tumbuhnya sikap kesadaran dari diri TKBM dalam penggunaaan APD untuk pencegahan pneumokoniosis pada saat bekerja disertai dengan ketersediaan APD dan
dukungan dari Koperasi TKBM serta Petugas Kesehatan. Dari latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang hubungan faktor predisposisi pengetahuan dan sikap, pendukung ketersediaan APD dan penguat dukungan koperasi TKBM dan petugas kesehatan
dengan penggunaan APD masker pada TKBM untuk pencegahan pneumokoniosis di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013.
1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan faktor predisposisi pengetahuan, sikap, pendukung ketersediaan APD dan penguat
dukungan koperasi TKBM dan petugas kesehatan dalam penggunaan APD dengan pencegahan pneumokoniosis pada TKBM di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun
2013.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor predisposisi pengetahuan dan sikap, pendukung ketersediaan APD dan penguat dukungan
koperasi TKBM dan petugas kesehatan dalam penggunaan APD dengan pencegahan pneumokoniosis pada TKBM di Pelabuhan Laut Kuala Tanjung Tahun 2013.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a.
Ada hubungan faktor predisposisi pengetahuan dan sikap dalam penggunaan APD dengan pencegahan pneumokoniosis.
b. Ada hubungan faktor pendukung ketersediaan APD dalam penggunaan APD
dengan pencegahan pneumokoniosis. c.
Ada hubungan faktor penguat dukungan koperasi TKBM dan petugas kesehatan dalam penggunaan APD untuk pencegahan pneumokoniosis.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Sebagai bahan masukan bagi Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan
KSOP dan Kantor Kesehatan Pelabuhan KKP Wilayah Kerja Kuala Tanjung dalam perencanaan dan evaluasi program penggunaan APD untuk
pencegahan pneumokoniosis pada TKBM dan juga sebagai bahan referensi dalam menyusun programkebijakan pencegahan penyakit akibat kerja.
b. Sebagai bahan masukan bagi koperasi TKBM, bahwa penelitian ini dapat
dijadikan pedoman bagi koperasi TKBM untuk memberikan informasi kepada tenaga kerja bongkar muat tentang manfaat penggunaan APD untuk
pencegahan pneumokoniosis. c.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat dipakai sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pneumokoniosis 2.1.1. Definisi Pneumokoniosis
International Labour Organization ILO mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang
menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis Susanto, 2011.
2.1.2. Penyebab Pneumokoniosis Penyebab Pneumokoniosis adalah inhalasi debu mineral. Pneumokoniosis
digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut : a.
Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika silikosis, asbes asbestosis dan timah stannosis.
b. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara.
c. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas bisinosis.
2.1.3. Gejala
Gejala sering kali timbul sebelum kelainan radiologis seperti : batuk produktif yang menetap dan sesak nafas saat beraktifitas Susanto, 2011.
2.1.4. Patogenesis
Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel debu dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis. Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons
makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat
toksisitas partikel debu. Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika
pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal. Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah.
Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui.
Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang minimal. Debu inert akan
tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi oleh makrofag lainnya, makrofag
dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada debu yang bersifat sitoktoksik, partikel
debu yang difagositosis makrofag akan menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis.
Menurut Lipscomb, partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu respons peradangan dan
memulai proses proliferasi fibroblast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling banyak berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor
Universitas Sumatera Utara
TNF- α, Interleukin IL-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming
growth factor TGF- β. Sebagian besar mediator tersebut sangat penting untuk proses
fibrogenesis. Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan.
Sitokin telah terbukti berperan dalam patogenesis pneumokoniosis. Pappas merangkum sitokin yang dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespon partikel
debu yang masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada jaringan interstitial paru. Sitokin ini terdiri atas faktor fibrogenesis seperti TNF-
α, PDGF, IGF-1 dan fibronektin serta faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-8, IL-6, MIP1a.
