Metodologi Penelitian Landasan Teori

F. Metodologi Penelitian

1. Objek Penelitian Objek Dalam penelitian ini yaitu perbankan di Indonesia yang berdiri dari hasil merger - akusisi dan spin off dengan interval waktu enam tahun. 2. Jenis dan Sumber data Terkait jenis data merupakan data sekunder berupa laporan keuangan perbankan di Indonesia yang berdiri dari hasi merger - akusisi dan spin off dengan interval waktu yang paling dekat dengan restrukturisasi pendirian perbankan, berdasarkan ketersediaan data. serta berbagai literatur ilmiah yang berhubungan dengan efisiensi pada perbankan. Untuk sumber data pada penelitian ini diperoleh dari laporan keuangan perbankan yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan laporan keuangan resmi dari Bank Indonesia yang terkait dengan penelitian ini, serta mencari sejarah terbentuknya bank tersebut untuk menentukan apakah perbankan di Indonesia yang berdiri dari hasi merger - akusisi dan spin off, melalui situs resmi Bank Umum Syariah yang bersangkutan. 4. Metode Analisa Data Metode yang digunakan dalam Penelitian ini menggunakan metode non parametrik Data Envelopment Analysis dengan melakukan pengolahan variabel Input dan Output yang tersedia dalam laporan keuangan publikasi bank, dimana dalam proses pengolahannya menggunakan software WDEA. 5. Teknik Penulisan Teknik penulisan penelitian ini berpedoman pada pedoman akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2009-2010, terkait tentang penulisan skripsi.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang; latar belakang, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, kerangka pemikiran teoritis, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang gambaran umum tentang perbankan syariah yang terbentuk berdasarkan pendiriannya antara yang berdiri dari hasi merger - akusisi dan spin off. Serta menjelaskan tentang konsep efisiensi pengukuran Data Envelopment Analysis DEA.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang sumber data yang digunakan dan penjelasan terkait variabel Input dan Outputnya serta metode analisis yang digunakan untuk menjawab perumusan masalah yang akan menjadi bahan penjelasan di bab pembahasan, metode tersebut adalah dengan pengkuran efisiensi non parametrik menggunakan Data Envelopment Analysis DEA.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang pembahasan hasil olahan data secara mendalam, sehingga akan didapatkan sebuah hasil penelitian yang baik sehingga nantinya akan merujuk pada sebuah kesimpulan dan rekomendasi apa yang seharusnya dilakukan oleh Bank Indonesia dan pemerinah untuk mengembangkan perbankan syariah.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari seluruh pembahasan analisis dari hasil olahan data dan berisi saran atau rekomendasi yang tepat diberikan berdasarkan hasil penelitian sebagai solusi. 18 BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Landasan Teori

1. Restrukturisasi a. Pengertian Restrukturisasi Adapun pengertian restrukturisasi menurut Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti bahwa: “restrukturisasi merupakan kegiatan untuk merubah struktur perseroan”. Restrukturisasi yang terjadi pada perseroan meliputi restrukturisasi sumber daya manusia dan restrukturisasi keuangan. Dimana hal ini diberlakukan agar pengelolaan perseroan sendiri dapat lebih optimal dalam meningkatkan kinerja keuangan. Dari kedua pengertian diatas pula, bahwa restrukturisasi dapat diartikan makin membesar atau makin mengecilnya struktur organisasi suatu perseroan. Apabila diartikan dalam pengertian pertama, maka kegiatan Merger, Akusisi dan Spin Off juga merupakan upaya untuk melakukan restrukturisasi. Bentuk dari Restrukturisasi perseroan menurut Gunadi adalah sebagai berikut 1 : 1 Merger penggabungan usaha. 1 Gunadi, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum Perseroan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005, hal. 83. 2 Konsolidasi peleburan usaha. 3 Likuidasi pembubaran usaha 4 Kepailitan kebangkrutan usaha 5 Split off pemecahan usaha 6 Spin off pemekaran usaha 7 Revaluasi penilaian kembali aktiva tetap usaha 8 Rekapitalisasi penataan kembali permodalan usaha 9 Reorganisasi perubahan struktur usaha. b. Tujuan Restrukturisasi Adapun tujuan restrukturisasi sebagaimana di tetapkan dalam Pasal 72 ayat 2 Undang- Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara BUMN adalah untuk kepentingan sebagai berikut: 1 Meningkatkan kinerja dan nilai perseroan. 