Studi tentang Deindustrialisasi TINJAUAN PUSTAKA

105 impor bahan baku dalam PDB tidak memiliki hubungan jangka panjang dengan kontribusi sektor industri dalam PDB. Hasil analisis Jakti dan Suwarman 2005 menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia belum mencapai tahap perekonomian sangat maju, yang dicirikan dengan belum tercapainya suatu tingkat pendapatan per kapita titik balik turning point yaitu suatu titik dimana peningkatan pendapatan per kapita selanjutnya justru akan menurunkan kontribusi sektor industri dalam PDB. Berdasarkan temuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa proses deindustrialisasi di Indonesia beberapa tahun terakhir bukanlah dampak alamiah dari keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia, melainkan lebih disebabkan oleh berbagai goncangan shock terhadap sistem perekonomian. Jakti dan Suwarman 2005 merekomendasikan perlunya kebijakan yang bersifat komprehensif guna mengatasi sejumlah goncangan terhadap perekonomian, yang mendorong terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, sejumlah goncangan shock tersebut adalah anjloknya total investasi kapital PMTDB, menurunnya kinerja ekspor produk industri Indonesia di pasar internasional, membanjirnya impor produk industri di pasar domestik, serta menurunnya impor barang modal. Guna menghadapi perdagangan dunia yang semakin bebas, perlu upaya peningkatan daya saing industri domestik. Diantara upaya yang harus dilakukan adalah mendorong peningkatan kualitas produk, peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi, penghapusan ekonomi biaya tinggi, penanganan distorsi di pasar tenaga kerja, serta pemberantasan impor illegal produk-produk industri. Dalam jangka panjang harus ada kebijakan yang mendorong upaya peningkatan kinerja 106 industri domestik, yang antara lain : 1 kebijakan peningkatan pengembangan IPTEK melalui kegiatan penelitian dan pengembangan RD; 2 kebijakan pengembangan subsektor industri yang berbasis pada bahan baku domestik; serta 3 kebijakan pengembangan subsektor industri barang modal dalam negeri yang mampu mendukung peningkatan teknologi produksi industri nasional supporting industry. Sementara untuk jangka pendek, perlu adanya kebijakan yang mendorong program peremajaan mesin-mesin dan peralatan produksi industri domestik yang sudah “kadaluarsa”. Upaya peremajaan mesin-mesin dan peralatan produksi dalam jangka pendek tersebut bisa dilakukan dengan kebijakan yang menunjang impor barang modal. Sementara itu, Rowthorn dan Ramaswamy 1997 menggunakan analisis regresi untuk menghitung dampak berbagai faktor pada pangsa tenaga kerja industri pada beberapa kelompok negara industri. Model yang dikembangkannya mengikuti pendekatan umum yang digunakan oleh Rowthorn dan Wells 1987 yang telah dimodifikasi untuk melihat pengaruh pembentukan kapital dan perdagangan utara-selatan. Data yang digunakan adalah tahun 1963, 1970, 1975, 1980, 1985, 1990 dan 1994 yang mencakup 21 dari 23 kelompok negara-negara industri dalam World Economic Outlook yang berhubungan dengan kelompok negara-negara OECD. Variabel terikat yang digunakan dalam regresi adalah pangsa dalam persen tenaga kerja sipil sektor industri yang diperoleh dari OECD Historical Statistics. Berbagai variabel bebas digunakan. Untuk menangkap pengaruh pembangunan ekonomi pada struktur tenaga kerja, semua persamaan menggunakan log dan log kuadrat untuk pendapatan per kapita real, yang dikonversi pada nilai 1986 dolar US purchasing power parities PPP dalam database IMF World Economic Outlook. Variabel perdagangan mengacu pada 107 ekspor atau impor produk-produk industri dalam nilai dolar saat ini yang dinyatakan dalam persentase terhadap PDB dengan nilai dolar pada PPP. Untuk menghitung pengaruh perdagangan secara menyeluruh pada masing- masing negara, Rowthorn dan Ramaswamy 1997 menggunakan variabel ekspor dan impor produk industri total suatu negara. Untuk mengidentifikasi pengaruh khusus yang muncul dari perdagangan utara-selatan, Rowthorn dan Ramaswamy 1997 memisahkan variabel untuk perdagangan antar kelompok negara-negara industri dan kelompok negara-negara berkembang. Statistik perdagangan diambil dari database UNCTAD. Variabel bebas lainnya adalah pembentukan modal tetap bruto PMTB sebagai persentase dari PDB pada harga konstan dan persentase laju pengangguran. Terakhir, beberapa regresi menggunakan variabel dumy untuk negara atau tahun. Hasil penelitian Rowthorn dan Ramaswamy 1997, menunjukkan bahwa variabel pendapatan tidak signifikan secara statistik. Pada sisi lain, variabel neraca perdagangan selalu signifikan. Hasil ini menunjukkan bahwa perbedaan internasional dalam pangsa tenaga kerja industri utamanya disebabkan oleh pola spesialisasi perdagangan, sebagaimana