pelayanan kesehatan masyarakat luas. Bahkan di Indonesia, wortel dapat dianjurkan sebagai bahan pangan potensial untuk mengentas masalah penyakit kurang vitamin A dan kurang gizi (anemia). Wortel selain kaya akan vitamin A juga mengandung gizi yang tinggi dan lengkap, seperti uraian pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Kandungan Gizi dalam tiap 100 gram Umbi Wortel Segar No. Kandungan Unsur Gizi Banyaknya

1 2

1 Kalori (kal) 42,00 55,00

2 Protein (g) 1,20 1,30

3 Lemak (g) 0,30 0,40

4 Karbohidrat (g) 9,30 12,40

5 Fosfor (mg) 37,00 28,00

6 Zat Besi (mg) 0,80 1,70 7 Vitamin A (SI) 12.000,00 18.000,00 8 Vitamin B (SI) 0,06 0,04 9 Vitamin C (SI) 6,00 9,00

10 Serat - 0,90

11 Abu - 0,80

12 Natrium - 32,00

13 Vitamin B2 - 0,04

14 Niacin - 0,60

15 Kalsium (mg) 39,00 60,00

16 Air (g) 88,20 -

17 Bagian yang dapat

dimakan (%) 75,00 85,10

Keterangan: B.d.d. (Bagian dapat dicerna)

Sumber: (1) Direktorat Gizi Depkes RI, 1981


(31)

2.8 β – Karotena

Karotenoid mula – mula ditemukan pada tahun 1831, pada wortel. Delapan puluh dua tahun kemudian baru ditemukan vitamin A pada minyak ikan dan mentega, yaitu pada tahun 1913. Dan baru sesudah seratus tahun setelah ditemukannya karoten diketahui bahwa karoten ada hubungannya dengan vitamin A. Pada tahun itu juga yaitu tahun 1913 disepakati satuan vitamin A dinyatakan dengan Satuan Internasional (SI) yang setara dengan 0,6 μg β – karoten. (Andarwulan, 1992)

Karotenoid merupakan precursor vitamin A disebut sebagai pro-vitamin A, sedangkan vitamin A yang disimpan dalam jaringan hewan disebut sebagai vitamin A. Terdapat 10 macam provitamin A dan 2 macam vitamin A secara alami. Provitamin A yang paling potensial adalah β – karoten yang ekuivalen dengan 2 molekul vitamin A. (Andarwulan, 1992)

Karoten yang paling penting untuk manusia adalah β – karoten, yaitu yang paling umum dijumpai sebagai pigmen dan sebagai sumber vitamin A. β – karoten dapat dikristalkan berbentuk prisma dan berwarna merah dengan titik lebur yang tinggi yaitu 1840 C. β – karoten sangat sensitive terhadap oksidasi dan cahaya, tetapi stabil terhadap panas dalam atmosfer inert (bebas O2). Dari hasil penelitian

ternyata kerusakan β – karoten yang umum terjadi dalam jaringan sel hidup sangat kecil. Bahkan dalam beberapa produk seperti wortel, tomat, dan buah persik, sintesis β – karoten akan terus berlangsung meskipun sesudah panen sehingga

β – karotennya meningkat. (Andarwulan, 1992)

Analisa Kuantitatif β – karoten

Kadar β – karoten biasanya ditentukan dengan menggunakan metode spektrofotometri ultraviolet – visible pada panjang gelombang 446 nm. (Moh, Che Man, Badlishah, Jinap, Saad, dan Abdullah, 2007)


(32)

2.9 Uji Organoleptik

Uji organoleptik adalah penilaian penggunaan indera, penilaian menggunakan kemampuan sensorik, tidak dapat diturunkan pada orang lain. Salah satu cara pengujian organoleptik adalah dengan metode uji pencicipan yang disebut juga dengan “Acceptance Test”. Uji pencicipan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Pada uji pencicipan dapat dilakukan menggunakan panelis yang belum berpengalaman. Dalam kelompok uji pencicipan ini termasuk uji kesukaan (hedonik). (Soekarto, S.T., 1981)

Tabel 2.4. Uji Kesukaan dengan Skala Hedonik

Uji Kesukaan (Skala Hedonik) Skala Numerik

Amat Sangat Suka 5

Sangat Suka 4

Suka 3

Kurang Suka 2


(33)

BAB 3

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Alat – Alat

1. Spektrofotometer UV – 1700 Shimadzu 2. Alat Kjeldahl Gerhardt 3. Tabung Reaksi Pyrex

4. Gelas Erlenmeyer Pyrex

5. Gelas Beaker Pyrex

6. Labu Ukur Pyrex

7. Neraca Analitik Sartorius

8. Buret Duran

9. Alat Pendingin Liebig 10. Selang

11. Lemari Asam 12. Corong

13. Statif dan klem 14. Hot Plate 15. Cawan Porselen 16. Kondensor 17. Desikator 18. Cawan Krusch 19. Loyang

20. Dandang 21. Kompor 22. Talam


(34)

3.2. Bahan – Bahan

1. H2SO4 (p) p.a.Merck

2. n-heksan p.a.Merck

3. HCl (p) p.a.Merck

4. Na2B4O7 . 10H20 p.a.Merck

5. NaOH 6. H3BO3

7. K2SO4

8. Alkohol 96 % 9. Selenium (s)

10. Indikator Thasiro 11. Indikator Universal 12. Aquades

13. Tangkil (Gnetum gnemon) 14. Tepung Tapioka

15. Garam 16. Merica

17. Bawang Merah 18. Bawang Putih 19. Backing Powder 20. Buah bit

21. Wortel 22. Daun Suji


(35)

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Penyediaan Indikator dan Katalis

1. Indikator Tashiro

Siapkan larutan Bromocresol Green 0,1 % dan larutan Merah Metil 0,1 % dalam alkohol 95 % secara terpisah. Campurkan 10 ml Bromocresol Green dengan 2 ml Merah Metil.

2. Katalis Selenium

Campurkan 2,5 g serbuk SeO2, 100 g K2SO4 dan 20 g CuSO4 . 5 H2O

3.3.2. Pembuatan Reagen

1. NaOH 30 %

Ditimbang 30 g kristal NaOH dan dilarutkan dengan aquadest dalam labu takar 100 ml sampai garis tanda lalu diaduk rata.

2. HCl 0,1 N

Dipipet 2,07 ml HCl 37 % kemudian diencerkan dengan aquadest dalam labu takar 250 ml sampai garis tanda lalu diaduk rata.

