commit to user
52
ton. Perkembangan produksi karet Indonesia 2006-2008 dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4.1 Perkembangan Produksi Karet Indonesia
Tahun 2006-2008 Ton Tahun
PR PBN
PBS Jumlah
Pertumbuhan 2006
2082597 196088
288821 2637231
16,13 2007
2176686 209837
301286 2755172
4,47 2008
2308385 218724
319515 2921873
6,05 Sumber : Badan Pusat Statistik,2008
Presentase produksi karet yang diusahakan oleh perkebunan rakyat selama periode tahun 2006-2008 yakni berkisar 78,97-78,99, sedangkan perkebunan
besar negara berkisar 10,07-10,08 dan untuk perkebunan besar swasta berkisar 10,94-8,44. Dengan presentase luas perkebunan karet yang
diusahakan oleh perkebunan rakyat mencapai 84,81 lebih terhadap total luas areal perkebunan karet Indonesia, sedangkan produksi perkebunan rakyat sekitar
78,99 dari total produksi karet Indonesia, ini berarti produktivitas dari perkebunan rakyat umumnya lebih rendah dibandingkan produktifitas perkebunan
besar baik Negara maupun swasta.
D. Kendala Pengembangan Karet Alam Indonesia
Kendala utama dalam pengembangan karet alam adalah tingkat produktivitas lahan karet yang masih rendah. Jika dibandingkan dengan produsen
utama karet alam, tingkat produktivitas lahan di Indonesia khususnya perkebunan rakyat baru mencapai 0,8 tonhatahun, sedangkan perkebunan besar mencapai
commit to user
53
sekitar 1 tonhatahun. Sebagai perbandingan, produktivitas lahan di India bisa mencapai sekitar 1,9 tonhatahun sedangkan Thailand mencapai sekitar 1,6
tonhatahun. Dengan produktivitas lahan yang hanya setengah dari negara produsen lainnya, posisi Indonesia sulit diharapkan menjadi market leader di
pasar internasional walaupun memiliki luas lahan yang terbesar di dunia. Salah satu langkah meningkatkan produktivitas adalah melakukan sinergi
antara perkebunan rakyat dan perkebunan besar melalui pola plasma. Kemampuan manajerial baik produksi maupun pemasaran dari perkebunan besar
akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas perkebunan rakyat disamping peremajaan lahan yang tidak produktif sekitar 15 dari total luas
lahan yang menjadi syarat utama peningkatan produktivitas lahan. Permasalahan yang mendasar bagi petani karet adalah keterbatasan dalam
pengadaan bibit yang berkualitas dan sarana produksi lainnya. Dengan pola plasma diharapkan adanya kooordinasi dalam pengadaan bibit dari balai
penelitian maupun penangkaran bibit unggul yang ada. Sistem plasma juga diharapkan dapat membantu dalam pengadaan modal kerja dari pihak terkait baik
perkebunan besar maupun perbankan. Kendala lain yang menghambat perkembangan karet adalah hasil bahan
baku bokar umumnya bermutu rendah sebagai dampak dari proses pengolahan dasar di level petani belum optimal dengan metode yang dapat mengurangi
kualitas bahan pencampuran dengan bahan penggumpal berkualitas rendah atau mencampur dengan beberapa bahan yang tidak direkomendasikan. Bersamaan
commit to user
54
dengan permasalahan kualitas bokar, pola pemasaran juga tidak berpihak ke petani dengan rata-rata harga di level petani hanya mencapai 60-75 dari harga
FOB. Koordinasi dengan perkebunan besar diharapkan dapat menjembatani kendala transportasi terhadap kondisi lahan petani yang menyebar sehingga
pemasaran lebih solid dan kontinuitas pasokan bagi pabrik pengolahan karet dapat lebih terjamin.
Dari sisi industri pengolahan, kemampuan industri dalam negeri menyerap produksi karet alam masih rendah dan relatif stagnan dalam 5 tahun terakhir
sekitar 10-15 dari total produksi karet nasional. Industri ban merupakan industri yang dominan dalam menyerap pasokan karet dalam negeri dengan
konsumsi mencapai sekitar 60 dari total konsumsi industri karet nasional. Industri lain yang menggunakan karet sebagai bahan baku antara lain industri
sarung tangan, alas kaki, selang belt transmision. Selain industri ban yang merupakan industri besar, industri lainnya hanya bersifat industri berskala
menengah dan kecil. Kemampuan modal dan pemasaran menjadi kendala dalam pengembangan industri menengah dan kecil tersebut. Selain kendala diatas,
ketersediaan pasokan energi oleh pemerintah dalam hal ini juga menjadi kendala sehingga kontinuitas dan skala produksi menjadi tidak optimal. Di level industri
kecil, produk lebih dititikberatkan kepada komponen atau barang pendukung dari produk utama seperti spare parts dan komponen alas kaki yang diproduksi
pabrikan besar. Pengembangan jenis produk karet lainnya dinilai cukup berat mengingat pengolahan karet membutuhkan modal dan teknologi yang cukup
commit to user
55
tinggi. Sebagai dampak dari belum optimalnya pengembangan industri selain industri ban, utilitas industri tersebut juga relatif rendah, bahkan industri sarung
tangan hanya mencapai utilitas industri sebesar 40 dan alas kaki relatif lebih baik dengan utilitas sebesar 60.
Tabel 4.2 Tingkat utilitas industri karetbarang dari karet
Jenis industri Utilitas industri dan
produk Industri crumb rubber
70 Industri sarungtangan
40 Industri alas kaki
60 Industri ban
80 Industri produk karet lainnya
65-80 Sumber : Departemen Perdagangan
Disamping kendala produksi, kendala perdagangan internasional juga menghambat perkembangan karet dan industri berbahan karet. Mulai dari
prosedur trading yang berbelit yang pada akhirnya menyebabkan biaya transaksi yang tinggi, permasalahan dumping dari negara lain hingga isu lingkungan yang
menjadi prasyarat bagi pasar Eropa dan Amerika. Berbagai permasalahan perdagangan tersebut membutuhkan pemikiran dan kerjasama dari pelaku usaha
dan pemerintah sebagai regulator sehingga pada akhirnya tidak menjadi hambatan dalam pengembangan karet yang menjadi salah satu unjung tombak devisa
Indonesia.
commit to user
56
E. Perkembangan Variabel Yang Diamati