LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN BAHAN DAN PERALATAN PENGARUH DES BERBASIS CHCL : GLISEROL TERHADAP

20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian, Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan selama lebih kurang 6 bulan.

3.2 BAHAN DAN PERALATAN

3.2.1 Bahan Penelitian

Pada penelitian ini bahan yang digunakan antara lain: 1. Sludge Palm Oil SPO 2. Choline Chloride ChCl 3. Gliserol C 3 H 8 O 3 4. Aquadest H 2 O 5. Asam Sulfat H 2 SO 4 6. Natrium Hidroksida NaOH 7. Etanol C 2 H 5 OH 8. Phenolftalein C 20 H 14 O 4

3.2.2 Peralatan Penelitian

Pada penelitian ini peralatan yang digunakan antara lain : 1. Erlenmeyer 2. Saringan 3. Magnetic Stirrer 4. Hot Plate 5. Corong Pemisah 6. Beaker Glass 7. Gelas Ukur 8. Neraca Digital 9. Batang Pengaduk Universitas Sumatera Utara 21 10. Termometer 11. Corong Gelas 12. Pipet Tetes 13. Statif dan Klem 14. Stopwatch 15. Piknometer 16. Viskosimeter Ostwald 17. Karet Penghisap 18. Buret 19. Gabus

3.3 RANCANGAN PERCOBAAN

3.3.1 Pembuatan Deep Eutectic Solvent DES Berbasis ChCl : Gliserol [8] Pembuatan deep eutectic solvent DES yang berbasis ChCl : gliserol dilakukan pada kondisi temperatur 80 o C selama 2 jam dengan kecepatan pengadukan 400 rpm dan rasio molar ChCl : gliserol 1:2.

3.3.2 Reaksi Esterifikasi

Pembuatan biodiesel melalui reaksi esterifikasi bertujuan untuk menurunkan kadar FFA pada SPO dilakukan dengan variabel tetap berupa kecepatan pengadukan, suhu reaksi, waktu reaksi, rasio etanol : SPO, dan katalis asam sulfat. Tabel 3.1 menunjukka rancangan percobaan untuk tahap esterifikasi. Tabel 3.1 Rancangan Percobaan Tahap Esterifikasi

3.3.3 Reaksi Transesterifikasi Dua Tahap

Pembuatan biodiesel yang dilakukan melalui reaksi transesterifikasi ini merupakan hasil esterifikasi dengan variabel tetap berupa kecepatan pengadukan, suhu reaksi, waktu reaksi, rasio etanol : SPO, dan katalis NaOH, serta variabel bebas berupa jumlah DES. Tabel 3.2 menunjukkan rancangan percobaan reaksi transesterifikasi hasil esterifikasi. Run Etanol : SPO Mol Kecepatan Pengadukan rpm Suhu o C Waktu Reaksi jam Katalis H 2 SO 4 berat 1 6:1 400 70 1 4,6 Universitas Sumatera Utara 22 Tabel 3.2 Rancangan Percobaan Transesterifikasi Dua Tahap Run Etanol : SPO Mol Suhu o C Kecepatan Putaran rpm Waktu Reaksi jam Konsentrasi Katalis NaOH berat Konsentrasi DES berat 1 9 : 1 70 400 1 1 2 9 : 1 70 400 1 1 1 3 9 : 1 70 400 1 1 2 4 9 : 1 70 400 1 1 3 5 9 : 1 70 400 1 1 4 6 9 : 1 70 400 1 1 5

3.3.4 Reaksi Transesterifikasi Satu Tahap

Pembuatan biodiesel ini dilakukan melalui reaksi transesterifikasi tanpa esterifikasi dengan variabel tetap berupa kecepatan pengadukan, suhu reaksi, waktu reaksi, rasio etanol : SPO, dan katalis NaOH, serta variabel bebas berupa jumlah DES. Tabel 3.3 menunjukkan rancangan percobaan reaksi transesterifikasi hasil esterifikasi. Tabel 3.3 Rancangan Percobaan Transesterifikasi Satu Tahap Run Etanol : SPO Mol Suhu o C Kecepatan Putaran rpm Waktu Reaksi jam Konsentrasi Katalis NaOH berat Konsentrasi DES berat 1 9 : 1 70 400 1 1 1 2 9 : 1 70 400 1 1 2 3 9 : 1 70 400 1 1 3 4 9 : 1 70 400 1 1 4 5 9 : 1 70 400 1 1 5

