oleh akar-akar besar diameter 2 mm, sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya. 2
Bahan organik tanah, yang berupa sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah. Sebagian atau seluruhnya dirombak
oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah.
2.4 Pengembangan persamaan nekromasa untuk pohon mati
Menurut Manuri et al. 2011, pohon mati dibagi ke dalam 4 tingkat keutuhan yaitu: A berupa pohon mati tanpa daun, B berupa pohon mati tanpa daun
dan ranting, C berupa pohon mati tanpa daun, ranting dan cabang dan D berupa pohon mati yang sudah patah sehingga tidak diketahui batas bebas cabang,
termasuk tunggul. Persamaan alometrik atau rumus untuk menduga nilai total biomasa pohon mati juga dapat dibedakan berdasarkan pengelompokkan tersebut.
Pohon Mati A = ∑BBt + ∑BC + ∑ BR x Faktor Dekomposisi
Pohon Mati B = ∑BBt + ∑BC x Faktor Dekomposisi
Pohon Mati C = ∑BBt x Faktor Dekomposisi
Penghitungan faktor dekomposisi memerlukan penelitian dan analisis lanjutan mengenai kandungan bahan organik di laboratorium dari berbagai sampel
batang, cabang dan ranting dari pohon mati yang dibandingkan dengan kandungan biomassa dari sampel pohon hidup yang memiliki jenis yang sama. Jika penelitian
tersebut belum tersedia, penghitungan biomasa pohon mati dapat menggunakan rumus alometrik pohon hidup dan mengintegrasikan faktor koreksi sesuai tingkat
keutuhan pohon. SNI pengukuran cadangan karbon menggunakan faktor koreksi yaitu pada pohon mati A: dikalikan 0,9, pada pohon Mati B: dikalikan 0,8, dan
pohon mati C: dikalikan 0,7 Manuri et al. 2011.
2.5 Kerapatan kayu
wood density dari beberapa jenis kayu
Haygreen et al. 1996 dalam Nuryawan 2008 mendefinisikan berat jenis sebagai perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan air pada 4ºC. Air
memiliki kerapatan 1 gcm
3
pada suhu standar tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai kerapatan dan berat jenis kayu adalah sama. Oleh karena itu, berat
jenis dapat dihitung secara langsung dengan membagi berat dalam g dengan volume dalam cm
3
. Namun berat jenis tidak mempunyai satuan karena berat
jenis adalah nilai relatif. Kerapatan kayu wood density dari beberapa jenis kayu dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kerapatan kayu wood density dari beberapa jenis kayu Anonim 2012
Jenis Wood Density
kgm
3
WD rata-rata gcm
3
Moisture content Lagerstroemia speciosa
580-810 0,70
15 Gmelina arborea
400-560 0,48 15
Pareserianthes falcataria 240-490
0,37 15
Peronema canescens 360-730
0,55 15
Acacia mangium 530-660 0,60
15 Acacia auriculiformis
490-840 0,67
15 Melaleuca quinquenervia
700-750 0,73
15 Bridelia ovata
590-910 0,75 15
Microcos oligoneura 460-570
0,52 12
2.6 Kebakaran dan
dampaknya 2.6.1 Kebakaran hutan dan lahan
Kebakaran hutan merupakan fenomena alam yang terjadi sejak ribuan tahun silam di berbagai pelosok bumi. Api telah digunakan sebagai alat untuk
mempersiapkan lahan yang paling murah dan sederhana untuk keperluan perladangan, pertanian menetap, perkebunan maupun kehutanan. Menurut
Syaufina 2008, baik pembakaran yang disengaja maupun kebakaran liar memiliki sifat-sifat dasar yang sama. Perbedaannya terletak pada faktor penyebab
terjadinya api. Pada kasus pembakaran disengaja, faktor utama yang menyebabkan terjadinya api adalah manusia. Pada kasus kebakaran liar, api dapat
berasal dari alam atau penjalaran dari kegiatan pembakaran yang disengaja. Menurut Syaufina 2008, proses pembakaran terjadi apabila ada tiga unsur
utama, yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas Gambar 1. Jika salah satu dari ketiganya tidak ada, maka proses pembakaran tidak akan terjadi. Prinsip tersebut
dikenal dengan prinsip segitiga api yang menjadi kunci utama dalam mempelajari kebakaran hutan dan lahan sekaligus dalam upaya pengendalian kebakaran. Bahan
bakar hutan merupakan seluruh bahan vegetatif yang dapat ditemukan di dalam hutan yang terdiri atas susunan selulosa, hemiselulosa, dan lignin, serta
kandungan komponen ekstraktif dan mineral. Bahan bakar dan oksigen tersedia di hutan dalam jumlah berlimpah dan dipengaruhi oleh susunan bahan bakarnya,
sedangkan sumber panas penyalaan sangat bergantung pada kondisi alami suatu daerah dan kegiatan manusia.