Disamping proses fagositosis debu oleh makrofag alveolar, yang lebih penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila partikel debu telah difagositosis oleh
makrofag dan ditransfer ke sistem mukosilier maka proses pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil. Hilangnya integritas epitel akibat
mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag alveolar merupakan kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk dalam
interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer ke kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi me
diator inflamasi kronik pada interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1 menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumoko
niosis. Sifat toksisitas debu menentukan reaksi jaringan yang terjadi pada
pneumokoniosis. Debu silika dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat.
Universitas Sumatera Utara
Reaksi parenkim dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis, fibrosis difus pada asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat
debu batubara Susanto, 2011.
2.1.5. Jenis Pneumokoniosis
Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan asbes menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu batubara
menyebabkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain. Secara ringkas beberapa yang dikategorikan pneumokoniosis berdasarkan jenis debu penyebabnya terlihat pada
tabel 2.1.
Tabel 2.1. Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya Jenis Debu
Pneumokoniosis
Asbes Asbestosis
Silika Silikosis
Batubara Pneumokoniosis Batubara
Besi Siderosis
Berilium Beriliosis
Timah Stanosis
Aluminium Grafit
Aluminosis Pneumokoniosis grafit
Debu antimony Antimony Pneumokoniosis
Debu Mineral Barite Baritosis
Debu Karbon Pneumokoniosis Karbon
Debu Polyvinyl Chloride PVC Pneumokoniosis PVC
Debu Bakelite Pneumokoniosis Bakelite
Titanium Oksida Pneumokoniosis Titanium
Universitas Sumatera Utara
Zirkonium Pneumokoniosis Zirkonium
Silicon Carbide Carborundum Pneumokoniosis
Hard Metal Tungsten Carbide Pneumokoniosis
Nylon Flock Flock Worker’s Lung
Debu Campuran :
Campuran SiliKa dan Besi Silikosiderosis
Silikat
Silikatosis
Slate campuran mica, feldspar, crystalline quartz Slate worker’s Pneumokoniosis
Kaolin Pneumokoniosis Kaolin
Mica
Mica Pneumokoniosis Sumber:
Susanto, 2011
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis. Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis.
Pertama, pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten yang mendukung.
Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri serta kadang diperlukan
pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala seringkali timbul sebelum kelainan radiologis seperti batuk produktif yang menetap dan atau sesak napas saat
aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan. Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat membantu menentukan jenis
pneumokoniosis. Gejala dan tanda gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru sering ditemukan pada pneumokoniosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis
Tabel 2.1. lanjutan
Universitas Sumatera Utara
pneumokoniosis. Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial
paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis IPF atau interstitial lung disease ILD yang berhubungan dengan penyakit kolagen vascular. Beberapa
pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu dalam diagnosis pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis debu
penyebab Susanto, 2011.
2.1.6.1. Pemeriksaan Radiologi a. Foto Toraks
Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut International Labour Organization ILO untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus
yang terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epidemiologik penyakit paru akibat kerja dan mungkin untuk membantu interpretasi klinis Susanto, 2011.
b. Computed Tomography CT Scan
Computed Tomography CT Scan bukan merupakan bagian dari klasifikasi pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat secara
individual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang terjadi, menilai luasnya emfisema dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya nekrosis atau abses
yang bersamaan dengan opasiti yang ada. High Resolution CT HRCT lebih sensitif dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi abnormalitas parenkim pada
asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya. Gambaran paling sering HRCT pada pneumokoniosis adalah nodular sentrilobular atau high attenuation pada area
Universitas Sumatera Utara
percabangan seperti gambaran lesi bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin bermanifestasi bronkiektasis traksi, sarang tawonhoney comb atau hyperattenuation.
Gambaran HRCT yang khas pada silikosis, pneumokoniosis batubara dan asbestosis adalah terdapat opasitas halus small nodular opacities yang predominan pada zona
paru atas upper zone. Gambaran opasitas halus pada HRCT ada 2 karakteristik 1 ill defined fine branching lines dan 2 well defined discrete nodules. Asbestosis
menunjukkan gambaran garis penebalan interlobular dan intralobular, opasitas subpleura atau curvilinier dan honey comb, predominan terdistribusi pada basal paru.