3.4 PROSEDUR PENELITIAN

3.4.1 Proses Pembuatan Deep Eutectic Solvent DES Berbasis ChCl :

Gliserol 1. Choline Chloride dan gliserol dengan rasio molar tertentu dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditutup dengan gabus 2. Campuran dipanaskan di atas hot plate hingga mencapai suhu reaksi 80 o C dan sambil dihomogenkan menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan pengadukan 400 rpm selama 2 jam Universitas Sumatera Utara 23 3. Setelah homogen, campuran siap dianalisis dan digunakan sebagai co-solvent pada proses etanolisis

3.4.2 Persiapan Bahan Baku

Persiapan bahan baku SPO dilakukan dengan prosedur sebagai berikut [9]: 1. SPO disaring menggunakan saringan. 2. Filtrat ditampung untuk digunakan sebagai bahan baku, sedangkan residu dibuang. 3. Air pada filtrat diuapkan dengan pemanasan pada suhu 120-130 o C disertai dengan pengadukan 400 rpm menggunakan magnetic stirrer selama 1 jam. 4. Filtrat yang telah diuapkan disimpan dalam botol plastik dan ditutup serta dijauhkan dari sinar matahari sebelum digunakan.

3.4.3 Tahap Esterifikasi

Tahap esterifikasi untuk menurunkan kadar FFA dilakukan dengan prosedur sebagai berikut [9] : 1. SPO yang telah diberi perlakuan awal, etanol C 2 H 5 OH, dan asam sulfat H 2 SO 4 disiapkan dengan berat tertentu. 2. SPO yang sudah dipanaskan sebelumnya, dimasukkan ke dalam labu leher tiga sebanyak 25 gr. 3. Etanol dan asam sulfat dengan berat tertentu dimasukkan ke dalam labu leher tiga yang telah berisi SPO sambil diaduk dengan kecepatan pengadukan 400 rpm dan suhu reaksi 70 o C selama 1 jam. 4. Hot plate dimatikan dan campuran didinginkan hingga mencapai suhu kamar. 5. Setelah mencapai suhu kamar, campuran tersebut dimasukkan ke dalam corong pemisah dan didiamkan selama 12 jam sehingga terbentuk 2 lapisan. 6. Kedua lapisan yang terbentuk tersebut dipisahkan, dimana pada lapisan atas mengandung ester, crude etil ester, etanol sisa, FFA yang tidak bereaksi, dan sedikit katalis. Lapisan bawah mengandung air yang terbentuk saat reaksi esterifikasi, katalis, dan zat pengotor. Universitas Sumatera Utara 24 7. Lapisan bawah dipisahkan dengan cara membuka keran pada corong pemisah, sedangkan lapisan atas yang telah bebas dari lapisan bawah tetap berada dalam corong pemisah. 8. Lapisan atas dicuci dengan air hangat 50 o C sebanyak 50 cm 3 hingga diperoleh pH yang netral pada lapisan atas tersebut. 9. Lapisan atas yang telah dicuci tersebut dipanaskan hingga suhu 120 o C untuk menghilangkan air dan etanol yang tersisa pada saat pencucian. 10. Setelah esterifikasi dilakukan, kadar FFA dianalisis dengan metode AOCS Ca 5a-40.

3.4.4 Tahap Transesterifikasi

1. SPO yang telah diesterifikasi, etanol, katalis NaOH dan cosolvent deep eutectic solvents DES berbasis ChCl : gliserol disiapkan dengan berat tertentu. 2. SPO dengan berat 25 gr dimasukkan ke dalam labu leher tiga dan dipanaskan di atas hot plate hingga mencapai suhu reaksi 70 o C 3. Etanol, cosolvent DES, dan katalis NaOH dengan berat tertentu dimasukkan ke dalam labu leher tiga yang telah berisi SPO sambil diaduk dengan kecepatan pengadukan 400 rpm selama 1 jam 4. Hot plate dimatikan dan campuran didinginkan hingga mencapai suhu kamar 5. Campuran reaksi dimasukkan ke dalam corong pemisah dan dibiarkan hingga terbentuk 2 lapisan. 6. Lapisan bawah yang merupakan campuran gliserol, NaOH dan DES dipisahkan dari lapisan atas dengan cara dibuka keran corong pemisah sehingga lapisan bawah keluar dari corong pemisah dan terpisah dari lapisan atas. Lapisan atas yang telah bebas dari lapisan bawah tetap berada di dalam corong pemisah. 7. Air panas ditambahkan ke dalam corong pemisah yang berisi lapisan atas dan dikocok untuk mengekstrak pengotor yang masih ada hingga terbentuk kembali 2 lapisan. 8. Lapisan bawah yang terbentuk ini dibuang kembali dan perlakuan ini diulang beberapa kali hingga air cucian berwarna bening. Universitas Sumatera Utara 25 9. Lapisan atas yang merupakan etil ester dikeringkan. 10. Ditimbang etil ester yang telah kering dan dianalisis. 11. Prosedur di atas diulangi untuk variabel proses lainnya seperti yang telah dijelaskan pada rancangan percobaan.

