1. 4. Gambaran patologi 1. 5. Faktor risiko 1. 5. 1. Penyakit ginjal kronik

Pemberian media kontras dapat menginduksi perubahan-perubahan terhadap efek sistemik, yaitu oksigenasi pada jaringan ginjal, gangguan ventilasi-perfusi paru, penurunan curah jantung dan perfusi ginjal, mengubah reologi darah serta meningkatkan asosiasi oksigen-hemoglobin Heyman dkk, 2008. Gambar 2. Patogenesis terjadinya CIN Gleeson dkk, 2004.

II. 1. 4. Gambaran patologi

Karakterisitik lesi pada ginjal yang mengalami CIN adalah vakuolisasi sel tubular proksimal osmotic nephrosis. Heyman dkk 2007 melakukan 211 biopsi ginjal setelah hari ketujuh pada pasien yang mendapat media kontras saat urography atau arteriography, ginjal akan mengalami osmotic nephrosis pada 47 kasus. Bentuk osmotic nephrosis yang difus lebih banyak terjadi pada penyakit ginjal berat sedangkan bentuk yang fokal terjadi pada gangguan ginjal yang ringan atau penderita dengan fungsi ginjal yang normal sebelumnya. Vakuola tidak dibentuk dari endositosis tetapi dari invaginasi membran sel. Hal ini menunjukkan bahwa media kontras pada daerah paraselular dapat menyebabkan kerusakan membran. Struktur histokima menunjukkan vakuola ini terdiri dari aktifitas asam fospat. Vakuola tubular proksimal merupakan petanda adanya paparan media kontras daripada terjadinya CIN .

II. 1. 5. Faktor risiko

Identifikasi terhadap pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya CIN sangat penting dilakukan. Faktor-faktor risiko tersebut dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi Shoukat dkk, 2010; Mehran dkk, 2006; Barret dkk, 2006; Gami dkk, 2004. Universitas Sumatera Utara Tabel 4. Faktor risiko terjadinya CIN Shoukat dkk, 2010.

II. 1. 5. 1. Penyakit ginjal kronik

Studi-studi yang ada sebelumnya menyatakan bahwa penyakit ginjal kronik dan peningkatan kreatinin serum merupakan faktor risiko terpenting dalam menimbulkan CIN Mehran dkk,2006. Insiden CIN pada penderita dengan penyakit ginjal kronik cenderung tinggi berkisar antara 14,8 sampai 55 Ultramari dkk, 2006. Suatu studi yang dilakukan oleh Gruberg dkk 2001 pada 439 penderita yang menjalani intervensi koroner dengan menggunakan kontras media non-ionic dengan nilai kreatinin serum dasar ≥ 1,8 mgdL, dan didapatkan bahwa CIN terjadi pada sepertiga kasus. Semakin tinggi nilai kreatinin serum awal maka resiko untuk terjadi CIN akan semakin besar, penderita dengan kreatinin serum dasar 1,5 mgdL resiko CIN hanya 2 namun pada penderita dengan kreatinin serum dasar 2 mgdL resiko CIN dapat mencapai hingga 20, terutama apabila penderita juga menderita DM Meschi dkk, 2006; Mehran dkk, 2006; Brinker dkk, 2005. Namun nilai kreatinin serum saja tidak cukup untuk mengidentifikasi penderita dengan resiko tinggi terjadinya CIN. Hal ini oleh karena nilai kreatinin serum bervariasi sesuai umur, dipengaruhi massa otot dan gender Mehran dkk, 2006. Beberapa studi menunjukkan bahwa nilai GFR 60 mlmin1,73 m2 adalah batas untuk menetukan penderita mana yang dengan risiko tinggi untuk terjadinya CIN, hal ini menyebabkan perhitungan GFR lebih direkomendasikan sebelum Universitas Sumatera Utara terpapar kontras media untuk penilaian CIN Mehran dkk, 2006. Terdapat hubungan antara nilai kreatinin serum dengan GFR, pada penderita yang menunjukkan nilai kreatinin serum dua kali lipat lebih tinggi biasanya merupakan respon dari penurunan GFR hampir 50 Finn, 2006. Gambar 3. Hubungan antara nilai GFR dengan kreatinin serum Finn, 2006. Gambar 4. Resiko terjadinya CIN sesuai dengan stadium PGK Finn, 2006.

II. 1. 5. 2. Diabetes mellitus