Susanto, 2011.
2.1.6.2. Pemeriksaan Faal Paru
Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi epidemiologi pekerja yang terpajan debu dan diagnosis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan
faal paru memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan pemeriksaan kapasitas difusi DLco, namun tidak selalu tersedia. Pemeriksaan faal paru juga
diperlukan untuk menilai hendaya yang telah terjadi. Pada pneumokoniosis dapat ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi obstruksi, restriksi ataupun
campuran. Sebagian besar penyakit paru difus yang disebabkan debu mineral ber hubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di parenkim paru. Pada
kasus dengan fibrosis interstisial yang luas umumnya terjadi penurunan kapasitas difusi. Inflamasi, fibrosis dan distorsi pada saluran napas dengan konsekuensi terjadi
obstruksi saluran napas dapat ditemukan pada beberapa kondisi. Susanto, 2011. Putranto 2007 dalam penelitiannya menemukan bahwa konsentrasi debu 229
Universitas Sumatera Utara
µgm³ menyebabkan terjadinya penurunan fungsi paru sebanyak 31 pekerja dengan umur antara 20 sampai 45 tahun.
2.1.7. Penatalaksanaan
Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun berkurang progresivitasnya hanya dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis
umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Tidak ada pengobatan yang efektif yang dapat menginduksi regresi kelainan ataupun menghentikan progesivitas
pneumokoniosis Susanto, 2011.
2.1.8. Pencegahan Pneumokoniosis
Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak lama terutama di negara
industri dan terus dilakukan dengan perbaikan-perbaikan. Pada bentuk pneumokoniosis sub akut dengan manfaat yang didapat untuk efek jangka
panjangnya terutama jika bahan penyebab masih ada di paru. Menjaga kesehatan dapat dilakukan dengan cara :
a. Berhenti merokok
b. Pengobatan dilakukan bila dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik
PPOK c.
Gunakan APD seperti Masker d.
Pencegahan infeksi dengan vaksinasi dapat dipertimbangkan
Universitas Sumatera Utara
2.2. Alat Pelindung Diri 2.2.1. Pengertian Alat Pelindung Diri
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.08MenVII2010 tentang alat pelindung diri, bahwa APD
adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat
kerja. Alat pelindung diri APD yang baik adalah APD yang memenuhi standar
keamanan dan kenyamanan bagi pekerja Safety and Acceptation, apabila pekerja memakai APD yang tidak nyaman dan tidak bermanfaat maka pekerja enggan
memakai, hanya berpura-pura sebagai syarat agar masih diperbolehkan untuk bekerja atau menghindari sanksi perusahaan Khumaidah, 2009.
Dengan demikian alat pelindung diri merupakan pertahanan terakhir, Oleh karenanya alat pelindung diri tidak pernah dipertimbangkan sebagai suatu pertahanan
yang utama untuk menghilangkan atau mengendalikan bahaya dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja termasuk agar tenaga kerja tidak menderita penyakit
akibat kerja. Kebanyakan alat pelindung diri mengakibatkan beberapa perasaan tidak enak dan menghalangi gerakan atau tanggapan panca indera si pemakai. Oleh karena
itu, umumnya tenaga kerja akan menolak memakai alat pelindung diri bila diberi. Suardi, 2005.
2.2.2. Syarat-syarat APD
Menurut Budiono 2005, Pemilihan APD yang cermat adalah merupakan
Universitas Sumatera Utara
persyaratan mutlak yang sangat mendasar. Pemakaian APD yang tidak tepat dapat mencelakakan tenaga kerja yang memakainya karena mereka tidak terlindung dari
bahaya potensial yang ada di tempat mereka terpapar. Oleh karena itu agar dapat memilih APD yang tepat, maka perusahan harus mampu mengidentifikasi bahaya
potensial yang ada, khususnya yang tidak dapat dihilangkan atau dikendalikan, serta memahami dasar kerja setiap jenis APD yang akan digunakan di tempat kerja dimana
bahaya potensial tersebut ada dengan ketentuan : a.