2 Memberikan manfaat berupa deviden dan pajak kepada Negara. 3 Menghasilkan produk dan layanan dengan karya yang kompetitif kepada konsumen. 4 Memudahkan privatisasi. c. Bentuk Restruturisasi Untuk kasus-kasus tertentu kadang-kadang diperlukan kombinasi strategi restrukturisasi. Restrukturisasi melibatkan para pemilik perseroan secara langsung. Dalam menjalankan tugas tersebut mereka dapat dibantu dewan komisaris, manajemen perseroan. Adapun bentuk restrukturisasi yang banyak dipergunakan untuk mengatasi krisis keuangan perseroan adalah sebagai berikut : 1 Restrukturisasi harta reorganization of assets Salah satu cara untuk memperbaiki likuiditas keuangan perseroan adalah menata kembali harta yang dimiliki perseroan. Hal itu dilakukan dengan jalan megurangi jenis atau jumlah harta tetap, termasuk sarana produksi yang kurang berguna atau tidak efisien lagi. Harta tetap seperti itu dapat jual kepada pihak ketiga. Dengan menjual harta tetap yang kurang berguna atau tidak efisien bagi perseroan akan mendapat injeksi dana segar. Dana tersebut dapat dipergunakan untuk mendanai kebutuhan modal kerja dan melunasi utang-utang yang berbunga tinggi. 2 Restrukturisasi Perseroan Restrukturisasi perseroan dilakukan dengan jalan memperkecil skala organisasi perseroan memangkas sumber pemborosan dan dan merasioanalisasi jumlah karyawan yang berlebihan. Apabila menurunnya kinerja bisnis perseroan juga disebabkan karena pengelapan uang, perlu juga dilakukan penggantian personalia manajemen dan karyawan yang terbukti telah merugikan perseroan. Apabila dirasa perlu restrukturisasi juga dapat dilakukan dengan jalan menata kembali atau menciutkan ruang lingkup usaha perseroan. Tujuan utama restrukturisasi adalah menurunkan jumlah beban biaya tetap dan meningkatkan efesiensi kegiatan bisnis perseroan. Disamping itu rerorganisasi dijalankan guna menciptakan manajemen perseroan yang lebih proposional dan bersih. 2. Merger a. Pengertian Merger Istilah “merger” berasal dari kata kerja “merge” yang berarti “menggabungkan atau memfungsikan”. Menurut pakar hukum bisnis Indonesia memberikan pengertian merger, seperti berikut : a Bacelius Ruru, mengartikan merger sebagai penggabungan usaha dari dua atau lebih perusahaan yang pada akhirnya bergabung ke dalam salah satu perusahaan yang telah ada sebelumnya. b Christian Wibisono, menggartikan merger sebagai penggabungan dua badan usaha yang relatif berimbang kekuatannya, sehingga terjadi kombinasi baru yang saling mengguntungkan. Dari beberapa pengertian merger yang telah disebutkan, pada dasarnya ada kesamaan di dalam unsur-unsur pengetian merger, yaitu : a Merger atau penggabungan perusahaan adalah salah satu cara penyatuan perusahaan, di samping peleburan perusahaan konsolidasi dan pengambilalihan perusahaan akuisisi; b Merger melibatkan dua pihak, yaitu satu perusahaan yang menerima penggabungan dan satu atau lebih perusahaan yang menggabungkan diri; c Perusahaan yang menerima penggabungan akan menerima pengambilalihan seluruh saham, harta kekayaan, hak, kewajiban, dan utang perusahaan yang menggabungkan diri. Jika dianalisis dalam berbagai aspek, sebenarnya banyak alternatif latar belakang mengapa perlunya tindakan merger bagi perusahaan-perusahaan, baik perusahaan dalam kondisi sehat maupun tidak sehat. b. Faktor Merger Secara umum merger perusahaan dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu : a Meningkatkan Efisiensi b Penganekaragaman Bidang Usaha atau c Meningkatkan Penguasaan Pangsa Pasar Market Share d Pengurangan Kewajiban Pembayaran Pajak e Penilaian harta yang lebih rendah dari yang sebenarnya f Ingin meningkatkan prestige. Mekanisme merger sebenarnya dapat dilaksanakan baik untuk tujuan penyelamatan Rescue maupun untuk tujuan pengembangan usaha Improving Business. Bagi bank bermasalah, merger dengan bank lain yang lebih besar dan sehat merupakan pilihan yang menguntungkan, penyelamatan oleh bank lain yang kuat akan mengurangi masalah likuiditas karena memperoleh tambahan dana segar Fresh Money. Untuk pengembangan usaha maka merger bertujuan mempercepat berkembangnya bisnis dan operasi serta keuntungan lebih cepat jika dibandingkan dengan perkembangan alamiah. Menurut