Prevalensi kebutaan dan severe low vision

17.1.1 Prevalensi kebutaan dan severe low vision

Terdapat perbedaan metoda pengukuran tajam penglihatan/visus antara Riskesdas 2007 yang menggunakan Snellen chart dan Riskesdas 2013 yang menggunakan tumbling E. Alat peraga ini lebih sederhana daripada Snellen chart tetapi mempunyai keterbatasan mengidentifikasi visus dengan rentang tertentu, bukan visus satu nilai seperti Snellen chart. Tumbling E jauh lebih mudah digunakan dan dilaporkan cukup spesifik mengidentifikasi adanya gangguan penglihatan (Limburg, 2001), sedangkan Snellen chart lebih detail, perlu waktu pemeriksaan lebih lama, dan format pelaporan angka ukuran visus yang lebih rumit.

Alat yang dipergunakan untuk pemeriksaan visus adalah tali pengukur jarak sepanjang 6 meter, satu set kartu tumbling E (ukuran besar untuk visus 6/60, sedang untuk visus 6/18, dan kecil untuk visus 6/6), serta penutup mata dengan pin-hole. Disediakan 6 pilihan jawaban untuk kategori visus, yaitu:

1. Dapat melihat E kecil (jarak 6m)

2. Tidak dapat melihat E kecil, tetapi dapat melihat E sedang (jarak 6m)

3. Tidak dapat melihat E sedang, tetapi dapat melihat E besar (jarak 6m)

4. Tidak dapat melihat E besar (jarak 6m), tetapi dapat melihat E besar (jarak 3m)

5. Tidak dapat melihat E besar pada jarak 3m

6. TIDAK DIPERIKSA Interpretasi kode visus tiap mata adalah sebagai berikut: kode 1 berarti visus normal (6/6), kode 2

berarti gangguan visus ringan (visus kurang dari 6/6 sampai 6/18), kode 3 berarti low vision (visus kurang dari 6/18 sampai 6/60), kode 4 berarti severe low vision (kurang dari 6/60 sampai 3/60) dan kode 5 berarti buta (kurang dari 3/60). Visus tidak diperiksa jika responden berumur 6 tahun keatas, tetapi tidak kooperatif, atau tidak memungkinkan untuk diperiksa visusnya, seperti responden dengan kelainan jiwa berat atau mereka yang mengalami kelumpuhan total.

Responden umur 6 tahun keatas yang memenuhi kriteria untuk dianalisis berjumlah 924.780 orang.

te ls lt e pung a u u N n ta P

IN Tahun 2007

Tahun 2013

Gambar 17.1 Prevalensi kebutaan pada responden umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2007-2013.

Gambar 17.1 menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan pada Riskesdas 2013 cenderung lebih rendah dibandingkan prevalensi kebutaan tahun 2007. Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas tertinggi ditemukan di Gorontalo (1,1%) diikuti Nusa Tenggara Timur (1,0%), Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung (masing-masing 0,8%). Pada Riskesdas 2007 prevalensi kebutaan tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan (2,6%) diikuti Nusa Tenggara Timur (1,4%) dan Bengkulu (1,3%). Prevalensi kebutaan terendah ditemukan di Papua (0,1%) diikuti Nusa Tenggara Barat dan DI Yogyakarta (masing-masing 0,2%). Response rate Papua rendah, sehingga angka kebutaan untuk Papua diragukan validitasnya, seperti juga saat Riskesdas 2007 (prevalensi kebutaan 0,4%) dan diperkirakan tidak mewakili keadaan sebenarnya untuk wilayah Papua. PERDAMI telah melakukan studi validasi dengan memeriksa kembali respoden yang telah didatangi oleh enumerator Riskesdas. Dari studi validasi ini akan dikeluarkan nilai faktor koreksi terhadap angka prevalensi kebutaan.