Dapat memberikan perlindungan yang adekuat terhadap bahaya yang spesifik atau bahaya-bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja.
b. Berat alat hendaknya seringan mungkin, dan alat tersebut tidak menyebabkan rasa
ketidaknyamanan yang berlebihan. c.
Dapat dipakai secara fleksibel d.
Bentuknya harus cukup menarik e.
Tahan untuk pemakaian yang lama f.
Tidak menimbulkan bahaya tambahan bagi pemakainya, yang dikarenakan bentuk dan bahayanya tidak tepat atau karena salah dalam penggunaannya.
g. Harus memenuhi standar yang telah ada
h. Tidak membatasi gerakan dan persepsi sensoris pemakainya
i. Suku cadangnya harus mudah didapat guna mempermudah pemeliharaannya
Menurut Suma’mur 1992, menyatakan bahwa persyaratan yang harus dipenuhi APD :
a. Enak dipakai
Universitas Sumatera Utara
b. Tidak mengganggu kerja
c. Memberikan perlindungan efektif terhadap jenis bahaya
2.2.3. Fungsi dan Jenis Alat Pelindung Diri
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.08MenVII2010, bahwa fungsi dan jenis alat pelindung diri:
a. Alat pelindung kepala a.1 Fungsi
Alat pelindung kepala adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi kepala dari benturan, terantuk, kejatuhan atau terpukul benda tajam atau benda
keras yang melayang atau meluncur di udara, terpapar oleh radiasi panas, api, percikan bahan-bahan kimia, jasad renik mikro organisme dan suhu
yang ekstrim. a.2 Jenis
Jenis alat pelindung kepala terdiri dari helm pengaman safety helmet, topi atau tudung kepala, penutup atau pengaman rambut, dan lain-lain.
b. Alat pelindung mata dan muka b.1 Fungsi
Alat pelindung mata dan muka adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi mata dan muka dari paparan bahan kimia berbahaya,
paparan partikel-partikel yang melayang di udara dan di badan air, percikan benda-benda kecil, panas, atau uap panas, radiasi gelombang elektromagnetik
yang mengion maupun yang tidak mengion, pancaran cahaya, benturan atau
Universitas Sumatera Utara
pukulan benda keras atau benda tajam. b.2 Jenis
Jenis alat pelindung mata dan muka terdiri dari kacamata pengaman spectacles, goggles, tameng muka face shield, masker selam, tameng muka
dan kacamata pengaman dalam kesatuan full face masker. c. Alat pelindung telinga
c.1 Fungsi Alat pelindung telinga adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi
alat pendengaran terhadap kebisingan atau tekanan. c.2 Jenis
Jenis alat pelindung telinga terdiri dari sumbat telinga ear plug dan penutup telinga ear muff.
d. Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya d.1 Fungsi
Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi organ pernapasan dengan cara menyalurkan
udara bersih dan sehat danatau menyaring cemaran bahan kimia, mikro- organisme, partikel yang berupa debu, kabut aerosol, uap, asap, gas
fume, dan sebagainya. d.2 Jenis
Jenis alat pelindung pernapasan dan perlengkapannya terdiri dari masker, respirator, katrit, kanister, Re-breather, Airline respirator, Continues Air
Universitas Sumatera Utara
Supply Machine=Air Hose Mask Respirator, tangki selam dan regulator Self- Contained Underwater Breathing Apparatus SCUBA, Self-Contained
Breathing Apparatus SCBA, dan emergency reathing apparatus. e. Alat pelindung tangan
e.1 Fungsi Pelindung tangan sarung tangan adalah alat pelindung yang berfungsi untuk
melindungi tangan dan jari-jari tangan dari pajanan api, suhu panas, suhu dingin, radiasi elektromagnetik, radiasi mengion, arus listrik, bahan kimia,
benturan, pukulan dan tergores, terinfeksi zat patogen virus, bakteri dan jasad renik.