Smith 1996, merger bank dimaksudkan untuk mengurangi biaya tenaga kerja , biaya overhead dan mengombinasikan antara efisiensi yang telah dicapai oleh partner merger, dan mengurangi jumlah cabang yang tingkat operasionalnya overlapping antara satu cabang dengan cabang lain. 3. Akuisisi Akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan suatu bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap bank. 2 Pengambilalihan kepemilikan dapat berupa pembelian sebagian terbesar atau seluruhnya saham-saham dari perusahaan lainnya itu. Masing-masing perusahaan baik perusahaan yang mengambil alih maupun perusahaan yang diambil alih tetap mempertahankan aktivitasnya, identitasnya, dan kedudukannya sebagai perusahaan- perusahaan yang mandiri. Pengambilalihan perusahaan ini sering diistilahka n dengan “Acquisition”, “Take Over”, dan “Overname”, 2 SK Dir. BI No. 3251KEPDIR pasal 1 yaitu pengambilalihan suatu perusahaan perusahaan target oleh perusahaan lainnya perusahaan raider melalui penawaran untuk membeli sebagian atau seluruh saham dari perusahaan target dengan harga yang lebih tinggi dari nilai harga pasar yang normal. Disini tampak adanya tindakan atau mekanisme yang mengakibatkan adanya aset oleh satu pihak, dan pihak yang mengabilalih ini dapat mengelola aset yang ada secara lebih efisien dibandingkan jika hal itu dilakukan oleh perseroan sebelumnya. Pengertian secara luas dari akuisisi adalah pembelian hak atas suatu bagian perusahaan lain, sehingga akuisitor perusahaan pembeli dapat menguasai atau mengambil alih perusahaan lain target company dengan melalui control terhadapnya. Dapat juga dikatakan bahwa akuisisi adalah pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lainnya yang dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu yang pertama dengan mengambil alih aset perusahaan yang diambil alih. Misalnya, mesin-mesin, pabrik-pabrik. Sementara cara kedua, adalah membeli saham-saham dari perusahaan yang mengambil alih. Akuisisi saham perusahaan merupakan salah satu bentuk akuisisi yang paling umum ditemui dalam kegiatan akuisisi. Perusahaan yang mengakuisisi itu biasanya merupakan perseroan besar yang mempunyai dana yang cukup kuat, luas operasi usahanya, memiliki manajemen yang baik, serta biasanya tergolong dalam kelompok konglomerat. Ada perbedaan antara akuisisi saham dan akuisisi aset perseroan, akuisisi saham akan mengakibatkan perubahan mayoritas kepemilikan saham dan ada kemungkinan campur tangan dalam manajemen, karena segala untung rugi dan tanggung jawab serta risiko beralih kepada pemegang saham dan manajemen baru . Sebaliknya, bila dilakukan akuisisi terhadap aset perseroan yang biasanya berupa tanah, bangunan, mesin yang semuanya berupa aktiva tetap, maka pemegang saham lama akan memperoleh dana segar hasil akuisisi tersebut yang akan dipergunakan untuk membayar utangnya kepada pihak kreditur, setelah itu bisa saja perseroan tersebut dilikuidasi. Tujuan akuisisi umumnya antara lain memperoleh akses pada teknologi baru atau teknologi yang lebih baik yang dimiliki oleh perusahaan yang menjadi obyek akuisisi, menciptakan penguasaan pangsa pasar yang luas, mendorong harga saham di pasar modal, memperkuat struktur permodalan, dan menjamin kelangsungan perusahaan. 4. Spin Off a. Pengertian Spin Off Yang dimaksud dengan spin off adalah apabila unit kegiatan tersebut kemudian dipisahkan dari sebuah perseroan dan berdiri sebagai suatu perseroan baru yang terpisah. Dengan demikian perseroan tersebut akan mempunyai direksi sendiri dan independen dalam mengambil keputusan, serta kepemilikan perseroan baru tersebut berada di tangan para pemegang saham. Pemisahan ini dimaksudkan agar unit tersebut dapat mengambil keputusan dengan lebih cepat, lebih efisien dan ada yang secara khusus bertanggung jawab. Sebenarnya praktek spin off telah cukup lama dikenal sebagai satu bagian konstruksi yang banyak digunakan dalam merestrukturisasi hukum, akan tetapi hal ini baru dilegislasikan setelah diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Meskipun pengaturan spin off dalam UU Perbankan Syariah ini secara spesifik lebih ditujukan untuk menerapkan substansi UU Perbankan Syariah menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syariah, khususnya terhadap Unit Usaha Syariah UUS yang secara korporasi masih berada dalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional, namun kontruksi hukum spin off ini dapat dimanfaatkan oleh industri perbankan dalam melakukan restrukturisasi usahanya. Dalam pemisahan perseroan dikenal ada 2 dua macam pemisahan, kedua jenis pemisahan tersebut dipengaruhi oleh cara pemisahan dengan memperhatikan kuntitas usaha yang dipisahkan oleh perseroan. Hal ini diatur dalam dalam Pasal 135 UU Nomor 40 Tahun 2007 UUPT yaitu: 1. Pemisahan murni zuivere splitsing = absolute division adalah pemisahan usaha perseroan yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan yang beralih karena hukum kepada 2 dua perseroan atau lebih yang menerima peralihan dan akibatnya perseroan yang melakukan pemisahan tersebut menjadi berakhir karena hukum. Dalam pemisahan jenis ini yang menjadi ciri pokoknya perseroan mengalihkan seluruh harta kekayaannya, sehingga akan berakibat perseroan harus tutup demi hukum karena sudah tidak ada lagi usaha yang diurusi. 2. Pemisahan tidak murni afsplitsing=spin off. Pemisahan tidak murni mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada 1satu perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan perseroan yang melakukan pemisahan tersebut tetap ada. Dari 2 dua definisi tersebut di atas, jelas bahwa pemisahan aset dan kewajiban dari suatu perseroan menjadi perseroan baru yang independen entitas yang terpisah merupakan unsur yang paling penting dalam proses hukum spin off. Dalam prakteknya, pemisahan aset dan kewajiban tersebut umumnya adalah berupa pemisahan unit usaha divisi tertentu menjadi sebuah perseroan baru yang kegiatan usahanya bisa sama atau berbeda dengan perseroan awalnya. Pemisahan tidak murni adalah pemisahan perseroan yang mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada 1 satu perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan perseroan yang melakukan pemisahan tersebut tetap ada. Dalam pemisahan ini tidak sampai mengakibatkan perseroan yang pemisahan menjadi bubar, karena harta kekayaan yang dialihkan hanya sebagian saja.Perseroan tersebut masih mempunyai harta kekayaan sehingga masih dapat menjalankan usaha. Berbeda dengan pemisahan murni yang berakibat perseroan yang melakukan pemisahan menjadi bubar, karena harta kekayaannya dialihkan seluruhnya. Pada pemisahan tidak murni penerima pengalihan cukup minimal satu perseroan, sedangkan untuk pemisahaan umum sedikitnya dua perseroan sedangkan untuk pemisahan murni sedikitnya dua perseroan sebagai penerima pengalihan harta kekayaan. 5. Konsep pengukuran efisiensi Efisiensi adalah suatu parameter kinerja dimana suatu perusahaan dapat mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki atau dalam pandangan matematika didefinisikan sebagai perhitungan rasio output keluaran dan atau input masukan atau jumlah keluaran yang dihasilkan dari satu input yang digunakan. Suatu perusahaan dikatakan efisien apabila : 3 a. Menggunakan jumlah unit input yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan jurnlah unit input yang digunakan oleh perusahaan lain dengan menghasilkan jumlah output yang sama 3 Haryum Muharam, dan Rizki Pusvitasari , Analisis Perbandingan Efisiensi Bank Syariah di Indonesia dengan Metode Data Envelopment Analysis, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, vol.II, no.3 2005, hal. 85. b. Menggunakan jumlah unit input yang sama, dapat menghasilkan jumlah output yang lebih besar. Sama halnya dengan bentuk perusahaan, efisiensi dalam perbankan juga merupakan suatu tolak ukur dalam mengukur kinerja bank dimana efisiensi merupakan jawaban atas kesulitan-kesulitan dalam menghitung ukuran-ukuran kinerja seperti tingkat efisiensi alokasi, teknis maupun total efisiensi. Jadi unit ekonomi untuk beroperasi pada tingkat nilai produk marginal marginal value product sama dengan biaya marginal marginal cost Cara lain yang bisa digunakan untuk mencapai efisiensi yang lebih tinggi adalah dengan menerapkan teknologi manajemen yang dapat mengurangi input maupun meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan lebih banyak output. Beberapa konsep mengenai efisiensi antara lain yang dikemukan oleh Ramesh Bhat 2001 dalam Retno Wulansari 2010 sebagai berikut 4 : a. Efisiensi Teknis Efisiensi ini berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja, modal, dan mesin sebagai input untuk