3.5 SKETSA PERCOBAAN

3.5.1 Sketsa Percobaan Proses Pembuatan Deep Eutectic Solvent DES

Berbasis ChCl : Gliserol Gambar 3.1 Rangkaian Peralatan Pembuatan Deep Eutectic Solvent DES dari Choline Cloride dan Gliserol Keterangan gambar: 1. Termometer 2. Erlenmeyer 3. Heater 1 2 3 Universitas Sumatera Utara 26

3.5.2 Sketsa Percobaan Proses Pembuatan Biodiesel

Gambar 3.2 Rangkaian Peralatan Pembuatan Biodiesel dari SPO Secara Esterifikasi dan Transesterifikasi Menggunakan Katalis NaOH dan Deep Eutectic Solvent DES Berbasis ChCl : Gliserol sebagai Cosolvent 4 2 9 1 6 3 8 7 5 6. Refluks kondensor 7. Ember 8. Selang air masuk 9. Selang air keluar Keterangan gambar: 1. Statif dan klem 2. Stirrer 3. Termometer 4. Labu leher tiga 5. Heater Universitas Sumatera Utara 27

3.5.3 PROSEDUR ANALISIS

3.5.3.1 Analisis Kadar Free Fatty Acid FFA Bahan Baku SPO dengan Metode Tes AOCS Official Method Ca 5a-40 Untuk analisis kadar FFA bahan baku SPO sesuai dengan AOCS Official Method Ca 5a-40 dengan prosedur sebagai berikut 1. Bahan baku SPO sebanyak 7,05 ± 0,05 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer. 2. Ditambahkan etanol 95 sebanyak 75 ml. 3. Campuran dikocok kuat dan dilakukan titrasi dengan NaOH 0,25 N dengan indicator fenolftalein 3-5 tetes. Titik akhir tercapai jika warna larutan berwarna merah rosa dan warna ini bertahan selama 10 detik. Dimana: T = normalitas larutan NaOH V = volum larutan NaOH terpakai M = berat molekul FFA

3.5.3.2 Analisis Komposisi Bahan Baku SPO dan Biodiesel yang dihasilkan menggunakan GCMS

Komposisi bahan baku SPO serta biodiesel yang dihasilkan akan dianalisis menggunakan instrumen GCMS pada Laboratorium Pusat Penelitian Kelapa Sawit PPKS.

3.5.3.3 Analisis Viskositas Kinematik Biodiesel dengan Metode Tes ASTM D 445

Untuk menganalisis viskositas, digunakan metode tes ASTM D-445. Analisis ini menggunakan peralatan utama yaitu viskosimeter Ostwald tube tipe kapiler, karet penghisap dan stopwatch untuk menghitung waktu alir sampel di dalam viskosimeter. Prosedur analisis viskositas menggunakan metode tes ASTM D-445 adalah sebagai berikut : 1. Viskosimeter Otswald dikalibrasi dengan menggunakan air untuk menentukan konstanta viskosimeter. 2. Sampel sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam viskosimeter. Universitas Sumatera Utara 28 3. Sampel dihisap dengan karet penghisap hingga melewati batas atas viskosimeter. 4. Sampel dibiarkan mengalir ke batas bawah. 5. Waktu alir sampel dari batas atas hingga batas bawah dicatat. 6. Pengukuran waktu alir tersebut dilakukan sebanyak 3 kali. 7. Viskositas sampel dihitung dengan persamaan : viskositas sampel = k x s.g x t, dimana t adalah waktu.

3.5.3.4 Analisis Densitas Biodiesel dengan Metode Tes OECD 109

Prosedur analisis densitas dengan Metode Tes OECD 109 adalah sebagai berikut : 1. Piknometer kosong dikalibrasi dengan air untuk mengetahui volumenya. Densitas air diperoleh dari buku referensi pada suhu pengukuran. 2. Pikonometer diisi dengan sampel dan ditimbang massanya. 3. Densitas sampel dapat dihitung melalui persamaan : Universitas Sumatera Utara 29

3.6 FLOWCHART PENELITIAN

3.6.1 Flowchart Proses Pembuatan Deep Eutectic Solvent DES Berbasis

ChCl : Gliserol Gambar 3.3 Flowchart Proses Pembuatan Deep Eutectic Solvent DES Berbasis ChCl : Gliserol