Standarisasi HCl 0,1 N

Dipipet 25 ml HCl 0,1 N lalu dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Ditambah 3 tetes indikator Metil Orange (MO) kemudian dititrasi dengan Na2B4O7 . 10H20 0,1 N hingga larutan berwarna kuning orange. Dilakukan

sebanyak 3 kali. Diperoleh konsentrasi HCl sebesar 0,0990 N.

3. K2SO4 10 %

Ditimbang 10 g kristal K2SO4 dan dilarutkan dengan aquadest dalam labu

takar 100 ml sampai garis tanda lalu diaduk rata.


(36)

4. H2SO4 1,25 %

Dipipet 13,0 ml H2SO4 (p) kemudian diencerkan dalam labu takar 1000 ml

sampai garis tanda lalu diaduk rata.

5. NaOH 1,25 %

Ditimbang 12,5 g kristal NaOH dan dilarutkan dengan aquadest dalam labu takar 1000 ml sampai garis tanda lalu diaduk rata.

6. H3BO3 4 %

Ditimbang dengan tepat 20 g H3BO3 dan dilarutkan dengan aquadest dalam

labu takar 500 ml sampai garis tanda lalu diaduk rata.

3.3.3. Pembuatan Kerupuk

Sebagai contoh pembuatan kerupuk dengan perbandingan tepung tangkil : tepung tapioka ( 1:3):

1. ditimbang tepung tangkil kering dan halus sebanyak 100 g

2. disiapkan bumbu, yaitu yang terdiri dari: 10 g garam, 10 g bawang merah dan 10 g bawang putih yang telah dihaluskan, 15 g backing powder, 8 g merica halus, gula

3. dicampurkan bumbu tersebut ke dalam tepung tangkil sambil diaduk perlahan supaya bumbunya tercampur rata

4. ditambah tepung tapioka sebanyak 300 g 5. ditambah 4 g kuning telur dan diaduk rata

6. adonan digulung memanjang, lalu dikukus dalam dandang selama ± 1 jam 7. setelah matang, adonan diangkat dan didiamkan selama satu malam

8. selanjutnya gulungan tersebut dipotong tipis – tipis dan dijemur di bawah sinar matahari hingga kering merata

9. digoreng

10.dilakukan uji organoleptik untuk perbandingan kerupuk 1:1, 1:2 , 1:3, dan 1:4. 11.dilakukan analisa kandungan nutrient untuk perbandingan kerupuk 1:3, dan


(37)

3.3.4. Penentuan Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl

1. ditimbang sampel kering dan halus sebanyak 1,0000 g 2. dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl

3. ditambahkan Selenium sebanyak 5 g dan 25 ml H2SO4 (p)

4. didestruksi sampel di dalam lemari asam sampai larutan yang di dalam tabung reaksi menjadi jernih

5. diencerkan dengan aquadest dalam labu takar 250 ml

6. dipipet 50 ml ke dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 40 ml NaOH 30 % 7. disediakan penampung destilat berupa gelas Erlenmeyer yang berisi 50 ml

H3BO3 4 % dan 2 tetes indikator Tashiro

8. dipasang labu Kjeldahl pada alat destilasi, kemudian diletakkan penampung destilat pada tempatnya, kemudian didestilasi sampai diperoleh destilat berwarna hijau tua

9. dititrasi destilat dengan larutan standart HCl 0,1 N sampai larutan berwarna merah lembayung

10.dihitung % N dan kadar proteinnya.

% 100 014

, 0

%      

sampel berat

f N

V fp

P HCl HCl k

3.3.5 Penentuan Kadar Serat dengan metode Pendidihan, Penyaringan, Pengeringan dan Pengabuan

1. ditimbang sampel kering dan halus sebanyak 2,5000 g

2. dimasukkan ke dalam gelas Erlenmeyer yang telah diketahui beratnya

3. ditambahkan 200 ml H2SO4 1,25 %, lalu dipasang Erlenmeyer pada pendingin

Liebig

4. dididihkan selama 30 menit

5. disaring dengan menggunakan kertas saring, residu yang tertinggal dibilas 6. dengan aquadest panas sampai air cucian tidak bersifat asam lagi (sampai


(38)

7. dipindahkan residu ke dalam gelas Erlenmeyer menggunakan spatula dan sisa residu pada kertas saring dicuci dengan 200 ml NaOH 1,25 % sampai semua residu masuk ke dalam Erlenmeyer

8. dididihkan dengan pendingin balik selama 30 menit 9. ditambahkan 10 ml K2SO4 10 %

10.ditambahkan aquadest panas sampai pH=6 11.ditambahkan alkohol 96 % ± 15 ml

12.diletakkan dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya 13.Dikeringkan pada suhu 100 – 105 0C selama ± 5 jam

14.Didinginkan dalam desikator 15.Ditimbang sampai berat konstan 16.Diabukan pada suhu 6000C 17.Didinginkan dalam desikator 18.Ditimbang sampai berat konstan 19.Dihitung kadar seratnya.

100% Serat

Kadar

awal akhir

W W

3.3.6 Penentuan Kurva Standar β – Karoten

3.3.6.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum β – Karoten

1. ditimbang 0,005 g larutan standar β – Karoten , dilarutkan dengan n – heksana p.a dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml. Kemudian diencerkan dengan n – heksana p.a. sampai garis tanda dan dihomogenkan (Larutan standar beta – karotena 500 mg/L).


(39)

3.3.6.2 Penentuan Kurva Standar β – Karoten

1. untuk membuat larutan 0,5; 1; 2; 3; dan 4 mg/L, masing – masing dipipet 0,01; 0,02; 0,04; 0,06; 0,08 ml dari larutan standar β – Karoten 500 mg/L, dan dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml. Diencerkan dengan n – heksana p.a. sampai garis tanda dan dihomogenkan.

2. diukur Absorbansi pada panjang gelombang 446 nm kemudian dibuat kurva standarβ – Karoten.

3.3.7. Penentuan Kadar β – Karoten Sampel (MPOB Test Method p2.6: 2004)

3.3.7.1 Preparasi Sampel

1. ditimbang sampel kering sebanyak 20 gram, kemudian dimasukkan ke dalam kertas saring lalu dimasukkan ke dalam alat soklet.

2. dimasukkan n – heksana ke dalam labu alas sebanyak 100 ml . 3. dirangkai alat soklet kemudian disokletasi selama ± 2 jam. 4. diperoleh hasil ekstrak sebanyak ± 75 ml berwarna kuning.