ditunjukkan oleh neraca perdagangan produk industri. Hasil penelitian Rowthorn dan Ramaswamy 1997, juga menunjukkan bahwa variabel-variabel seperti log PDB, log PDB kuadrat, neraca perdagangan total, total ekspor, total impor, ekspor ke negara-negara Selatan, impor dari negara- negara Selatan dan variabel-variabel dumy berpengaruh signifikan pada pangsa tenaga kerja sektor industri. Koefisien pendapatan menunjukkan bahwa pangsa tenaga kerja sektor industri akan mencapai puncaknya pada saat pendapatan per 108 kapita sebesar 8 185 +- 990 yang diukur dalam dolar US tahun 1986. Ketika perekonomian mencapai angka tersebut, maka pertumbuhan selanjutnya akan menyebabkan pangsa tenaga kerja sektor industri turun. Sementara itu, koefisien neraca perdagangan menunjukkan bahwa penurunan 1 persen rasio net ekspor sektor industri terhadap PDB akan menyebabkan pangsa tenaga kerja sektor industri menurun sebesar 0.44 persen. Estimasi sebelumnya menyatakan bahwa perdagangan dapat mempengaruhi tenaga kerja sektor industri domestik hanya melalui suatu perubahan dalam neraca perdagangan, sehingga perubahan yang sama baik ekspor maupun impor tidak mempunyai pengaruh pada struktur tenaga kerja domestik. Wood 1994, 1995 menjawab preposisi ini dengan menggunakan kasus perdagangan utara-selatan. Ia berargumen bahwa impor produk-produk yang padat tenaga kerja ke Utara dari negara-negara berkembang akan menghancurkan lebih banyak pekerjaan daripada membangkitkan ekspor produk-produk padat keterampilan oleh negara-negara Utara. Selanjutnya, suatu keseimbangan dalam perdagangan utara-selatan akan menurunkan tenaga kerja di Utara, sebab banyak pekerjaan dengan keterampilan rendah yang hilang akibat bersaing dengan produk impor sehingga industri akan kelebihan pekerjaan-pekerjaan baru yang tercipta dalam sektor ekspor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perdagangan utara-selatan nampaknya bukan merupakan faktor utama di balik penurunan tenaga kerja sektor industri di negara- negara maju. Pengaruh penting pada komposisi permintaan adalah laju pembentukan modal. Mayoritas pengeluaran investasi termasuk pembelian produk-produk industri seperti bangunan pabrikasi, bahan-bahan konstruksi dan produk-produk tahan lama. Laju investasi yang tinggi tercermin pada pangsa sektor industri baik 109 dalam output maupun tenaga kerja. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Rowthorn dan Ramaswamy 1997, yang menunjukkan bahwa variabel investasi selalu signifikan berpengaruh pada pangsa tenaga kerja sektor industri bahkan ketika dumy waktu dimasukkan dalam persamaan. Banyak penelitian yang mencoba untuk menjelaskan penurunan pangsa tenaga kerja industri seperti penelitian Sachs dan Schatz 1994, Wood 1994, 1995 dan Saeger 1996, umumnya sepakat bahwa faktor-faktor internal berpengaruh dalam terjadinya deindustrialisasi. Di samping itu, juga terdapat faktor-faktor eksternal seperti pertumbuhan perdagangan utara-selatan yang dapat memainkan peranan yang signifikan dalam percepatan penurunan tenaga kerja sektor industri. Peranan faktor-faktor eksternal lebih banyak ditekankan dalam penelitian Wood 1994 yang mengatakan bahwa impor produk-produk industri dari negara-negara berkembang adalah padat tenaga kerja, dan menggantikan banyak pekerja di negara-negara maju. Walaupun terjadi peningkatan neraca perdagangan utara-selatan, dalam kondisi seperti ini akan mengurangi tenaga kerja sektor industri di negara-negara utara karena hilangnya pekerjaan-pekerjaan berketerampilan rendah karena harus bersaing dengan produk impor sehingga menciptakan kelebihan pekerjaan baru yang padat keterampilan. Rowthorn dan Ramaswamy 1998 melakukan penelitian untuk menjelaskan deindustrialisasi. Temuan utamanya adalah deindustrialisasi utamanya disebabkan oleh faktor-faktor internal di negara-negara maju seperti kombinasi pengaruh dari interaksi antara pergeseran dalam pola perminaan industri dan jasa, pertumbuhan yang lebih cepat produktivitas di sektor industri dibandingkan dengan jasa, dan berhubungan dengan turunnya harga relatif produk-produk industri. Hasil regresi 110 menunjukkan bahwa perdagangan utara-selatan mempunyai kontribusi yang relatif kecil pada penurunan tenaga kerja sektor industri di negara-negara maju. Selanjutnya, kompetisi dari produsen berupah rendah mempunyai pengaruh yang kecil pada seluruh volume output industri di negara-negara maju. Choi 2005 melakukan penelitian untuk menginvestigasi pengaruh deindustrialisasi dan kesejahteraan akibat bantuan infrastruktur di negara-negara berkembang. Dalam jangka pendek, penghematan biaya bantuan infrastruktur pada sektor-sektor ekspor meningkatkan tingkat upah domestik, sementara itu bantuan yang sama dalam sektor impor menurunkan