e.2 Jenis Jenis pelindung tangan terdiri dari sarung tangan yang terbuat dari logam,
kulit, kain kanvas, kain atau kain berpelapis, karet, dan sarung tangan yang tahan bahan kimia.
f. Alat pelindung kaki f.1 Fungsi
Alat pelindung kaki berfungsi untuk melindungi kaki dari tertimpa atau berbenturan dengan benda-benda berat, tertusuk benda tajam, terkena cairan
panas atau dingin, uap panas, terpajan suhu yang ekstrim, terkena bahan kimia berbahaya dan jasad renik, tergelincir.
f.2 Jenis Jenis Pelindung kaki berupa sepatu keselamatan pada pekerjaan peleburan,
Universitas Sumatera Utara
pengecoran logam, industri, kontruksi bangunan, pekerjaan yang berpotensi bahaya peledakan, bahaya listrik, tempat kerja yang basah atau licin, bahan
kimia dan jasad renik, danatau bahaya binatang dan lain-lain. g. Pakaian pelindung
g.1 Fungsi Pakaian pelindung berfungsi untuk melindungi badan sebagian atau seluruh
bagian badan dari bahaya temperatur panas atau dingin yang ekstrim, pajanan api dan benda-benda panas, percikan bahan-bahan kimia, cairan dan logam
panas, uap panas, benturan impact dengan mesin, peralatan dan bahan, tergores, radiasi, binatang, mikroorganisme patogen dari manusia, binatang,
tumbuhan dan lingkungan seperti virus, bakteri dan jamur. g.2 Jenis
Jenis pakaian pelindung terdiri dari rompi Vests, celemek ApronCoveralls, Jacket, dan pakaian pelindung yang menutupi sebagian atau seluruh bagian
badan. h. Alat pelindung jatuh perorangan
h.1. Fungsi Alat pelindung jatuh perorangan berfungsi membatasi gerak pekerja agar tidak
masuk ke tempat yang mempunyai potensi jatuh atau menjaga pekerja berada pada posisi kerja yang diinginkan dalam keadaan miring maupun tergantung
dan menahan serta membatasi pekerja jatuh sehingga tidak membentur lantai dasar.
Universitas Sumatera Utara
h.2 Jenis Jenis alat pelindung jatuh perorangan terdiri dari sabuk pengaman tubuh
harness, karabiner, tali koneksi lanyard, tali pengaman safety rope, alat penjepit tali rope clamp, alat penurun decender, alat penahan jatuh
bergerak mobile fall arrester, dan lain-lain. i. Pelampung
i.1. Fungsi Pelampung berfungsi melindungi pengguna yang bekerja di atas air atau
dipermukaan air agar terhindar dari bahaya tenggelam dan atau mengatur keterapungan buoyancy pengguna agar dapat berada pada posisi tenggelam
negative buoyant atau melayang neutral buoyant di dalam air. i.2. Jenis
Jenis pelampung terdiri dari jaket keselamatan life jacket, rompi keselamatan life vest, rompi pengatur keterapungan Bouyancy Control Device.
Menurut Budiono 2005, APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah :
a. Masker Masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang
masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran pori- pori tertentu. Terdiri atas beberapa jenis yaitu :
a.1 Masker penyaring debu Masker ini berguna untuk melindungi pernafasan dari serbuk-serbuk logam,
Universitas Sumatera Utara
penggerindaan atau serbuk kasar lainya. a.2 Masker berhidung
Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron, bila kita sulit bernafas waktu memakai alat ini maka hidungnya harus diganti
karena filternya tersumbat oleh debu. Alat pelindung pernapasanmasker diperlukan di tempat kerja dimana udara didalamnya tercemar. Pencemaran
udara berkisar dari pencemaran yang tidak berbahaya sampai pada pencemaran yang sangat berbahaya. Bahan pencemaran udara biasanya dalam
bentuk debu, uap, gas, asap, atau kabut. Untuk menentukan alat pelindung diri pernapasan, maka lebih dahulu ditentukan jenis dan kadar bahan pencemar
yang ada serta dievaluasi tingkat bahayanya. a.3 Masker bertabung
Masker bertabung mempunyai filter yang baik daripada masker berhidung. Masker ini sangat tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas
tertentu. Bermacam-macam tabungnya tertulis untuk macam-macam gas yang sesuai dengan jenis masker yang digunakan.