3.3.7.2 Proses Pemurnian β – Karoten dari Pelarutnya

1. proses pemurnian dilakukan dengan cara pemekatan menggunakan alat rotarievaporator.

2. ekstrak pekat yang diperoleh di – gashing dengan gas N2 sampai diperoleh

berat konstan.

3. dicatat berat konstan sampel.

3.3.7.3 Penentuan Kadar β – Karoten dengan Spektrofotometer UV – Vis

1. dilarutkan sampel 0,1 gram dengan n – heksana p.a. dan dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml.

2. diencerkan dengan n – heksana p.a. sampai garis tanda lalu dihomogenkan sampai sampel dapat larut dengan sempurna.


(40)

3. diukur absorbansi pada panjang gelombang 446 nm. 4. dihitung kadar β – karoten.

Perhitungan Kadar β – Karoten:

Absorbansi sampel diplotkan ke dalam persamaan kurva standar ( Y = aX + b ). Dimana: a = slope,

b = intersept,

Y = Absorbansi Sampel

X = Konsentrasi β – Karoten sampel

Dan dengan pertimbangan fakor pengenceran, maka Konsentrasi β – Karoten sampel dapat diperoleh dalam mg/L.

3.3.8 Uji Organoleptik

Uji ini meliputi warna, rasa, dan bau yang ditentukan dengan uji kesukaan oleh 30 orang panelis, dimana para panelis bukan perokok dan sebelum mencicipi diharuskan minum air putih terlebih dahulu.


(41)

3.4. Bagan Penelitian

3.4.1. Pembuatan Kerupuk

Sebagai contoh pembuatan kerupuk dengan perbandingan tepung melinjo : tepung tapioka ( 1:3) :

Ditimbang 100 g

Dihaluskan

Dicampur dan diaduk rata

Ditambah 4 gram kuning telur Ditambah tepung tapioka sebanyak 300 g

Diaduk rata

Digulung memanjang

Dikukus dalam dandang selama ± 1 jam

Didiamkan selama 1 malam

Dipotong tipis – tipis

Dijemur di bawah sinar matahari

Dianalisa

10 g bawang merah, 10 g bawang putih, 10 g garam, 8 g backing

powder dan 8 g merica

Bumbu Halus

Adonan Padat

Hasil

Kadar Protein

Kadar Serat

Kadar Beta Karoten

Uji Organoleptik Tepung Tangkil Kering


(42)

3.4.2. Penentuan Kadar Protein dengan metode Kjeldahl

Dimasukkan ke dalam Labu Kjeldahl Ditambahkan Selenium sebanyak 5 g

Ditambah 25 ml H2SO4 (p)

Didestruksi sampel dalam lemari asam hingga larutan jernih

Diencerkan dengan aquadest dalam labu takar 250 ml sampai garis tanda

Dipipet 50 ml ke dalam labu Kjeldahl

Ditambah 40 ml NaOH 30 % Didestilasi

Ditampung dalam gelas Erlenmeyer yang berisi 50 ml H3BO3 4 %, 2 tetes indikator Tashiro

Dititrasi destilat dengan larutan standart HCl 0,0990 N

Dicatat volume larutan standart titran HCl 0,0990 N Dihitung % N dan kadar proteinnya

Larutan berwarna Hijau Muda 1,0000 g Sampel Kering dan Halus

Larutan Sampel

Larutan Jernih

Hasil Destilat

Larutan merah lembayung


(43)

3.4.2. Penentuan Kadar Serat dengan metode Pendidihan, Penyaringan, Pengeringan dan Pengabuan

Dimasukkan dalam gelas Erlenmeyer Ditambahkan 200 ml H2SO4 1,25 %

Dididihkan selama 30 menit Disaring

Dicuci dengan aquadest panas sampai air cucian tidak bersifat asam lagi Dicuci residu dengan 200 ml NaOH 1,25 %

Dididihkan selama 30 menit Disaring

Dicuci dengan 10 ml K2SO4 10 % dan aquadest panas

Dicuci kembali dengan 15 ml alkohol 95 %

Dikeringkan pada suhu 100 – 105 0C selama ± 5 jam Didinginkan dalam desikator

Ditimbang sampai berat konstan Diabukan pada suhu 600 0C Didinginkan dalam desikator Ditimbang sampai berat konstan Dihitung kadar seratnya

2,5000 g Sampel Kering dan Halus

Residu Filtrat

Residu Filtrat


(44)

3.4.4. Penentuan Kadar β – Karoten

3.4.4.1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum β – Karoten

Ditimbang sebanyak 0,005 gram Dilarutkan dengan n – heksana p.a. Dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml Diencerkan sampai garis tanda

Dihomogenkan

Diukur absorbansi pada panjang gelombang 440 – 455 nm

Dibuat kurva panjang gelombang maksimum

3.4.4.2. Penentuan Kurva Standar β – Karoten

Dipipet masing – masing 0,01; 0,02; 0,04; 0,06; 0,08 ml

Dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml

Dilarutkan dengan n – heksana p.a. sampai garis tanda

Dihomogenkan

Diukur absorbansi pada panjang

gelombang 446 nm

Dibuat kurva standar β – Karoten Larutan Standar β – Karoten

Hasil

Larutan Standar β – Karoten 500 mg/L


(45)

3.4.5. Penentuan Kadar β – Karoten Sampel (MPOB Test Method P2.6: 2004) 3.4.5.1. Preparasi Sampel

ditimbang sebanyak 20 gram dimasukkan ke dalam kertas saring dirangkai alat soklet

dimasukkan n – heksan p.a. ke dalam labu alas sebanyak 100 ml

disokletasi selama ± 2 jam

3.4.5.2. Proses Pemurnian β – Karoten Dari Pelarutnya

dipekatkan dengan alat rotarievaporator

di – gashing dengan gas N2 sampai berat

konstan Sampel Kering dan Halus

75 ml larutanβ – Karoten

Hasil Hasil


(46)

3.4.5.3 Penentuan Kadar β – Karoten Dengan Spektrofotometer UV – Vis

Dilarutkan dengan n – heksana p.a. Dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml Diencerkan dengan n – heksana p.a. sampai garis tanda

Dihomogenkan

Diukur absorbansi pada panjang gelombang 446 nm

Dihitung kadar β – Karoten

3.4.6. Uji Organoleptik

Disajikan kerupuk MPF

Diharuskan kepada Panelis meminum air putih terlebih dahulu

Dilakukan uji kesukaan (warna, rasa, bau)

Ditentukan skor nilainya Panelis

Panelis dan Kerupuk

Hasil 0,1004 gram sampel


(47)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Untuk mengetahui signifikan atau tidaknya data yang diperoleh pada masing – masing kadar gizi kerupuk maka digunakan analisa data statistik dengan metode CCT (Chauvenet Criterion Test). Pada metode ini, suatu hasil data dikatakan signifikan apabila harga htabel berdasarkan harga erf (t) atau erf (hx) dari harga T (pada

Lampiran) lebih besar daripada harga hhitung.