3.6.2 Flowchart Tahap Persiapan Bahan Baku

Gambar 3.4 Flowchart Tahap Persiapan Bahan Baku Campuran dipanaskan di atas hot plate hingga mencapai suhu reaksi 80 o C dan sambil dihomogenkan menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan pengadukan 400 rpm selama 2 jam Choline chloride dan gliserol dengan rasio molar tertentu dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditutup dengan gabus Mulai Selesai Mulai SPO disaring menggunakan saringan Filtrat ditampung, residu dibuang Air pada filtrat diuapkan dengan pemanasan pada suhu 120-130 o C disertai dengan pengadukan 400 rpm menggunakan magnetic stirrer selama 2 jam. Filtrat yang telah diuapkan disimpan dalam botol plastik dan ditutup serta dijauhkan dari sinar matahari Selesai Universitas Sumatera Utara 30

3.6.3 Flowchart Tahap Esterifikasi

Ditambahkan etanol dan asam sulfat dengan berat tertentu ke dalam labu leher tiga yang telah berisi SPO Dimasukkan SPO yang telah dipanaskan sebanyak 25 gr ke dalam labu leher tiga Mulai Diaduk dengan kecepatan pengadukan 400 rpm dan suhu reaksi 70 o C selama 1 jam. Hot plate dimatikan dan campuran didinginkan hingga mencapai suhu kamar Dimasukkan campuran tersebut ke dalam corong pemisah dan dibiarkan selama 12 jam hingga terbentuk 2 lapisan. Dipisahkan lapisan bawah yang merupakan campuran air yang terbentuk saat reaksi esterifikasi, katalis, dan zat pengotor dari lapisan atas Ditambahkan air hangat 50 o C sebanyak 50 cm 3 ke dalam corong pemisah yang berisi lapisan atas A Tidak Apakah telah diperoleh pH netral pada lapisan yang telah dicuci tersebut? Universitas Sumatera Utara 31 Gambar 3.5 Flowchart Tahap Esterifikasi Ya Dipanaskan lapisan atas yang telah dicuci tersebut hingga mencapai suhu 120 o C Dianalisis kadar FFA setelah dilakukannya esterifikasi dengan metode AOCS Ca 5a-40. Selesai A Universitas Sumatera Utara 32

3.6.4 Flowchart Tahap Transesterifikasi

Dimasukkan etanol, cosolvent DES, dan katalis NaOH dengan berat tertentu kedalam labu leher tiga sambil diaduk dengan kecepatan pengadukan 400 rpm selama 1 jam Dimasukkan campuran reaksi ke dalam corong pemisah dan dibiarkan hingga terbentuk 2 lapisan. Dipisahkan lapisan bawah yang merupakan campuran gliserol, etanol, katalis NaOH dan cosolvent DES dari lapisan atas Ditambahkan air panas ke dalam corong pemisah yang berisi lapisan atas dan dikocok sehingga terbentuk kembali 2 lapisan Disiapkan SPO hasil esterifikasi, etanol, katalis NaOH dan cosolvent deep eutectic solvents DES dengan berat tertentu. Hot plate dimatikan dan campuran didinginkan hingga mencapai suhu kamar Mulai Dimasukkan SPO dengan berat 25 gr ke dalam labu leher tiga dan dipanaskan di atas hot plate hingga mencapai suhu reaksi 70 o C Dibuang kembali lapisan bawah dan perlakuan ini diulang beberapa kali hingga air cucian berwarna bening. Dikeringkan lapisan atas yang merupakan etil ester A Universitas Sumatera Utara 33 Gambar 3.6 Flowchart Tahap Transesterifikasi Selesai Ditimbang metil ester yang telah kering dan dianalisis Prosedur di atas diulangi untuk variabel proses lainnya seperti yang telah dijelaskan pada rancangan percobaan A Universitas Sumatera Utara 34 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 BAHAN BAKU SPO