menghasilkan output maksimum. Dengan menerapkan teknologi yang sama pada semua unit maka diharapkan tidak akan ada input yang sia-sia dalam memproduksi kuantitas output tertentu. Sebuah organisasi yang beroperasi lebih baik 4 Retno Wulansari, DEA : Alat Analisis Untuk Mengkaji Efisiensi Relatif FE UI : 2010 daripada semua organisasi lain yang disampel, maka bisa dikatakan bahwa organisasi ini telah efisien secara teknis. b. Efisiensi Alokatif Berkaitan dengan meminimalkan biaya produksi dengan pilihan input yang tepat untuk menghasilkan suatu tingkat output tertentu dengan mempertimbangkan tingkat harga input, dengan asumsi bahwa organisasi yang diuji sudah sepenuhnya efisien secara teknis. Efisiensi alokatif dinyatakan sebagai skor persentase, dimana skor 100 persen menunjukkan bahwa organisasi telah menggunakan inputnya dalam proporsi yang akan meminimalkan biaya. Sebuah organisasi yang beroperasi pada praktek terbaik secara teknis masih bisa secara alokatif dikatakan tidak efisien karena tidak menggunakan input dalam proporsi yang meminimalkan biaya, pada harga input relatif tertentu. c. Efisiensi biaya keseluruhan Berkaitan dengan kombinasi efisiensi teknis dan alokatif. Sebuah organisasi dikatakan melakukan efisien biaya jika dia bisa efisien baik secara alokatif maupun secara teknis. Efisiensi biaya dihitung sebagai produk dari nilai efisiensi teknis dan efisiensi alokatif ditunjukkan dalam persentase, sehingga organisasi hanya dapat mencapai 100 persen nilai efisiensi biaya jika telah mencapai 100 persen efisiensi baik teknis dan alokatif. Salah satu metode yang banyak digunakan dalam pengukuran efisiensi adalah metode frontier. metode frontier dalam mengukur efisiensi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pendekatan frontier parametrik dan non parametrik. Pendekatan frontier parametrik dapat diukur dengan tes statistik parametrik seperti menggunakan metode Stochastic Frontier Approach SFA dan Distribution Free Approach DFA. Pendekatan frontier non parametrik diukur dengan tes statistik non parametrik yaitu dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis DEA. Tes parametrik adalah suatu tes yang modelnya menetapkan adanya syarat-syarat tertentu tentang parameter populasi yang merupakan sumber penelitiannya, sedangkan tes statistik non parametrik adalah tes yang modelnya tidak menetapkan syarat-syarat mengenai parameter populasi yang merupakan induk sampel penelitiannya. Dalam melakukan pengukuran efisiensi terdapat tiga pendekatan utama yang biasa digunakan. Pendekatan tersebut terdiri dari : 5 a. Pendekatan Produksi : Pendekatan produksi menjelaskan bahwa aktivitas perbankan adalah pelayanan terhadap deposan dan kreditor menggunakan seluruh faktor produksi, seperti 5 Ascarya, Diana Yumanita, dan Guruh S. Rohimah, Efficiency Analysis of Conventional and Islamic Banks in Indonesia Using Data Envelopment Analysist 2007, hal. 10 pegawai dan modal tenaga kerja. Untuk mencapai tujuannya, yaitu memproduksi output yang diinginkan. Pendekatan ini deperkenalakan oleh bentson 1965 , bell dan Murphy 1968, bank sebagai pemilik deposit akun dari deposan dan memberikan dana kepada kreditor. b. Pendekatan Intermediasi : Pendekatan intermediasi menjelaskan tentang aktivitas perbankan sebagai agen intermediasi yang mentransformasikan penyaluran dana dari deposan pihak yang kelebihan dana kepada kreditor pihak yang kekurangan dana. Dengan kata lain, dana pihak ketiga yang cenderung likuid, berjangka pendek, dengan resiko rendah yang ditransformasikan menjadi pembiayaan yang lebih beresiko, tidak likuid dan berjangka pamjang. Oleh karena itu pendekatan ini mendefinisikan input sebagai financial capital dan output sebagai volume pembiayaan atau investment outstanding. c. Pendekatan Modern : Pendekatan modern mencoba untuk mengembangkan dua pendekatan yaitu manajemen resiko kegiatan usaha, system informasi dan pemecahan masalah kedalam teori klasik perusahaan. Pendekatan ini memperkenalkan perbedaan antara manajer bank dan pemilik bank dalam prilakunya memaksimalkan keuntungan. Pendekatan ini diperkenalkan oleh hughes dan mester 1994 yang dilakukan pada bank yang ingin lebih besar dan ingin mengembangkan ukurannya. 