Tabel 4.1 Data Hasil Pengukuran Kadar Protein

No. Jenis Kerupuk

Volume Titrasi

(mL) Kadar Protein (%) ∑ Xt (%)

Rataan Kadar Protein

(%)

I II III I II III

1. A 0,95 0,90 0,85 4,11 3,9 3,68 11,69 3,9 2. B 1,15 1,10 1,05 4,98 4,76 4,55 14,29 4,76 3. C 1,05 1,00 1,05 4,55 4,33 4,55 13,43 4,48 4. D 1,3 1,25 1,25 5,63 5,41 4,55 16,45 5,48


(48)

Tabel 4.2 Data Hasil Pengukuran Kadar Serat

Tabel 4.3 Data Hasil Pengukuran Kadar β – Karoten

Keterangan: A = perbandingan tepung tangkil dan tepung tapioka 1:3

B = perbandingan tepung tangkil dan tepung tapioka 1:3 dengan penambahan pewarna alami wortel

C = perbandingan tepung tangkil dan tepung tapioka 1:4

D = perbandingan tepung tangkil dan tepung tapioka 1:4 dengan penambahan pewarna alami wortel

Jenis Kerupuk

Berat Sampel (g) Berat Setelah Pengovenan (g)

Berat Setelah Pengabuan

(g) Kadar Serat (%) ∑ Xt

(%) Rataan

I II III I II III I II III I II III

A 2,5 2,5 2,5 0,3760 0,3754 0,3745 0,0052 0,0034 0,0046 0,21 0,14 0,19 0,54 0,18

B 2,5 2,5 2,5 0,3780 0,3775 0,3745 0,0073 0,0060 0,0054 0,29 0,24 0,22 0,75 0,25

C 2,5 2,5 2,5 0,3888 0,3850 0,3872 0,0085 0,0075 0,0070 0,34 0,30 0,28 0,92 0,31

D 2,5 2,5 2,5 0,4108 0,4202 0,4005 0,0097 0,0102 0,0087 0,30 0,40 0,35 1,14 0,38

TOTAL 3,35 1,12

No. Jenis Kerupuk

ABSORBANSI Kadar Beta – Karotena (%)

∑ Xt (%)

Rataan Kadar Beta – Karotena

(%)

I II III I II III

1. A 0,7424 0,7415 0,7412 899,73 898,65 898,29 2696,67 898,89 2. B 0,7857 0,7850 0,7845 951,13 951,98 950,53 2853,64 951,21 3. C 0,7420 0,7418 0,7415 899,25 899,01 898,65 2696,91 898,97 4. D 0,7860 0,7853 0,7850 952,34 951,50 951,13 2854,97 951,66


(49)

4.1.1. Penentuan Kadar Protein % 100 014 , 0 %       sampel berat f N V f

P p HCl HCl k

Keterangan: fp = Faktor Pengenceran, 5

Fk = Faktor Konversi Tangkil, 6,25

VHCl = Volume Larutan Standar yang telah di standarisasi, N

W = Berat Sampel , g

Sebagai contoh perhitungan penentuan kadar protein dari kerupuk:

4,55%      

 100%

0 , 1 25 , 6 014 , 0 0990 , 0 05 , 1 5 %P

Hasil pengukuran kadar protein selengkapnya terdapat pada Tabel 4.1.

4.1.1.1 Analisa Data dengan Metode CCT (Chauvenet Criterion Test) 1. Jenis Sampel A

V1 = 0,95

V2 = 0,90

V3 = 0,85

V = 0,90

 

 

10

19,6                               

4142 , 1 0707 , 0 1 1 1 05 , 0 98 , 0 98 , 0 833 , 0 ) 3 ( 2 1 ) 3 ( 2 2 1 2 arg 0707 , 0 10 5 1 3 ) 90 , 0 85 , 0 ( ) 90 , 0 90 , 0 ( ) 90 , 0 95 , 0 ( 1 ) ( ) ( ) ( 1 1 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 1 2 n S h V h h n n V h erf a H S S n V V V V V V S hitung t t t


(50)

Hasil analisa diperoleh htabel lebih besar daripada hhitung, yaitu 19,6 > 10, maka data

tersebut adalah signifikan.

Untuk data selanjutnya dapat dilihat pada tabel L3 pada Lampiran.

4.1.2. Penentuan Kadar Serat 100% Serat

Kadar

awal akhir

 

W W

Keterangan: Wawal = Berat awal sampel, g

Wakhhir = Berat akhir sampel setelah pengabuan, g

Sebagai contoh perhitungan penentuan kadar serat dari kerupuk:

% 34 , 0

% 100 5

, 2 0085 , 0

 

g g Serat

Kadar

Hasil pengukuran kadar serat selengkapnya terdapat pada Tabel 4.2.

4.1.2.1. Analisa Data dengan Metode CCT (Chauvenet Criterion Test) 1. Jenis Sampel A

V1 = 0,21

V2 = 0,14

V3 = 0,19


(51)

 

 

19,57

32,67                                  4142 , 1 0361 , 0 1 1 1 03 , 0 98 , 0 1 98 , 0 833 , 0 ) 3 ( 2 1 ) 3 ( 2 2 1 2 1 arg 0361 , 0 3 10 3 , 1 2 1 3 2 ) 18 , 0 19 , 0 ( 2 ) 18 , 0 14 , 0 ( 2 ) 18 , 0 21 , 0 ( 1 2 ) 3 ( 2 ) 2 ( 2 ) 1 ( 2 n S hitung h V t h t h n n V t h erf a H S S n V V V V V V S

Hasil analisa diperoleh htabel lebih besar daripada hhitung, yaitu 32,67 > 19,57, maka

data tersebut adalah signifikan.

Untuk data selanjutnya dapat dilihat pada tabel L6 pada Lampiran.