Pakai Kacamata/Lensa Kontak

Severe Low vision

Kebutaan

Gambar 17.2 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kelompok umur, Indonesia 2013

Gambar 17.2 memperlihatkan kecenderungan kepemilikan dan pemakaian alat bantu/koreksi penglihatan jauh (kaca mata atau lensa kontak) meningkat sesuai pertambahan umur, prevalensi tertinggi pada kelompok umur 55-64 tahun, tetapi menurun kembali pada kelompok penduduk lanjut usia (65 tahun keatas). Hal ini mungkin berkaitan dengan produktivitas penduduk lanjut usia yang cenderung menurun, sehingga kebutuhan memiliki penglihatan jarak jauh yang optimal juga berkurang. Dengan kata lain, penduduk lanjut usia merasa cukup dengan kualitas penglihatan jarak jauh yang kurang baik karena mereka masih dapat melakukan aktivitas sosial harian tanpa gangguan yang bermakna.

Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar 1,49 persen dan prevalensi kebutaan sebesar 0,5 persen. Prevalensi severe low vision dan kebutaan meningkat pesat pada penduduk kelompok umur 45 tahun keatas dengan rata-rata peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya. Prevalensi severe low vision dan kebutaan tertinggi ditemukan pada penduduk kelompok umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan proses degeneratif pada pertambahan usia.

Gambar 17.3 dan 17.4 memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan, makin tinggi tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan penduduk, maka makin tinggi pula proporsi penduduk yang memiliki kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh. Keadaan tersebut dapat berkaitan dengan kebutuhan penduduk akan tajam penglihatan optimal yang makin besar sesuai dengan prioritas subjektif penduduk dalam memenuhi kebutuhan sosial sehari-hari mereka. Diasumsikan bahwa penduduk dengan tingkat pendidikan formal atau kuintil indeks kepemilikan lebih tinggi, cenderung memilih jenis pekerjaan formal, seperti menjadi pegawai/karyawan, sehingga butuh visus maksimal untuk melihat jauh sesuai jenis dan aktivitas utama pekerjaan formalnya.

0,3 0,1 0,0 Tidak sekolah Tidak tamat SD

Tamat SD

Tamat SMP

Tamat SMA

Tamat PT

Pakai Kacamata/Lensa Kontak

Severe Low vision

Kebutaan

Gambar 17.3 Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut pendidikan, Indonesia 2013

Sebaliknya, prevalensi severe low vision dan kebutaan cenderung menurun seiring dengan makin tingginya tingkat pendidikan formal dan kuintil indeks kepemilikan. Keadaan ini diperkirakan berkaitan erat dengan kesadaran penduduk akan pentingnya tajam penglihatan maksimal serta makin tingginya upaya penduduk untuk mendapatkan kualitas hidup optimal, termasuk memiliki penglihatan yang baik, didukung oleh pengetahuan individu yang lebih baik tentang derajat kesehatan serta kemampuan ekonomi yang lebih tinggi.

Menengah bawah

Menengah

Menengah atas

Teratas

Pakai Kacamata/Lensa Kontak

Severe Low vision

Kebutaan

Gambar 17.4

Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut kuintil

indeks kepemilikan, Indonesia 2013

Gambar 17.5 menunjukkan proporsi penduduk yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak di perkotaan sekitar dua kali lebih banyak dibandingkan responden di perdesaan. Prevalensi severe low vision dan kebutaan cenderung lebih tinggi di perdesaan. Prevalensi severe low vision dan kebutaan cenderung lebih tinggi pada penduduk di perdesaan.

Pakai Kacamata/Lensa

Severe Low vision

Prevalensi pemakaian kaca mata/lensa kontak, severe low vision, dan kebutaan menurut tempat

tinggal, Indonesia 2013

Tabel 17.1 menunjukkan proporsi pegawai yang mempunyai kaca mata atau lensa kontak tiga kali lebih banyak dibanding kelompok petani/nelayan/buruh. Penduduk perempuan cenderung lebih banyak yang menggunakan kaca mata atau lensa kontak untuk penglihatan jarak jauh.

Penduduk yang tidak bekerja atau bekerja sebagai petani/nelayan/ buruh cenderung lebih banyak yang menderita severe low vision dan kebutaan. Prevalensi severe low vision dan kebutaan Penduduk yang tidak bekerja atau bekerja sebagai petani/nelayan/ buruh cenderung lebih banyak yang menderita severe low vision dan kebutaan. Prevalensi severe low vision dan kebutaan

Tabel 17.2 memperlihatkan distribusi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak untuk melihat jauh menurut provinsi. Proporsi ketersediaan kaca mata atau lensa kontak paling tinggi ditemukan di DKI Jakarta (11,9%) diikuti DI Yogyakarta (9,2%), dan Sulawesi Utara (7,5%).