6. Data Envelopment Analysis Data envelopment analysis DEA ditemukan oleh Farell 1957. DEA merupakan model pemrograman linier yang menjelaskan penerapan dari pemrograman matematika untuk menjelaskan pembatasan data yang digunakan untuk mengevaluasi efisiensi dari organisasi dalam menjelaskan jumlah output dan input. Dimana teknik pemrograman liner ini menggunakan fungsi objektif dan fungsi kendala dalam melakukan pengukuran efisiensi. 6 DEA diperkenalkan pertama kali oleh Charnes, Cooper dan Rhoades pada 1978, aplikasi DEA digunakan untuk mengevaluasi kinerja dari entitas berbeda yang berhubungan dengan banyak aktivitas yang berbeda. Dasar dari DEA membadingkan efisiensi dari unit organisasi yang sama, DEA pertama kali digunakan dalam sektor perbankan oleh Sherman Gold 1985. DEA bekerja untuk menghitung efisiensi relatif dari banyak input dan banyak output tiap unit produksi. Skor efisiensi biasanya dinotasikan kedalam bilangan 0 hingga 1 atau 1 hingga 100 6 Izah Mohd Tahir, Nor Mazlina Abu Bakar, dan Sudin Haron, Evaluating Efficiency of Malaysian Banks Using Data Envelopment Analysis, 2009 persen dalam desimal. Skor efisiensi yaitu 1 atau 100 dari decision making unit menunjukan bahwa decision making unit itu memiliki nilai efisiensi relatif bila dibandingakan dengan decision making unit lainnya yang nilainya dibawah itu diantara sampel yang digunakan. DEA di desain untuk mencari dan memperkirakan sumber ketidak efisienan yang ditunjukan dari vektor input dan output. Keuntungan dari penggunaan DEA adalah ia merupakan metode ekonometrika tradisional yang tidak membutuhkan asumsi utama seperti acuan dalam bentuk analisis statistik regresi. DEA hanya menghitung efisien dari decision making unit yang yang bekerja menggunakan banyak input dan output. DEA merupakan alat untuk menilai karena dia mengidentifikasi ketidak efisienan dari decision making unit dengan membandingkan dengan decision making unit lainnya. 7 a. Menghitung kinerja terbaik dari decision making unit yang menghasilkan output terbaik dengan sedikit input. Menunjukan hasil dari kinerja nilai DEA dari data yang digunakan. Memasukan decision making unit kedalam nilai efisiensi b. Menghitung hasil DEA dari keseluruhan decision making unit. Seperti nilai yang ditampilkan dari efisiensi yang kurang baik dibandingakan 7 Ahmet Akin, Merve Kilic, dan Selim Zaim, Determinants of Bank Efficiency in Turkey: A Two Stage Data Envelopment Analysis 2009 dengan efisiensi terbaik. Decision making unit merupakan kumpulan dari beberapa input yang dapat menghasilkan output. Secara matematis pengukuran efisiensi menggunakan DEA dapat digambarkan sebagai berikut : a Ketika pengukuran efisiensi menggunakan satu input dan satu output, dengan asumsi bahwa DMU yang efisien ditunjukan oleh nilai rasio maksimal. Tabel 2.1 ilustrasi DEA Sumber : Data yang telah diolah Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa DMU 4 memiliki rasio outputinput yang paling tinggi. Pada pendekatan ini efisiensi ditunjukan dari nilai maksimal, maka DMU 4 merupakan DMU yang efisien. Maka untuk mengetahui skor efisiensi DMU lain, harus dibandingkan dengan DMU 4 untuk mengukur skor efisiensinya. Contoh untuk DMU 3 4 : 4.5 x 100 = 89. Maka skor efisiensi DMU 3 adalah 89. Kelemahan model pengukuran ini adalah tidak dapat melakukan pengukuran efisiensi jika menggunakan banyak input dan output, serta tidak Unit Input Output OutputInput Efisiensi DMU 1 3 6 2 0.49 49 DMU 2 4 13 3.25 0.72 72 DMU 3 4 16 4 0.89 89 DMU 4 4 18 4.5 1 100 dapat mengidentifikasi berapa maksimalisasi output dan minimalisasi input yang harus dilakukan supaya DMU efisien. b Supaya dimungkinkan untuk melakukan pengukuran efisiensi dengan menggunakan banyak input dan output, serta untuk mengidentifikasi maksimalisasi output dan minimalisasi input supaya DMU efisien. Maka input-output harus dibuat pembobotan supaya dapat diketahui persentasenya. Maka itulah motode ini dinamakan Data Envelopment Analysis, karena nilai-nilai input diamplopkan kedalam pembobotan. Tabel 2.2 ilustrasi DEA dengan pembobotan Sumber : data yang diolah Dari tabel diatas dapat diketahui nilai DMU 4 menunjukan hasil efisiensi yang sama yang ditunjukan oleh rasio outputinput dan bobot outputbobot input. DMU 4 menunjukan rasio yang paling tinggi. Pada model ini untuk melakukan pengukuran efisiensi dengan banyak input- output makan dibuat penjumlahan dari masing-masing bobot input- output. Selanjutnya untuk mengidentifikasi apakah yang harus dilakukan supaya DMU efisien maka harus dilihat rasio dari pembobotannya. Contoh : jika efisiensi ditinjukan dengan bobot 1 : 1, Unit Input Bobot Input Output Bobot Output Bobot OutputBobot Input Efisiensi DMU 1 3 0.75 6 0.37 0.49 49 DMU 2 4 1 13 0.72 0.72 0.72 DMU 3 4 1 16 0.89 0.89 0.89 DMU 4 4 1 18 1 1 100 maka yang harus dilakukan DMU 3 adalah jika bobot DMU 3 0.89 : 1, supaya mencapai bobot 1 :1, maka 1 – 0.89 = 0.11. Maka supaya DMU 3 efisien, ia harus melakukan maksimalisasi output sebesar 11. 