Gambar 1 Segitiga api
2.6.2 Faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
Menurut Syaufina 2008, ada dua faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan Indonesia, yaitu:
a. Faktor Alam
Kebakaran hutan dan lahan yang dapat terjadi secara alami antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, seperti petir, letusan gunung berapi, atau batu
bara yang terbakar. Pada negara subtropis, faktor alam memegang peranan penting dalam menyebabkan kebakaran. Hal itu didukung oleh kondisi iklim dan
jenis bahan bakar hutan yang memungkinkan untuk terbakar, misalnya kelembaban yang rendah.
b. Faktor manusia
Hampir seratus persen kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh perbuatan manusia, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Terdapat
beberapa faktor yang melatarbelakangi kejadian kebakaran di Indonesia yang sebagaian besar terkait dengan akar permasalahan sosial ekonomi. Hal itu
diperjelas oleh hasil penelitian ICRAFCIFOR mengenai penyebab kebakaran hutan di Indonesia yang mengambil studi kasus kebakaran tahun 19971998 di
mana penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah faktor sosial ekonomi.
Penelitian ICRAFCIFOR di sepuluh lokasi penelitian dalam enam provinsi Sumatera dan Kalimantan yang terdiri atas Lampung, Jambi, Sumatera Selatan,
Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur menunjukkan bahwa penyebab langsung kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah a api digunakan dalam
pembukaan lahan; b api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah; c api menyebar secara tidak sengaja; dan d api yang berkaitan dengan
ekstraksi sumber daya alam. Sementara itu, penyebab tidak langsung kebakaran hutan dan lahan meliputi a penguasaan lahan; b alokasi penggunaan lahan; c
Oksigen
Bahan Panas
insentifdisinsentif ekonomi; d degradasi hutan dan lahan; e dampak dari perubahan karakteristik kependudukan; dan f lemahnya kapasitas kelembagaan.
2.6.3 Dampak kebakaran hutan dan lahan
Dampak kebakaran hutan dan lahan ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Dampak kebakaran hutan dan lahan baik yang menguntungkan
maupun yang merugikan menurut Syaufina 2008 adalah sebagai berikut:
A. Dampak kebakaran yang menguntungkan
Api telah digunakan oleh manusia sejak ribuan tahun silam. Pada saat itu manusia menggunakan api sebagai alat bantu yang sangat bermanfaat dalam
kehidupan sehari-hari. Selain untuk membersihkan lahan yang paling murah dan cepat, api juga dapat menyuburkan lahan perladangan. Faktanya, kebakaran hutan
dan lahan tidak selalu berdampak buruk bagi lingkungan. Namun, masih perlu kajian lebih lanjut mengenai sejauh mana dan seberapa besar keuntungan dari
terjadinya kebakaran hutan dan lahan tersebut jika dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkannya, sehingga dituntut bersikap bijak dalam mengkaji dan
menilai kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan. Pada negara maju, pembakaran terkendali controlled burning dilakukan
secara periodik guna mengurangi potensi bahan bakar sehingga dapat menghindarkan kebakaran yang lebih besar. Api juga digunakan dalam
pengelolaan margasatwa untuk memperbaiki keadaan habitat dan menyediakan sumber makanan yang baik bagi satwa. Selain itu, kegiatan pembakaran juga
digunakan untuk memusnahkan hama dan penyakit apabila serangannya sudah tidak terkendali. Pembakaran terkendali ini juga perlu dibekali pengetahuan yang
memadai mengenai teknik pembakaran, waktu pembakaran, dan perilaku api. Abu hasil proses pembakaran terbukti dapat meningkatkan pH tanah hutan
yang umumnya bersifat masam. Selain itu, kandungan mineral yang tinggi dapat menjadi sumber nutrisi bagi tanaman yang akan tumbuh di atasnya. Sumbangan
nutrisi ini tidak berlangsung lama, terlebih jika terjadi hujan yang membuat proses pencucian mudah terjadi.