4.1.1 Komposisi Bahan Baku Sludge Palm Oil SPO

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah sludge palm oil SPO. Komposisi FFA SPO yang digunakan diketahui dari analisis GC. Tabel 4.1 menunjukkan komposisi asam lemak dari SPO. Tabel 4.1 Komposisi FFA SPO No. Puncak Retention Time menit Komposisi Penyusun Komposisi bb 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 10,351 12,789 15,213 15,458 17,561 17,765 18,187 18,752 19,816 20,014 Asam Laurat C 12:0 Asam Miristat C 14:0 Asam Palmitat C 16:0 Asam Palmitoleat C 16:1 Asam Stearat C 18:0 Asam Oleat C 18:1 Asam Linoleat C 18:2 Asam Linolenat C 18:3 Asam Arakidat C 20:0 Asam Eikosenoat C 20:1 0,09 0,83 34,50 0,14 5,99 41,89 15,84 0,20 0,41 0,11 Berdasarkan data komposisi asam lemak SPO, maka dapat diketahui bahwa berat molekul FFA SPO adalah 272,1878 grmol, sedangkan berat molekul SPO dalam bentuk trigliserida adalah 854,6590 grmol. Dari hasil analisis GC tersebut, diketahui pula bahwa komposisi asam lemak jenuh SPO adalah 41,82 dan asam lemak tak jenuh sebesar 58,18. Sifat-sifat biodiesel dapat dipengaruhi oleh komposisi asam lemak dalam bahan baku yang akan digunakan, dimana degree of unsaturated DU dan long chain saturated factor LCSF berkonstribusi terhadap sifat-sifat biodiesel yang dihasilkan. Komposisi asam lemak dalam bahan baku tidak akan berubah selama proses transesterifikasi berlangsung dan komposisi tersebut sangat penting untuk mengestimasi beberapa parameter biodiesel, seperti stabilitas oksidasi, bilangan setana, bilangan iodin, dan cold filter plugging point CFPP [33]. Asam lemak jenuh dan berantai panjang berpengaruh terhadap peningkatan bilangan setana dan stabilitas oksidasi, sedangkan asam lemak tak jenuh dan berantai pendek dapat Universitas Sumatera Utara 35 meningkatkan viskositas dan karakteristik aliran pada saat suhu rendah, dimana kedua karakteristik ini sangat tidak diinginkan. Biodiesel dengan asam lemak jenuh yang tinggi akan memiliki freezing point yang lebih tinggi dibandingkan biodiesel dengan asam lemak tak jenuh yang tinggi. Sedangkan untuk bilangan setana, biodiesel dengan asam lemak tak jenuh yang tinggi akan memiliki bilangan setana yang rendah dan dapat mengurangi stabilitas oksidasi yang mengakibatkan mesin akan menghasilkan emisi NO x yang tinggi. Untuk mencapai karakteristik biodiesel yang sesuai, maka perbandingan antara asam lemak jenuh dan tak jenuh harus dijaga [34]. 4.1.2 Kadar Air dan FFA Sludge Palm Oil SPO Kadar air SPO yang digunakan dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode uji AOCS Ca 2c-25 sedangkan kadar FFA dianalisis dengan menggunakan metode uji AOCS Ca 5a-40. Tabel 4.2 menunjukkan kadar air dan FFA dalam SPO. Tabel 4.2 Kadar Air dan FFA SPO Kadar Persentase Air 0,02 FFA 7,5290 Kadar air merupakan sebuah komponen kecil yang ditemukan dalam semua bahan baku yang akan digunakan dalam menghasilkan biodiesel. Kadar air sendiri penting untuk diperhatikan sebab dapat memberikan dampak buruk terhadap yield yang dihasilkan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Ma, 2006, menyatakan bahwa selama reaksi transesterifikasi berlangsung, kehadiran air menyebabkan dampak buruk yang lebih besar dibandingkan dengan tingginya kadar FFA. Kadar air yang melebihi 0,05 dapat mengganggu proses transesterifikasi baik dengan katalis asam maupun basa, sebab air dapat bereaksi dengan katalis selama proses transesterifikasi sehingga dapat mengakibatkan terbentuknya sabun dan emulsi [35, 36, 37]. Adanya kandungan air dalam minyak juga dapat menyebabkan hidrolisis pada trigliserida dalam minyak yang mengakibatkan peningkatan kadar FFA dalam minyak [38]. Untuk penggunaan bahan baku biodiesel berkualitas rendah, kadar air dan kandungan FFA merupakan dua hal utama yang harus diperhatikan. Selain kadar Universitas Sumatera Utara 36 2 4 6 8 A B K ad ar F F A , A : SPO Sebelum Esterifikasi B : SPO Setelah Esterifikasi air, kandungan FFA yang melebihi 3 dalam bahan baku juga memicu terbentuknya sabun selama proses transesterifikasi berlangsung, sehingga dapat disimpulkan bahwa baik kadar air maupun FFA dapat membawa dampak buruk terhadap hasil reaksi transesterifikasi, sebab kedua hal tersebut dapat menyebabkan terbentuknya sabun, meningkatkan jumlah katalis yang diperlukan, menurunkan keefektifan katalis, serta rendahnya konversi dan yield [37, 39]. Dalam penelitian ini, SPO sebagai bahan baku dalam pembuatan biodiesel memiliki kadar air 0,05, namun memiliki kandungan FFA yang tinggi, sehingga perlu adanya tahap esterifikasi menggunakan katalis asam untuk menurunkan kadar FFA dan kemudian dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi menggunakan basa.

