lestari. Petani harus mengetahui peran pengetahuan lokal secara ekonomi, ekologi dan sosial. Secara ekonomi pengetahuan lokal berperan dalam membantu petani
untuk menggunakan cara terbaik dalam pengelolaan hutan rakyat sehingga hasil tanamannya meningkat, secara ekologi pengetahuan lokal dapat membantu petani
dalam menentukan cara mempertahankan kesuburan tanah, menjaga lahan dari longsor dan mencegah banjir agar pengelolaan hutan rakyat menjadi lestari. Dari
segi sosial pengetahuan lokal berperan dalam rangka menjaga kebersamaan dan sikap saling menghargai dan menolong antar petani sehingga persaudaraan
diantara mereka tetap kokoh dan untuk mempertahankan kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat.
Penelitian ini difokuskan pada pengelolaan hutan rakyat yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah kebon. Berbagai jenis kebon yang diusahakan
antara lain kebon campuran dan kebon monokultur. Kebon campuran yaitu kebon yang ditanami dengan berbagai kombinasi tanaman yaitu tanaman utama berupa
karet, tanaman kombinasinya yaitu padi, pisang dan tanaman pertanian. Di setiap sisi lahannya petani memanfaatkannya dengan menanam beberapa pohon jengjen
ataupun buah-buahan. Sedangkan kebon monokultur yaitu kebon yang ditanami satu jenis tanaman yaitu karet ataupun jengjen.
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mendeskripsikan pengetahuan lokal petani tentang pengelolaan hutan rakyat.
2. Untuk mendeskripsikan perubahan pengetahuan lokal petani.
3. Untuk mendeskripsikan peran pengetahuan lokal petani dalam
pengelolaan hutan yang memperhatikan kelestarian ekosistem. Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjadi sumber informasi bagi Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah
PKT pada khususnya dan instansi lain yang memerlukan pada umumnya, dalam melakukan penyuluhan kepada petani hutan rakyat agar
hasil yang diperoleh petani dari hutan rakyatnya meningkat.
2. Untuk mendokumentasikan pengetahuan yang ada dalam masyarakat agar
tidak hilang sehingga dapat dipelajari oleh orang-orang yang memerlukannya.
3. Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya dibidang social forestry
yang berkenaan dengan pengetahuan lokal masyarakat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat
Hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, oleh karena itu hutan rakyat juga disebut
hutan milik. Hutan rakyat ini di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari total ini tetap penting karena selain fungsinya untuk perlindungan tata air pada lahan-
lahan masyarakat, juga penting bagi pemiliknya sebagai sumber penghasil kayu maupun sumber pendapatan rumah tangga, disamping hasil-hasil lain seperti
buah-buahan, daun, kulit kayu, biji dan sebagainya Suharjito, 2000 Dalam UU No.411999, hutan rakyat dimaksudkan sebagai hutan yang
tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi tersebut diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang
tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-
ketentuan atau aturan-aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal masyarakat hukum adat.
Pengertian hutan rakyat seperti itu menimbulkan konsekuensi- konsekuensi. Pertama, hutan-hutan yang tumbuh di atas tanah adat dan dikelola
oleh keluarga-keluarga petani sebagai anggota suatu kelompok masyarakat adat diklaim oleh pemerintah sebagai hutan negara dan tidak termasuk hutan rakyat.
Kedua, hutan-hutan yang tumbuh di atas tanah milik dan diusahakan oleh orang- orang kota yang menyewa atau membeli tanah masyarakat lokal masih dapat
dikategorikan sebagai hutan rakyat. Dengan demikian, pengertian di atas mempertentangkan hutan rakyat dan hutan negara dilihat berdasarkan status
kepemilikan tanahnya atau sifat dari obyek tanah dan hutan, bukan berdasarkan pelakunya atau subyek yang mengelola hutan. Dalam undang-undang tersebut
juga secara implisit disebutkan tentang hutan dengan status hak guna usaha. Hutan rakyat merupakan hutan buatan, melalui tanaman kehutanan
tanaman keras dilahan milik baik secara perseorangan, marga maupun kelompok Rachmatullah, 2004. Pengelolaan hutan rakyat pada umumnya masih dikelola
secara tradisional dan diusahakan dengan cara sederhana, lebih mengandalkan alam, teknik budidaya sederhana serta kurang memperhatikan kelestarian hasil
kontinuitas produksi. Pengusahaan hutan rakyat sebagian besar masih bersifat sampingan dan dianggap sebagai tabungan untuk keperluan mendesak.