4.1.3. Perhitungan Kadar β – Karoten

Untuk menghitung kadar β – karoten dalam sampel, terlebih dahulu harus dicari persamaan garis regresi larutan standar β – karoten dari berbagai konsentrasi.

Tabel 4.4 Data Larutan Standar β – Karoten pada berbagai Konsentrasi

No Xi

(mg/L) Yi (A) (Xi – X) (Xi – X )

2

(Yi – Y) (Yi – Y)2 (Xi – X ) (Yi – Y )

1 0,5000 0,0980 -1,6 2,56 -0,3338 0,1114 0,5341 2 1,0000 0,2140 -1,1 1,21 -0,2178 0,0474 0,2396 3 2,0000 0,3930 -0,1 0,01 -0,0388 0,0015 0,0039 4 3,0000 0,6320 0,9 0,81 0,2002 0,0401 0,1802 5 4,0000 0,8220 1,9 3,61 0,3902 0,1523 0,7414


(52)

Persamaan garis regresi dengan menggunakan data di atas dapat diturunkan dari persamaan umum garis regresi sebagai berikut:

Y = aX + b

Keterangan: Y = absorbansi dari pengukuran beta – karotena a = slope

b = intersept

X = kadar beta – karotena (mg/L)

4318

,

0

5

1590

,

2

1

,

2

5

5

,

10

n

Y

Y

n

X

X



2072 , 0 2 , 8 6992 , 1 ) -( -) -( 2   

a X X Y Y X X a i i i

Harga a disubstitusi ke persamaan Y = aX + b, dimana harga X dan Y adalah harga rata – rata.

Y = aX + b

0,4318 = (0,2072) (X) + b b = - 0,0033

Maka persamaan garis regresi adalah: Y = aX + b

Y = 0,2072 X – 0,0033

Sebagai contoh, absorbansi dari suatu pengukuran adalah 0,7415, maka: 0,7415 = 0,2072 X 0,0033

0,7448 = 0,2072 X X = 3,5946


(53)

Setelah diperoleh harga X, kemudian X di substitusikan ke persamaan: Kadar beta karoten = X . fp

= 3,5946 . 250

= 898,65

Hasil pengukuran kadar β – karoten selengkapnya terdapat pada Tabel 4.3.

Untuk mencari Koefisien Korelasi yaitu:



 

 

9991 , 0 3527 , 0 2 , 8 6992 , 1 -) -( -) -( 2 1 2 1 2 2   

Y Y X X Y Y X X r i i i i

4.1.3.1. Analisa Data dengan Metode CCT (Chauvenet Criterion Test) 1. Jenis Sampel A

A1 = 0,7424

A2 = 0,7415

A3 = 0,7412

A = 0,7417

 

 

1132,29

1400                                   

4142 , 1 10 245 , 6 1 1 1 0007 , 0 98 , 0 98 , 0 833 , 0 ) 3 ( 2 1 ) 3 ( 2 2 1 2 arg 10 245 , 6 10 9 , 3 1 3 ) 7417 , 0 7412 , 0 ( ) 7417 , 0 7415 , 0 ( ) 7417 , 0 7424 , 0 ( 1 ) ( ) ( ) ( 4 1 1 4 7 2 2 2 2 2 3 2 2 2 1 2 n S h V h h n n V h erf a H S S n V V V V V V S hitung t t t


(54)

Hasil analisa diperoleh htabel lebih besar daripada hhitung, yaitu 1400 > 1132,29, maka

data tersebut adalah signifikan.

Untuk data selanjutnya dapat dilihat pada tabel L11 pada Lampiran.

4.1.4. Analisa Data Statistik terhadap Penilaian Uji Organoleptik

4.1.4.1. Analisa Data Statistik pada Penilaian Uji Organoleptik terhadap Rasa A. Analisa Data dengan Metode CCT (Chauvenet Criterion Test)

1. Jenis Sampel A

V1 = 3,1333

V2 = 3,0667

V3 = 2,9667

V = 3,0556

 

8,43

12,61                               

4142 , 1 0839 , 0 1 1 1 0777 , 0 98 , 0 98 , 0 833 , 0 ) 3 ( 2 1 ) 3 ( 2 2 1 2 arg 0839 , 0 10 0321855 , 7 1 3 ) 0556 , 3 9667 , 2 ( ) 0556 , 3 0667 , 3 ( ) 0556 , 3 1333 , 3 ( 1 ) ( ) ( ) ( 1 1 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 1 2 n S h h V h n n V h erf a H S S n V V V V V V S hitung t t t

Hasil analisa diperoleh htabel lebih besar daripada hhitung, yaitu 12,61 > 8,43, maka

data tersebut adalah signifikan.


(55)

4.1.4.2. Analisa Data Statistik pada Penilaian Uji Organoleptik terhadap Aroma Analisa Data dengan Metode CCT (Chauvenet Criterion Test)

1. Jenis Sampel A

V1 = 3,2667

V2 = 3,2

V3 = 3,2

V = 3,2222

 

 

18,36

22,02                               

4142 , 1 038 , 0 1 1 1 0445 , 0 98 , 0 98 , 0 833 , 0 ) 3 ( 2 1 ) 3 ( 2 2 1 2 arg 038 , 0 10 9658 , 2 1 3 ) 3,2222 2 , 3 ( ) 3,2222 2 , 3 ( ) 3,2222 2667 , 3 ( 1 ) ( ) ( ) ( 1 1 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 1 2 n S h V h h n n V h erf a H S S n V V V V V V S hitung t t t

Hasil analisa diperoleh htabel lebih besar daripada hhitung, yaitu 22,02 > 18,36, maka

data tersebut adalah signifikan.


(56)

4.1.4.3. Analisa Data Statistik pada Penilaian Uji Organoleptik terhadap Warna Analisa Data dengan Metode CCT (Chauvenet Criterion Test)

1. Jenis Sampel A

V1 = 3,2667

V2 = 3,2333

V3 = 3,2

V = 3,2333

 

 

5,38

29,34                             

4142 , 1 1314 , 0 1 1 1 0334 , 0 98 , 0 98 , 0 833 , 0 ) 3 ( 2 1 ) 3 ( 2 2 1 2 arg 1314 , 0 0173 , 0 1 3 ) 3,2333 2 , 3 ( ) 3,2333 2 , 3 ( ) 3,2333 2667 , 3 ( 1 ) ( ) ( ) ( 1 1 2 2 2 2 2 3 2 2 2 1 2 n S h V h h n n V h erf a H S S n V V V V V V S hitung t t t

Hasil analisa diperoleh htabel lebih besar daripada hhitung, yaitu 29,34 > 5,38, maka

data tersebut adalah signifikan.


