BIODIESEL Proses Etanolisis Sludge Palm Oil (SPO) Dalam Sistem Pelarut Choline Chloride (ChCl) : Gliserol Pada Produksi Biodiesel

7 Tabel 2.2 Komposisi FFA pada SPO lanjutan FFA Struktur Komposisi Asam oleat C18:1 40,31 ± 1,03 Asam linoleat C18:2 10,49 ± 0,81 Asam α-linoleat C18:3 0,26 ± 0,16 Asam arachidat C20:0 0,43 ± 0,44 SPO berwarna coklat tua, berbau, dan berwujud padat pada suhu 25 o C. Jika disuling, SPO bisa diaplikasikan secara langsung sebagai bahan bakar boiler, bahan baku untuk memproduksi biodiesel, dan menggantikan 100 distilat palm fatty acid dalam industri pembuatan sabun [11]. Sebagai bahan baku biodiesel, SPO harus mengalami pretreatment terlebih dahulu untuk menurunkan kadar FFA, yaitu dengan esterifikasi menggunakan asam kuat kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi menggunakan basa kuat [7].

2.2 BIODIESEL

Biodiesel merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan yang saat ini mendapat perhatian yang cukup tinggi untuk menyelesaikan masalah perubahan iklim dan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil, dimana bahan bakar fosil sendiri sering mengalami ketidakstabilan harga, kelangkaan, dan merupakan polutan udara terbesar. Biodiesel menjadi begitu menarik karena mudah terurai, ramah lingkungan, tidak beracun, menghasilkan sedikit polusi di udara serta mengandung kadar sulfur yang rendah 0-24 ppm [13]. Selain itu, biodiesel juga memiliki kadar oksigen yang tinggi dimana kadar oksigen yang tinggi tersebut menyebabkan pembakaran yang sempurna dalam mesin diesel sehingga gas buangan yang dihasilkan mengandung partikulat, karbon dioksida, karbon monoksida, dan SO x yang rendah [14]. Biodiesel dapat diproduksi secara lokal menggunakan berbagai bahan baku tergantung pada ketersediaan bahan baku tersebut di alam [14]. Bahan-bahan tersebut biasanya dikelompokkan menjadi bahan baku yang dapat dikonsumsi dan bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi atau minyak jelantah. Dari jenis-jenis bahan baku tersebut, yang lebih dipilih untuk digunakan dalam memproduksi Universitas Sumatera Utara 8 biodiesel adalah kelompok bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi, seperti minyak jarak, karanja, dan putranjiva. Namun, adanya permintaan yang tinggi untuk mengurangi biaya dalam menggunakan bahan baku tersebut, menyebabkan banyak peneliti yang mencari bahan baku baru yang lebih murah dan berpotensial untuk dijadikan biodiesel seperti minyak lemak sapi dan minyak jelantah, akan tetapi kedua bahan baku ini memiliki keterbatasan dalam hal kuantitas [2]. Untuk menghasilkan biodiesel, terdapat 4 metode yang dapat digunakan, yaitu penggunaan langsung dengan mencampurkan bahan baku, micro-emulsions, thermal cracking, dan transesterifikasi [15]. Namun diantara metode-metode tersebut, transesterifikasi merupakan metode yang paling umum digunakan. Dalam reaksi transesterifikasi, minyak nabati maupun lemak hewan bereaksi dengan alkohol berantai pendek seperti metanol atau etanol [1]. Selain itu, pada reaksi transesterifikasi