Dampak Program Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinan Kabupaten Tertinggal Di Indonesia.
DAMPAK PROGRAM BANTUAN SOSIAL TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN
KABUPATEN TERTINGGAL DI INDONESIA
EDO PRAMANA PUTRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Program Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Kabupaten Tertinggal di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Edo Pramana Putra
(4)
Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI dan SAHARA.
Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi merupakan dua tujuan pembangunan yang seharusnya dapat dicapai secara bersamaan dalam proses pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti oleh pemerataan ekonomi akan memperlebar jurang pemisah antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lainnya, sementara pemerataan ekonomi tanpa pertumbuhan ekonomi sama halnya dengan meningkatkan kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010-2013 mengalami peningkatan akan tetapi pada saat yang bersamaan terjadi ketimpangan pembangunan. Kesenjangan atau ketimpangan antar daerah (yang maju dan yang tertinggal) semakin melebar. Indikasi dari ketimpangan wilayah adalah munculnya daerah tertinggal dan masalah ketimpangan pembangunan ini merupakan permasalahan disparitas wilayah yang membahayakan kesatuan nasional. Percepatan pembangunan dan pengurangan ketimpangan di daerah tertinggal diupayakan melalui pemberian bantuan sosial (bansos) yang dioperasionalisasikan melalui program bantuan, yang meliputi: (1) peningkatan sumberdaya daerah tertinggal, (2) peningkatan infrastruktur daerah tertinggal, (3) pembinaan ekonomi dan dunia usaha daerah tertinggal, (4) pembinaan kelembagaan dan sosial budaya daerah tertinggal, dan (5) pengembangan daerah khusus.
Bantuan sosial untuk daerah tertinggal sudah diberikan sejak tahun 2009. Namun secara umum kondisi daerah tertinggal di Indonesia belumlah terlalu baik, tingkat kemiskinan masih tinggi yaitu 11 persen dan masih banyaknya jumlah kabupaten tertinggal, yakni 133 kabupaten atau 32,2 persen dari jumlah kabupaten di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji dinamika kemiskinan, perekonomian, dan bantuan sosial di kabupaten tertinggal di Indonesia, (2) menganalisis pengaruh program bantuan sosial Kementerian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Indonesia, (3) menganalisis hubungan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan di kabupaten tertinggal di Indonesia.
Selama tahun 2010-2013 sebagian besar kabupaten tertinggal mengalami penurunan tingkat kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan PDRB, namun juga terdapat daerah kabupaten tertinggal yang mengalami peningkatan tingkat kemiskinan dengan pertumbuhan PDRB yang kecil. Kabupaten tertinggal yang mengalami peningkatan tingkat kemiskinan juga diiringi dengan pertumbuhan PDRB yang paling kecil, seperti yang terjadi pada provinsi Kepulauan Riau dan Sumatera Utara. Kondisi berbeda terjadi pada wilayah tertinggal di kawasan timur, dimana pada wilayah yang mengalami peningkatan kemiskinan justru diiringi dengan tingginya pertumbuhan PDRB nya. Kondisi tersebut mengidentifikasikan bahwa terdapat ketimpangan yang lebih tinggi di daerah tertinggal kawasan timur Indonesia.
Bantuan yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal adalah bantuan infrastruktur dan bantuan kelembagaan sosial dan budaya. Terdapat hubungan negatif antara tingkat PDRB dan kemiskinan di
(5)
daerah tertinggal, dimana peningkatan nilai PDRB memberikan efek terhadap penurunan kemiskinan.
Kebijakan yang direkomendasikan untuk mempercepat pembangunan dan memperkecil ketimpangan antar wilayah di daerah tertinggal yaitu dengan memberikan bantuan yang lebih besar dan kontiniu bagi daerah tertinggal, yaitu bantuan infrastruktur dan bantuan kelembagaan sosial dan budaya. Kata kunci : bantuan sosial, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, daerah
(6)
EDO PRAMANA PUTRA. The Impact of the Social Aid Program Against Economic Growth and Poverty Disadvantaged Regency in Indonesia. Guided by YETI LIS PURNAMADEWI and SAHARA.
Economic growth and economic equitable distributionare the two goals of development that would be achieved simultaneously in the process of economic development.Economic growth without economic equalitable distribution would expand the gap betweenone groups and others, while economic growth without economic aquitable distribution as well as increasing poverty.
Economic growth in Indonesia from 2010 to 2013 has increased but at the same time the inequality of development occurs. The gap or inequality between regions (leading and lagging) expanded. The indications of inequality region makes disadvantaged areas appear and the problem of inequality development is disparity issues that may endanger the unity of the national territory. Accelerated development and the reduction of inequality in underdeveloped areas pursued through the provision of social aid were operationalized through aid programs, which include: (1) an increase in the resources of disadvantaged areas, (2) the improvement of infrastructure underdeveloped areas, (3) development of economic and business in underdeveloped regions, (4) development of institutional and socio-cultural in disadvantaged areas, and (5) the development of specific areas.
Social aid for underdeveloped areas have been granted since 2009. However, the general condition of the rural sector in Indonesia has not been too well, the poverty rate is still high at 11 percent and still large number of underdeveloped districts, namely 133 districts, or 32.2 percent of the total number of districts in Indonesia. The purpose of this study are: (1) assessing the dynamics of poverty, the economy, and social aid in underdeveloped districts in Indonesia, (2) to analyze the influence of the social aid program of the Ministry of PDT to economic growth underdeveloped districts in Indonesia, (3) to analyze the relationship economic growth with poverty in underdeveloped districts in Indonesia.
During 2010-2013 most of the underdeveloped districts decreased on poverty and increased the GDP growth, but lagging districts are experiencing an increase in the level of poverty with a small GDP growth. Underdeveloped districts that experienced the highest increase in poverty rates is also followedby the smallest GDP growth, its happened in the province of Riau and North Sumatra. Different conditions occur in the disadvantaged areas in the eastern region, where the region has increased poverty instead accompanied by high growth in its GDP. The condition was identified that there is a higher inequality in underdeveloped areas of eastern Indonesia.
Social aid which significantly affects economic growth in underdeveloped areas are infrastructure aid, and social aid and cultural institutions. There is negative relationship between the level of GDP and
(7)
poverty in underdeveloped areas, where the increase in value of GDP able to give effect to the reduction of poverty.
The policies that can be recommended to accelerate development and reduce inequality between regions in disadvantaged areas with provide greater aid and is continuous for disadvantaged areas, specially infrastructure aid and social cultural institutions aid.
Keywords: social aid, economic growth, underdeveloped regions, poverty
(8)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(9)
(10)
(11)
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan dan Pembangunan Wilayah Perdesaan
DAMPAK PROGRAM BANTUAN SOSIAL TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KEMISKINAN
KABUPATEN TERTINGGAL DI INDONESIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
(12)
(13)
(14)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Judul dalam penelitian ini ialah Dampak Program Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal Di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MscAgr dan Ibu Dr Sahara, SP MSi selaku pembimbing atas dukungan, arahan, dan waktu yang telah diberikan selama penulisan tesis ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, dan terima kasih kepada ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian sidang atas saran dan masukan yang diberikan. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada DIKTI yang telah membiayai studi penulis melalui program beasiswa Freshgraduate(FG). Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Ayahanda Syafruddin, Ibunda Refni Yetti, dan kakak tercinta Yoga dan Yogi serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Selanjutnya kepada teman-teman PWD angkatan 2012, 2013, 2014 atas doa dan dukungannya selama masa pendidikan, dan kepada Staf PWD yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis selama pendidikan.
Penulis sangat mengharapkan saran-saran dan masukan dari semua pihak untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis sendiri khususnya.