B. Dampak kebakaran yang merugikan
Kebakaran hutan dan lahan juga memberikan dampak yang merugikan bagi lingkungan. Hal itu jelas terlihat dan dapat dirasakan pada saat terjadi kebakaran
hutan besar tahun 19821983 dan tahun 19971998. Hampir semua media masa memberitakan permasalahan lingkungan yang timbul akibat kebakaran berupa
kabut asap dan kerugian ekonomi, termasuk kerusakan ekosistem dan komponen- komponennya. Dampak kebakaran hutan dan lahan yang merugikan menurut
Syaufina 2008, meliputi:
1. Dampak kebakaran terhadap tanah
Kebakaran hutan dan lahan akan mengubah fungsi tanah dalam menyerap dan menyimpan cadangan air. Tanah berinteraksi dengan ekosistem lainnya
melalui suplai air di udara, sumber hara, dan menyangga tumbuhan secara mekanis. Kebakaran akan berdampak pada sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
dengan tahapan yang berbeda, tergantung pada beberapa faktor, seperti karakteristik tanah, intensitas dan lamanya kebakaran, waktu dan intensitas hujan
setelah terjadinya kebakaran, serta sifat bahan bakar. Kebakaran akan mempengaruhi suhu tanah, struktur tanah, serta
kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air. Selain itu, bobot isi bulk density
akan meningkat yang selanjutnya akan menurunkan porositas dan laju infiltrasi tanah. Hasilnya, aliran permukaan akan meningkat sehingga tanah
menjadi peka terhadap faktor-faktor yang dapat meningkatkan erosi dan banjir. Kebakaran yang menimbulkan pemanasan tanah dapat menghancurkan struktur
tanah, mempengaruhi total porositas distribusi ukuran pori pada permukaan horizon tanah, melalui penurunan total porositas dan ukuran pori tanah.
Kehilangan pori makro pada permukaan tanah akan mengurangi laju infiltrasi dan meningkatkan aliran air pada permukaan tanah. Besarnya dampak kebakaran
terhadap sifat fisika tanah tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis tanah, sifat tanah asal, intensitas kebakaran, tingkat kekerasan kebakaran fire severity,
presipitasi setelah kebakaran, dan periode pengukuran setelah kebakaran. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang ada, tidak lama setelah terjadi kebakaran
bobot isi akan meningkat. Beberapa waktu setelah peristiwa kebakaran, bobot isi cenderung menurun karena adanya proses pemulihan dari lahan yang terbakar.
Sistem kimia tanah yang terdiri atas komponen-komponen organik dan nonorganik berinteraksi secara kontinu dengan melibatkan bahan organik,
kapasitas tukar kation KTK, kapasitas buffer, dan pH tanah. Bahan organik ditemukan di atas maupun di bawah permukaan tanah. Jumlah bahan organik yan
dihasilkan oleh tumbuhan bervariasi, tergantung pada tipe vegetasi yang tumbuh. Hasil penelitian Setiyono 2004 yang menganalisis sifat kimia tanah pada
tegakan Acacia mangium yang terbakar di daerah Parungkuda, Sukabumi, menunjukkan bahwa kandungan C-organik meningkat secara nyata setelah
kebakaran. Hal itu disebabkan oleh pembakaran komponen utama berupa selulosa dan hemiselulosa serta lignin yang berubah menjadi senyawa karbondioksida dan
karbonat. Karbondioksida akan dilepas dalam bentuk gas saat terjadi kebakaran, sedangkan karbonat berakumulasi pada abu dan jatuh di permukaan tanah yang
akan menambah kandungan karbonat tanah. Hasil analisis tanah yang dilakukan Syaufina et al. 2005 dalam Syaufina 2008 pada lahan terbakar di hutan
sekunder Jasinga, Bogor menunjukkan bahwa tiga hari setelah pembakaran, kandungan Mg, K, dan Na menurun dengan nyata. Sementara itu, setelah satu
minggu terjadi peningkatan Na dan penurunan KTK secara signifikan. Terjadi peningkatan C-organik, N-total, K, dan Na secara signifikan dalam periode dua
minggu. Selanjutnya, setelah tiga minggu terjadi peningkatan C-organik, N-total, K, dan Na secara signifikan.
2. Dampak kebakaran terhadap vegetasi
Dampak paling nyata akibat kebakaran terlihat pada vegetasi. Panas yang dihasilkan dalam suatu kebakaran dapat menyebabkan kematian vegetasi. Jika
panas yang dihasilkan masih memungkinkan vegetasi untuk hidup maka akan menyisakan luka-luka akibat kebakaran yang akan merangsang pertumbuhan
hama dan penyakit atau menghasilkan cacat permanen. Akibatnya, riap hutan akan berkurang dan fungsi lindung hutan akan hilang. Bagi semaianakan pohon
memiliki jaringan tanaman yang masih muda, api akan menyebabkan kematian secara langsung. Hal itu menjadi penting bagi para pengelola hutan untuk
menentukan seberapa parah dampak kebakaran terhadap vegetasi Syaufina 2008. Adanya ekosistem vegetasi yang bergantung pada api menunjukkan bahwa
untuk jenis-jenis kebakaran tertentu dapat melestarikan keberadaannya. Hal itu
ditunjukkan dengan adanya sifat adaptif vegetasi terhadap api yang dikenal dengan istilah fire adaptive traits DeBano et al. 1998 dalam Syaufina 2008.