4.2 PENGARUH DES PADA PEMBUATAN BIODIESEL DARI SPO

Proses pembuatan biodiesel dari bahan baku SPO maupun bahan baku lain yang mengandung kadar FFA yang relatif tinggi pada umumnya dilakukan dalam dua tahap, yaitu esterifikasi dan kemudian dilanjutkan dengan transesterifikasi. Esterifikasi merupakan tahap pendahuluan dimana FFA akan bereaksi dengan katalis asam dan membentuk ester yang baru dengan tujuan untuk mengurangi kadar FFA dalam bahan baku tersebut. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan biodiesel dalam dua tahap yang akan digunakan sebagai pembanding terhadap proses satu tahap yang akan dikaji. Gambar 4.1 menunjukkan kadar FFA SPO sebelum dan sesudah esterifikasi. Gambar 4.1 Kadar FFA SPO Sebelum dan Sesudah Esterifikasi Universitas Sumatera Utara 37 Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa setelah dilakukannya esterifikasi terjadi penurunan kadar FFA SPO sebesar 3,4747. Dalam proses esterifikasi, katalis asam memprotonasi gugus karbonil pada minyak, yang menyebabkan terjadinya karbokation. Alkohol nukleofilik menyerang karbon positif dan membentuk tetrahedral intermediate yang mengeliminasi alkohol untuk membentuk ester yang baru. Hal ini yang menyebabkan terjadinya penurunan FFA setelah dilakukannya esterifikasi, dimana sebagian besar FFA dalam SPO telah terkonversi menjadi ester yang baru [40]. Setelah kadar FFA berkurang, maka dilanjutkan proses transesterifikasi menggunakan basa kuat. Reaksi transesterifikasi melibatkan 2 fasa yang tidak dapat bercampur. Fasa dengan densitas yang rendah adalah alkohol, dengan katalis terlarut dan yang kedua adalah minyak. Reaksi antara keduanya berlangsung secara interfacial antarmuka dimana katalis tidak larut pada fasa minyak. Oleh karena itu, pengadukan diperlukan untuk meningkatkan area kontak antara kedua fasa tersebut [41]. Selain pengadukan, penambahan cosolvent juga dapat dijadikan alternatif dalam meningkatkan area kontak antarfasa yang bertujuan untuk mengatasi keterbatasan kelarutan alkohol dengan minyak agar dapat terbentuk satu fasa [42]. Pada penelitian ini, biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi menggunakan DES berbasis ChCl : gliserol memberikan yield yang lebih baik dibandingkan dengan proses yang berlangsung tanpa menggunakan DES tersebut. Yield yang dicapai pada reaksi menggunakan DES berbasis ChCl : gliserol adalah sebesar 76,29 dengan kemurnian 99,5428. Hal ini tentu berbeda jauh dengan yield dan kemurnian yang didapatkan dari proses transesterifikasi tanpa menggunakan DES berbasis ChCl : gliserol, dimana yield dan kemurnian yang diperoleh adalah 57,60 dan 94,9351. Penambahan DES berbasis ChCl : gliserol sebagai cosolvent dalam proses transesterifikasi akan menyebabkan terbentuknya meniskus pada interfacial area antara minyak dengan etanol. Capillary forces adalah gaya tarik menarik yang terbentuk di area kontak antar partikel berdekatan. Capillary forces dapat dikatakan sebagai cara dimana salah satu fasa fluida dapat membentuk meniskus dalam fasa fluida lain. Capillary forces tidak hanya dapat diakibatkan oleh Universitas Sumatera Utara 38 terbentuknya meniskus, namun juga adanya capillary bridge oleh fluida di dalam fluida lain. Terbentuknya capillary bridge ini menimbulkan gaya tarik menarik di antar partikel adhesi dan mengurangi tegangan permukaan yang berada di sekitar meniskus. Tegangan permukaan dapat mempengaruhi transfer massa antar molekul [43, 44]. Minyak tidak larut dalam etanol akibat adanya gaya intermolekul kohesi yang kuat, namun setelah ditambahkan DES, DES akan bekerja pada interfacial area antara minyak dan etanol, membentuk meniskus dan capillary bridge, membuat gaya tarik menarik antar molekul minyak dan etanol, sehingga mengurangi surface tension dan mempercepat transfer massa dan dapat menjadi media reaksi antara etanol dan minyak.

