pembayaran sejumlah uang pada saat itu atau kemudian.” b.
S.A. Hakim : “Penyerahan sebidang tanah termasuk air untuk selama- lamanya dengan penerimaan uang tunai atau dibayar dahulu untuk
sebagian, uang mana disebut uang pembelian.” c.
Iman Sudiyat : “Menjual lepas Indonesia; adol plas, runtumuran, patibogor Jawa; menjual jaja Kalimantan, yaitu menyerahkan tanah untuk
menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, tanpa hak menebus kembali; jadi penyerahan itu berlangsung untuk seterusnya selamanya”.
Demikian juga Djaren Saragih menyebutkan “jual lepas adalah penyerahan terang untuk sebidang tanah dengan penerimaan sejumlah uang
secara tunai dan selama-lamanya. Jadi pada jual lepas ini teriadi peralihan hak milik”.
47
2. Sifat Jual Beli Tanah
Sifat dan bentuk perjanjian jual beli merupakan salah satu bagian dari asas dalam hukum perjanjian yang dikenal dengan asas konsensualisme, hal
ini dapat dilihat dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk
saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan vertrouwen di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian.
48
Asas konsensualisme merupakan roh dari suatu perjanjian dalam dari apabila kata sepakat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata berada dalam kerangka yang sebenarnya,
47
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung : Tarsito, 1980, hal. 10
48
Meriam Darus Badrulzaman II, Op.Cit, hal.108-109
Universitas Sumatera Utara
dalam arti terdapat cacat kehendak, maka hal ini akan mengancam eksistensi kontrak itu sendiri. Pada akhirnya pemahaman terhadap asas
konsensualisme tidak terpaku sekedar mendasarkan kepada kata sepakat saja tetapi syarat-syarat lain dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata telah terpenuhi sehingga kontrak tersebut menjadi sah.
49
Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perdata, perjanjian jual
beli itu dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga begitu kedua belah pihak setuju dengan harga barang-barang maka
lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
50
Pasal 1458 KUH Perdata menyatakan bahwa jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelahnya orang-orang ini
mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.
Ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata ini menetapkan bahwa kesepakatan antara pihak penjual dan pihak pembeli dalam hal benda yang akan diperjual
belikan dan juga harganya merupakan suatu pertanda yang sah secara hukum bahwa perjanjian jual beli tersebut dipandang telah terjadi, meskipun
benda yang diperjualbelikan belum diserahkan pihak penjual kepada pihak pembeli dan harga benda tersebut belum dibayar pihak pembeli kepada
pihak penjual. Kesepakatan yang dimaksud disini adalah suatu kesepakatan
49
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional dalam Kontrak Komersil, Jakarta : Kencana, 2010, hal. 122-123
50
Pasal 1457 KUHPerdata berbunyi : “Jual beli dianggap sudah terjadi apabila antara kedua belah pihak seketika mereka mencapai sepakat tentang harga barang-barang,
meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.
Universitas Sumatera Utara
yang dinyatakan oleh pihak penjual dan pihak pembeli yang ditentukan baik secara lisan maupun secara tulisan.
51
Pernyataan sepakat yang diberikan oleh para pihak secara lisan dalam suatu perjanjian jual beli tentunya harus didukung oleh alat bukti yang sah
yakni saksi minimal 2 dua orang agar pemberian pernyataan kata sepakat tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Apabila pemberian
pernyataan kata sepakat tersebut tidak didukung oleh saksi-saksi maka kedudukan hukum pernyataan sepakat yang diberikan secara lisan itu
dipandang lemah apabila terjadi perselisihan dikemudian hari. Oleh karena itu perjanjian jual beli sebaiknya dilakukan dalam suatu perjanjian tertulis
berupa akta yang didalamnya memuat kesepakatan dalam pelaksanaan jual beli suatu benda dan memuat segala hak dan kewajiban baik penjual
maupun pembeli. Menurut jiwa azas Hukum Barat maka perjanjian jual beli
mempunyai sifat obligatoir mengikat , artinya penjual berjanji dan wajib mengoperkan barang yang dijual kepada pembeli dengan tidak dipersoalkan
apakah harga barang tersebut dibayar dengan kontan atau tidak, perjanjian jual beli tersebut belum mempunyai Zakelijke Werking kekuatandaya kerja
kebendaan berdasarkan Pasal 1457-1458 KUHPerdata dan dalam hal ini masih memerlukan Yuridische Levering penyeraham yuridis sesuai Pasal
1475 KUHPerdata disamping Feitelijke Levering Penyerahan Nyata.
52
51
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007, hal 36.
