Dapat diambil kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa penyiar radio harus lebih memerhatikan lagi dalam menyusun dan menyampaikan pesan dengan
menggunakan media radio, komunikator Penyiar dapat melakukan penyesuaian sehingga komunikasi tepat sasaran karena waktu siaran yang relatif singkat dan
tidak dapat diulang. Maka disinilah tantangan yang harus dihadapi oleh para penyiar sebagai komunikator.
3. Sejarah Singkat Radio Siaran di Indonesia
a. Zaman Belanda
Radio yang pertama kali siaran di Indonesia bernama Nederlands Indie- Hindia ialah BRV Batavia Seradio Vereniging di Batavia Jakarta
tempo dulu yang resminya didirikan pada tanggal 16 Juni 1925 disaat Indonesia masih dijajah Belanda, dan berstatus swasta. Setelah BRV
berdiri, secara serempak berdiri pula badan-badan radio siaran lainnya pertama di kota Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya dan yang
terbesar dan terlengkap adalah NIROM Nederlands Indisce Radio Omroep Mij
di Jakarta, Bandung dan Medan, karena mendapat bantuan dari pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pelopor adanya radio siaran
usaha bangsa Indonesia adalah Soosch Radio Vereniging SRV yang didirikan di kota Solo pada tanggal 1 April 1933 oleh Mangkunegoro VII
dan Ir. Sarsito Mangkukusumo.
9
8
Karlinah, Materi Pokok Komunikasi Massa, Jakarta: Universitas Terbuka, 1999, cet Ke-1. h. 77-78
9
Onong Uchjana Effendi, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, PT Citra Aditya Bakti, 2003, cet ke-3 hal 156
b. Zaman Jepang
Setelah Belanda menyerah kepada penjajah jepang tepatnya pada tanggal 8 Maret 1942, sebagai konsekuensinya, radio siaran yang tadinya berstatus
perkumpulan swasta dimatikan dan diurus oleh jawatan khusus bernama Hoso Kanri Kyoku
, yang merupakan pusat siaran radio yang berkedudukan di Jakarta, serta mempunyai cabang-cabang yang dinamakan Hoso Kyoko
di Bandung, Purwakarta, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang. Rakyat Indonesia pada saat itu hanya boleh mendengarkan siaran
dari Hoso Kyoko saja. Namun demikian dikalangan pemuda terdapat beberapa orang dengan resiko kehilangan jiwa, secara sembunyi
mendengarkan siaran luar negeri, sehingga mereka dapat mengetahui bahwa pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang telah menyerah pada
sekutu.
10
c. Zaman Kemerdekaan
Peristiwa ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tidak dapat disiarkan langsung melalui radio
karena radio masih dikuasai jepang. Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia baru dapat disiarkan dalam bahasa Indonesia dan Inggris pada
pukul 19.00 WIB namun hanya dapat didengar oleh penduduk sekitar Jakarta saja, baru pada tanggal 18 Agustus 1945 naskah bersejarah itu baru
dikumandangkan keluar batas tanah air dengan resiko petugasnya diberondong mesiu penjajah Jepang. Tak lama kemudian dibuat pemancar
10
Ibid hal 159-160
gelap dan berhasil berkumandang di udara radio siaran dengan station call radio Indonesia Merdeka
. Sifat langsung siaran radio dapat dilihat pada penyiaran tentang pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945.
11
Dari situlah pidato radio presiden Mohammad Hatta dan para pemimpin lainnya mengadakan pidato radio yang ditujukan kepada rakyat Indonesia pada
tanggal 11 September 1945 diperoleh kesepakatan dari hasil pertemuan antara para pemimpin radio untuk mendirikan sebuah organisasi radio siaran. Bahwa
tanggal 11 September dijadikan sebagai hari resmi hari RRI Radio Republik Indonesia. Sebagai satu-satunya radio siaran yang berkumandang di Indonesia,
yang dikuasai dan dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Berdasarkan uraian diatas tadi, maka radio CBB 105.4 FM sebagai salah
satu radio swasta di Indonesia beserta radio swasta lainnya yang mencoba eksis dan mengembangkan mutu sesuai kebutuhan khalayak luas.
B. Radio Sebagai Media Dakwah
Dalam penyampaian dakwah radio memiliki peranan penting karena radio merupakan media auditif hanya bisa di dengar, tetapi murah, merakyat dan bisa
dibawa atau didengarkan dimana-mana. Dalam kamus telekomunikasi, media itu sendiri adalah sarana yang digunakan oleh komunikator sebagai saluran untuk
menyampaikan pesan kepada komunikan yang jauh tempatnya dan banyak jumlahnya jadi segala sesuatu yang banyak digunakan sebagai alat bantu yang
11
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru Ciputat: Kalam Indonesia 2005. Cet ke-1 h.84