4.2.1 Proses Pembuatan Biodiesel Secara Satu Tahap

Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab 4.2 bahwa penambahan DES berbasis ChCl : gliserol akan membentuk meniskus dan capillary bridge yang akan meningkatkan gaya tarik menarik antar molekul minyak dengan etanol dan mengurangi tegangan permukaan sehingga transfer massa antara etanol dengan minyak menjadi lebih cepat, maka dilakukanlah proses pembuatan biodiesel secara satu tahap tanpa esterifikasi terlebih dahulu dengan adanya DES yang berbasis ChCl : gliserol di dalam proses transesterifikasi dengan tujuan untuk mengkaji pengaruh DES tersebut di dalam proses tanpa esterifikasi. Gambar 4.2 menunjukkan hasil reaksi transesterifikasi tanpa DES yang berbasis ChCl : gliserol dan tanpa esterifikasi dengan hasil reaksi tanpa esterifikasi namun menggunakan DES yang berbasis ChCl : gliserol. Universitas Sumatera Utara 39 a b Gambar 4.2 Hasil Reaksi Transesterifikasi Tanpa Esterifikasi : a Tanpa DES b Dengan DES Dari Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa reaksi transesterifikasi tanpa DES dan tanpa melalui esterifikasi, terbentuk sabun dan emulsi, sedangkan untuk reaksi transesterifikasi dengan menggunakan DES berbasis ChCl : gliserol, terbentuk 2 lapisan yang terdiri dari lapisan etil ester dan lapisan gliserol. Etanolisis merupakan kedua proses transesterifikasi trigliserida dan esterifikasi asam lemak untuk menghasilkan fatty acid ethyl ester FAAE atau yang sering disebut biodiesel, dengan produk samping berupa gliserol maupun air [45]. Reaksi etanolisis adalah reaksi yang reversibel dan berurutan, dimana 1 mol etanol bereaksi dan 1 mol ester terbentuk pada setiap tahapnya. Jumlah alkohol yang berlebih dari jumlah stoikiometri yang seharusnya diperlukan untuk menggeser kesetimbangan reaksi ke arah pembentukan produk ester [46]. Selama proses produksi biodiesel berlangsung dengan menggunakan katalis basa, pembentukan sabun bisa terjadi karena terhidrolisisnya trigliserida. Selain itu, tidak larutnya alkohol dalam trigliserida sering mengakibatkan terbentuknya emulsi selama reaksi berlangsung, namun ketika etanol yang digunakan sebagai alkohol dalam reaksi tersebut, emulsi yang terbentuk tidak segera terpecah untuk membentuk dua lapisan yang terdiri dari lapisan etil ester pada bagian atas dan lapisan gliserol pada bagian bawah. Emulsi yang terbentuk dengan adanya penggunaan etanol merupakan emulsi yang sangat stabil sehingga mempersulit proses pemisahan dan pemurnian ester [47]. Universitas Sumatera Utara 40

4.2.2 Pengaruh Jumlah DES Berbasis ChCl : Gliserol terhadap Yield

Pada pembahasan dalam sub-bab 4.2.1 disebutkan bahwa proses etanolisis merupakan proses pembuatan biodiesel yang sangat rentan terhadap pembentukan emulsi dan emulsi yang terbentuk dalam proses etanolisis merupakan emulsi yang sangat stabil sehingga sulit terpecah untuk membentuk dua lapisan terhadap hasil reaksi. Dengan ditambahkannya DES berbasis ChCl : gliserol, maka kelemahan etanolisis tersebut dapat diatasi dan mampu memberikan yield dan kemurnian yang cukup tinggi, sehingga dalam penelitian ini dilakukan variasi jumlah DES berbasis ChCl : gliserol untuk memperoleh jumlah DES yang tepat. Gambar 4.3 menunjukkan pengaruh jumlah DES berbasis ChCl : gliserol terhadapa yield yang dihasilkan. Gambar 4.3 Pengaruh Jumlah DES Berbasis ChCl : Gliserol terhadap Yield Biodiesel Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa yield yang dihasilkan dalam pembuatan biodiesel secara satu tahap mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya konsentrasi DES berbasis ChCl : gliserol selama reaksi berlangsung. Yield tertinggi yang diperoleh dalam penelitian ini dicapai pada saat konsentrasi DES berbasis ChCl : gliserol yang ditambahkan adalah sebesar 4, dimana yield yang dihasilkan adalah sebesar 83,19 dengan kemurnian produk mencapai 99,5537. Dengan adanya penambahan DES dalam proses transesterifikasi dapat meminimalisir terjadinya reaksi saponifikasi sebab etil ester yang terbentuk dari reaksi transesterifikasi tersebut tidak larut dalam campuran DES dan etanol, 20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 Y ie ld Jumlah DES Universitas Sumatera Utara 41 sehingga kontak langsung antara etil ester dan NaOH berkurang serta etil ester sebagai hasil reaksi membentuk 1 lapisan tersendiri [8]. Hal ini menyebabkan proses transesterifikasi dalam satu tahap dapat berlangsung dengan baik dan menghasilkan yield yang tinggi walaupun tidak melalui tahap esterifikasi terlebih dahulu. Selain itu, untuk menghasilkan biodiesel dengan yield serta kemurnian yang tinggi tidak diperlukan waktu yang lama meskipun bahan baku yang digunakan mengandung kadar FFA yang cukup tinggi dengan adanya penambahan DES berbasis ChCl : gliserol tersebut.