Bogor, Januari 2016
(15)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Permasalahan 5
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 8
Ruang Lingkup Penelitian 8
2 TINJAUAN PUSTAKA 9
Peranan Pemerintah Dalam Pembangunn Ekonomi 9
Teori Pertumbuhan Ekonomi 14
Konsep Kemiskinan 17
Konsep Daerah Tertinggal 20
Penelitian Terdahulu 21
Kerangka Pemikiran 27
3 METODE PENELITIAN 29
Jenis dan Metode Pengumpulan Data 29
Metode Pengolahan dan Analisis Data 29
Model Penelitian 29
Uji Identifikasi Model 32
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 35
Dinamika Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi dan Bantuan Sosial di
KBI dan KTI 35
Analisis Pengaruh Bantuan Sosial Terhadap Pertumbuhan ekonomi
Kabupaten Tertinggal 50
Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Tingkat
Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal di indonesia 55
5. SIMPULAN DAN SARAN 60
DAFTAR PUSTAKA 61
(16)
DAFTAR TABEL
1. Distribusi nilai PDRB menurut pulau di Indonesia tahun 2008-2012 3
2. Jumlah bantuan sosial Kementerian PDT untuk kabupaten tertinggal di Indonesia tahun 2010-2013 6
3. Gambaran umum daerah tertinggal di Indonesia tahun 2010-2013 7
4. Rangkuman penelitian sebelumnya tentang pertumbuhan ekonomi 23
5. Rangkuman penelitian sebelumnya tentang kemiskinan 26
6. Matriks metode penelitian 34
7. Hasil estimasi model pertumbuhan ekonomi 50
(17)
DAFTAR GAMBAR
1. Perkembangan pertumbuhan ekonomi, indeks gini, dan indeks
Williamson di Indonesia tahun 2009-2013 2
2. Sebaran daerah tertinggal menurut pulau di Indonesia tahun 2012 4
3. Lingkaran setan kemiskinan 19
4. Diagram alur kerangka pemikiran 28
5. Tahapan penyusunan model simultan 30
6. Rata-rata persentase kenaikan dan penurunan penduduk miskin kabupaten tertinggal di kawasan barat Indonesia tahun 2009-2013 36
7. Rata-rata persentase kenaikan dan penurunan penduduk miskin kabupaten tertinggal di kawasan timur Indonesia tahun 2009-2013 37
8. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di kawasan barat Indonesia tahun 2009-2013 39
9. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di kawasan timur Indonesia tahun 2009-2013 40
10.Persentase masing-masing bantuan sosial yang disalurkan Kementerian PDT tahun 2010-2013 41
11.Persentase bantuan sumberdaya untuk daerah tertinggal KBI dan KTI tahun 2010-2013 42
12.Distribusi bantuan sumberdaya Tahun 2010-2013 43
13.Persentase bantuan infrastruktur untuk wilayah KBI dan KTI tahun 2010-2013 44
14.Distribusi bantuan infrastruktur tahun 2010-2013 45
15.Persentase bantuan ekonomi dan dunia usaha untuk wilayah KBI dan KTI tahun 2010-2013 46
16.Distribusi bantuan ekonomi dan dunia usaha tahun 2010-2013 46
17.Persentase bantuan lembaga sosial dan budaya untuk wilayah KBI dan KTI tahun 2010-2013 47
18.Distribusi bantuan lembaga sosial dan budaya tahun 2010-2013 47
19.Persentase bantuan daerah khusus untuk wilayah KBI dan KTI tahun 2010-2013 48
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
1. Dinamika kemiskinan menurut persentase penduduk miskin
2010-2013 65
2. Dinamika pertumbuhan ekonomi menurut PDRB 2010-2013 66
3. Dinamika bantuan SDM 2010-2013 67
4. Dinamika bantuan infrastruktur 2010-2013 68
5. Dinamika bantuan ekonomi dan dunia usaha 2010-2013 69
6. Dinamika bantuan kelembagaan sosial dan budaya 2010-2013 70
7. Dinamika bantuan pengembangan daerah khusus 2010-2013 71
8. Uji identifikasi model persamaan struktural 72
9. Uji asumsi klasik model pertumbuhan ekonomi 73
10. Uji asumsi klasik model kemiskinan 74
(19)
1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sasaran pembangunan nasional maupun pembangunan regional di Indonesia adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi merupakan dua tujuan pembangunan yang seharusnya dapat dicapai secara bersamaan dalam proses pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti oleh pemerataan ekonomi akan memperlebar jurang pemisah antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lainnya, sementara pemerataan ekonomi tanpa pertumbuhan ekonomi sama halnya dengan meningkatkan kemiskinan disuatu daerah. Pertumbuhan dan pemerataan menjadi hal yang paling diperhatikan oleh negara berkembang termasuk Indonesia karena dirasakan permasalahan tersebut sangatlah kompleks.
Lima tahun terakhir (2009-2013), perekonomian nasional mampu tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,85 persen, angka rata-rata pertumbuhan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi negara lain, khususnya negara-negara anggota ASEAN yang rata-rata pertumbuhan ekonominya adalah 5 persen (BPS 2014). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengindikasikan tercapainya keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang mengalami peningkatan akan tetapi pada saat yang bersamaan juga terjadi peningkatan ketimpangan. Pertumbuhan yang tinggi telah mengakibatkan bertambah lebarnya kesenjangan atau ketimpangan antar golongan masyarakat (yang kaya dan yang miskin) dan kesenjangan atau ketimpangan antar daerah (yang maju dan yang tertinggal). Indeks Gini Indonesia Tahun 2013 menunjukkan angka 0,413 (Gambar 1), dimana menurut Todaro dan Smith (2006) angka ini mencerminkan tidak meratanya distribusi pendapatan di masyarakat (Mankiw 2007).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga diikuti dengan bertambah lebarnya kesenjangan atau ketimpangan antar daerah (yang maju dan yang tertinggal). Indeks Williamson merupakan suatu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pembangunan. Nilai Indeks Williamson yang mendekati 1 menunjukkan kondisi ketimpangan yang tinggi, dan nilai Indeks Williamson yang mendekati nol menunjukkan kondisi pembangunan yang merata. Analisis ketimpangan di Indonesia yang dilakukan oleh Bappenas menyebutkan bahwa ketimpangan pembangunan secara nasional menunjukkan ketimpangan pembangunan sangat tinggi dengan nilai indeks Williamson (Gambar 1) dari tahun 2009-2013 > 1 (Bappenas 2013).
Indonesia merupakan negara dengan peningkatan ketimpangan tercepat di kawasan asia (World Bank 2013). Pada skala nasional, tingkat kesejahteraan antar wilayah menjadi tidak berimbang dengan pendekatan pertumbuhan ekonomi makro. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah yang jauh dari perkotaan (hinterland) mengalami
(20)
eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Secara makro dapat dilihat terjadinya ketimpangan antar wilayah yang signifikan misalnya antara desa-kota, antara Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia (KBI), antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya (Bappenas 2013).
Sumber : Bappenas (2013)
Gambar 1 Perkembangan pertumbuhan ekonomi, indeks gini, dan indeks Williamson di Indonesia tahun 2009-2013
Kesenjangan perekonomian antar wilayah khususnya antara KBI dan KTI dapat digambarkan juga melalui distribusi nilai PDRB (Bappenas 2013). Distribusi nilai PDRB antara wilayah KBI dan KTI menunjukkan tingkat kesenjangan yang cukup tinggi, berdasarkan data PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dari tahun 2008-2012 menunjukan nilai PDRB selama periode tersebut share terbesar masih terkonsentrasi di Wilayah KBI (Jawa-Bali dan Wilayah Sumatera). Kontribusi PDRB dari wilayah tersebut tahun 2012 mencapai sekitar 82,64 persen terhadap perekonomian nasional, sementara untuk wilayah lainnya relatif rendah terutama wilayah KTI (Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) hanya sebesar 3,32 persen (Tabel 1). Kondisi ini disebabkan karena wilayah KBI (Jawa-Bali dan Sumatera) didominasi oleh sektor sekunder dan tersier yang pertumbuhannya relatif cepat dan lebih berorientasi ke industri pengolahan dan manufaktur serta pelayanan jasa. Sementara untuk perkembangan aktivitas ekonomi di wilayah KTI masih didominasi oleh sektor primer, yaitu pertanian dan pertambangan.
Salah satu indikasi persoalan ketimpangan wilayah adalah persoalan daerah tertinggal dan masalah ketimpangan pembangunan ini merupakan permasalahan disparitas wilayah yang membahayakan kesatuan nasional. Menurut Bappenas, daerah tertinggal ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial serta letak geografis yang relatif terpencil atau wilayah yang miskin sumberdaya alam atau rawan bencana (Bappenas 2013).
0,31 0,41 0,51 0,61 0,71 0,81 0,91
0 1 2 3 4 5 6 7
2009 2010 2011 2012 2013
pertumbuhan ekonomi indeks williamson indeks gini
(21)
Tabel 1 Distribusi nilai PDRB menurut pulau di Indonesia tahun 2008-2012
Wilayah 2008
(%)
2009 (%)
2010 (%)
2011 (%)
2012 (%) Kawasan Barat Indonesia (KBI)
1. Sumatera 22,90 22,69 23,12 23,57 23,77
2. Jawa-bali 59,21 59,88 59,33 58,81 58,87
Kawasan Timur Indonesia (KTI)
1. Kalimantan 10,36 9,21 9,15 9,55 9,30
2. Sulawesi 4,19 4,46 4,52 4,61 4,74
3. Nustra, Maluku, Papua 3,34 3,76 3,88 3,46 3,32
Sumber: BPS Tahun 2012
Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa visi pembangunan 2010-2014 adalah “terwujudnya indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan” (Kementrian Keuangan 2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut antara lain adalah percepatan pembangunan daerah tertinggal yang dijalankan oleh Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kementrian PDT). Pembentukan Kementerian PDT adalah berdasarkan Perpres No.9 tahun 2005 yang memiliki tugas pokok dan fungsi membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal.
Strategi nasional Kementerian PDT secara umum memuat garis besar kebijakan dan strategi pembangunan daerah tertinggal, program prioritas, sumber pendanaan serta kriteria dan penetapan daerah yang dikategorikan tertinggal. Strategi nasional ini bersifat umum dan diarahkan kepada para pemegang kebijakan baik pusat maupun didaerah agar dapat mempercepat pembangunan daerah tertinggal diwilayah yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik masing-masing sehingga mampu memberi pengaruh yang nyata terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya secara berkelanjutan.
