Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal

(1)

ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMBANGUNAN

INFRASTRUKTUR TERHADAP PENURUNAN

KEMISKINAN DI KABUPATEN

TERTINGGAL

PERWITA SARI

NRP. H 151090294

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

Perwita Sari NRP : H 151090294


(4)

(5)

ABSTRACT

PERWITA SARI. Impact Analysis of Infrastructure Development Program to Reduce Poverty on Underdeveloped Region. Under direction of NUNUNG NURYARTONO and LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Raising up welfare and reducing poverty are some of the government goals in underdeveloped region. Therefore the ministry of underdeveloped region accelerate these by implementing P2IPDT, which is an infrastructure development program in underdeveloped region. The purpose of this study is to analyse the impact of this programs on the economy, inequality and poverty reduction. Using dynamic panel data model, the result shows that P2IPDT has significant and positive impact to per capita GDRP in the medium and long run. However, increased of per capita GDRP is not only comes from increased of P2IPDT but also from increased of inequality. Therefore this condition makes the economy unable to reduce poverty on underdeveloped region.


(6)

(7)

RINGKASAN

PERWITA SARI. Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” (Kementrian Keuangan, 2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satunya adalah penerapan program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Kebijakan tersebut dilakukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal di Indonesia (183 kabupaten atau sekitar 40,39%) dan masih tingginya rata-rata persentase jumlah penduduk miskin di daerah tertinggal (sebesar 17,47% pada tahun 2009).

Angka kemiskinan yang tinggi di kabupaten tertinggal ini ternyata diikuti oleh kinerja perekonomian yang buruk. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun 2009, rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KBI hanya sebesar Rp Rp 1.997,05 juta atau sekitar 42,23 persen dari rata-rata nasional, sedangkan rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KTI hanya sebesar Rp 1.189,09 juta atau sekitar 25,14 persen dari rata-rata nasional. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata output, baik di wilayah KBI maupun KTI dengan rata-rata nasional ini mengindikasikan bahwa di Indonesia masih terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang cukup besar. Ketimpangan pembangunan ekonomi tersebut juga diikuti dengan ketimpangan pendapatan rumahtangga. Pada Tahun 2008, angka gini rasio Indonesia adalah sebesar 0,37 dimana menurut Todaro dan Smith (2006) angka ini sudah tidak lagi mencerminkan pendapatan masyarakat yang relatif merata.

Pemerintah dalam hal ini Kementrian PDT, telah berupaya memberikan bantuan stimulus untuk pembangunan infrastruktur daerah tertinggal. Pada Tahun 2007 Kementrian PDT mengucurkan dana untuk program P2IPDT sebesar Rp 105,37 milyar dan pada Tahun 2008 naik lebih dari dua kali lipat menjadi sebesar Rp 274,82 milyar. Upaya mendorong perekonomian kabupaten tertinggal melalui peningkatan infrastruktur sejalan dengan penelitian-penelitian empiris sebelumnya (Aschauer 1989, Munnel 1992, Canning dan Pedroni 1999, Perkins, et al 2005, Seetanah, et al 2009, Prasetyo 2010). Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha, melalui peningkatan infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mendorong perekonomian. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh program pembangunan infrastruktur dan kaitannya terhadap perekonomian, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di kabupaten tertinggal.

Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada 82 kabupaten yang termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal yang ditetapkan oleh Kementrian PDT Tahun 2005. Pemilihan 82 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada pertimbangan ketersediaan data, dimana 82 kabupaten yang terpilih tersebut mendapatkan dana bantuan P2IPDT secara kontinu setiap tahunnya.


