Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

23 arti karena dalam jangka pendek atau titik turun siklus disalahartikan menjadi suatu deindustrialisasi jangka panjang long-run deindustrialization. 2. Deindustrialisasi dapat berarti pergeseran dari sektor industri ke sektor jasa, sehingga sektor industri mempunyai pangsa yang lebih rendah pada total output atau tenaga kerja. Ini juga bisa menjadi salah persepsi, karena pergeseran dapat terjadi bahkan ketika sektor industri tumbuh dalam kerangka absolut. 3. Deindustrialisasi dapat berarti bahwa barang-barang produk industri mengalami suatu penurunan pangsa perdagangan eksternal, sehingga terdapat kegagalan untuk mencapai surplus ekspor terhadap impor untuk memelihara suatu perekonomian dalam keseimbangan eksternal. 4. Deindustrialisasi didefinisikan sebagai suatu keberlanjutan keadaan defisit neraca perdagangan sebagaimana didefinisikan pada definisi ketiga di atas yang mengakumulasi pada jangka yang luas dimana suatu negara atau wilayah tidak dapat membayar impor yang diperlukan untuk mempertahankan produksi lebih lanjut suatu barang sehingga menyebabkan penurunan yang lebih lanjut dalam perekonomian. Penelitian-penelitian yang dilakukan di negara-negara maju khususnya negara-negara anggota OECD, seperti penelitian Rowthorn dan Ramaswamy 1997, menggunakan indikator pangsa tenaga kerja sektor industri sebagai indikator terjadinya deindustrialisasi. Sementara itu dalam penelitian ini, deindustrialisasi didefinisikan sebagai proses perubahan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh penurunan kapasitas atau aktivitas industri dalam suatu wilayah atau negara sebagai akibat penurunan pangsa output barang-barang industri. Dalam penelitian ini indikator deindustrialisasi dibatasi hanya pada pangsa nilai tambah 24 sektor industri terhadap total PDB. Pemilihan pangsa nilai tambah sektor industri terhadap total PDB sebagai indikator deindustrialisasi didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut ini. 1. Penggunaan indikator pangsa nilai tambah sektor industri didasarkan pada pertimbangan untuk melihat apakah sektor industri masih menjadi motor penggerak utama perekonomian Indonesia. Penurunan pangsa nilai tambah sektor industri merupakan indikasi bahwa peranan sektor industri mulai menurun dan perannya mulai digantikan oleh sektor lain, misalnya jasa. 2. Tidak digunakannya indikator pangsa tenaga kerja dilakukan dengan alasan bahwa perubahan struktur perekonomian di Indonesia berlangsung tidak seimbang antara sektor pertanian dengan sektor industri. Penurunan pangsa sektor pertanian dalam PDB tidak diikuti oleh penurunan pangsa tenaga kerjanya, sehingga sektor pertanian masih menanggung beban tenaga kerja yang sangat besar sehingga menyebabkan produktivitas sektor pertanian menjadi rendah. Sementara itu di sisi lain, peningkatan pangsa sektor industri dalam PDB tidak diikuti oleh peningkatan pangsa tenaga kerjanya. Dengan demikian, perubahan pangsa tenaga kerja tidak mencerminkan perubahan struktur perekonomian nasional. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di negara-negara maju yang proses transformasi strukturalnya berlangsung seimbang. Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis dampak reindustrialisasi terhadap sektor ekonomi berdasarkan skala usahanya yaitu skala usaha kecil, menengah dan besar. Ada dua definisi yang dikenal di Indonesia. Pertama definisi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah UMKM yaitu : 25 1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan danatau badan usaha perorangan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 000 000 lima puluh juta upiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 000 000 tiga ratus juta rupiah. 2. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 000 000 lima puluh juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp500 000 000 lima ratus juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 000 000 tiga ratus juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp2 500 000 000 dua milyar lima ratus juta rupiah. 3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500 000 000 lima ratus juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp10 000 000 000 sepuluh milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2 500 000 000 dua milyar lima ratus juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp50 000 000 000 lima puluh milyar rupiah. 26 4. Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Kedua menurut kategori BPS 2007 yang mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu : 1. Industri rumah tangga dengan pekerja 1 – 4 orang. 2. Industri kecil dengan pekerja 5 – 19 orang. 3. Industri menengah dengan pekerja 20 – 99 orang. 4. Industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih. Dalam penelitian ini, definisi IKM yang digunakan adalah definisi yang dikeluarkan oleh BPS agar konsisten dengan data industri menurut skala usaha yang secara rutin dikeluarkan oleh BPS. Untuk analisis kinerja ekonomi makro Indonesia meliputi perkembangan output, PDB riil, konsumsi rumah tangga, investasi, inflasi, ekspor dan impor serta neraca perdagangan. Sementara itu untuk analisis kinerja masing-masing sektor ekonomi dan kinerja masing-masing cabang industri untuk setiap skala usaha kecil, menengah dan besar dilihat dari segi perkembangan output dan penyerapan tenaga kerja sektoral. Penelitian ini mengandung beberapa keterbatasan, antara lain : 1. Analisis dampak reindustrialisasi terhadap sektor ekonomi menurut skala usaha dilakukan pada sektor ekonomi dengan menggunakan pendekatan dimana analisis dilakukan terlebih dahulu pada sektor ekonomi secara umum selanjutnya dilakukan analisis terhadap masing-masing skala usaha berdasarkan pada nilai pangsa sektor ekonomi menurut skala usahanya yaitu 27 pangsa output, pangsa investasi, pangsa ekspor, dan pangsa lainnya. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan data Tabel Input OutputI-O dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi SNSE yang belum memperlihatkan interaksi antarsektor dan antar-skala industri. Pendekatan ini mengandung keterbatasan karena elastisitas dan parameter subsitusi untuk setiap sektor ekonomi menurut skala usaha dianggap sama sehingga respon dari setiap perubahan variabel terhadap sektor ekonomi menurut skala usaha relatif tidak banyak berbeda. Namun demikian, pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan diantarnya data yang diperlukan secara relatif lebih sederhana, khususnya tidak memerlukan data arus perdagangan antar-skala usaha. Pendekatan ini juga membuat modifikasi model menjadi lebih sederhana. 2. Keterbatasan penelitian yang dilakukan terkait dengan keterbatasan metode aplikasi ekonomi keseimbangan umum Computable General Equilibrium atau CGE yang digunakan dalam menganalisis dampak reindustrialisasi terhadap kinerja ekonomi makro dan kinerja sektor industri di Indonesia. Keterbatasan tersebut antara lain adanya ketergantungan model keseimbangan pada parameter-parameter benchmark yang dikalibrasi. Hal ini karena model CGE tidak mengestimasi paramater-parameter tersebut, tetapi diambil dari hasil estimasi di luar model, baik dilakukan sendiri maupun hasil-hasil penelitian terdahulu Oktaviani, 2008.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Perekonomian Indonesia

Perkembangan ekonomi Indonesia sejak Pemerintahan Orde Baru pada tahun 1966 ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi. Seperti dapat dilihat pada Tabel 7, pada masa awal pembangunan ekonomi pada periode 1966- 1970, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 5.89 persen per tahun. Selanjutnya, pada dekade 1971 – 1980 rata-rata pertumbuhan ekonomi meningkat pesat menjadi 7.44 persen Tjahyono dan Anugrah, 2006. Kenaikan ini tidak terlepas dari keberhasilan pemerintah dalam mendorong ekspor minyak yang dibarengi oleh kenaikan harga minyak dunia. Namun, sejalan dengan mulai menurunnya harga minyak dunia pada dekade 1981-1990, ekonomi Indonesia kembali mencatat pertumbuhan yang lebih rendah. Selama periode ini, pemerintah mulai mengubah kebijakannya dengan sasaran utama mendorong ekspor non-migas dan pengerahan tabungan masyarakat. Untuk meningkatkan ekspor non-migas, pemerintah mendorong sektor swasta untuk berperan lebih besar dalam pembangunan ekonomi. Sementara upaya pengerahan dana masyarakat dilakukan melalui pengembangan pasar keuangan. Hal itu ditandai oleh kebijakan deregulasi perbankan dan pasar modal yang diikuti oleh liberalisasi capital inflows. Sementara, di sisi sektor riil, pemerintah mulai membuka pasar domestik melalui penurunan tarif, pengurangan Daftar Negatif Investasi DNI yang didukung oleh kebijakan makro yang prudent. Berbagai kebijakan di atas berhasil mendorong kembali rata-rata pertumbuhan ekonomi hingga mencatat angka 7.83 persen selama 1991-1996. Namun, selama masa ini 30 juga ditandai oleh akumulasi utang luar negeri yang terus membengkak dan kondisi perbankan yang ringkih hingga berujung pada krisis ekonomi di tahun 1997-1998. Setelah krisis ekonomi, ekonomi Indonesia kembali mengalami perlambatan pertumbuhan. Tabel 7. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Persen Tahun Pertumbuhan 1966 – 1970 5.89 1971 – 1980 7.44 1981 – 1990 5.51 1991 – 1996 7.83 1997 – 2004 1.84 2005 – 2010 1 5.62 Sumber : Tjahyono dan Anugrah, 2006; 1 BPS, 2011 Diolah Dilihat dari sisi penggunaannya, pada masa awal pembangunan ekonomi sebelum tahun 1970, pertumbuhan ekonomi lebih banyak didorong oleh konsumsi masyarakat yang memberikan kontribusi hingga 80 persen PDB lihat Tabel 8. Namun, sejalan dengan tingginya harga minyak pada dekade 1971 - 1980, sektor minyak menjadi satu-satunya sumber pertumbuhan. Ekspor minyak memberikan kontribusi lebih dari 70 persen total ekspor Indonesia, sementara komoditi industri belum memberikan kontribusi yang berarti. Ekspor non-migas sebagian besar disumbangkan oleh komoditi primer. Hasil dari ekspor minyak sebagian besar mengalir ke penerimaan pemerintah untuk membiayai kegiatan konsumsi dan investasi pemerintah. Selama periode ini, peran konsumsi masyarakat sedikit demi sedikit terdesak oleh sektor pemerintah yang sangat dominan. Sementara, investasi swasta belum memberikan kontribusi yang berarti. Memasuki dekade 1981-1990, kegiatan investasi swasta mulai berkembang pesat. Hal ini ditandai oleh kenaikan