BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gejala Serangan Rigidoporus microporus pada Bibit Tanaman Karet
Gejala awal serangan R. microporus pada bibit karet yang terserang penyakit adalah terjadinya perubahan warna daun atau sebagian dari helaian daun. Pada bibit karet
yang teserang penyakit, daun terlihat berwarna kuning dan hijau kekuningan, terlihat adanya bintik-bintik kuning pada permukaan daun Gambar 4.1.1. Daun-daun tua
serta batang tanaman layu, bagian ujung daun mengering berwarna coklat muda. Beberapa helai daun gugur sebelum seluruh daun tanaman rontok. Semangun 2008
menyebutkan bahwa tanaman yang diserang JAP warna daunnya tampak kusam, kurang mengkilat, dan melengkung ke bawah. Selanjutnya daun-daun akan
menguning dan rontok.
Gambar 4.1.1 Daun yang terserang Rigidoporus microporus a bercak coklat pada permukaan daun, b daun berwarna hijau kekuningan dan c ujung
daun kering dan berwarna coklat muda
Gejala pada bagian atas tanah mirip dengan gejala yang disebabkan oleh penyakit-penyakit akar pada umumnya. Untuk memastikan penyebab penyakit harus
dilakukan pembongkaran akar Semangun 2008. Pembukaan leher akar bibit karet terlihat adanya miselium Gambar 4.1.2. Miselium rizomorf tampak berwarna putih
dan memenuhi leher akar.
a. b.
c.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.1.2 Leher akar yang dipenuhi rizomorf Akar tanaman yang telah terserang JAP digunakan sebagai sumber inokulum
untuk menginfeksi bibit tanaman karet yang sehat Gambar 4.1.3. Akar ditumbuhkan pada media PDA dan dikoleksi jenis jamur yang muncul untuk disesuaikan ciri-
cirinya dengan R. microporus. Menurut Semangun 2008 basidiospora pada tubuh buah tidak dapat menimbulkan infeksi pada pohon karet yang sehat. Oleh karena itu
dalam penelitian ini sumber inokulum yang digunakan diperoleh dari akar tanaman karet yang sudah terserang JAP.
Gambar 4.1.3 a Akar tanaman karet yang terserang JAP, b Isolasi potongan akar pada media PDA dan c Biakan murni Rigidoporus microporus umur
5 hari di media PDA pada suhu ruang ± 28-30
°
C Akar tanaman yang dipenuhi rizomorf diinokulasikan pada bagian akar bibit
tanaman karet yang sehat. Pengamatan selama 60 hari menunjukkan gejala yang sama seperti pengamatan di lapangan yaitu ditunjukkan dengan daun yang layu dan
mengalami perubahan warna.
a c
b
Universitas Sumatera Utara
4.2 Kemampuan Antagonis Bakteri Kitinolitik Terhadap R. microporus
Hasil uji antagonis isolat bakteri kitinolitik terhadap R. microporus menunjukkan keenam isolat memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menghambat
pertumbuhan R. microporus. Kemampuan antagonis isolat ditandai dengan adanya zona hambat yang terbentuk pada daerah pertemuan koloni bakteri dengan jamur.
Zona hambat yang terbentuk berupa cerukan penipisan elevasi Gambar 4.2.1.
Gambar 4.2.1 Kemampuan antagonis isolat a Bacillus sp. BK13 b Enterobacter sp.
BK15 c Bacillus sp. BK17 d PB 08 e PB15 dan f Enterobacter sp. PB17 dalam menghambat R. microporus
Zona hambat terbentuk karena adanya interaksi antara bakteri kitinolitik yang mendesak hifa jamur R. microporus. Interaksi antara bakteri kitinolitik dengan jamur
patogen yang dinding selnya disusun oleh kitin merupakan interaksi yang menguntungkan bagi bakteri kitinolitik tetapi merugikan bagi jamur itu sendiri.
Bakteri menghasilkan senyawa bioaktif yang dapat merusak komponen struktural jamur patogen. Adanya enzim hidrolitik, misalnya kitinase pada bakteri kitinolitik,
mampu mendegradasi kitin penyusun dinding sel jamur tersebut Ferniah et al. 2011. Muharni Widjajanti 2011 menyatakan bahwa kemampuan antagonis bakteri
E
Universitas Sumatera Utara
kitinolitik dalam menghambat pertumbuhan jamur R. microporus ditandai dengan terhambatnya pertumbuhan jamur tersebut di sekitar koloni bakteri kitinolitik.