Menurut Purwanto dkk 2004, secara umum ada beberapa karakteristik hutan rakyat antara lain :
1. Luas lahan rata-rata yang dikuasai sempit.
2. Pada umumnya petani berlahan sempit menanam kayu-kayuan dengan
tanaman lainnya dengan pola tumpangsari, campuran agroforestri, sedangkan petani berlahan luas yang komersil memungkinkan
pengembangan hutan rakyat dengan sistem monokultur. 3.
Tenaga kerja yang digunakan berasal dari dalam keluarga. 4.
Skala usaha kecil 5.
Kontinyuitas dan mutu kayu kurang terjamin. 6.
Beragamnya jenis tanaman dengan daur yang tidak menentu atau beragam. 7.
Kayu dalam hutan rakyat tidak diposisikan sebagai andalan pendapatan rumah tangga petani
tetapi dilihat sebagai ”tabungan” yang segera dapat dijual pada saat dibutuhkan.
8. Teknik silvikultur sederhana dan memungkinkan pengembangan dengan
biaya rendah, meskipun hasilnya kurang optimal. Namun kontinyuitas hasil dalam horizon waktu dan penyebaran resiko menjadi pilihan bagi
petani kecil. 9.
Keputusan pemanfaatan lahan untuk hutan rakyat seringkali merupakan pilihan terakhir apabila pilihan lainnya tidak memungkinkan.
10. Kayu tidak memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi
sehari-hari, membutuhkan waktu lama sehingga pendapatan dari kayu rakyat merupakan pendapatan sampingan dalam pendapatan rumah tangga
petani. 11.
Usaha hutan rakyat merupakan usaha yang tidak pernah besar tetapi tidak pernah mati.
12. Instansi dan organisasi yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat cukup
banyak tetapi tidak ada satupun yang bertanggung jawab penuh atas kelangsungan hutan rakyat.
13. Perundangan, kebijakan, tata nilai, tata prilaku dan sebagainya belum
optimal mendukung pengembangan hutan rakyat. Hasil kajian yang dilakukan oleh Martin et al. dalam Winarno dan Waluyo
2007, status perkembangan hutan rakyat di Propinsi Sumatera Selatan terdapat 3 tiga pola pengelolaan hutan rakyat diantaranya yaitu hutan rakyat tradisional
yang merupakan hutan rakyat yang dikembangkan secara turun-temurun oleh beberapa kelompok masyarakat asli di Sumsel, seperti Kebun Bambang dan
Benuaran Durian di Kabupaten Lahat, Kebun Duku di Kabupaten OKI, OKU, Lahat, Muara Enim dan MUBA. Ciri utama hutan rakyat tradisional adalah
menggunakan jenis tanaman dan teknik budidaya yang diwariskan turun menurun.
Menurut Awang 2004 dalam banyak literatur hutan rakyat dikenal dengan istilah farm forestry. Hutan rakyat adalah hutan yang mempunyai ciri
kegiatan penanaman pohon atau tanamannya dilaksanakan di atas lahan milik rakyat. Walaupun demikian kegiatan ini dapat juga dilaksanakan di atas lahan
negara yang diperuntukkan untuk kegiatan penanaman pohon yang manfaatnya untuk masyarakat. Hutan rakyat terdiri dari dua jenis, yaitu hutan rakyat bersifat
swadaya dan hutan rakyat dengan tujuan komersial.
2.2 Kebudayaan