Menurut Kementrian PDT tahun 2013 penentuan kriteria daerah tertinggal menggunakan pendekatan enam kriteria yaitu: (1) perekonomian masyarakat, (2) sumberdaya manusia, (3) prasarana dan sarana, (4) kemampuan keuangan daerah, (5) aksesibilitas dan (6) karakteristik daerah. Berdasarkan pendekatan enam kriteria tersebut, terdapat 183 daerah tertinggal di Indonesia yang tersebar di 27 Provinsi. Jika daerah tertinggal ini dipisahkan antara KBI dan KTI, maka di KBI terdapat 11 Provinsi dan KTI terdapat 16 Provinsi yang memiliki daerah tertinggal. Jumlah daerah tertinggal di KBI yang meliputi pulau Sumatera, Jawa, dan Bali adalah 55 daerah tertinggal dengan sebaran 39 daerah tertinggal di pulau Sumatera dan 16 daerah tertinggal di pulau Jawa, sedangkan di KTI terdapat 128 daerah tertinggal yang tersebar di pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku yang pembagiannya dapat dilihat pada Gambar 2.
(22)
Pembentukan Kementerian PDT melalui perpres No 9 Tahun 2005 merupakan salah satu upaya pemerintah didalam mengatasi permasalahan pembangunan didaerah tertinggal. Berdasarkan hal tersebut pemerintah pusat telah mengalokasikan bantuan sosial (bansos) melalui 5 program percepatan pembangunan daerah tertinggal, kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan yang dioperasionalisasikan pada berbagai program bantuan, program tersebut meliputi: (1) peningkatan sumberdaya daerah tertinggal, (2) peningkatan infrastruktur daerah tertinggal, (3) pembinaan ekonomi dan dunia usaha daerah tertinggal, (4) pembinaan kelembagaan dan sosial budaya daerah tertinggal, dan (5) pengembangan daerah khusus. Program ini telah dimulai pada tahun 2009 dan masih berjalan sampai sekarang, dan telah disalurkan pada 183 daerah tertinggal di Indonesia (Kementerian PDT 2013).
Sumber: Kementerian PDT (2012)
Gambar 2 Sebaran daerah tertinggal menurut pulau di Indonesia tahun 2012 Percepatan pembangunan daerah tertinggal melalui lima program utama bantuan sosial merupakan langkah yang tepat dilakukan oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aziz (1994) bahwa untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya, terdapat beberapa alternatif pengembangan suatu daerah. Alternatif tersebut dapat berupa investasi yang langsung diarahkan pada sektor produktif atau investasi pada bidang social overhead, seperti pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana infrastruktur lainnya.
Kondisi diatas membuktikan bahwa pemerintah memiliki perhatian serius terhadap percepatan pembangunan daerah tertinggal. Studi mengenai dampak dari bantuan sosial perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana efektifitas dari pemberian bantuan sosial tersebut dalam mengatasi permasalahan daerah tertinggal, karena pemerintah memiliki keterbatasan anggaran dan dalam jangka panjang belum tentu akan selalu memberikan bantuan serta dikarenakan terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah (Sari 2011; Savas 2008). Berdasarkan latar
SUMAT ERA 25%
JAWA 5% KALIM ANTAN 9% NUSA TENGG ARA 15% SULAW
ESI 19% MALUK
U 8%
PAPUA 19%
Sebaran Derah Tertinggal Menurut Provinsi Sebaran Daerah Tertinggal
Menurut Provinsi
Sebaran Daerah Tertinggal Menurut Wilayah KBI dan KTI
KBI 30%
(23)
belakang tersebut, penelitian ini akan menganalisis pengaruh program bantuan sosial terhadap percepatan perekonomian serta kaitannya dengan kemiskinan di kabupaten tertinggal.
Permasalahan
Tujuan pemberian bantuan sosial kepada daerah tertinggal dimaksudkan untuk mengurangi permasalahan yang dihadapi daerah tertinggal melalui peningkatan kemampuan masyarakat yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing. Selain itu pemberian dana bansos ini juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat tertinggal sehingga dapat meningkatkan kegiatan ekonomi untuk berperan aktif dalam pembangunan sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan, kualitas, kelangsungan hidup dan memulihkan fungsi sosial ekonomi dan budaya.
Kementerian PDT dari tahun 2010-2013 telah mengucurkan dana untuk program bansos sebesar Rp1,41 Trilun. Pola sebaran bantuan yang diberikan cukup sesuai mengingat share bantuan sosial diberikan berdasarkan permasalahan pembangunan dimasing-masing daerah tertinggal (Kementerian PDT 2013). Tabel 2 memperlihatkan bahwa dana yang digulirkan Kementrian PDT untuk percepatan pembangunan daerah tertinggal mengalami kenaikan yang sangat signifikan.
Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Patricia and Izhucukwu 2013; Bataineh 2012; Muritala 2011; Alexiou 2009). Pengeluaran pemerintah dalam bentuk bantuan sosial berupa program permberdayaan juga mampu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat (Maelissa 2010; Mulyana 2009). Selain itu, kegiatan-kegiatan yang terdapat didalam program bantuan sosial seperti bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat/kelompok dapat berkontribusi positif terhadap pengembangan wilayah.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari pengeluaran pemerintah diharapkan dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan penurunan tingkat kemiskinan (Indra 2013; Jonaidi 2012; Mehmood 2010).
Kajian dari keseluruhan program bantuan sosial Kementerian PDT dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, dan kemiskinan di daerah tertinggal belum banyak dilakukan. Kajian ini penting untuk dilakukan untuk menilai efektivitas program yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian daerah tertinggal, karena pemerintah memiliki keterbatasan anggaran dan dalam jangka panjang tidak selalu akan memberikan dana bantuan.
Strategi yang telah dijalankan oleh Kementerian PDT dalam RPJMN tahun 2010-2014 diantaranya: a) pengembangan ekonomi lokal di daerah tertinggal, b) penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal di daerah tertinggal, c)
(24)
peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau di daerah tertinggal, d) peningkatan pelayanan pendidikan yang berkualitas di daerah tertinggal, dan e) peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur daerah tertinggal serta peningkatan aksesibilitas daerah tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan. Strategi ini belum mampu untuk menekan tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di daerah tertinggal, sehingga perlu di rumuskan strategi kebijakan yang tepat untuk pengentasan kemiskinan dan penurunan ketimpangan di daerah tertinggal.
Tabel 2 Jumlah bantuan sosial kementerian PDT untuk kabupaten tertinggal di Indonesia tahun 2010-2013
Jenis Bantuan Tahun
2010 2011 2012 2013
Bidang Pengembangan SDM 25.425 10.436 30.340
-Bidang Peningkatan Infrastruktur 62.203 162.772 306.111
-Bidang Pembinaan Ekonomi dan Dunia Usaha
10.500 98.276 134.635 28.210
Bidang Pembinaan Lembaga Sosial dan Budaya
12.580 14.580 7.378 27.551
Bidang Pengembangan Daerah Khusus 32.350 56.950 116.205 288.806
Total (juta rupiah) 143.058 343.015 594.699 344.567
Sumber: Kementerian PDT (2013)
Pemberian dana bantuan sosial bagi daerah tertinggal sudah dilakukan sejak tahun 2009. Bantuan sosial diberikan secara merata pada daerah tertinggal di Indonesia, baik di kawasan Barat (KBI) maupun kawasan Timur Indonesia (KTI), namun secara umum kondisi daerah tertinggal di Indonesia belumlah terlalu baik. Pertumbuhan ekonomi berfluktuatif dengan rata-rata 5 persen pertahun, ditambah dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi dari rata-rata kemiskinan nasional yaitu 11 persen. Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal sangat diperlukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal, yakni 133 kabupaten atau 32,2 persen dari jumlah kabupaten dengan rata-rata jumlah penduduk miskin sebesar 16,13 persen (Tabel 3).
Masih banyaknya penduduk miskin berlokasi di daerah tertinggal menimbulkan dugaan awal bahwa kemiskinan yang terjadi di kabupaten tertinggal ini dapat dikategorikan sebagai kemiskinan yang kronis (chronic poverty). Dugaan ini cukup beralasan mengingat berbagai keterbatasan dan keterbelakangan daerah tertinggal jika dibandingkan dengan daerah lain yang lebih maju, diantaranya rendahnya kualitas sumberdaya alam, sumberdaya manusia, rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur dan letak geografis yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan akses penduduk menjadi terbatas.
Berdasarkan permasalahan diatas perlu dilakukan studi mengenai dampak dari pemberian dana bantuan sosial terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten tertinggal. Kajian lain yang juga penting untuk dilakukan adalah bagaimana dampak dari pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan
(25)
kemiskinan di kabupaten tertinggal di Indonesia, hal ini penting untuk dilakukan mengingat masih tingginya rata-rata penduduk miskin dikabupaten tertinggal yaitu 16,13 persen. Berdasarkan fakta tersebut maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dinamika kemiskinan, perekonomian, dan bantuan sosial di kabupaten tertinggal di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan kawasan Timur Indonesia (KTI)?
2. Bagaimana pengaruh program bantuan sosial Kementerian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten tertinggal di Indonesia? 3. Bagaimana hubungan antara pertumbuhan perekonomian dengan
tingkat kemiskinan kabupaten tertinggal di Indonesia?