(8)

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang dihimpun dari Kementrian PDT dan Badan Pusat Statistik (BPS), periode 2007-2009. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum dan sesudah implementasi program P2IPDT. Analisis ekonometrik digunakan untuk melihat pengaruh infrastruktur terhadap perekonomian dan kemiskinan. Beberapa metode ekonometrik yang digunakan diantaranya metode data panel statis, data panel dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan berbagai metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan, robustness model, serta validitas di antara berbagai metode estimasi yang digunakan. Analisis deskriptif menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan di kabupaten tertinggal pada kurun waktu 2006 (sebelum implementasi P2IPDT) dan 2009 (setelah implementasi P2IPDT) membaik, tercermin dari adanya peningkatan rata-rata PDRB atas dasar harga konstan. Dinamika ketimpangan menunjukkan angka yang meningkat (semakin timpang) pada kurun waktu yang sama, sedangkan dinamika kemiskinan membaik yang ditunjukkan dengan adanya penurunan rata-rata persentase kemiskinan. Program P2IPDT dilaksanakan pada kurun waktu 2007-2009 pada 5 bidang infrastruktur yaitu transportasi, energi, informasi dan telekomunikasi, ekonomi dan sosial. Infrastruktur energi merupakan infrastruktur yang diprioritaskan oleh Kementrian PDT, dimana infrastruktur energi merupakan jenis infrastruktur dengan cakupan kabupaten penerima bantuan dan nilai proporsi bantuan yang terbesar tiap tahunnya.

Hasil estimasi total bantuan menunjukkan bahwa variabel yang nyata secara statistik terhadap perekonomian kabupaten tertinggal (didekati dengan nilai PDRB per kapita) adalah PDRB per kapita tahun sebelumnya, bantuan stimulus infrastruktur, inflasi tahun sebelumnya dan gini rasio. Variabel populasi penduduk ternyata tidak signifikan memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal. Bantuan stimulus infrastruktur nyata positif memengaruhi perekonomian dalam jangka panjang, sedangkan untuk variabel indeks gini dan inflasi juga menunjukkan arah yang positif. Sementara, hasil estimasi pengaruh perekonomian terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa variabel yang nyata memengaruhi tingkat kemiskinan adalah tingkat kemiskinan tahun sebelumnya, PDRB per kapita dan pengeluaran pemerintah. Variabel PDRB perkapita nyata positif memengaruhi tingkat kemiskinan sedangkan variabel pengeluaran nyata negatif memengaruhi penurunan kemiskinan. Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan investasi infrastruktur P2IPDT dan kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan menyebabkan kenaikan PDRB per kapita di kabupaten tertinggal. Hal ini menyebabkan kondisi tersebut belum mampu menurunkan persentase penduduk miskin di kabupaten tertinggal.


(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB


(10)

(11)

ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMBANGUNAN

INFRASTRUKTUR TERHADAP PENURUNAN

KEMISKINAN DI KABUPATEN

TERTINGGAL

PERWITA SARI

NRP. H 151090294

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(12)

(13)

Judul Penelitian : Analisis Pengaruh Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal

Nama : Perwita Sari NRP : H 151090294 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si

Ketua Anggota

Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc.Agr


(14)

(15)

(16)

(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ali Said, MA atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr. selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis selama ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Bapak dan Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman pada Direktorat Diseminasi Statistik, khususnya kepada Ir. Agoes Subeno, M.Si yang telah membantu memberi dukungan dalam proses perkuliahan hingga dalam penyelesaian tesis ini.

Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.

Bogor, Mei 2011


(18)

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Perwita Sari lahir pada tanggal 6 Februari 1980, di Jakarta. Penulis merupakan anak keenam dari delapan bersaudara, dari pasangan Bapak Drs. Sukidjo Hardjo Utomo dan Ibu K.T. Wahyuni. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Ulujami 02 Pagi, Jakarta pada tahun 1992, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMPN Negeri 56 Melawai, Jakarta pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 70 Bulungan, Jakarta dan lulus pada tahun 1998.

Setelah menamatkan pendidikan di tingkat SMU, pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2002 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Kemudian bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur selama lebih kurang 1,5 tahun, pada tahun 2004 penulis dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Merauke, Provinsi Papua dan sejak tahun 2009 hingga sekarang penulis bertugas di Direktorat Diseminasi Statistik, BPS, Jakarta.

Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor setelah sebelumnya mengikuti program alih jenjang pada perguruan tinggi yang sama. Program Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor ini merupakan kerja sama BPS dan IPB.


(20)

xvii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...

DARTAR GAMBAR ...