52
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta :Sinar Grafika ,1993, hal 36
Universitas Sumatera Utara
Istilah akta merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu acta, dalam bahasa Prancis disebut dengan acte, sedangkan dalam bahasa Inggris
disebut dengan istilah deed. Akta adalah surat atau tulisan yang berupa suatu dokumen formal.
Menurut Abdullah Hasan akta adalah “ suatu pernyataan tertulis yang merupakan kehendak para pihak yang dibuat oleh seseorang atau oleh
pihak-pihak yang seseorang berkepentingan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam pasal hukum.”
53
Dari defenisi yang disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa akta merupakan suatu surattulisan yang berisi pernyataan kehendak dari para
pihakorang yang berkepentingan dalam pembenaran tulisansurat tersebut, pernyataan kehendak yang dibuat secara tertulis tersebut memuat klausul-
klausul yang diberikan dengan perbuatan hukum dari orangpara pihak yang membuatnya. Dari segi jenisnya akta dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu Akta dibawah tangan dan Akta otentik.
53
Abdullah Hasan, Perancangan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hal.21
Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat oleh orangpara pihak yang berkepentingan dalam perbuatan hukum yang tertulis dalam akta
tersebut dan orangpara pihak yang membuat akta tersebut bukan merupakan pejabat yang berwenang membuat atau sesuai peraturan,
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1868 KUH Perdata menyatakan
bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-
Universitas Sumatera Utara
pegawai hukum yang berkuasaberwenang membuat akta tersebut ditempat dimana akta tersebut dibuatnya. Perjanjian jual beli dapat dilakukan dalam
bentuk akta di bawah tangan dan dapat pula dibuat dalam bentuk akta otentik. Pembuatan akta otentik Perjanjian jual beli dibuat oleh pejabat
publikumum dalam hal ini adalah seorang Notaris. Akta otentik yang dibuat oleh notaris merupakan suatu alat bukti yang paling sempurna apabila
terjadi perselisihan perkara di depan pengadilan.
54
Walaupun perjanjian jual beli mengikat para pihak setelah tercapainya kesepakatan, namun tidak berarti bahwa hak milik atas barang yang
diperjualbelikan tersebut akan beralih pula bersamaan dengan tercapainya kesepakatan karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang diperjual
belikan dibutuhkan penyerahan.
55
Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang
diperjualbelikan itu dari si penjual kepada si pembeli. KUH perdata mengenal tiga macam, barang yaitu barang bergerak, barang tetap, dan
barang tak bertubuh piutang, penagihan, atau claim, maka menurut KUH Perdata juga ada tiga macam penyerahan hak milik yang masing-masing
berlaku untuk masing-masing jenis barang tersebut yaitu : a.
Untuk barang bergerak cukup dengan penyerahan kekuasaan atas barang itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 612 KUH Perdata yang berbunyi:
“Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan
54
Santia Dewi dan R.M. Fauwas Diradja, Panduan Teori praktek Notaris, Jakarta : Pustaka Yustisia, 2011, hal 36
55
Ahmad Miru, Op.Cit, hal.128.
Universitas Sumatera Utara
dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana
kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan apabila kebendaan yang harus diserahkan, dengan alasan hak lain, telah dikuasai oleh orang
yang hendak menerimanya”.
56
Dari ketentuan di atas dapat dilihat adanya kemungkinan menyerahkan kunci saja kalau yang dijual adalah barang-barang yang
berada dalam suatu gudang, hal mana suatu penyerahan kekuasaan secara simbolis, sedangkan apabila barangnya sudah berada didalam kekuasaan
pembeli, penyerahan cukup dilakukan dengan suatu pernyataan saja. Cara yang terakhir ini terkenal dengan nama traditio “brevi manu” yang berarti
penyerahan dengan tangan pendek. b.
Untuk barang tetap tidak bergerak penyerahan dilakukan dengan perbuatan balik nama overschrijving di muka pegawai kadaster yang
juga dinamakan pegawai balik nama atau pegawai penyimpan hipotik, yaitu menurut Pasal 616 dihubungkan dengan pasal 620 KUH Perdata.