Tabel 3 Gambaran umum daerah tertinggal di Indonesia tahun 2010-2013
Indikator Kondisi Tahun 2010
Target Pembangunan
Daerah Tertinggal di
Tahun 2013
Capaian Target Di Tahun 2013 Rata-rata
pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal (persen)
5,76 Meningkatnya
rata-rata pertumbuhan ekonomi menjadi 6,8 persen
5,96
Persentase Penduduk miskin didaerah tertinggal (persen)
21,17 Berkurangnya
persentase penduduk miskin di daerah tertinggal menjadi 12,46 persen
16,13
Jumlah kabupaten daerah tertinggal
183 Terentaskannya
minimal 40 kabupaten tertinggal
133
Sumber: Kementerian PDT (2013)
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji dinamika kemiskinan, perekonomian, dan bantuan sosial di kabupaten tertinggal di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan kawasan Timur Indonesia (KTI)
2. Menganalisis pengaruh program bantuan sosial Kementerian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Indonesia 3. Menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat
(26)
Manfaat Penelitian
Manfaaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan bagi pemerintah khususnya Kementerian PDT didalam merumuskan kebijakan yang tepat, sehingga program bantuan yang digulirkan memang benar-benar mampu untuk meningkatkan pendapatan masyarakat kabupaten tertinggal. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alat evaluasi bagi Kementerian PDT didalam menilai dampak dari program bantuan sosial bagi perekonomian kabupaten tertinggal.
Ruang Lingkup Penelitian
Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada kabupaten tertinggal, analisis dilakukan pada kabupaten tertinggal di Indonesia (KBI dan KTI) yang termasuk dalam 183 kabupaten tertinggal yang telah ditetapkan oleh Kementrian PDT yang mendapatkan dana bantuan sosial dari tahun 2010-2013.
(27)
2
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Pemerintah dalam Pembangunan Ekonomi
Kebijakan Pemerintah Dalam Pembangunan
Peranan pemerintah dalam pembangunan ekonomi telah lama menjadi objek pembahasan yang menarik di antara ahli ekonomi. Aliran Klasik, yang menganut kebebasan pasar berpendapat bahwa campurtangan pemerintah sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu bekerjanya kekuatan-kekuatan objektif dari pasar yang disebut sebagai mekanisme pasar. Para penganut aliran neoklasik bahkan menuduh bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu (individual freedom) yang merupakan fondasi dari sistem demokrasi.
Berbeda dengan kaum klasik dan neoklasik, John M. Keynes seorang ahli ekonomi terkemuka menganggap bahwa kebebasan pasar, tanpa ada campur tangan pemerintah, tidak akan mampu melakukan alokasi sumberdaya dan output secara optimal (full employment of outputs). Tanpa campur tangan pemerintah dalam perekonomian, akan terjadi persaingan bebas yang merugikan kelompok ekonomi lemah. Akibatnya terjadi restriksi pasar dalam bentuk monopoli yang dikuasai golongan ekonomi kuat. Karena itu Keynes memandang perlu adanya peran pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi pengangguran yang sekaligus juga meningkatkan dayabeli dan mendorong adanya kegiatan bisnis.
Walaupun mekanisme pasar benar-benar beroperasi lebih efisien dalam rangka mengalokasikan sumberdaya yang ada dibandingkan mekanisme sektor publik, tetapi tidak berarti bahwa peranan sektor publik atau pemerintah dalam pengelolaan ekonomi nasional bisa dihilangkan sama sekali. Pembentukan modal (capital formation) adalah kebutuhan mendasar bagi pembangunan ekonomi. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, tabungan privat di negara-negara berkembang sangat rendah maka pemerintahlah yang harus memainkan peranan utama dalam upaya mengakumulasi modal. Selain itu, pemerintah juga masih harus menciptakan suatu keterkaitan tertentu dengan sektor swasta, agar sektor swasta tersebut dapat tumbuh dengan subur. Peranan penting lain yang dijalankan pemerintah adalah pengembangan sumberdaya manusia melalui pendidikan dan latihan (yang tidak bisa diharapkan akan digarap oleh pihak swasta mengingat biayanya yang besar dan tidak adanya keuntungan seketika). Selanjutnya, pembangunan ekonomi juga bisa menciptakan distribusi pendapatan yang sangat timpang sehingga diperlukan pengaturan dan pengawasan oleh pemerintah untuk memperbaiki distribusi pendapatan (Todaro, 2000).
Menurut Jhingan (2008), dalam rangka mengatasi sifat kaku yang melekat di negara berkembang, pemerintah harus memegang peranan positif dan tidak boleh berlaku sebagai penonton pasif. Problema di negara berkembang adalah sedemikian besarnya sehingga tidak dapat diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar (kekuatan-kekuatan ekonomi). Untuk
(28)
mengangkat negara keluar dari titik-titik stagnasi diperlukan adanya pembaharuan rasio ekonomi secara cepat. Pada fase awal pembangunan, investasi harus dilakukan di bidang-bidang yang meningkatkan ekonomi eksternal yaitu yang mengarah pada penciptaan overhead sosial dan ekonomi seperti tenaga kerja, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya.
Perusahaan swasta tidak akan tertarik melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut karena risikonya besar dan keuntungannya kecil. Dari sini timbul kebutuhan untuk menyeimbangkan pertumbuhan berbagai sektor ekonomi sehingga penawaran sesuai dengan permintaannya. Oleh karena itu pengawasan dan pengaturan oleh negara menjadi penting dalam rangka mencapai keseimbangan pertumbuhan. Keseimbangan memerlukan pengawasan atas produksi, distribusi dan konsumsi komoditas. Untuk tujuan ini pemerintah harus merencanakan pengawasan fisik dan langkah-langkah fiskal dan moneter. Langkah-langkah ini memang tidak dapat dihindarkan, untuk mengurangi ketidakseimbangan ekonomi dan sosial yang mengancam negara berkembang. Mengatasi perbedaan sosial dan menciptakan situasi psikologis, ideologis, sosial dan politik yang menguntungkan bagi pembangunan ekonomi merupakan tugas terpenting pemerintah, karena itu ruang lingkup tindakan pemerintah sangat luas dan menyeluruh. Menurut Lewis lingkup itu mencakup penyelenggaraan pelayanan umum, menentukan sikap, membentuk lembaga-lembaga ekonomi, menentukan penggunaan sumber, menentukan distribusi pendapatan, mengendalikan jumlah uang, mengendalikan fluktuasi ekonomi, menjamin full employment, dan menentukan laju investasi (Norton, 2004; Jhingan, 2008).
Pemerintah dapat mendorong pembangunan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter. Dengan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat, pemerintah mampu menyingkirkan hambatan-hambatan ekonomis, kelembagaan dan sosial di negara berkembang. Kebijakan moneter memainkan peranan penting dalam mempercepat pembangunan dengan memengaruhi biaya dan ketersediaan kredit, pengendalian inflasi, dan menjaga keseimbangan neraca pembayaran. Melalui kebijakan fiskal, pemerintah berusaha memperbaiki ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan yang melebar dengan adanya pembangunan, memperluas pasar internal, mengurangi impor yang tidak penting, meniadakan tekanan inflasi, dan merangsang berbagai jenis proyek pembangunan yang diinginkan (Donalson, 1984; Todaro, 2000; Jhingan 2008).
Dalam mengelola perekonomian guna mencapai tujuan pembangunan, pemerintah dapat menggunakan kebijakan di bidang ekonomi. Pemerintah mengusahakan pada tingkat makro tercapainya kesempatan kerja penuh, stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan neraca pembayaran, dan pada tingkat mikro terjadinya pemakaian sumberdaya yang efisien. Dalam praktik, pada kondisi kerumitan ekonomi yang ada dan terbukanya perekonomian pada pengaruh-pengaruh internasional, pencapaian semua tujuan ini sekaligus secara berkesinambungan sering kali tidak mungkin, sehingga dibutuhkan skala prioritas serta pertimbangan politik dan ekonomi. (Donalson, 1984; Todaro, 2000; Norton, 2004).
(29)
Program Pengentasan Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi penting untuk menciptakan kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang untuk mengurangi kemiskinan. Meskipun demikian pertumbuhan ekonomi sendiri tidak cukup, orang miskin dan orang yang rentan mungkin tidak memperoleh keuntungan dari pertumbuhan, karena mereka kurang sehat, kurang keahlian, dan kurangnya akses terhadap infrastruktur dasar. Pemberdayaan sangat penting bagi penduduk miskin untuk mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang diciptakan dengan adanya pertumbuhan.
Dalam menjalankan roda pembangunan pemerintah telah melaksanakan berbagai macam program penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Berbagai program telah dilaksanakan tetapi pada kenyataannya tingkat kemiskinan masih saja merupakan fenomena yang harus terus ditanggulangi sampai saat ini. Berbagai program yang dijalankan pemerintah tersebut lebih banyak menemui kegagalan dibandingkan dengan keberhasilannya. Beberapa program tersebut antara lain:
Program Inpres Desa Tertinggal (IDT)
Program IDT merupakan program yang paling luas dan tersebar di Indonesia. Program ini dilaksanakan sejak 1994/1995. Program penanggulangan kemiskinan ini lebih di khususkan pada tingkat pedesaan. Kunci yang paling penting dari program IDT adalah memberi kepercayaan penuh dan kebebasan kepada penduduk miskin untuk melaksanakan program-programnya sesuai dengan kreatifitas dan potensi yang dimiliki oleh penduduk miskin sendiri. Dengan dana hibah Rp 20 juta untuk masing-masing desa, masyarakat dipercaya untuk menggunakannya sesuai dengan kegiatan/usahanya masing-masing tanpa intervensi sedikitpun.