4.3 PENGARUH DES BERBASIS CHCL : GLISEROL TERHADAP

PROSES PEMURNIAN BIODIESEL Gambar 4.4 menunjukkan pengaruh jumlah DES berbasis ChCl : gliserol terhadap kemurnian biodiesel yang dihasilkan. Gambar 4.4 Pengaruh Jumlah DES Berbasis ChCl : Gliserol terhadap Kemurnian Biodiesel Dari Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa kemurnian yang dihasilkan dalam pembuatan biodiesel secara satu tahap meningkat seiring dengan penambahan DES berbasis ChCl : gliserol. Kemurnian tertinggi diperoleh pada saat DES berbasis ChCl : gliserol yang ditambahkan ke dalam proses transesterifikasi adalah sebesar 4, dimana kemurniannya mencapai 99,55. Kemurnian tersebut dianalisis dengan menggunakan GC setelah dilakukan pemurnian terhadap hasil reaksi. Proses pemisahan fasa etil ester-gliserol hasil reaksi berlangsung dalam waktu yang cukup singkat dengan adanya penambahan DES berbasis ChCl : 80 85 90 95 100 1 2 3 4 5 K ad ar Jumlah DES Universitas Sumatera Utara 42 gliserol ke dalam proses transesterifikasi. Proses pemisahan fasa estl ester-gliserol antara hasil reaksi dua tahap dengan DES berbasis ChCl : gliserol dan hasil reaksi satu tahap dengan DES tersebut ditunjukkan dalam Gambar 4.5. a b Gambar 4.5 Proses Pemisahan Fasa Etil Ester dengan Gliserol : a Tanpa DES b Dengan DES Dari Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa hasil reaksi transesterifikasi setelah didiamkan selama 5 menit membentuk 3 lapisan lapisan ester, lapisan emulsi, dan lapisan gliserol untuk reaksi transesterifikasi tanpa menggunakan DES dan untuk hasil reaksi transesterifikasi menggunakan DES membentuk 2 lapisan lapisan ester dan lapisan gliserol. Kedua hasil reaksi ini didiamkan lagi selama 1½ jam di dalam corong pemisah kemudian diamati kembali. Setelah dibiarkan selama 1½ jam, hasil reaksi tanpa DES akhirnya membentuk 2 lapisan, dimana pada lapisan atas mengandung ester, monogliserida, dan digliserida, serta lapisan bawah mengandung gliserol. Produksi biodiesel biasanya diikuti dengan pembentukan sabun dan dapat pula menghasilkan air bila menggunakan bahan baku yang berkualitas rendah, sehingga untuk bahan baku tersebut harus diturunkan terlebih dahulu kadar airnya agar tidak terjadi proses hidrolisis antara lemak dan minyak menjadi FFA. Adanya FFA dapat memicu terbentuknya sabun dan mengganggu proses pemurnian [48]. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan DES berbasis choline chloride dan gliserol yang merupakan campuran dengan daya tarik satu sama yang lain yang kuat, yang diakibatkan oleh kekuatan dari ikatan hidrogen yang terbentuk, dimana choline chloride memiliki daya tarik yang kuat terhadap gliserol, sehingga dapat dipakai untuk mengikat gliserol berlebih, dan daya tarik Universitas Sumatera Utara 43 dari DES untuk alkohol juga dapat mengambil alkohol dari lapisan biodiesel [49]. Hal ini yang menyebabkan kemurnian yang dihasilkan dari proses transesterifikasi satu tahap menggunakan DES berbasis ChCl : gliserol lebih tinggi dibandingkan dengan hasil reaksi proses transesterifikasi dua tahap tanpa menggunakan DES tersebut.

4.4 PENGARUH PENAMBAHAN DES BERBASIS CHCL : GLISEROL