Pasal 616 menyatakan bahwa: “Penyerahan atau penunjukkan akan kebendaan tak bergerak dilakukan
dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620”, sedangkan pada pasal 620KUHperdata
“Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman diatas dilakukan dengan memindahkan sebuah
salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpan hipotik, yang mana dalam
lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan barada dan dengan membukukannya dalam register”.
Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik
sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau
56
R.Subekti, Op.Cit. hal 54
Universitas Sumatera Utara
keputusan itu, agar penyimpan mencatat didalamnya hari pemindahan beserta bagian dan nomor dari register yang bersangkutan.
c. Penyerahan barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan
“cessie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata BW yang berbunyi :
“Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau dibawah
tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya melainkan
setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan
dengan menyerahkan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen”.
Dalam konteks hukum adat, berbicara tentang jual beli tanah berarti membicarakan tentang transaksi tanah yang merupakan bagian dari ruang
lingkup sistem hukum adat. Maka dalam hal ini meninjau tentang transaksi- transaksi tanah terdiri dari 2 dua macam yaitu transaksi tanah yang
bersifat perbuatan hukum sepihak dan transaksi tanah bersifat perbuatan hukum dua pihak.
Menurut Hilman, pengertian transaksi tanah yang sepihak dan transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum 2 dua pihak yaitu :
57
a. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak adalah perbuatan
pemilikan tanah dengan membuka sebidang tanah untuk didiami dan diusahai oleh kelompok orang atau seorang individu. Perbuatan ini hanya
melibatkan satu pihak bukan dua pihak seperti transaksi yang biasa kita kenal misalnya jaul beli. Jadi pihak kedua tidak ada dan kalaupun ada
57
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Rajawali, 1983, hal. 72
Universitas Sumatera Utara
pihak ini diam saja maksudnya ia tidak akan menerima prestasi ataupun kontraprestasi atas prestasi yang dilakukan pihak tersebut. Misalnya
sekelompok orang atau seseorang membuka tanah hutan yang tidak ada pemiliknya atau seseorang individu atau kelompok orang membuka
sebidang tanah yang merupakan suatu hak ulayat masyarakat adat yang ditelantarkan atau diusahai. Apabila seseorang individu warga
persekutuan dengan seizin kepala persekutuan membuka tanah di wilayah persekutuan, maka dengan tanah itu terjadilah hubungan hukum dan
sekaligus juga hubungan religius magis antara warga tersebut dengan tanah dimaksud. Lazimnya warga yang membuka tanah tersebut
kemudian menempatkan tanda-tanda pelarangan pada tanah yang ia kerjakan tersebut. Perbuatan ini berakibat timbulnya hak bagi warga yang
membuka tanah tersebut. b.
Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak merupakan suatu perbuatan hukum yang mana ada dua pihak yang berperan dalam
transaksi ini, masing-masing melakukan suatu perbuatan tertentu untuk tercapainya maksud dalam transaksi ini, sesuai dengan transaksi tanah
yang dimaksud. Inti daripada transaksi ini adalah pengoperan atau pun penyerahan tanah disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat
itu juga dalam hal ini ada dua pihak yang melakukan transaksi ini yaitu pihak pertama yang melakukan penyerahan tanah penjual dan pihak
lainnya membayar harga tersebut pembeli. Di dalam hukum tanah adat perbuatan ini disebut “transaksi jual” di suku Jawa disebut “adol” atau
Universitas Sumatera Utara
sade”, di suku Batak “manggadis”. Sifat jual beli tanah berdasarkan konsep Hukum Adat menurut
Effendi Perangin angin, adalah:
58
a. Contant atau Tunai
Contant atau tunai, artinya harga tanah yang dibayar itu seluruhnya, tetapi bisa juga sebagian. Akan tetapi biarpun dibayar sebagian, menurut
hukum dianggap telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. Pada saat itu, jual beli menurut
hukum telah selesai. Sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai utang pembeli kepada bekas pemilik tanah penjual. Hal ini berarti, jika kemudian
pembeli tidak membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tanah tidak dapat membatalkan jual beli tanah tersebut. Penyelesaian pembayaran sisa
harga tersebut dilakukan menurut hukum perjanjian utang piutang. b.