DAFTAR LAMPIRAN ...

xx xxi xxiii

I.

II.

PENDAHULUAN ... 1.1. Latar Belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan Penelitian ... 1.4. Manfaat Penelitian ... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 2.1. Kerangka Teori ... 2.1.1. Konsep Kemiskinan ... 2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 2.1.3. Konsep Ketimpangan Pendapatan ... 2.1.4. Konsep Infrastruktur ... 2.1.5. Strategi Pengentasan Kemiskinan di Daerah Tertinggal 2.1.6. Konsep dan Kriteria Kabupaten Tertinggal ... 2.1.7. Operasionalisasi Kebijakan Kabupaten Tertinggal ... 2.1.8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan

Daerah Tertinggal ... 2.1.9. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kemiskinan ... 2.1.10. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ... 2.1.11. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan ... 2.1.12. Pengaruh Investasi Infrastruktur ... 2.2. Kerangka Pemikiran ... 2.3. Hipotesis Penelitian ...

1 1 7 8 9 9 11 11 11 14 18 21 22 23 25 27 28 30 31 32 34 36


(21)

xviii

III.

IV.

V.

METODE PENELITIAN ... 3.1. Jenis dan Sumber Data ... 3.2. Metode Analisis ... 3.2.1. Analisis Deskriptif ...

3.2.2. Analisis Pengaruh Bantuan Stimulus Infrastruktur

terhadap Perekonomian, Ketimpangan dan Penurunan Kemiskinan ... 3.2.2.1. Analisis Data Panel ...

3.2.2.2. Pengaruh Infrastruktur, Ketimpangan

Pendapatan terhadap Perekonomian …….…

3.2.2.3. Pengaruh Peningkatan Perekonomian

terhadap Kemiskinan ……….. 3.2.3. Uji Spesifikasi Model ... 3.2.4. Definisi Operasional ...

KERAGAAN DAN DINAMIKA KABUPATEN TERTINGGAL SERTA UPAYA PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KABUPATEN

TERTINGGAL ………... 4.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal ...

4.1.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Barat Indonesia ... 4.1.2. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Timur

Indonesia ... 4.2. Dinamika Kabupaten Tertinggal ... 4.2.1. Dinamika Pertumbuhan ... 4.2.2. Dinamika Ketimpangan ... 4.2.3. Dinamika Kemiskinan ... 4.3. Bantuan Stimulus Infrastruktur ...

ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN

TERTINGGAL ... 5.1. Hasil Estimasi ...

37 37 37 37 38 38 44 49 51 52 53 53 55 57 58 58 61 64 70 81 81


(22)

xix

VI.

VII.

5.1.1. Analisis Pengaruh Bantuan Infrastruktur terhadap Perekonomian Kabupaten Tertinggal ... 5.1.2. Analisis Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan

Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal ... 5.2. Uji Spesifikasi Model Panel Data Dinamis ...

KESIMPULAN DAN SARAN ... 6.1. Kesimpulan ... 6.2. Implikasi Kebijakan ... 6.3. Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ...

83

89 91 93 93 94 96 97


(23)

xx

DAFTAR TABEL

Nomor Hal

1.1. Jumlah Bantuan Stimulus P2IPDT Kabupaten Tertinggal di

Indonesia, Tahun 2007 dan 2008 (Juta Rupiah)

6

4.1. Cakupan Kabupaten Penerima P2IPDT dan Proporsi Nilai

Bantuan P2IPDT per jenis Bantuan di Kabupaten Tertinggal, Tahun 2007-2009

78

5.1. Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT (Total dan per Jenis

Bantuan) menggunakan Panel Data Statis dan Dinamis

84

5.2. Hasil Estimasi Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan

Kemiskinan dengan Menggunakan Metode Panel Statis, Panel

Dinamis dan Panel Instrumental Variabel


(24)