tingkat upah domestik. Biaya produk- produk yang tidak diperdagangkan meningkat ketika sektor ekspor atau impor menerima bantuan infrastruktur. Bantuan infrastruktur dalam sektor yang tidak diperdagangkan tidak mempunyai pengaruh pada harga-harga faktor domestik. Penghematan tenaga kerja bantuan infrastruktur menyebabkan perluasan sektor ekspor, sementara penghematan modal bantuan infrastruktur menghasilkan pengaruh Dutch Disease dalam sektor ekspor. Jika bantuan di bawah tingkat optimal, bantuan infrastruktur meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan konsumen. Choi 2005 juga menambahkan bahwa bantuan infrastruktur menurunkan biaya produksi dan membuat industri yang ditargetkan menjadi lebih kompetitif. Hal ini dapat memperbaiki efisiensi produksi juga membutuhkan penyesuaian jangka panjang dalam output, tetapi penyesuaian output tidak tergantung pada industri mana bantuan ditargetkan. Pengaruh output akibat penghematan tenaga kerja bantuan infrastruktur hampir sama dengan peningkatan dalam dukungan tenaga kerja. Selanjutnya, penghematan tenaga kerja bantuan infrastruktur menyebabkan perluasan pada sektor pertanian yang padat tenaga kerja, dan penyusutan atau deindustrialisasi pada sektor industri. Pada sisi yang 111 lain, penghematan modal infrastruktur menyebabkan Dutch Disease atau deagrokulturasi pada sektor ekspor tetapi perluasan pada sektor industri yang padat modal. Krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan sektor industri khususnya sektor industri non-migas Indonesia mengalami tekanan yang cukup berat. Wie 2000 melakukan penelitian untuk melihat dampak krisis ekonomi terhadap perekonomian dan sektor industri Indonesia. Krisis ekonomi menyebabkan GDP Indonesia pada tahun 1998 mengalami kontraksi sebesar 13.7 persen. Dari sembilan sektor ekonomi, hanya dua sektor yang masih mencatat pertumbuhan positif yaitu sektor pertanian 0.2 persen dan sektor listrik, gas dan air 3.7 persen. Sektor industri sendiri mengalami kontraksi sebesar 12.9 persen. Untuk melihat dampak krisis ekonomi terhadap sektor industri, Wie 2000 melihatnya pada dampak terhadap output, dampak pada perusahan industri skala menengah besar, dampak pada tenaga kerja industri skala menengah besar, dampak pada utilisasi industri skala menengah besar, dampak pada industri rumah tangga dan industri kecil, dampak pada pembentukan kapital, dampak pada ekspor produk- produk industri dan dampak pada kinerja industri.

2.5. Studi tentang Peranan Sektor Industri

Pada subbab 2.4 telah dijelaskan berbagai studi tentang deindustrialisasi, dengan fokus utama membahas faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses deindustrialisasi. Pada subbab ini penjelasan lebih difokuskan pada tinjauan studi tentang peranan sektor industri secara umum dan sektor industri yang dikelompokkan menjadi industri berskala kecil, menengah dan besar. 112 Akita 1991 melakukan studi dengan tujuan menjelaskan perubahan sumber- sumber pertumbuhan industri dan struktur produksi yang terjadi sejak tahun 1970 dan untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah yang efektif dalam mengubah struktur ekonomi di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan analisis input-output dengan menggunakan Tabel Input-Output 1971, 1975, 1980 dan 1985. Periode studi dibagi menjadi tiga subperiode : 1 1971 – 1975; 2 1975 – 1980; dan 3 1980 – 1985. Akita 1991 menggunakan metode dekomposisi faktor yang diusulkan oleh Chenery untuk mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan industri dari sisi permintaan untuk tiap periode, perhatian khusus ditujukan untuk mengetahui perubahan sumber-sumber pertumbuhan industri antara periode pertumbuhan yang cepat 1971 – 1980 dan periode pertumbuhan yang lambat 1980 – 1985. Metode dekomposisi faktor diperluas, perubahan output karena permintaan akhir domestik selanjutnya diuraikan menjadi perubahan karena setiap permintaan akhir domestik sektor, seperti : konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Selanjutnya studi ini menggunakan dekomposisi rata-rata sederhana menggunakan ukuran tahun dasar dan tahun akhir dari matriks invers Leontief. Dalam analisis input- output ini, Tabel I-O 37 sektor digunakan, tetapi gambaran umum dari proses industrialisasi dan perubahan struktur dikelompokkan ke dalam 5 klasifikasi sektor. Hasil studi Akita 1991 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang substansial dalam struktur produksi dan perdagangan baik pada periode pertumbuhan lambat maupun pada periode pertumbuhan cepat. Sejumlah structural adjustment policy kebijakan penyesuaian struktural seperti devaluasi, deregulasi dan liberalisasi memegang peranan yang signifikan. Turunnya harga minyak pada tahun 1986 mendorong pemerintah