(57)

4.2. Pembahasan a. Kadar Protein

Penentuan kadar protein berdasarkan jumlah N terjadi dalam tiga tahapan, berdasarkan reaksi berikut:

1. Tahap Destruksi

(C,H,O,N)n + H2SO4(p) Se (NH4)2 SO4 + SO2 CO2 (g) + H2O

2. Tahap Destilasi

(NH4)2 SO4 + 2 NaOH dipanaskan Na2SO4 + 2 NH4OH

NH4OH dipanaskan NH3(g) + H2O

NH3(g) dipanaskan NH3(l)

NH3(l) + 4 H3BO3 tashhiro (NH4)2 B4O7 + 5 H2O

3. Tahap Titrasi

(NH4)2 B4O7 + 2 HCl 2 NH4Cl + H2B4O7 + 5 H2O

Berdasarkan reaksi di atas, banyaknya asam borat yang bereaksi dengan amonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam klorida sehingga diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar protein dengan mengalikan suatu faktor.

Pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa kadar protein tertinggi sebesar 5,48 % untuk perbandingan 1:4 pada penambahan wortel, sedangkan kadar protein terendah diperoleh 3,9 % untuk perbandingan 1:3 tanpa penambahan wortel. Hal ini disebabkan semakin banyak tepung tapioka yang ditambahkan maka kadar protein akan semakin tinggi, dan dengan adanya penambahan ekstrak wortel maka akan semakin meningkatkan kadar protein. Dari hasil penelitian kadar protein dari tangkil adalah 5,05 %.


(58)

b. Kadar Serat

Di dalam analisa penentuan kadar serat kasar dihitung berdasarkan banyaknya zat – zat yang tak larut dalam asam encer ataupun basa encer dengan kondisi tertentu. Pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa kadar serat tertinggi sebesar 0,38 % untuk perbandingan 1:4 pada penambahan wortel, sedangkan kadar protein terendah sebesar 0,18 % untuk perbandingan 1:3 tanpa penambahan wortel. Hal ini disebabkan semakin banyak tepung tapioka yang ditambahkan maka kadar serat akan semakin tinggi, dan dengan adanya penambahan ekstrak wortel maka akan semakin meningkatkan kadar serat. Dari hasil penelitian kadar serat dari tangkil adalah 0,35 %.

c. Kadar β – Karoten

Pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa kadar serat tertinggi diperoleh sebesar 951,92 % pada kerupuk dengan perbandingan 1:4 pada penambahan wortel, sedangkan kadar protein terendah diperoleh sebesar 899,13 % pada kerupuk dengan perbandingan kerupuk tanpa penambahan wortel. Hal ini disebabkan adanya penambahan ekstrak wortel yang meningkatkan kadar β – karoten. Dari hasil penelitian kadar β – karoten dari tangkil adalah 898,17 %.

d. Uji Organoleptik

Dari Tabel 7, 9, dan 11 pada Lampiran bahwa untuk uji organoleptik ini para Panelis lebih banyak yang menyukai jenis kerupuk perbandingan 1:4 dengan penambahan ekstrak wortel. Hal ini disebabkan rasa kerupuk yang lebih gurih, aromanya lebih harum dan warna yang lebih menarik dibandingkan jenis kerupuk yang lain.


(59)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Kadar protein yang tertinggi diperoleh sebesar 5,48 % yaitu pada kerupuk dengan perbandingan 1:4 dengan penambahan pewarna alami wortel dan terendah yaitu 3,9 % pada kerupuk dengan perbandingan 1:3 tanpa penambahan pewarna alami wortel.

2. Kadar serat yang tertinggi diperoleh sebesar 0,38 % yaitu pada kerupuk dengan perbandingan 1:4 dengan penambahan pewarna alami wortel dan terendah yaitu 0,18 % pada kerupuk dengan perbandingan 1:3 tanpa penambahan pewarna alami wortel.

3. Kadar β – karoten yang tertinggi diperoleh sebesar 2334 ppm yaitu pada pada kerupuk dengan perbandingan 1:4 dengan penambahan pewarna alami wortel dan terendah yaitu 750 ppm pada kerupuk dengan perbandingan 1:3 tanpa penambahan pewarna alami wortel.

4. Kerupuk yang paling enak, gurih, dan harum serta yang paling banyak disukai yaitu kerupuk dengan perbandingan 1:4 dengan penambahan wortel.

5.2. Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan MPF dari bahan pangan yang lain sehingga dapat menghasilkan bahan pangan yang mempunyai nilai/mutu gizi yang baik.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono, A. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.

Budiyanto, A. K. 2004. Dasar – Dasar Ilmu Gizi. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.

Charles W. Van Way III, MD. 1999. Nutrition Secrets. New York: Book Promotion & Service Co. LTD.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Penerbit Bhratara.

Gaman, P.M. 1992. Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hatta, S. 1991. Budidaya Melinjo dan Usaha Produksi Emping. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hatta, S. 1992. Budidaya Melinjo dan Usaha Produksi Emping. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerupuk. Diakses Tanggal 24 April 2009.

http://iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=270. Diakses Tanggal 15 Maret 2009.

http://ptp2007.wordpress.com/2008/03/27/kerupuk-tinggi-kalsium-perbaikan-nilai-tambah-limbah-cangkang-kerang-hijau-melalui-aplikasi-teknologi-tepat-guna/. Diakses Tanggal 25 Maret 2009.

http://www.ristek.go.id. Diakses Tanggal 18 Maret 2009.

Kuntom, A. 2005. MPOB test methods: a compendium of test on palm oil products, palm kernel products, fatty acids, food related products. Perpustakaan Negara Malaysia, Cataloging-in-Publication Data. Malaysia: Malaysian Palm Oil Board.

Lubis, V. I. 2007. Pengaruh Temperatur dan waktu Pemanasan terhadap Penurunan Indeks Pemucatan dan Beta – Karotena Minyak Sawit Mentah. Skripsi. Medan, Indonesia: Universitas Sumatera Utara.


(61)

Manik, A. P. 2007. Pengaruh Sinar Matahari terhadap Kandungan Beta – Karotena pada Buah Tomat (Solanum lycopersicum) yang Masak antara Umur 117 – 141 hari. Skripsi. Medan, Indonesia: Universitas Sumatera Utara

Poedjiadi, A. 2006. Dasar – Dasar Biokimia. Edisi Revisi. Jakarta: UI – Press. Rukmana, R. 1992. Bertanam Wortel. Yogyakarta: Kanisius.