a.4. Masker kertas Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-pertikel berbahaya dari udara
agar tidak masuk ke jalur pernafasan. Pada penggunaan masker kertas, udara disaring permukaan kertas yang berserat sehingga partikel-partikel halus yang
terkandung dalam udara tidak masuk ke saluran pernafasan.
Universitas Sumatera Utara
a.5 Masker plastik Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-partikel berbahaya dari udara
agar tidak masuk jalur pernafasan. Ukuran masker ini sama dengan masker kertas, namun ada lubang-lubang kecil dipermukaannya untuk aliran udara,
tetapi tidak bisa menyaring udara, fungsi penyaring udara terletak pada sebuah tabung kecil yang diletakkan di dekat rongga hidung. Didalam tabung ini
diisikan semacam obat yang berfungsi sebagai penawar racun. b. Respirator
Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap, logam, asap dan gas. Alat ini dibedakan menjadi :
b.1 Respirator pemurni udara Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan
dengan toksisitas rendah sebelum memasuki sistem pernafasan. Alat pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara atau
tabung kimia yang menyerap gas, uap dan kabut. b.2 Respirator penyalur udara
Membersihkan aliran udara yang terkontaminasi secara terus menerus. Udara dapat dipompa dari sumber yang jauh dihubungkan dengan selang tahan
tekanan atau dari persediaan yang portable seperti tabung yang berisi udara bersih atau oksigen. Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA Self Contained
Breathing Apparatus atau alat pernafasan mandiri. Digunakan untuk tempat kerja yang terdapat gas beracun atau kekurangan oksigen
Universitas Sumatera Utara
Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpapar udara yang kadar
debunya tinggi. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan masker, seorang pekerja akan terhindar dari kemungkinan terjadinya gangguan
pernafasan Khumaidah, 2009.
2.2.4. Manfaat Pemakaian APD
Pemakaian APD bermanfaat untuk melindungi tenaga kerja dan juga merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja oleh bahaya potensial pada suatu perusahaan yang tidak dapat dihilangkan atau dikendalikan Suma’mur, 1996.
2.3. Perilaku 2.3.1. Pengertian Perilaku
Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan Notoatmodjo, 2012.
Menurut Skinner dalam Notoatmodjo 2012 merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar.
Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses : Stimulus --- Organisme--- Respon, sehingga teori Skinner ini disebut teori “SOR”.
Berdasarkan Teori SOR, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni :
a. Perilaku tertutup covert behavior; Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap
Universitas Sumatera Utara
stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain dari luar secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,
pengetahuan dan sikap terhadap stimulus. b.
Perilaku terbuka overt behavior; Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain
dari luar Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan
pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut Notoatmodjo, 2012 :
a. Pengetahuan Knowledge
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya mata, hidung, telinga, dan
sebagainya. b.
Sikap Attitude Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu,
yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. c.
Tindakan atau praktik Practice Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk
bertindak praktik. Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain; adanya fasilitas atau sarana dan prasarana.
2.3.2. Determinan Perilaku Kesehatan
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena
Universitas Sumatera Utara
perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal lingkungan. Secara lebih terinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi
dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Namun demikian pada realitasnya sulit
dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan yang menentukan perilaku seseorang. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi
oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosiobudaya masyarakat dan sebagainya Notoatmodjo, 2012.
2.3.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku
Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo 2012 menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku
behavior causes dan faktor di luar perilaku non behavior causes. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :
a. Faktor Predisposisi Predisposing Factors, yang mencakup pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
b. Faktor Pendukung Enabling Factors, yang mencakup lingkungan fisik,