xxi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Hal

1.1. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Maju

dan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2008

2

1.2. Perbandingan Rata-Rata PDRB Kabupaten Tertinggal di

Wilayah KBI dan KTI dengan Rata-Rata PDRB Nasional

3

1.3. Perkembangan Indeks Gini di Indonesia, Tahun 2002-2008 4

2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle 19

2.2. Kurva Lorenz 21

2.3. Skenario Pembangunan Daerah Tertinggal 23

2.4. Mekanisme Transmisi dari Investasi Publik 33

2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian 35

4.1. Perbandingan Persentase Kabupaten Tertinggal KBI, KTI dan

Nasional, Tahun 2005 dan 2010

54

4.2. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KBI

menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010

56

4.3. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KTI

menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010

57

4.4. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan

Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

59

4.5. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan

Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

60

4.6. Perbandingan Angka Indeks Gini Kabupaten Tertinggal KBI,

menurut Provinsi Tahun 2006-2009

62

4.7. Perbandingan Angka Indeks Gini Kabupaten Tertinggal KTI,

menurut Provinsi Tahun 2006-2009


(25)

xxii

4.8. Rata-Rata Penurunan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten

Tertinggal, Tahun 2006-2009

65

4.9. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin

Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

66

4.10. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin

Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

67

4.11. Perbandingan Pertumbuhan Bantuan Stimulus Infrastruktur

(P2IPDT), menurut Provinsi Tahun 2006-2009

71

4.12. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur

(P2IPDT) di KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

72

4.13. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur

(P2IPDT) di KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

73

5.1. Growth Incidence Curve Kabupaten Tertinggal di Indonesia,

Tahun 2008-2009


(26)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Hal

1. Perkembangan Rata-rata Garis Kemiskinan Kabupaten

Tertinggal menurut Provinsi, Tahun 2006-2009

104

2. Daftar 183 Kabupaten Tertinggal di Indonesia 105

3. Jumlah dan Persentase Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi

Tahun 2005 dan 2010

111

4. Dinamika PDRB atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009

112

5. Dinamika Ketimpangan Kabupaten Tertinggal, Tahun

2006-2009

113

6. Dinamika Kemiskinan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009 114

7. Hasil Analisis Kuadran (Dinamika Pertumbuhan dan

Kemiskinan) di Kabupaten Tertinggal

115

8. Rata-rata Bantuan P2IPDT, Tahun 2007-2009 119


(27)

I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” (Kementrian Keuangan, 2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut antara lain adalah percepatan pembangunan daerah tertinggal dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Upaya melaksanakan kebijakan tersebut adalah dengan membentuk Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kementrian PDT) yang dalam Perpres No. 9 tahun 2005 memiliki tugas pokok dan fungsi membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal.

Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal dilakukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal, yakni sebesar 40,39 % (183 kabupaten) dan masih banyaknya penduduk kabupaten tertinggal yang masuk kategori miskin. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun 2008, masih terdapat lebih dari 34 juta (15,1 %) penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2008). Dari sejumlah penduduk miskin 66,26 % berlokasi di wilayah kabupaten yang tergolong maju dan 33,74 % penduduk miskin berlokasi di wilayah kabupaten tertinggal (Gambar 1.1). Gambar 1.1 juga memperlihatkan kondisi bahwa pulau dengan persentase jumlah penduduk miskin yang tinggal di wilayah kabupaten tertinggal terbanyak adalah Pulau Sumatera dan Jawa yang tercatat memiliki persentase jumlah penduduk miskin di kabupaten tertinggal masing-masing sebesar 9,39 % dan 8,68 %.

Kenyataan bahwa masih cukup banyaknya penduduk miskin yang berlokasi di wilayah kabupaten tertinggal ini sangatlah ironis, hal ini menimbulkan dugaan awal bahwa kemiskinan yang terjadi di kabupaten tertinggal ini dapat dikategorikan sebagai kemiskinan yang kronis (chronic poverty). Dugaan ini cukup beralasan mengingat berbagai keterbatasan dan keterbelakangan daerah tertinggal jika


(28)

2

dibandingkan dengan daerah lain yang tergolong maju, diantaranya rendahnya kualitas sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, rendahnya kualitas maupun kuantitas infrastruktur, dan letak geografis yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan akses penduduk menjadi terbatas.