Terang Terang, artinya jual beli tanah tersebut dilakukan di hadapan kepala
desa kepala adat yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi juga dalam kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa jual beli tanah
tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku. Jual beli tanah yang dilakukan di hadapan kepala desa kepala adat menjadi “terang” dan bukan
perbuatan hukum yang “gelap”. Artinya pembeli mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang bersangkutan sebagai pemilik tanah yang baru dan
mendapatkan perlindungan hukum jika pada kemudian hari ada gugatan
58
Effendi Peranginangin, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Jakarta : Radjawali, 1989, hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
terhadapnya dari pihak yang menganggap jual beli tanah tersebut tidak sah. Senada dengan Effendi Peranginangin, menurut Maria S. W
Sumardjono, sifat jual beli tanah menurut hukum adat, adalah:
59
a. Tunai
Tunai, artinya penyerahan hak atas tanah oleh pemilik tanah penjual dilakukan bersamaan dengan pembayaran harganya oleh pihak lain
pembeli. Dengan perbuatan hukum jual beli tersebut, maka seketika itu juga
terjadi peralihan hak atas tanah. Harga yang dibayarkan pada saat penyerahan hak tidak harus lunar atau penuh dan hal ini tidak mengurangi
sifat tunai tadi. Kalau ada selisihsisa dari harga, maka hal ini dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual yang tunduk pada hukum utang
piutang. b.
Riil Riil, artinya kehendak atau niat yang diucapkan harus diikuti dengan
perbuatan yang nyata-nyata menunjukkan tujuan jual beli tersebut, misalnya dengan diterimanya uang oleh penjual, dan dibuatnya perjanjian di hadapan
kepala desa. c.
Terang Terang, artinya untuk perbuatan hukum tersebut haruslah lakukan di
hadapan kepala desa sebagai tanda bahwa perbuatan itu tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
59
Maria S. W Sumardjono, 1993, Aspek Teoritis Peralihan Hak Atas Tanah Menurut UUPA, Majalah Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, No.
18X93, Yogyakarta, 1993, hal. 11. Periksa juga Urip Santoro, Op. Cit. hal. 361-362.
Universitas Sumatera Utara
Menurut jiwaazas hukum adat maka hukum adat tidak mengenal pembagian bahkan pengertian obligatoir seperti pada Hukum barat, karena
suatu jual beli pada hakekatnya bukan persetujuan belaka yangberada antara dua pihak penjual dan pembeli tetapi suatu penyerahan barang oleh
penjual kepada pembeli dengan tujuan maksud memindahkan hak milik atas barangbenda diantara kedua belah pihak maka kalau tidak dibayar
kontan bukan jual beli tetapi suatu hutang piutang.
60
B. Subjek, Obyek, dan Syarat-syarat Jual Beli Tanah 1. Subjek Jual Beli Tanah
Subjek dalam jual beli tanah adalah Warga Negara Indonesia Pasal 9 UUPA yang merupakan Prinsip Nasionalitas, namun demikian seorang
Warga Negara Asing juga dapat menjadi Subjek dalam jual beli tanah disebabkan warisan yang diterimanya dan dalam hal demikian Warga
Negara Asing tersebut wajib melepaskan haknya dalam jangka waktu 1 satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut jika dalam 1 satu tahun
tersebut tidak dilepaskan maka hak tersebut batal karena hukum dan jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung Pasal 21 ayat 3 UUPA. Dalam transaksi jual beli, ada pihak –pihak yang menjadi penjual dan
ada pihak yang menjadi pembeli. Penjual adalah harus sebagai pemilik tanah baik secara sendiri maupun secara bersama-sama. Dalam hal pemilik
hanya sendiri maka ia berhak untuk menjual secara sendiri, tapi bila pemilik tanah dua orang atau lebih, maka yang berhak menjual tanah tersebut adalah
60
Opcit, John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan hal 37
Universitas Sumatera Utara
pemilik secara bersama-sama. Pihak pembeli harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak yaitu
seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat 2 Undang-Undang pokok Agraria bahwa “ Setiap jual beli , penukaran, penghibaan, pemberian wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung meminmdahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang
warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang
ditetapkan oleh pemerintah termasuk dalam pasal 21 ayat 2 Undang- Undang Pokok Agraria adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh
pemiliknya tidak dapat dituntut kembali”
61
2. Obyek Dalam Jual Beli Tanah