Menurut Syaufina 2008, adanya kebakaran menyebabkan berkurangnya jumlah jenis, namun terdapat jenis-jenis tertentu yang muncul, khususnya jenis pioneer
pada areal bekas kebakaran. Hasil penting dari penelitian Pangaribuan 2003 adalah ditemukannya sifat adaptif tumbuhan Pinus merkusii Jungh et de Vriese
terhadap kebakaran. Hal itu terlihat dengan adanya jenis permudaan pinus yang lebih banyak yaitu 180 individuha pada areal terbakar dibanding pada tegakan
yang tidak terbakar yaitu 40 individuha.
2.7 Kualitas tempat tumbuh tanah
Menurut Hanafiah 2005, fungsi utama tanah adalah sebagai media tumbuh tanaman. Indikator kecukupan air dan nutrisi yang dapat disediakan tanah
dicerminkan oleh kualitas pertumbuhan dan produksi tanaman yang tumbuh di atasnya. Menurut Soepardi 1983, tanah dari setiap tempat berbeda. Perbedaan
tanah tersebut telah menyusun suatu klasifikasi, dimana tanah dianggap terdiri dari berbagai tanah dengan sifat dan ciri khas masing-masing. Oleh karena itu,
suatu tanah mempunyai sifat dan ciri khas yang membedakannya dari tanah lain. Menurut Wasis 2006, tanah merupakan faktor edafis yang penting bagi
pertumbuhan perakaran pohon dan perkembangannya. Kegiatan kehutanan dan pertanian memerlukan tanah yang subur untuk keberhasilan usaha penanaman.
Kesuburan tanah diartikan sebagai kesuburan kimiawi dan fisika, yang memungkinkan pohon tumbuh dengan baik dan menghasilkan kayu produk
lainnya. Kesuburan tanah ditentukan oleh sifat kimia, fisika dan bilogis tanah
BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Lokasi
Pertambangan PT Bukit Asam PTBA unit pertambangan Tanjung Enim terletak di Desa Tanjung Enim Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara
Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Kedudukan Wilayah Kerja Kuasa Penambangan WKKP PTBA berada 220 km di sebelah Barat Daya Ibukota Proponsi Sumatera
Selatan, yaitu Palembang. Daerah WKKP yang terletak di Proponsi Sumatera Selatan ini berada di dua wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Muara Enim dan
Kabupaten Lahat. Posisi geografis lokasi WKKP terletak pada posisi 3º40’- 3º45’LS dan 103º40’-103º48’BT. Batas-batas daerah perencanaannya meliputi:
sebelah Utara dibatasi oleh Kecamatan Muara Enim, sebelah Timur dibatasi oleh Kecamatan Lawang Kidul, sebelah Selatan dibatasi oleh Kecamatan Tanjung
Agung, sebelah Barat dibatasi oleh Kecamatan Merapi di Kabupaten Lahat PTBA 2004.
3.2 Iklim dan curah hujan
Keadaan iklim di daerah kegiatan pertambangan ditandai dengan adanya musim kemarau dan musim hujan. Hal ini sama seperti kondisi wilayah di
Indonesia pada umumnya. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, tipe iklim di wilayah Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat mempunyai tipe
iklim A. Sebaran curah hujan bulanan dengan nisbah rata-rata jumlah bulan kering dan rata-rata bulan basah adalah 5,5. Bulan kering adalah bulan dengan curah
hujan 60 mm dan bulan basah adalah bulan dengan curah hujan 100 mm, sedangkan bulan lembab merupakan bulan dengan curah hujan antara 60–100
mm. Suhu udara maksimum di daerah penelitian adalah berkisar 33,9 C pada
bulan Februari dan suhu udara minimum adalah 20,8 C di bulan November.
Kelembaban udara maksimum berkisar antara 95–98 dan kelembaban udara minimum adalah 35-46 PTBA 2004.
3.3 Tanah
Derah PTBA tersusun oleh 2 dua jenis tanah yaitu podsolik dan latosol. Tanah podsolik terbentuk dari pelapukan batu liat, berlapis baik dan mempunyai