juga menggunakan bantuan katalis untuk menghasilkan fatty acid alkyl esters FAAE dan gliserol sebagai produk samping [16]. Produksi biodiesel secara konvensional menggunakan katalis basa yang homogen, seperti kalium hidroksida KOH, natrium hidroksida NaOH untuk mengurangi suhu reaksi. Namun dampak dari penggunaan katalis ini adalah menghasilkan produk yang dapat memicu terjadinya reaksi saponifikasi, terutama dengan adanya minyak atau lemak yang kandungan FFA nya lebih dari 0,5 ww atau kadar airnya di atas 2 vv. Pretreatment dengan asam sulfat dan alkohol dapat digunakan untuk mencegah terjadinya reaksi saponifikasi, tetapi proses yang dibutuhkan menjadi lama dan mempengaruhi biaya ekonomi karena dihasilkannya limbah berupa air kotor [17]. Berbagai faktor seperti konsentrasi bahan baku dan jenis katalis yang digunakan, pemurnian reaktan, kadar FFA, suhu, waktu reaksi, perbandingan mol antara alkohol dengan minyak turut mempengaruhi yield optimum biodiesel yang dihasilkan [14]. Faktor-faktor tersebut menunjukkan karakteristik fisik dan kimia dari biodiesel yang dihasilkan serta menunjukkan kualitas dari biodiesel tersebut, sebab kualitas merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi untuk mengetahui berhasil atau tidaknya suatu teknologi dalam menghasilkan biodiesel. Kriteria utama dari kualitas biodiesel adalah tercantumnya sifat fisik dan kimia biodiesel tersebut di dalam persyaratan yang telah ditentukan oleh suatu Universitas Sumatera Utara 9 badan standar yang berwenang. Standar kualitas biodiesel selalu diperbarui seiring dengan perkembangan mesin kendaraan, standar emisi, ketersediaan bahan baku biodiesel, dan lain-lain. Standar yang mengatur kualitas biodiesel saat ini tergantung pada berbagai faktor sesuai dengan daerahnya masing-masing, termasuk standar karakteristik mesin diesel yang beredar, keunggulan jenis-jenis mesin diesel yang umum di suatu daerah tertentu, dan iklim serta cuaca pada negara atau daerah yang menggunakan biodiesel [18]. Tabel 2.3 menunjukkan beberapa badan standar biodiesel yang penting dari berbagai negara dan Tabel 2.4, 2.5, serta 2.6 menunjukkan spesifikasi biodiesel di Eropa, Amerika, dan Indonesia : Tabel 2.3 Standar biodiesel dari berbagai negara [18] Negara Spesifikasi Judul Eropa EN 14213 Heating fuels - Fatty acid methyl esters FAME - Requirements and test methods Eropa EN 14214 EN 14214 Automotive fuels - Fatty acid methyl esters FAME for diesel engines - Requirements and test methods USA ASTM D 6751 ASTM D6751 - 11a Standard Specification for Biodiesel Fuel Blend Stock B100 for Middle Distillate Fuels Australia - Fuel Standard Biodiesel Determination 2003 Brazil ANP 42 Brazilian Biodiesel Standard Agência Nacional do Petróleo India IS 15607 Bio-diesel B 100 blend stock for diesel fuel - Specification Jepang JASO M360 Automotive fuel - Fatty acid methyl ester FAME as blend stock Afrika Selatan SANS 1935 Automotive biodiesel fuel Universitas Sumatera Utara 10 Tabel 2.4 Spesifikasi biodiesel Eropa European Biodiesel Standard [18] Sifat Metode Tes Batas Satuan Minimal Maksimal Kadar Ester EN 14103 96,5 - mm Densitas pada 15 o C EN ISO 3675 EN ISO 12185 860 900 kgm 3 Viskositas pada 40 o C EN ISO 3104 ISO 3105 3,5 5,0 mm 2 s Titik nyala EN ISO 3679 120 - °C Kadar Sulfur EN ISO 20846 EN ISO 20884 - 10,0 mgkg Residu Karbon EN ISO 10370 - 0,30 mm Angka Setana EN ISO 5165 - - - Abu Sulfur ISO 3987 - 0,02 mm Kadar Air EN ISO 12937 - 500 mgkg Kontaminasi Total EN 12662 - 24 mgkg Korosi Kepingan Tembaga 3 jam, 50 o C EN ISO 2160 - 1 kelas Stabilitas Oksidatif, 110 o C EN 14112 4,0 - jam Bilangan Asam EN 14104 - 0,5 mg KOHg Bilangan Iodin EN 14111 - 120 g I100 g Kadar Asam Linolenik EN 14103 - 12 mm Kadar FAME dengan ≥ 4 ikatan rangkap - 1 mm Kadar Metanol EN 14110 - 0,20 mm Kadar Monogliserida EN 14105 - 0,80 mm Kadar Digliserida EN 14105 - 0,20 mm Kadar Trigliserida EN 14105 - 0,20 mm Gliserin Bebas EN 14105 EN 14106 - 0,02 mm Total Gliserin EN 14105 - 0,25 mm Logam Alkali Na + K EN 14108 EN 14109 - 5,0 mgkg Logam Alkali Tanah Ca + Mg EN 14538 - 5,0 mgkg Kadar Fosfat EN 14107 35 10,0 mgkg Universitas Sumatera Utara 11 Tabel 2.5 Spesifikasi biodiesel Amerika Serikat Biodiesel Standard ASTM D6751 [18] Sifat Metode Tes Batas Satuan Minimal Maksimal Kalsium, Magnesium kombinasi EN 14538 - 5 ppm μgg Titik Nyala D 93 130 130 °C Kadar Metanol EN 14110 - 0,2 mm Air dan Pengendapan D 2709 - 0,05 vv Viskositas Kinematik pada 40 o C D 445 1,9 6 mm 2 s Abu Tersulfonasi D 874 - 0,02 mm Sulfur S 15 Grade D 5453 - 0,0015 mm Sulfur S 500 Grade D 5453 - 0,05 mm Korosi Kepingan Tembaga D 130 - 3 No. Angka Setana D 613 47 - - Cloud Point D 2500 Dilaporkan °C Residu Karbon, 100 sampel D 4530 - 0,05 mm Bilangan Asam D 664 - 0,05 mg KOHg Gliserin Bebas D 6584 - 0,020 g I100 g Total Gliserin D 6584 - 0,240 mm Kadar Posfat D 4951 - 0,001 mm Distilasi – Suhu Atsmosferik 90 recovery D 1160 - 360 °C NatriumKalium, kombinasi EN 14538 - 5 ppm μgg Stabilitas Oksidasi EN 15751 - 3 jam Cold Soak Filtration Untuk pemakaian dibawah suhu -12 o C D 7501 - 360 detik Universitas Sumatera Utara 12 Tabel 2.6 Spesifikasi Biodiesel Indonesia Standar Nasional Indonesia SNI [19] Sifat Metode Tes Batas Satuan Minimal Maksimal Kadar Ester EN 14103 96,5 - mm Densitas pada 40 o C ASTM D- 1298 ASTM D-1452 850 890 kgm 3 Viskositas kinematik pada 40 o C ASTM D-445 2,3 6,0 mm 2 s Titik nyala ASTM D-93 100 - °C Kadar Sulfur ASTM D- 5453 ASTM D- 1266 ASTM D- 4294 ASTM D- 2622 - 100 mgkg Residu Karbon ASTM D- 4530 ASTM D-189 - 0,30 mm Angka Setana ASTM D-613 ASTM D- 6890 51 - - Abu Tersulfatkan ASTM D-874 - 0,02 mm Air dan Sedimen ASTM D- 2709 - 0,05 vv Kontaminasi Total EN 12662 - 24 mgkg Korosi Kepingan Tembaga 3 jam, 50 o C ASTM D-310 - 1 kelas Stabilitas Oksidasi EN 15751 - 360 menit Bilangan Asam EN 14104 - 0,5 mg KOHg Bilangan Iodin AOCS Ca 1- 25 - 115 g I100 g Gliserin Bebas AOCS Ca 14- 56 ASTM D- 6584 - 0,02 mm Total Gliserin AOCS Ca 14- 56 ASTM D- 6584 - 0,24 mm Kadar Fosfat AOCS Ca 12- 55 - 10,0 mgkg Universitas Sumatera Utara 13

2.3 ESTERIFIKASI