Program IDT merupakan suatu program untuk menumbuhkan dan memperkuat kegiatan usaha para penduduk miskin dengan membuka kesempatan berusaha yang dirahkan untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomi dengan prinsip gotong royong, keswadayaan dan peran serta. Keberhasilan pelaksanaannya tergantung dari kepedulian aktif seluruh masyarakat, motivasi penduduk miskin untuk mengubah nasibnya, dukungan aparat pemerintah dalam penganggulangan kemiskinan serta peran aktif berbagai pihak seperti perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, pers dan dunia usaha.
Bantuan dana IDT disalurkan langsung kepada kelompok masyarakat melalui bank penyalur yang di tunjuk tingkat kecamatan. Dana tersebut menjadi dana abadi milik masyarakat desa yang digunakan untuk mengembangkan desa yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga. Pengembangan usaha dan kegiatan ekonomi yang dilakukan berdasarkan potensi sumberdaya alam setempat atau melalui kegiatan ekonomi yang sudah biasa dilakukan penduduk miskin sehari-hari.
Meskipun terkesan di masyarakat luas bahwa program IDT “gagal total” karena tidak ada lagi dana segar yang disalurkan kepada penduduk
(30)
penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Mubyarto dkk, membuktikan yang sebaliknya. Dana hibah di Karangawen Gunung kidul, telah meningkatkan pendapatan penduduk miskin sebesar 97 persen selama 8 tahun (1994-2002). Meskipun dana IDT diberikan sebagai dana hibah pemerintah pusat kepada 123 ribu pokmas di seluruh Indonesia, tetapi di Karangawen otomatis dijadikan modal simapn pinjam yang kini telah berkembang 126 persen. Bukti dari lapangan tersebut menunjukkan bahwa rakyat/penduduk miskin tidak memperlakukan dana IDT sebagai program belas kasihan, tetapi benar-benar sebagai dana program pemberdayaan ekonomi rakyat yang mampu mengembangkan masyarakat desa yang mampu dan percaya diri. Bantuan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
Pengembangan program IDT diimplementasikan dalam Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) yang merupakan pendukung program IDT. P3DT dioperasionalkan mulai tahun 1995/1996 yang menekankan bantuan pembangunan prasarana dan sarana dasar yang dapat mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat lokal. Peran serta aktif masyarakat lokal dalam kegiatan pembanguanan di tingkat lokal, penguatan kelembagaan pembangunan di tingkat lokal, dan pelestarian hasil pembangunan melalui pemantapan sistem pelaporan (pemantauan dan evaluasi) makin dimantapkan dalam pelaksanaan program P3DT. Prinsip penguatan kelembagaan pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat lokal dan yang diwujudkan melalui wadah LKMD menjadi dasar pelaksanaan kegiatan pembangunan sarana dan prasarana dasar sosial ekonomi. Melalui pelaporan yang tertib, perkembangan dan pelestarian pelaksanaan kegiatan, hasil pembangunan dan dampaknya dapat diketahui guna meningkatkan kapasitas masyarakat.
Bantuan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
Program P3DT ini kemudian disempurnakan dalam bentuk Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Kedua program ini memiliki sistem dan aturan yang sama perbedaannya hanyalah pada lokasi program. PPK merupakan bantuan program untuk daerah pedesaan sedangkan P2KP untuk daerah perkotaan.
Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE)
Dalam mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia, maka untuk mengatasi dampak dari krisis tersebut pemerintah memberikan program PDM-DKE. Program ini menerapkan prinsip perencanaan bottom-up. Dengan didampingi oleh tim koordinasi/Pembina dalam pelaksanaannya. Dalam segi penyaluran bantuan, program PDM-DKE menerapkan bantuan langsung kepada masyarakat. Sejak dan berada di daerah, masyarakat di daerah tersebut memiliki hak sepenuhnya untuk mengelola penggunaan bantuan tersebut.
(31)
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Program ini ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja. Koordinasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan merupakan merupakan penting yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pemerintah mengkonsolidasikan program-program penanggulangan kemiskinan menjadi 3 kelompok program penanggulangan kemiskinan. Masing-masing ketiga kelompok tersebut secara berurutan berupaya mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin, selanjutnya berupaya meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin dan kemudian meningkatkan tabungan dan menjamin keberlanjutan berusaha pelaku usaha mikro dan kecil. Ketiga kelompok tersebut adalah: (1) kelompok program berbasis bantuan dan perlindungan sosial, (2) kelompok program berbasis pemberdayaan masyarakat, (3) kelompok program berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil.
Berdasarkan laporan TNP2K (2013) hasil yang telah diperoleh pada tahun 2011 dari Klaster I yang ditujukan untuk mengurangi beban pemenuhan kebutuhan dasar dan untuk mengurangi beban pemenuhan kebutuhan dasar dan untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota rumah tangga miskin melalui peningkatan akses pada pelayanan dasar adalah: (1) realisasi penyaluran subsidi Raskin sebesar 2.9 ton bagi 17.5 juta rumah tangga sasaran penerima raskin, dan adanya penyaluran raskin ke-13 mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin akibat kenaikan harga-harga pangan, termasuk beras, (2) pemberian beasiswa yang direncanakan untuk 4.7 juta siswa.
Sementara itu, pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) pada tahun 2011 telah dilaksanakan bagi 722,000 rumah tangga miskin (RTSM) di 88 Kabupaten/Kota pada 20 Provinsi dengan kualitas yang semakin meningkat dimana telah terjalin koordinasi antara beberapa program berbasis keluarga atau rumah tangga, seperti Jamkesmas dan beasiswa miskin. Pelaksanan PKH juga telah memberikan dampak terhadap peningkatan siswa yang terdaftar pada satuan pendidikan setingkat SMP sebesar 3.1 % dan juga peningkatan kesehatan RTSM.
Sejalan dengan pelaksanaan Klaster I, hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program Klaster II untuk tujuan Pemberdayaan Masyarakat diantaranya adalah sebagai berikut: pada tahun 2011 pelayanan PNPM Mandiri Inti sudah dilaksanakan di 6,328 kecamatan di seluruh Indonesia, dan akan terus dilanjutkan sehingga pada tahun 2012 PNPM Inti akan mencakup di 6,623 kecamatan, dengan penempatan 30,000 fasilitator sebagai pendamping masyarakat dan didukung dengan penyaluran bantuan langsung masyarakat sebesar Rp. 10.31 triliun yang berasal dari APBN dan APBD. Pelaksanaan PNPM Mandiri, juga didukung oleh pelaksanaan PNPM pendukung diantaranya: (1) PNPM Generasi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas generasi penerus, (2) PNPM Kelautan dan Perikanan (PNPM-KP) yang ditujukan untuk memberikan fasilitas bantuan sosial dan akses usaha modal, (3) PNPM Agribisnis, yaitu Program Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP), serta (4) PNPM Pariwisata yang baru masuk dalam
(32)
PNPM Penguatan dengan tujuan mengembangkan kapasitas masyarakat dan memperluas kesempatan berusaha dalam kegiatan kepariwisataan.
Pelaksanaan PNPM telah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pendapatan rumah tangga hingga 19 persen dan konsumsi rumah tangga hingga 5 persen dibandingkan dengan daerah yang tidak mendapat PNPM. Selain itu, akses terhadap kesehatan juga lebih besar 5 persen dan peningkatan kesempatan kerja yang lebih besar 1.25 persen di lokasi PNPM dibandingkan lokasi non PNPM. Hasil yang dicapai dalam pelaksanaan Klaster III adalah terlaksananya penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk UMKM dan koperasi. Sejak tahun 2007 sampai dengan akhir tahun 2011 kredit yang tersalurkan hampir Rp. 34.42 triliun, dan mencakup sekitar 3.81 juta nasabah dengan tingkat NPL mencapai 2.52 persen. Sebagian besar KUR diserap oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel (63.7 persen) dan pertanian (17.1 persen). Penyaluran KUR sebagian besar berada di wilayah Jawa dengan volume KUR sebesar 50,2 persen dan proporsi debitur mencapai 61.0 persen. Pada periode tahun 2011, dana KUR yang disalurkan mencapai Rp. 17.23 triliun dengan jumlah nasabah lebih dari 1.4 juta nasabah. Pelaksanaan KUR telah memberikan dampak terhadap rata-rata asset usaha sebesar Rp. 51 juta, asset rumah tangga sebesar Rp. 12.66 juta dan pengeluaran rumah tangga sebesar Rp. 279,000 per bulan. Selain itu, KUR juga telah mengatasi penggangguran terselubung bagi debitur dan keluarganya, serta meningkatkan intensitas utilisasi tenaga kerja dan kontribusi pada perekonomian nasional.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Perekonomian dianggap mengalami pertumbuhan bila seluruh balas jasa riil terhadap penggunaan faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar daripada pendapatan riil masyarakat pada tahun sebelumnya. Indikator yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil. Perkembangan teori-teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tersebut terdiri dari Mazhab Historis dan Mahzab Analitis yang terdiri dari teori Klasik, Teori Neo Klasik, Teori Keynesian, dan Teori Schumpeter (Anonymous 2012) dalam Indra (2013).