Tabel 17.2 juga menunjukkan bahwa prevalensi severe low vision penduduk umur 6 tahun keatas secara nasional sebesar 0,9 persen. Prevalensi severe low vision tertinggi terdapat di Lampung (1,7%), diikuti Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat (masing-masing 1,6%). Di Nusa Tenggara Timur, prevalensi severe low vision dan kebutaan pada Riskesdas 2013 cukup tinggi.

Provinsi dengan prevalensi severe low vision terendah adalah DI Yogyakarta (0,3%) diikuti oleh Papua Barat dan Papua (masing-masing 0,4%).

Prevalensi kebutaan penduduk umur 6 tahun keatas secara nasional adalah 0,4 persen dan prevalensi tertinggi, seperti telah disebutkan sebelumnya, ditemukan di Gorontalo (1,1%) diikuti Nusa Tenggara Timur (1,0%), Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung (masing-masing 0,8%). Prevalensi kebutaan terendah, seperti telah disebutkan sebelumnya, ditemukan di Papua (0,1%) diikuti Nusa Tenggara Barat dan DI Yogyakarta (masing-masing 0,2%). Di Papua dan DI Yogyakarta prevalensi severe low vision dan kebutaan sangat rendah dibandingkan provinsi lain.

Tabel 17.1

Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada

penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2013 Pakai kaca mata/

Karakteristik Severe low vision Kebutaan

lensa kontak

Kelompok umur (tahun) 6-14

8,4 Jenis kelamin Laki-laki

0,5 Pendidikan Tidak sekolah

1,7 Tidak tamat SD

0,5 Tamat SD

0,4 Tamat SMP

0,1 Tamat SMA

0,1 Tamat D1-D3/PT

0,1 Pekerjaan Tidak bekerja

0,2 Petani/nelayan/buruh

0,3 Tempat tinggal Perkotaan

0,5 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah

0,7 Menengah bawah

0,4 Menengah atas

0,3 Teratas

Tabel 17.2 Proporsi ketersediaan koreksi refraksi serta prevalensi severe low vision dan kebutaan pada penduduk umur ≥6 tahun tanpa/dengan koreksi optimal menurut provinsi, Indonesia 2013

Pakai kaca mata/

Severe low

Provinsi Kebutaan

lensa kontak

vision

Aceh

0,4 Sumatera Utara

0,3 Sumatera Barat

0,3 Sumatera Selatan

0,6 Bangka Belitung

0,7 Kepulauan Riau

0,3 DKI Jakarta

0,4 Jawa Barat

0,3 Jawa Tengah

0,5 DI Yogyakarta

0,2 Jawa Timur

0,3 Nusa Tenggara Barat

0,2 Nusa Tenggara Timur

1,0 Kalimantan Barat

0,3 Kalimantan Tengah

0,5 Kalimantan Selatan

0,4 Kalimantan Timur

0,3 Sulawesi Utara

0,8 Sulawesi Tengah

0,3 Sulawesi Selatan

0,8 Sulawesi Tenggara

1,1 Sulawesi Barat

0,5 Maluku Utara

0,4 Papua Barat

3.17.1.2 Kelainan permukaan mata dan lensa

Kelainan atau morbiditas permukaan mata yang diperiksa oleh surveyor adalah pterygium dan kekeruhan kornea, sedangkan kelainan lensa yang diharapkan dapat diidentifikasi oleh enumerator adalah kekeruhan lensa (katarak) yang tebal dan biasanya sudah disertai gangguan penglihatan. Pemeriksaan morbiditas permukaan mata dan lensa ini dilakukan pada semua responden. Jumlah responden semua umur yang dianalisis sebesar 1.027.763 orang.

Pterygium merupakan penebalan konjungtiva (bagian putih mata) pada sisi medial dan atau lateral, biasanya pada orang tua, tetapi bisa juga ditemukan pada dewasa muda, semakin lama semakin meluas kearah kornea. Kekeruhan kornea adalah kelainan pada kornea berupa bercak berwarna putih keruh dan biasanya tidak berkaitan dengan faktor pertambahan usia.