Siregar, W. L. 2006. Studi Perbandingan Kandungan Nutrien dari MPF (Multi Purpose Food) pada Beberapa Jenis Bolu. Medan, Indonesia: Universitas Sumatera Utara.

Soekarto, S. T. 1981. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sudarmadji, S. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi Pertama. Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Sudarmadji, S. 1989. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Suprapti, L. 1992. Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemanfaatannya. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penulis, PS. 1999. Melinjo Budidaya dan Pengolahan. Cetakan Kesembilan. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Warenwet, 1935. Neidherland Ministry of Trade.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Cetakan Kedelapan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.


(62)

(63)

Tabel L1. Data Kadar Nutrien Kerupuk No. Jenis Kerupuk

Kadar Nutrien

Protein (%) Serat (%) Beta Karoten (ppm)

1. A 3,9 0,18 750

2. B 4,76 0,25 1911

3. C 4,48 0,31 899

4. D 5,48 0,38 2334

Keterangan: A = perbandingan tepung tangkil dan tepung tapioka 1:3

B = perbandingan tepung tangkil dan tepung tapioka 1:3 dengan penambahan pewarna alami wortel

C = perbandingan tepung tangkil dan tepung tapioka 1:4

D = perbandingan tepung tangkil dan tepung tapioka 1:4 dengan penambahan pewarna alami wortel


(64)

Tabel L2. Data Pengamatan Kadar Protein

No. Jenis Kerupuk

Volume Titrasi

(mL) Kadar Protein (%) ∑ Xt (%)

Rataan Kadar Protein

(%)

I II III I II III

1. A 0,95 0,90 0,85 4,11 3,9 3,68 11,69 3,9 2. B 1,15 1,10 1,05 4,98 4,76 4,55 14,29 4,76 3. C 1,05 1,00 1,05 4,55 4,33 4,55 13,43 4,48 4. D 1,3 1,25 1,25 5,63 5,41 4,55 16,45 5,48

TOTAL 55,86 18,62

Keterangan: ∑ Xt = Total Kadar Protein

Tabel L3. Data Statistik Kadar Protein

No. Jenis Kerupuk Fhitung Ftabel Kesimpulan

1. A 19,6 10 Signifikan

2. B 19,6 10 Signifikan

3. C 58,68 24,45 Signifikan

4. D 29,43 24,46 Signifikan

Keterangan: jika Fhitung > Ftabel maka data adalah signifikan, dan sebaliknya

jika Fhitung < Ftabel maka data tidak signifikan.

Tabel L4. Data Kadar Protein Tepung Tangkil Sampel Kadar Protein (%) ∑ Xt

(%)

Rataan Kadar Protein (%)

I II III Tepung


(65)

Tabel L5. Data Pengamatan Kadar Serat

Keterangan: ∑ Xt = Total Kadar Serat

Tabel L6. Data Statistik Kadar Serat

No. Jenis Kerupuk Fhitung Ftabel Kesimpulan

1. A 32,67 19,57 Signifikan

2. B 24,5 19,57 Signifikan

3. C 29,43 16,37 Signifikan

4. D 98 18,9 Signifikan

Keterangan: jika Fhitung > Ftabel maka data adalah signifikan, dan sebaliknya

jika Fhitung < Ftabel maka data tidak signifikan.

Tabel L7. Data Kadar Serat Tepung Tangkil Jenis

Kerupuk

Berat Sampel (g) Berat Setelah Pengovenan (g)

Berat Setelah Pengabuan

(g) Kadar Serat (%) ∑ Xt

(%) Rataan

I II III I II III I II III I II III

A 2,5 2,5 2,5 0,3760 0,3754 0,3745 0,0052 0,0034 0,0046 0,21 0,14 0,19 0,54 0,18

B 2,5 2,5 2,5 0,3780 0,3775 0,3745 0,0073 0,0060 0,0054 0,29 0,24 0,22 0,75 0,25

C 2,5 2,5 2,5 0,3888 0,3850 0,3872 0,0085 0,0075 0,0070 0,34 0,30 0,28 0,92 0,31

D 2,5 2,5 2,5 0,4108 0,4202 0,4005 0,0097 0,0102 0,0087 0,30 0,40 0,35 1,14 0,38

TOTAL 3,35 1,12

Jenis Kerupuk

Berat Sampel (g) Berat Setelah Pengovenan (g)

Berat Setelah Pengabuan

(g) Kadar Serat (%) ∑ Xt

(%) Rataan

I II III I II III I II III I II III


(66)

Tabel L8. Data Absorbansi Larutan Standar β – Karoten pada berbagai Panjang Gelombang Maksimum

Tabel L9. Data Absorbansi Larutan Standar β – Karoten pada berbagai Konsentrasi pada Panjang Gelombang 446 nm

Konsentrasi (mg/L) Absorbansi

0,5 0,098 1 0,214 2 0,393 3 0,632 4 0,822

Panjang Gelombang (nm) Absorbansi

440 0,5875 441 0,6025 442 0,6085 443 0,6203 444 0,6288 445 0,6382

446 0,6398

447 0,6381 448 0,6302 449 0,6262 450 0,6232 451 0,6163 452 0,6043 453 0,5974 454 0,5926 455 0,5836


(67)

Tabel L10. Data Pengamatan Kadar β – Karoten Sampel

Keterangan: ∑ Xt = Total Kadar β – Karoten

Tabel L11. Data Statistik Kadar β – Karoten

No. Jenis Kerupuk Fhitung Ftabel Kesimpulan

1. A 1400 1132,29 Signifikan

2. B 1633 99,65 Signifikan

3. C 4900 70,7 Signifikan

4. D 1633,33 1373,62 Signifikan

Keterangan: jika Fhitung > Ftabel maka data adalah signifikan, dan sebaliknya jika

Fhitung < Ftabel maka data tidak signifikan. Tabel L12. Data Kadar β – Karoten Tepung Tangkil No. Jenis

Kerupuk

ABSORBANSI Kadar β – Karoten (%)

∑ Xt (%)

Rataan Kadar

β – Karoten (%)

I II III I II III

1. A 0,7424 0,7415 0,7412 899,73 898,65 898,29 2696,67 898,89 2. B 0,7857 0,7850 0,7845 951,13 951,98 950,53 2853,64 951,21 3. C 0,7420 0,7418 0,7415 899,25 899,01 898,65 2696,91 898,97 4. D 0,7860 0,7853 0,7850 952,34 951,50 951,13 2854,97 951,66