Teori Pertumbuhan Keynessian
Mankiw (2007) menyatakan bahwa teori Keynessian adalah nama suatu teori ekonomi yang diambil dari John Maynard Keynes, seorang ekonom Inggris yang hidup antara tahun 1883 sampai 1946. Beliau dikenal sebagai orang pertama yang mampu menjelaskan secara sederhana penyebab dari Great Depression. Teori ekonominya berdasarkan atas hipotesis siklus arus uang, yang mengacu pada ide bahwa peningkatan belanja (konsumsi) dalam suatu perekonomian, akan meningkatkan pendapatan yang kemudian akan mendorong lebih meningkatnya lagi
(33)
belanja dan pendapatan. Teori Keynes ini menyebabkan banyak intervensi kebijakan ekonomi pada era terjadinya Great Depression.
Teori Keynes kemudian menyimpulkan bahwa ada alasan pragmatis untuk pendistribusian kemakmuran: jika segmen masyarakat yang lebih miskin diberikan sejumlah uang, mereka akan cenderung membelanjakannya daripada menyimpannya; yang kemudian mendorong
pertumbuhan ekonomi. Ide pokok dari teori Keynes ini adalah “Peranan Pemerintah” yang tadinya diharamkan dalam Teori Ekonomi Klasik. John
Meynard Keynes menjelaskan teori ekonominya dalam buku karangannya
berjudul “The General Theory of Employment, Interest and Money”
Inti dari kebijakan makro Keynes adalah bagaimana pemerintah bisa mempengaruhi permintaan agregat (dengan demikian, mempengaruhi
situasi makro), agar mendekati posisi “Full Employment”-nya. Permintaan Agregat adalah seluruh jumlah uang yang dibelanjakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk membeli barang dan jasa dalam satu tahun. Barang dan jasa diartikan sebagai barang dan jasa yang diproduksikan dalam tahun tersebut (barang bekas atau barang yang diproduksikan tahun-tahun sebelumnya atau barang yang tidak diproduksikan seperti tanah, tenaga
kerja dan faktor produksi lain, tidak termasuk dalam pengertian “barang dan jasa” dimaksud disini). Dalam perekonomian tertutup permintaan
agregat terdiri dari 3 unsur:
1 Pengeluaran Konsumsi oleh Rumah Tangga (C) 2 Pengeluaran Investasi oleh Perusahaan (I)
3 Pengeluaran Pemerintah (G), Pemerintah bisa mempengaruhi permintaan agregat secara langsung melalui pengeluaran pemerintah dan secara tidak langsung terhadap pengeluaran konsumsi dan pengeluaran investasi.
= � + � + �
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat. Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran menyatakan bahwa
= � + � + � + − �
Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variable-variabel di ruas kanan disebut permintaan agregat. Variabel G menyatakan pengeluaran pemerintah (Government expenditures), I merupakan Investment, X-M adalah net ekspor. Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamatinya dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan permintaan agregat atau pendapatan nasional. Dengan ini, dapat dianalisis seberapa penting peranan pemerintah dalam perekonomian nasional.
Pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi (rumah tangga pemerintah), memiliki fungsi penting dalam perekonomian yaitu berfungsi sebagai stabilisasi, alokasi, dan distribusi.
(34)
1. Fungsi Stabilisasi, yakni fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan, dan keamanan. 2. Fungsi Alokasi, yakni fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan
jasa publik seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon.
3. Fungsi Distribusi, yakni fungsi pemerintah dalam pemerataan atau distribusi pendapatan masyarakat.
Beberapa ahli seperti Huttman, Marshall, Rein, dan Magill mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial (Suharto 1997).
1. Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman 1981).
2. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshall 1965).
3. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein 1970).
4. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill 1986) Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow
Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung kepada penambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal dan tingkat kemajuan teknologi. Pandangan ini didasarkan kepada anggapan yang mendasari analisis klasik, yaitu perekonomian akan tetap mengalami tingkat pengerjaan penuh (full employment) dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya digunakan sepanjang waktu. Dengan kata lain, sampai dimana perekonomian akan berkembang tergantung kepada pertambahan penduduk, akumulasi capital, dan kemajuan teknologi.
Menurut teori ini, rasio modal-output (capital-output ratio) bisa berubah. Untuk menciptakan sejumlah output tertentu, bisa digunakan jumlah modal yang berbeda-beda dengan bantuan tenaga kerja yang jumlahnya berbeda-beda pula. Jika lebih banyak modal yang digunakan, maka tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit. Sebaliknya jika modal yang digunakan lebih sedikit, maka lebih banyak tenaga kerja yang digunakan. Dengan adanya fleksibilitas ini suatu perekonomian mempunyai kebebasan yang tak terbatas dalam menentukan kombinasi modal dan tenaga kerja yang akan digunakan untuk menghasilkan output tertentu.
(35)
Y = F K, L
Y� = GDP (PDRB) pada tahun t
K� = jumlah stok barang modal pada tahun t
L� = jumlah tenaga kerja pada tahun t
Y/L (output per pekerja) adalah fungsi dari K/L (jumlah modal per pekerja). Dengan asumsi besarnya perekonomian yang diukur dengan jumlah pekerja tidak mempengaruhi hubungan output perkapita dengan modal per pekerja, jadi Y/L=y dan K/L=k.
Konsep dan Teori Kemiskinan Konsep Kemiskinan
Kemiskinan menurut UNDP dalam Cahyat (2004), adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan. Badan Pusat Statistik (2014) dalam mengukur tingkat kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Metode yang digunakan BPS adalah menghitung garis kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Penghitungan GK dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin menurut BPS adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. GKM merupakan suatu nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi. GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
k=K/L y=Y/L
y
i
K
f(k)
y=f(k)
(36)
Selama periode September 2013-Maret 2014, garis kemiskinan naik sebesar 3,34 persen, yaitu dari Rp. 292.951,- per kapita perbulan pada September 2013 menjadi Rp. 302.735,- per kapita per bulan pada Maret 2014. Sementara pada periode Maret 2013-Maret 2014, Garis Kemiskinan naik sebesar 11,45 persen, yaitu dari Rp. 271.626,- per kapita per bulan pada Maret 2013 menjadi Rp. 302.735,- per kapita per bulan Maret 2014. (BPS, 2014)
Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemiskinan, perlu dilakukan suatu pemetaan kemiskinan. Pemetaan kemiskinan secara makro bertujuan untuk menggambarkan keragaman kemiskinan dalam suatu negara, yaitu wilayah mana yang lebih sejahtera dan wilayah mana yang kurang sejahtera. Wilayah yang mempunyai tingkat kemiskinan secara makro yang lebih rendah, mungkin mempunyai kantong-kantong kemiskinan yang besar dan tidak tercermin dalam statistik kemiskinan secara makro.
Teori dan Faktor Kemiskinan
Berbagai teori mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan nonpendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah, sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut.
Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan internasional, selain kemiskinan absolut, beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang kemiskinan total yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan relatif merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan nasional, indeks gini merupakan salah satu contoh ukuran kemiskinan relatif.
Sharp, et al (1996) dalam Kuncoro (1997) mencoba mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi:
a. Secara mikro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pada kepemilikan sumberdaya yang menyebabkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. b. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas
(37)
berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan.
c. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Ketiga penyebab kemiskinan diatas bermuara pada teori lingkaran kemiskinan / vicious circle of poverty (Gambar 3). Lingkaran kemiskinan adalah suatu lingkaran yang saling mempengaruhi satu sama lain secara sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suatu keadaan dimana suatu negara akan tetap miskin dan akan banyak mengalami kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih baik. Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktifitas. Rendahnya produktifitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi, baik invetasi manusia maupun investasi kapital. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya. Logika berpikir ini dikemukakan oleh Ragnar Nurkse (1953) yang mengatakan “ a poor country is a poor because it is poor” (negara miskin itu miskin karena dia miskin).
Produktiftas rendah Produktifitas rendah Pembentukan Pendapatan rendah Pembentukan modal Pendapatan rendah modal rendah rendah
Investasi rendah Permintaan barang Investasi rendah Tabungan rendah rendah
DEMAND SUPPLY
Sumber : Nurkse dalam Kuncoro (1997)
Gambar 3 Lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty)
Menurut Nurkse ada dua lingkaran perangkap kemiskinan, yaitu dari segi penawaran (supply) dimana tingkat pendapatan masyarakat yang rendah yang diakibatkan oleh tingkat produktivitas yang rendah menyebabkan kemampuan masyarakat untuk menabung rendah. Kemampuan untuk menabung rendah, menyebabkan tingkat pembentukan modal yang rendah, tingkat pembentukan modal (investasi) yang rendah menyebabkan kekurangan modal, dan dengan demikian tingkat produktivitasnya juga rendah dan seterusnya. Dari segi permintaan (demand), di negara-negara yang miskin perangsang untuk menanamkan modal adalah sangat rendah, karena luas pasar untuk berbagai jenis barang adanya terbatas, hal ini disebabkan oleh karena pendapatan masyarakat sangat rendah. Pendapatan masyarakat sangat rendah karena tingkat produktivitas yang rendah, sebagai wujud dari tingkatan pembentukan modal yang terbatas di masa lalu.