Sumber : BPS (2008), diolah

Gambar 1.1. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Maju dan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2008

Kemiskinan di kabupaten tertinggal ini semakin kronis apabila diikuti oleh rendahnya output maupun pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten tertinggal. Data empiris menunjukkan bahwa meskipun tiap tahunnya rata-rata produk domestik regional bruto (PDRB) kabupaten tertinggal baik di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tiap tahunnya mengalami kenaikan, namun besaran nominalnya masih di bawah capaian rata-rata nasional (Gambar 1.2.). Gambar 1.2 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2009, rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KBI hanya sebesar Rp 1.997,05 juta atau hanya sekitar 42,23 persen dari rata-rata nasional, sedangkan rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KTI hanya sebesar Rp 1.189,09 juta atau sekitar 25,14 persen dari rata-rata nasional. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata

Sumatera (9,39%) Jawa (8,68%) Bali&NT (5,59%) Kalimantan Sulawesi (5,00%) Maluku (1,34%) Papua (2,28%)

Kab.  Tertinggal

33,74%

Kab. Maju 66,26%


(29)

output ant Indonesia antarwilay Sumber: Gambar Ket pendapata pendapata masih cuk tahun 200 dan Smith masyaraka untuk men meningkat 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 tara wilaya masih ter yah. BPS (2010), r 1.2. Perb Wilay

impangan p an rumahtan an masyarak kup besar d 09, angka in

h (2006) an at yang rela ningkat tiap tkan angka 0 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 20

ah KBI, KT rjadi ketimp

, diolah andingan R yah KBI da

pembanguna ngga. Hal in

kat di Indo dan menunj ndeks gini In

ngka ini su atif merata. p tahunnya

kemiskinan

006

TI dan rata-pangan pem

Rata-Rata P an KTI den

an ekonomi ni terlihat da onesia, yang jukkan tren ndonesia ad udah tidak Kondisi ke a perlu diw

n. 2007 KBI KTI -rata nasion mbangunan PDRB Kab ngan

Rata-i tersebut ju ari masih tin g tercermin kenaikan u dalah sebesa lagi mence etimpangan waspadai ter 200 Nasiona nal mengin n ekonomi bupaten Te -Rata PDR

uga diikuti d ngginya ket n dari angk untuk period ar 0,36 dima erminkan di

yang mem rkait dengan

08

al

dikasikan b yang cuku

ertinggal di RB Nasional

dengan ketim timpangan d ka indeks g

de 2004-20 ana menuru istribusi pen miliki kecend n potensiny 2009 3 bahwa di up besar i l mpangan distribusi gini yang 007. Pada ut Todaro ndapatan derungan ya dalam


(30)

4

Sumber: BPS (2009a), diolah

Gambar 1.3. Perkembangan Indeks Gini di Indonesia, Tahun 2002-2009

Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan dioperasionalisasikan pada berbagai program bantuan. Hal tersebut merupakan stimulus bagi daerah tertinggal untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan. Salah satu bantuan stimulus tersebut adalah Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilakukan oleh Kementrian PDT sejak Tahun 2006. Program dan instrumen ini dimaksudkan untuk membantu kabupaten tertinggal agar dapat menjadi kabupaten yang terbuka dan mampu berinteraksi dengan “dunia luar” sehingga akses ke berbagai faktor produksi menjadi semakin mudah untuk dijangkau, yang pada gilirannya dapat membuka peluang semakin bergeraknya perekonomian kabupaten tertinggal.

Upaya mendorong perekonomian kabupaten tertinggal dan mengentaskannya dari ketertinggalan yang telah dilakukan Kementrian PDT melalui instrumen P2IPDT ini sudah cukup tepat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aziz (1994) bahwa untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya, terdapat beberapa alternatif pengembangan suatu daerah. Alternatif tersebut dapat berupa investasi yang langsung diarahkan pada sektor produktif atau investasi pada bidang social overhead, seperti

0,33

0,32

0,32

0,34

0,36 0,38

0,37

0,36

0,29 0,3 0,31 0,32 0,33 0,34 0,35 0,36 0,37 0,38 0,39


(31)

5 pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana infrastruktur lainnya.