Kekeruhan Kornea

lu n IY uka a pung

Gambar 17.6 Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea menurut provinsi, Indonesia 2013

Gambar 17.6 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium nasional sebesar 8,3 persen dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium terendah yaitu 3,7 persen, diikuti oleh Banten 3,9 persen.

Prevalensi kekeruhan kornea nasional adalah 5,5 persen dengan prevalensi tertinggi juga ditemukan di Bali (11,0%), diikuti oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Papua Barat (2,0%) diikuti DKI Jakarta (3,1%).

Tabel 17.3 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Tidak lazim pterygium terjadi pada anak umur 0-4 tahun, sehingga data prevalensi pterygium pada anak balita dalam analisis ini dinilai kurang valid. Prevalensi kekeruhan kornea yang meningkat seiring bertambahnya usia mungkin disebabkan karena kurangnya keahlian enumerator dalam melakukan penilaian untuk kekeruhan kornea, sehingga data yang dikumpulkan cenderung kurang valid.

Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang paling tinggi (16,8% untuk pterygium dan 13,6% untuk kekeruhan kornea) ditemukan pada kelompok responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea tertinggi (15,8% untuk pterygium dan 9,7% untuk kekeruhan kornea) dibanding kelompok pekerja lainnya. Tingginya prevalensi pterygium pada kelompok pekerjaan tersebut mungkin berkaitan dengan tingginya paparan matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian pterygium. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok pekerjaan petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan dengan riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia.

Tabel 17.3

Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada penduduk semua umur menurut karakteristik,

Indonesia 2013

Morbiditas permukaan mata Karakteristik

Kekeruhan kornea Kelompok umur (tahun)

39,6 Jenis kelamin Laki-laki

5,4 Pendidikan Tidak sekolah

13,6 Tidak tamat SD

6,4 Tamat SD

7,7 Tamat SMP

3,6 Tamat SMA

3,4 Tamat PT

3,6 Pekerjaan Tidak bekerja

6,3 Petani/nelayan/buruh

12 7,3 Tempat tinggal Perkotaan

5,0 Perdesaan

6,0 Kuintil indeks kepemilikan Terbawah

7,5 Menengah bawah

5,8 Menengah atas

Penduduk yang tinggal di perdesaan mempunyai prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea yang lebih besar dibandingkan penduduk di perkotaan. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kuintil indeks kepemilikan.

Pada tabel 17.4 terlihat bahwa prevalensi katarak tertinggi di Sulawesi Utara (3,7%) diikuti oleh Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%). Prevalensi katarak terendah ditemukan di DKI Jakarta (0,9%) diikuti Sulawesi Barat (1,1%).

Sebagian besar penduduk dengan katarak di Indonesia belum menjalani operasi katarak karena faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak yang dideritanya dan mereka tidak Sebagian besar penduduk dengan katarak di Indonesia belum menjalani operasi katarak karena faktor ketidaktahuan penderita mengenai penyakit katarak yang dideritanya dan mereka tidak

Laporan lengkap tentang prevalensi katarak dan alasan utama belum menjalani operasi katarak menurut karakteristik disajikan dalam Buku Riskesdas 2013 dalam Angka.

Tidak tahu kalau katarak

Tidak mampu membiayai

Takut Operasi

Gambar 17.7 Proporsi tiga alasan utama penderita katarak belum menjalani operasi menurut provinsi, Indonesia 2013

Tabel 17.4

Prevalensi katarak dan tiga alasan utama belum menjalani operasi katarak pada penduduk

semua umur menurut provinsi, Indonesia 2013

Alasan Belum Operasi Provinsi

Katarak

Tidak tahu

Tidak mampu Takut

membiayai operasi Aceh

kalau katarak

14,6 Sumatera Utara

13,9 Sumatera Barat

8,5 Sumatera Selatan

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

KEBIJAKAN BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN DAERAH (BAPEDALDA) KOTA JAMBI DALAM UPAYA PENERTIBAN PEMBUANGAN LIMBAH PABRIK KARET

110 657 2

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

HUBUNGAN ANTARA STRES DAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

11 143 2