Zona hambat dapat diamati pada hari keempat dan nilainya terus bertambah sampai hari keenam tidak ada lagi penambahan besarnya zona hambat. Besarnya nilai
zona hambat yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 4.2.1.
Tabel 4.2.1 Besarnya zona hambat mm pada uji in vitro masing-masing isolat terhadapR.microporus
Zona hambat yang dibentuk setiap isolat menunjukkan hasil yang berbeda- beda yaitu berkisar anatara 2,23 - 24,74 mm. Diameter zona hambat terus bertambah
sejalan dengan lamanya masa inkubasi. Pada hari ke-7 pengamatan, koloni jamur patogen sudah memenuhi cawan uji sehingga zona hambat sudah tidak dapat dihitung.
Hasil uji menunjukkan bahwa zona hambat tertinggi pada pengamatan hari keenam ditunjukkan oleh isolat Enterobacter sp. PB17 yaitu sebesar 24.74 mm, diikuti oleh
isolat PB08 yaitu sebesar 24.12 mm dan Bacillus sp. BK17 yaitu sebesar 19.57 mm. PB15 merupakan isolat yang menunjukkan nilai penghambatan terendah yaitu sebesar
13.76 mm. Enterobacter sp. PB17, PB08, dan Bacillus sp. BK17 merupakan isolat dengan nilai zona hambat terbesar. Oleh karena itu ketiga isolat ini selanjutnya
digunakan untuk uji in vivo. Perbedaan kemampuan masing-masing isolat bakteri kitinolitik dalam menghambat pertumbuhan R. microporus mungkin disebabkan
perbedaan jenis kitinase yang dihasilkan oleh masing-masing isolat tersebut. Berbagai organisme menghasilkan aneka jenis kitinase dengan spesifikasi dan karakteristik
terhadap substrat yang bervariasi. Bakteri biasanya menghasilkan kitinase sebagai sarana memperoleh nutrisi dan agen parasitisme.
No. Isolat
Zona Hambat mm pengamatan hari ke-
4 5
6 1.
PB08 18.94
21.34 24.12
2. PB15
6.13 8.67
13.76 3.
Enterobacter sp. PB17
6.25 13.40
24.74 4.
Bacillus sp. BK13
2.23 14.00
18.04 5.
Enterobacter sp. BK15
2.65 10.25
19.13 6.
Bacillus sp. BK17
2.98 12.21
19.57
Universitas Sumatera Utara
Beberapa hal yang mempengaruhi besar kecilnya zona hambat yang dibentuk bakteri kitinolitik terhadap jamur patogen antara lain: interaksi antara kemampuan
bakteri kitinolitik dalam menghasilkan enzim hidrolitik, umur biakan bakteri, jumlah enzim yang dihasilkan, komposisi medium dan waktu inkubasi. Penurunan zona
hambat juga dapat terjadi karena isolat bakteri sudah masuk fase kematian disebabkan sumber nutrisi pada media terbatas, kitin sebagai induser kitinase dalam media
berkurang sehingga sekresi kitinase berkurang dan perkembangan R. microporus yang tumbuh vertikal sehingga dapat melewati daerah zona hambat Dewi 2011.
Enzim kitinase disintesis secara induktif, yaitu hanya akan dihasilkan jika ada senyawa kitin sebagai indusernya Ferniah et al. 2011. Keberadaan kitin pada media
memacu isolat bakteri kitinolitik untuk memproduksi kitinase yang dapat mendegradasi dinding sel jamut patogen. Ketika kitin yang ada di sekitar koloni sudah
terurai enzim kitinase akan mengkolonisasi miselium jamur untuk menguraikan kitin yang ada pada dinding sel jamur tersebut. Penguraian kitin pada dinding sel jamur
menyebabkan penghambatan bagi pertumbuhan jamur. Adanya senyawa metabolit lain selain kitinase juga menjadi salah satu penyebab perbedaan daya hambat isolat
bakteri kitinolitik terhadap pertumbuhan jamur patogen tanaman Johansson 2003.
Besarnya nilai zona hambat juga dipengaruhi oleh besarnya kandungan kitin pada dinding sel jamur patogen. Menurut Rajarathanam et al. 1998 semakin besar
kandungan kitin pada dinding sel, semakin besar zona hambat yang terbentuk. Kandungan kitin pada jamur bervariasi mulai dari 4-9 berat kering sel, tergantung
jenis atau strain jamur itu sendiri.
4.3 Pengamatan Mikroskopis Hifa Abnormal R. microporus Setelah Uji