TOTAL 11102,19 3700,73

Jenis Kerupuk

ABSORBANSI Kadar Kadar β – Karoten

(%) Xt

(%)

Rataan Kadar

β – Karoten (%)

I II III I II III

Tepung


(1)

Tabel L8. Data Absorbansi Larutan Standar β – Karoten pada berbagai Panjang Gelombang Maksimum

Tabel L9. Data Absorbansi Larutan Standar β – Karoten pada berbagai Konsentrasi pada Panjang Gelombang 446 nm

Konsentrasi (mg/L) Absorbansi

0,5 0,098 1 0,214 2 0,393 3 0,632 4 0,822 Panjang Gelombang (nm) Absorbansi

440 0,5875 441 0,6025 442 0,6085 443 0,6203 444 0,6288 445 0,6382 446 0,6398 447 0,6381 448 0,6302 449 0,6262 450 0,6232 451 0,6163 452 0,6043 453 0,5974 454 0,5926 455 0,5836


(2)

Tabel L10. Data Pengamatan Kadar β – Karoten Sampel

Keterangan: ∑ Xt = Total Kadar β – Karoten Tabel L11. Data Statistik Kadar β – Karoten

No. Jenis Kerupuk Fhitung Ftabel Kesimpulan

1. A 1400 1132,29 Signifikan 2. B 1633 99,65 Signifikan 3. C 4900 70,7 Signifikan 4. D 1633,33 1373,62 Signifikan

Keterangan: jika Fhitung > Ftabel maka data adalah signifikan, dan sebaliknya jika

Fhitung < Ftabel maka data tidak signifikan.

Tabel L12. Data Kadar β – Karoten Tepung Tangkil No. Jenis

Kerupuk

ABSORBANSI Kadar β – Karoten (%)

∑ Xt (%)

Rataan Kadar

β – Karoten

(%) I II III I II III

1. A 0,7424 0,7415 0,7412 899,73 898,65 898,29 2696,67 898,89 2. B 0,7857 0,7850 0,7845 951,13 951,98 950,53 2853,64 951,21 3. C 0,7420 0,7418 0,7415 899,25 899,01 898,65 2696,91 898,97 4. D 0,7860 0,7853 0,7850 952,34 951,50 951,13 2854,97 951,66

TOTAL 11102,19 3700,73

Jenis Kerupuk

ABSORBANSI Kadar Kadar β – Karoten

(%) Xt

(%)

Rataan Kadar

β – Karoten

(%)

I II III I II III

Tepung

Tangkil 0,7420 0,7418 0,7415 899,25 899,01 898,65 2696,91 898,97


(3)

Tabel L14. Data Penilaian Uji Rasa

Keterangan: ∑ Xt = Total Uji Organoleptik

Tabel L15. Data Statistik Uji Organoleptik terhadap Rasa

No. Jenis Kerupuk Fhitung Ftabel Kesimpulan

1. A 12,61 8,43 Signifikan 2. B 29,43 21,23 Signifikan 3. C 17,66 13,8 Signifikan 4. D 29,39 21,17 Signifikan

Keterangan: jika Fhitung > Ftabel maka data adalah signifikan, dan sebaliknya jika

Fhitung < Ftabel maka data tidak signifikan.

No. Jenis Kerupuk

Ulangan ∑ Xt (%)

Uji Organoleptik rata-rata (%) I II III

1. A 3,1333 3,0667 2,9667 9,1667 3,0556 2. B 3,2333 3,1667 3,2 9,6 3,2 3. C 3,3333 3,2667 3,2333 9,8333 3,2778 4. D 3,4 3,3333 3,3667 10,1 3,3667


(4)

Tabel L17. Data Penilaian Uji Aroma

Keterangan: ∑ Xt = Total Uji Organoleptik

Tabel L18. Data Statistik Uji Organoleptik terhadap Aroma

No. Jenis Kerupuk Fhitung Ftabel Kesimpulan

1. A 22,02 18,36 Signifikan 2. B 17,66 13,89 Signifikan 3. C 17,66 13,89 Signifikan 4. D 29,34 21,20 Signifikan

Keterangan: jika Fhitung > Ftabel maka data adalah signifikan, dan sebaliknya jika

Fhitung < Ftabel maka data tidak signifikan.

No. Jenis Kerupuk

Ulangan ∑ Xt (%)

Uji Organoleptik rata-rata (%) I II III

1. A 3,2667 3,2 3,2 9,6667 3,2222 2. B 3,3333 3,2667 3,2333 9,8333 3,2778 3. C 3,4333 3,3333 3,3667 10,1333 3,3777 4. D 3,4667 3,4333 3,4 10,3 3,4333

TOTAL 39,9333 13,3111


(5)

Tabel L20. Data Penilaian Uji Warna

Keterangan: ∑ Xt = Total Uji Organoleptik

Tabel L21. Data Statistik Uji Organoleptik terhadap Warna

No. Jenis Kerupuk Fhitung Ftabel Kesimpulan

1. A 29,34 5,38 Signifikan 2. B 29,43 5,38 Signifikan

3. C 29,34 5,38 Signifikan

4. D 29,42 21,23 Signifikan

Keterangan: jika Fhitung > Ftabel maka data adalah signifikan, dan sebaliknya jika

Fhitung < Ftabel maka data tidak signifikan.

No. Jenis Kerupuk

Ulangan ∑ Xt (%)

Uji Organoleptik rata-rata (%) I II III

1. A 3,2667 3,2333 3,2 9,7 3,2333 2. B 3,3 3,2667 3,2333 9,8 3,2667 3. C 3,3667 3,3333 3,3 10 3,4 4. D 3,4333 3,4 3,3667 10,2 3,43


(6)

Grafik L1. Grafik Absorbansi Larutan Standar β – karoten pada berbagai Panjang Gelombang Maksimum

0,58 0,59 0,6 0,61 0,62 0,63 0,64 0,65

439 440 441 442 443 444 445 446 447 448 449 450 451 452 453 454 455 456

Panjang Gelombang (nm)

A

b

so

rb

an

si

Series1

Grafik L2. Kurva Larutan Standar β – karoten pada berbagai Konsentrasi pada Panjang Gelombang 446 nm

0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600 0,700 0,800 0,900

0 1 2 3 4 5

Konsentrasi (m g/L)

A

b

s

o

rb

an

si

Series1 Linear (Series1)