7. Orientasi Model DEA Farrell 1957 menjelaskan bahwa, efisiensi sebuah perusahaan terdiri dari dua komponen, yaitu: technical efficiency dan efisiensi biaya atau yang lebih dikenal dengan allocative efficiency. Technical efficiency menggambarkan kemampuan perusahaan untuk mencapai tingkat output yang maksimum dengan menggunakan tingkat input tertentu. Technical efficiency mengukur proses produksi dalam menghasilkan sejumlah output tertentu dengan menggunakan input seminimal mungkin 8 . Untuk itu dalam analisis pendekatan DEA terdapat dua pengklasifikasian dasar model berdasarkan orientasinya yaitu DEA dengan orientasi input dan DEA dengan orientasi Output. Orientasi ini tergantung pada keterbatasan kontrol oleh manajemen pengguna model DEA baik terhadap input atau output yang dimiliki oleh unit tersebut. 9 a. Pengukuran Berorientasi Input Pengukuran berorientasi input digunakan bila, manajemen memiliki kontrol yang terbatas pada output. Yaitu ketika perusahaan diminta memproduksi barang dengan biaya yang minimal. Misalnya 8 M. J. Farrell, The Measurment of Productive Efficiency, hal. 260-261. 9 Houda Ben Said, Tunisian Bank Mergers and Acquisitions Efficiency: A Joint Analysis of Financial Ratios and Non Parametric Approaches 2013 pengurangan jumlah beban personalia suatu perusahaan untuk memproduksi barang dengan jumlah yang sama. Maka model DEA yang dipilih adalah yang berorientasi pada input. Dengan kata lain DMU yang inefisien memungkinkan untuk menurunkan input tanpa mengurangi salah satu output dan tanpa meningkatkan setiap input lainnya. Dengan input oriented, sesungguhnya memungkinkan untuk memperkirakan seberapa besar input yang dapat dikurangi dengan mempertahankan tingkat output yang ada. Pada pengukuran berorientasi input, melihat seberapa besar biaya minimal dapat menghasilkan sejumlah output tertentu. Sehingga fungsi objektif yang digunakan pada pengukuran ini adalah Rasio antara inputoutput dimana nilai efisiensi dilihat dari rasio minimalnya. Seperti yang digambarkan sebagai berikut : Tabel 2.3 ilustrasi input oriented Sumber : Data yang telah diolah Unit Input Output Rasio InputOutput EfisiensiNilai Minimum InputOutput DMU1 1 5 0.2 1100 DMU2 3 6 0.5 0.440 DMU3 6 3 2 0.110 DMU4 5 2 2.5 0.088 b. Pengukuran berorientasi output Pengukuran berorientasi pada output, digunakan pada unit yang telah memiliki input yang memadai sehingga manajemen unit tersebut hanya berfokus pada peningkatan output. Misalnya pada perbankan yang memiliki dana pihak ketiga dengan jumlah tertentu, perusahaan tersebut dituntut untuk meningkatkan pendapatan operasional. Maka model yang dipilih adalah pengukuran yang berorientasi pada output. Dengan kata lain DMU yang inefisien memungkinkan untuk meningkatkan jumlah output tanpa meningkatkan salah satu input dan tanpa mengurangi output lainnya. Dengan output oriented, seseungguhnya dimungkinkan untuk memperkirakan seberapa besar output yang dapat ditingkatkan, dengan tingkat input tertentu. Pengukuran berorientasi output bertujuan untuk melihat seberapa besar output maksimal yang dapat dihasilkan dengan jumlah input tertentu. Sehingga fungsi objektif yang digunakan pada pengukuran ini adalah rasio antara outputinput dimana nilai efisiensi ditunjukan pada rasio maksimal. Seperti yang digambarkan sebagai berikut : Tabel 2.4 ilustrasi output oriented Sumber : Data yang telah diolah Unit Input Output Rasio outputinput Efisiensinilai max outputinput DMU1 1 5 5 1100 DMU2 3 6 2 0.440 DMU3 6 3 0.5 0.110 DMU4 5 2 0.4 0.088 Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui, bahwa pengukuran berorientasi input ataupun pengukuran berorientasi output memberikan skor efisiensi yang sama. Jika sebuah organisasi secara teknis tidak efisien dari suatu perspektif yang