(38)
Pembentukan modal yang terbatas disebabkan kekurangan perangsang untuk menanamkan modal dan seterusnya.
Konsep Daerah Tertinggal
Konsep dan kriteria kabupaten tertinggal tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor.001/KEP/M-PDT/I/2005. Dalam Keputusan Menteri tersebut kabupaten tertinggal adalah daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan relatif berdasarkan pada perhitungan enam (6) kriteria dasar dan 27 indikator utama yaitu :
1. Perekonomian masyarakat, dengan indikator utama persentase keluarga miskin dan konsumsi perkapita.
2. Sumber daya manusia, dengan indikator utama angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf.
3. Prasarana (infrastruktur) dengan indikator utama jumlah jalan dengan permukaan terluas aspal/beton, jalan diperkeras, jalan tanah, dan jalan lainnya, persentase pengguna listrik, telepon dan air bersih, jumlah desa dengan pasar tanpa bangunan permanen, jumlah prasarana kesehatan/1000 penduduk, jumlah dokter/1000 penduduk, jumlah SD-SMP/1000 penduduk.
4. Kemampuan keuangan daerah dengan indikator utama celah fiskal.
5. Aksesibilitas dengan indikator utama rata-rata jarak dari desa ke kota kabupaten, jarak ke pelayanan pendidikan, jumlah desa dengan akses pelayanan kesehatan lebih besar dari 5 km.
6. karakteristik daerah dengan indikator utama persentase desa rawan gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan bencana lainnya, persentase desa di kawasan lindung, desa berlahan kritis, dan desa rawan konflik satu tahun terakhir.
Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan.
Sebaran daerah tertinggal secara geografis digolongkan menjadi beberapa kelompok, antara lain:
a. Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pegunungan yang pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain yang relatif lebih maju.
b. Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk dan memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih maju.
c. Daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak di perbatasan antarnegara baik batas darat maupun laut
(39)
d. Daerah yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa, longsor, gunung api, maupun banjir.
e. Daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir.
Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan enam kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka dalam Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal ditetapkan 183 kabupaten yang dikategorikan kabupaten tertinggal.
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai kondisi di daerah tertinggal belum banyak dilakukan, khususnya penelitian tentang bantuan sosial dari Kementerian PDT. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan menganalisis bantuan sosial secara parsial untuk melihat efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian yang lebih menyeluruh dari pemberian bantuan sosial oleh Kementerian PDT dan efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan penting dilakukan untuk melihat efektivitas bantuan, karena dalam jangka panjang pemerintah tidak selalu akan memberikan bantuan karena keterbatasan anggaran dll.
Penelitian Tentang Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah atau negara sangat dipengaruhi oleh kestabilan ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut. Situasi makro ekonomi yang kondusif dan stabil akan mempengaruhi perputaran perekonomian di tingkat mikro atau skala rumah tangga penduduk dan perusahaan maupun berkembangnya usaha masyarakat di berbagai sektor. Intervensi pemerintah merupakan salah satu kunci dalam mewujudkan iklim perekonomian yang kondusif tersebut. Sikap dan tindakan pemerintah dalam menangani beberapa kondisi makro ekonomi seperti inflasi, penggangguran, investasi menjadi hal yang mempengaruhi dinamika pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Terkait dengan hal ini, telah banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat bagaimana peran pemerintah dalam mengatur perekonomian di berbagai negara, baik negara berkembang maupun negara maju. Apakah terdapat perbedaan intervensi pemerintah dalam mengatur perekonomian, fenomena ini sangat menarik untuk diteliti. Perkembangan perekonomian di negara maju dicirikan dengan perkembangan sebuah infrastrutktur modern (baik secara fisik maupun institusional) dan sebuah pergerakan dari sektor bernilai tambah rendah seperti pertanian dan pengambilan sumber daya alam yang lebih padat karya ke sektor industri yang lebih padat modal. Hal ini akan mempengaruhi negara maju dalam mengatur system perekonomiannya, cenderung system ekonominya akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mandiri. Keadaan sebaliknya
(40)
terjadi di negara berkembang, dimana sektor perekonomian masih bercirikan padat karya dan belum mampu untuk mandiri dalam mengatur sistem perekonomiannya, karena masih didukung oleh hutang ke negara maju.
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk melihat perbedaan ini, salah satu penelitian yang mengangkat kasus di negara berkembang seperti
di Nigeria tentang “Government expenditure and economic development: empirical evidence from Nigeria” yang dilakukan oleh Muritala (2011)
dengan tujuan untuk melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi menggunakan model ekonometrik teknik
Ordinary Least Square, data panel selama 1970-2008. Membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi. dimana model yang digunakan GDP dipengaruhi oleh Recurrent Expenditure (REC) dan Capital Expenditure (CAP). Artinya, pengeluaran sangat mempengaruhi bagaimana perekonomian tumbuh, hanya saja pada penelitian ini tidak dijelaskan secara rinci, jenis-jenis pengeluaran pemerintah dan berapa porsi yang dikeluarkan oleh pemerintah permasing-masing sektor.
Tahun 2013 dilakukan penelitian lebih lanjut oleh Patricia dan Izuchukwu (2013) tentang Impact of Government Expenditure on Economic Growth in Nigeria, selama periode 1977-2012 menggunakan teknik yang berbeda dari yang digunakan oleh Muritala sebelumnya, Patricia dan Izuchukwu menggunakan teknik Error Correction Model (ECM). Hasil dari penelitian ini adalah pengeluaran pemerintah pada sektor pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat tinggi dan signifikan serta berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Artinya, tambahan informasi yang bisa didapatkan dari penelitian ini adalah fokusnya pada anggaran pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pembenahan sistem pendidikan sangat diperlukan di Nigeria, dimana jumlah penduduk miskinnya masih berada pada angka yang jauh di atas negara maju. Sehingga pembenahan utama yang harus dilakukan adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusianya. Dengan pendidikan yang tinggi, akan membantu penduduk di Nigeria mendapatkan pekerjaan yang lebih baik yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan mereka dan dapat mengeluarkan masyarakat di Nigeria dari kemiskinan.
Kegiatan produksi di skala mikro akan tumbuh, sehingga akan ada arus perputaran uang disana, seperti tabungan dan pinjaman yang dikelola oleh lembaga keuangan di negara tersebut. Jika iklim usaha di tingkat mikro sudah berkembang maka para investor akan tertarik untuk menanamkan modal. Penelitian lebih lanjut tentang bagaiman peran investor belum muncul dalam dua penelitian ini, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut bagaimana pembentukan modal yang terjadi selain pada sektor pendidikan. Hal yang dapat disarankan adalah selain untuk sektor pendidikan anggaran untuk sektor pembentukan modal juga harus ditambah, sehingga memacu produksi dan dapat menekan angka kemiskinan di Nigeria.
Negara berkembang lain yang juga masih tinggi ketergantungan intervensi pemerintah dalam sistem perekonomiannya adalah Jordania,
(41)
Government Expenditures on Economic Growth in Jordan selama periode 1990-2010 dengan menggunakan model regresi. Menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah mempunyai efek yang positif terhadap pertumbuhan GDP yang sesuai dengan teori Keynessian.
Kasus yang mewakili pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di negara maju dipaparkan oleh Alexiou (2009) tentang Government Spending and Economic Growth: Econometric Evidenve from the South Eastern Europe (SEE), dengan menggunakan dua pendekatan ekonometrik pada tujuh kota di SEE area dari tahun 1995-2005. Hasil penelitian ini meyatakan bahwa lima variabel yaitu pembentukan modal, bantuan pembangunan, investasi pribadi dan perdagangan bebas mempunyai pengaruh yang positif dan signikan terhadap pertumbuhan ekonomi, hanya variabel pertumbuhan populasi yang tidak signifikan secara perhitungan statistik. Perbedaan yang jelas terlihat dari hasil penelitian ini adalah pertumbuhan populasi yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perekonomia di SEE, karena ciri perekonomian di negara maju yang lebih padat modal. .
Tabel 4 Rangkuman penelitian sebelumnya tentang pertumbuhan ekonomi
Peneliti Judul Pendekatan Hasil
Muritala (2011) Pengeluaran
pemerintah dan pembangunan ekonomi
Ekonometrik Terdapat
hubungan positif antara pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Patricia dan Izuchukwu (2013) Dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria
Ekonometrik Pengeluaran
pemerintah khususnya di bidang pendidikan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi
Bataineh (2012) Dampak
pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomo di Jordania
Ekonometrik Pengeluaran
pemerintah memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi
Ghali (1997) Pengeluaran
pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di Saudi Arabi
Ekonometrik Tidak terdapat
hubungan positif antara pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi.