berorientasi input, maka dia juga akan secara teknis tidak efisien dari suatu perspektif yang berorientasi output. Hail ini dikarenakan kedua pengukuran ini beroperasi pada frontier yang sama. Tidak seperti model parametrik Stochastic Frontier Approach SFA, DEA tidak memungkinkan adanya random error dan beberapa penyimpangan dari frontier efisiensi. Ketika terdapat random error dan penyimpangan maka hal ini akan diidentifikasi sebagai inefisiensi dalam pengukuran efisiensi menggunakan DEA. 8. Optimasi Model DEA Dalam melakukan pengukuran efisiensi menggunakan metode DEA, terdapat dua pendekatan optimasi atau asumsi yang biasa digunakan para ahli dalam melakukan pengukuran efisiensi sebuah Decision Making Unit atau yang lebih dikenal dengan Unit Kegiatan Ekonomi. Asumsi tersebut yaitu constant return to scale CRS dan variable return to scale VRS. Yang dijelaskan sebagai berikut 10 : 10 Fitria Maharani, Pengukuran Efisiensi Perbankan dengan Menggunakan Pendekatan DEA dan Pengaruh Efisiensi Perbankan Terhadap Stock Return Pada Bank Umum Konvensional yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Skripsi S1 Fakultas Ekonomi Program Studi manajemen, Universitas Indonesia, 2012, hal. 15-16. a. Constant Return to Scale CRS : Model DEA ini pertama kali diperkenalkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes pada tahun 1978. Model yang berorientasi input berdasarkan asumsi constant return to scale sehingga dikenal dengan model CCR. Dalam model constant return to scale setiap UKE akan dibandingkan dengan seluruh UKE yang ada di sampel dengan asumsi bahwa kondisi internal dan eksternal UKE adalah sama. Kritik terhadap asumsi ini adalah bahwa asumsi constant return to scale hanya sesuai untuk kondisi dimana seluruh UKE beroperasi dalam skala optimal. Namun, dalam kenyataannya meskipun UKE tersebut beroperasi dengan sumber daya input yang sama dan menghasilkan output yang sama pula tetapi dengan kondisi internal dan eksternalnya mungkin berbeda sehingga dapat menyebabkan sebuah UKE tidak berada dalam skala optimal. Asumsi dalam model CRS hanya sesuai digunakan ketika semua UKE beroperasi dalam skala optimal. Konsep pendekatan model ini adalah constant return to scale yang artinya penambahan satu input harus menambah satu output. Jika input ditambah sebesar x kali, maka output akan meningkat sebesar x kali juga. Model ini dapat menunjukan technical efficiency secara keseluruhan dari profit efficiency utuk setiap DMU. b. Variable Return to Scale VRS : Kelemahan asumsi constant return to scale memunculkan asumsi lain yaitu variabel return to scale. Model ini diperkenalkan oleh Banker, Charnes dan Cooper. Sehingga model ini dikenal dengan model BCC. Asumsi yang terdapat dalam asumsi ini adalah penambahan input sebesar X kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar X kali, bisa lebih kecil atau lebih besar. Pendekatan ini relatif lebih tepat digunakan dalam menganalisis efisiensi kinerja pada perusahaan jasa termasuk bank. Variabel return to scale merupakan asumsi yang lebih tepat digunakan untuk sampel besar. Variabel return to scale menggambarkan technical efficiency secara keseluruhan yang terdiri dari dua komponen: pure technical efficiency dan scale efficiency. Pure technical efficiency menggambarkan kemampuan manajer perusahaan atau UKE untuk memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya. Sedangkan scale efficiency menggambarkan suatu UKE atau perusahaan dapat beroperasi pada skala produksi yang tepat. Nurul Komaryatin berpendapat bahwa asumsi CRS hanya cocok jika semua perusahaan beroperasi pada skala yang optimal. Persaingan tidak sempurna, kendala keuangan dan sebagainya mungkin menyebabkan sebuah perusahaan tidak beroperasi pada skala yang optimal. Bankers, Charnes dan Cooper pada tahun 1984 menganjurkan sebuah perluasan dari model CRS DEA dengan menerapkan perhitungan VRS variable return to scale. Penggunaan dari spesifikasi CRS ketika tidak semua perusahaan beroperasi pada skala yang optimal, akan menghasilkan pengukuran efisiensi teknis technical efficiency TE yang berbaur atau dikacaukan dengan hasil pengukuran efisiensi-efisiensi skala scale efficiency SE. Kegunaan dari spesifikasi VRS ini akan memungkinkan perhitungan TE yang dapat menghilangkan sama sekali efek dari SE ini.

B. Review Studi Terdahulu