(42)
Ciri lain dari perekonomian di negara maju juga didukung oleh
penelitian Ghali (1997) yang melakukan penelitian tentang “Government Spending and Economic Growth in Saudi Arabia” dengan tujuan untuk
melihat hubungan antara pengeluaran pemerintah Saudi Arabia dengan pertumbuhan ekonomi, dimana pendekatan yang dilakukan melalui share investasi dan share konsumsi. Metode yang digunakan adalah Vector Autoregressive (VAR), membuktikan bahwa tidak adanya hubungan yang positif antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi di Arab Saudi, dimana kebijakan fiskal di Saudi Arabia dapat mengontrol ketika terjadi defisit anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian bisa mandiri tanpa terlalu banyak intervensi yang dilakukan oleh pemerintah melalui pengeluarannya, karena ketika terjadi suatu kondisi defisit anggaran, kebijakan fiskal cukup untuk menangani hal tersebut.
Pada akhirnya perbedaan bagaimana sistem perekonomian dan campur tangan pemerintah di tiap negara, tidak selalu sama, namun faktor-faktor makroekonomi akan mempengaruhi perkembangan kesejaheraan masyarakat yang berusaha di sektor mikro. Rangkuman dari beberapa studi sebelumnya tentang hubungan antara pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada Tabel 4
Penelitian Tentang Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi yang baik di suatu negara akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya yang pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan yang terjadi di negara tersebut. Kantong-kantong kemiskinan umumnya banyak berada pada sektor-sektor seperti pertanian, peternakan dan usaha mikro, dimana modal yang bergulir rendah dan risiko usahanya tinggi. Masyakarat miskin banyak bekerja pada sektor-sektor ini, dan umumnya terjadi di negara berkembang. Kasus-kasus kemiskinan sangat banyak mendapat perhatian peneliti, bagaimana pemerintah menangani kemiskinan di tiap daerah pun berbeda, serta faktor-faktor yang mempengaruhi juga tidak selalu sama pengaruhnya di setiap daerah.
Beberapa penelitian tentang kemiskinan di berbagai negara telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Montalvo (2010) yang melakukan penelitian tentang “Pattern Of Growth and Poverty Reduction in China”, menyatakan bahwa beberapa instrumen
kebijakan yg diambil oleh pemerintah untuk menyeimbangkan pertumbuhan sektoral (agriculture and manufacturing) yaitu: a) subsidi untuk harga input (energi, lahan), memperkuat regulasi (termasuk perlindungan lingkungan), b) kemudahan akses modal, khususnya untuk perusahaan besar (swasta dan BUMN), c) pembatasan perpindahan tenaga kerja melalui sistem ‘hukou’, dan membatasi perpindahan tenaga kerja kekota, d) pengalokasian lahan untuk masyarakat lokal, dengan tujuan menyediakan lahan untuk masyarakat yg kehilangan lahan pertaniannya. China mempelajari negara-negara yang berhasil mengurangi kemiskinan di era modern, di China peran kondisi geografis dan pertumbuhan sektoral mampu menurunkan angka kemiskinan. Pengembangan sektor pertanian, jasa, dan industri diharapkan menjadi jalan keluar untuk mengurangi kemiskinan di China. Pengembangan sektor primer terbukti menjadi kekuatan untuk menurunkan
(43)
kemiskinan, jauh lebih baik dari pada sektor sekunder (manufaktur) dan sektor tersier (jasa).
Penelitian yang dilakukan oleh Guiga (2012) tentang ‘Poverty,
Growth, and Inequality in Developing Countries’, hasil penelitian ini adalah
di beberapa negara upaya untuk menurunkan kemiskinan dilakukan melalui kebijakan moneter, pemerataan, dan pendidikan. Pendapat ini juga diperkuat dengan hasil peneltian Kraay (2006), dimana dari 80 negara berkembang korelasi antara indikator kemiskinan dengan rata-rata pendapatan semuanya negatif. Tetapi hasil penelitian diatas tidak berlaku untuk semua wilayah dan negara yang memiliki perbedaan kondisi geografis. Di Asia timur, China berhasil menurunkan kemiskinan cukup besar sejak tahun 1980, begitu juga di Afrika sukses menurunkan kemiskinan yang sudah dilakukan dari tahun 1990-2004.
Beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa alternatif yang diambil untuk menurunkan kemiskinan, Bourguignon (2003) dalam Guiga (2012), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan tidak berhubungan sistematis dengan pertumbuhan ekonomi, karena mereka bisa saja berhubungan dengan pemerataan didalam ekonomi. Penjelasan ini juga menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pertumbuhan, pemerataan, dan penurunan kemiskinan. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan saja tidak cukup untuk mengurangi kemiskinan, dibutuhkan kebijakan lain seperti meningkatkan pemerataan. Penurunan kemiskinan sangat tergantung kepada distribusi dari pertumbuhan ekonomi dan akses masyarakat serta kesempatan orang miskin untuk menikmati pertumbuhan.
Mehmood (2010) melakukan peneiltian tentang The Relationship Between Government Expenditure and Poverty: A cointegration Analysis. Kajian dilakukan untuk melihat dalam jangka pendek hubungan antara pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan. Hasil studi menunjukkan hubungan negatif antara pengeluaran pemerintah dengan penurunan kemiskinan dengan menggunakan data time series dari tahun 1976-2010. Hasil analisis menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah, pertumbuhan penduduk, dan remittances berpengaruh signifikan terhadap penurunan kemiskinan, sedangkan investasi tidak berpengaruh signifikan tehadap penurunan kemiskinan.
Indonesia sebagai negara berkembang memiliki jumlah penduduk miskin yang tinggi, yaitu 10,96 persen dari total penduduknya (BPS 2015). Pendekatan secara institusional sudah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, namun tetap saja belum bisa menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Beberapa penelitian sebelumnya tentang kemiskinan di Indonesia antara lain dilakukan oleh Jonaidi (2012) tentang analisis pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia. Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan dua arah yang kuat antara peretumbuhan ekonomi dan kemiskinan, terutama di daerah pedesaan yang banyak terdapat kantong-kantong kemiskinan. Sebaliknya kemiskinan dan tingkat penggangguran berpengaruh signifikan dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
(1)
Lampiran 8 Uji identifikasi model persamaan struktural
Identifikasi menggunakan kondisi orde (Gujarati 2012)
1.
(K-k) = m-1 exactly identified
(K-k) > m-1 overidentified
2.
(M-m) + (K-k) = M-1 exactly identified
(M-m) + (K-k)
≥ M
-1 overidentified
Persamaan
(K-k)
(m-1)
Hasil
1 (satu)
9-7=2
1-1=0
Overidentified
(2)
Lampiran 9 Uji asumsi klasik model pertumbuhan ekonomi
Model t Sig.
Collinearity Statistics
Tolerance VIF
(Constant)
b.sumberdaya -.580 .562 .984 1.016
b.infrastruktur -1.826 .168 .830 1.205
b.ekonomi -.178 .858 .843 1.186
b.sosial 1.794 .273 .797 1.255
b.khusus 2.706 .207 .990 1.010
penduduk 2.756 .306 .759 1.317
lagpdrb 8.127 .400 .998 1.002
a.
Uji Heteroskedastisitas
Pada model ini tidak terjadi heteroskedastisitas dimana dari hasil uji
didapat nilai sig untuk masing-masing variabel > 0.05
b.
Uji Multikolinearitas
Pada model ini tidak terjadi multikolinaeritas dimana dari hasil uji
didapat nilai Tolerance >0.10 dan VIF < 10 untuk masing-masing variabel
(3)
Lampiran 10 Uji Asumsi Klasik Untuk Model Kemiskinan
Model t Sig.
Collinearity Statistics
Tolerance VIF
(Constant)
pengangguran 4.435 .452 .823 1.215
pdrb 3.691 .361 .995 1.005
ipm -3.216 .169 .823 1.215
a.
Uji Heteroskedastisitas
Dari hasil uji asumsi tidak terdapat heteroskedastisitas dimana nilai
sig untuk masing-masing variabel > 0.10
b.
Uji Multikolinearitas
Dari hasil uji asumsi tidak terdapat multikolinearitas dimana nilai
Tolerance > 0.10 dan VIF < 10 untuk masing-masing variabel
(4)
Lampiran 11 Uji validasi model simultan
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation
Data Set Options DATA= VALIDASI
OUT= B
Solution Summary
Variables Solved 2
Solution Range tahun First 2010
Last 2013
Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 0
Maximum Iterations 1
Total Iterations 3
Average Iterations 1
Observations Processed Read 4
Solved 3
Failed 1
Variables Solved For kemiskinan pdrb
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Range tahun = 2010 To 2013
Descriptive Statistics
Actual Predicted
Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label kemiskinan 3 3 18.4333 0.6028 16.5569 0.6115 kemiskinan pdrb 3 3 287.7 14.2251 760.3 43.4832 pdrb
(5)
Statistics of fit
Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS%
Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square
kemiskinan 3 -1.8765 -10.1875 1.8765 10.1875 1.8772 10.1955 -13.55
pdrb 3 472.6 164.3 472.6 164.3 473.4 164.5 -1661
Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
kemiskinan 3 3.5239 0.99 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.1018 0.0536
pdrb 3 224143 0.76 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.6441 0.4513
Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change MSE Decomposition Proportions
Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U
Kemiskinan 2 0.0103 1.00 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.1100 0.6102
pdrb 2 2.8538 -1.00 1.00 0.00 -0.00 0.00 0.00 33.1967 0.9434
(6)