Studi terdahulu menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur baik berupa sarana dan prasarana transportasi, jaringan listrik dan telekomunikasi serta pengadaan air bersih sangatlah penting dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat di suatu wilayah (Aschauer,1989; Munnel,1992; Canning dan Pedroni,1999; Sibarani,2002 dan Prasetyo,2010). Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha. Sehingga peningkatan infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Daerah dengan infrastruktur yang memadai mempunyai keuntungan yang lebih besar dalam menarik investasi masuk ke daerahnya sehingga menyebabkan daerah akan menjadi lebih cepat berkembang dibandingkan dengan daerah yang memiliki infrastruktur yang kurang memadai. Hal ini dikarenakan terbukanya keterisolasian daerah sehingga akses ke berbagai faktor produksi dimungkinkan untuk membuka peluang bergeraknya perekonomian daerah.

Pemerintah melalui Kementrian PDT, telah berupaya memberikan bantuan stimulus untuk pembangunan infrastruktur daerah tertinggal. Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa dana yang digulirkan Kementrian PDT untuk percepatan pembangunan infrastruktur pedesaan daerah tertinggal mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Tercatat pada tahun 2007 Kementrian PDT mengucurkan dana untuk program P2IPDT sebesar Rp 105,37 milyar dan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2008, menjadi sebesar Rp 274,82 milyar. Pola sebaran bantuan yang diberikan cukup sesuai mengingat share bantuan simulus infrastruktur paling besar diberikan pada daerah yang sejatinya merupakan daerah dengan indeks infrastruktur yang rendah (Prasetyo, 2010).


(32)

6

Tabel 1.1. Jumlah Bantuan Stimulus P2IPDT Kabupaten Tertinggal di Indonesia Tahun 2007 dan 2008 (Juta Rupiah)

Pulau Tahun

2007 2008 Sumatera 29.030,53 82.253,27

(27,55) (29,93) Jawa 11.949,41 31.219,42

(11,34) (11,36) Bali dan Nusa Tenggara 10.864,06 34.489,76

(10,31) (12,55) Kalimantan 4.646,99 25.613,11

(4,41) (9,32) Sulawesi 27.239,17 55.733,26

(25,85) (20,28) Maluku 8.566,90 16.269,27

(8,13) (5,92) Papua 13.076,91 29.240,72

(12,41) (10,64) Jumlah 105.373,98 274.818,82

(100,00) (100,00)

Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah

Cat: Angka dalam kurung menunjukkan nilai proporsi

Kondisi ini mencerminkan bahwa pemerintah memiliki perhatian yang cukup serius untuk melakukan pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal sehingga dapat mengurangi kemiskinan melalui percepatan pembangunan infrastruktur. Studi empirik yang mengkaji mengenai dampak kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan kabupaten tertinggal kiranya perlu dilakukan untuk mendeskripsikan implementasi bantuan infrastruktur yang telah dilaksanakan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini menganalisis pengaruh program percepatan pembangunan infrastruktur dalam meningkatkan perekonomian serta kaitannya dengan ketimpangan pendapatan dan penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal. Kajian mengenai pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal juga menjadi relevan untuk diteliti, mengingat pola pembangunan infrastruktur yang diterapkan haruslah sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan dasar daerah tertinggal.


(33)

7 1.2.Perumusan Masalah

Upaya campur tangan yang dilakukan pemerintah dalam mengurangi ketertinggalan dan mengurangi jumlah rakyat miskin di kabupaten tertinggal dilakukan dengan membentuk Kementrian PDT yang tugas, pokok dan fungsinya adalah membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal (Perpres No. 9, Tahun 2005). Upaya yang dilakukan oleh Kementrian PDT adalah melaksanakan berbagai program bantuan yang diberikan kepada 183 (seratus delapan puluh tiga) kabupaten yang termasuk kategori kabupaten tertinggal di Indonesia. Salah satu program yang dilaksanakan Kementrian PDT adalah Program Pengembangan Sarana dan Prasarana melalui instrumen Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT). Program dan instrumen ini bermaksud membantu kabupaten tertinggal agar dapat menjadi suatu kabupaten yang terbuka dan mampu berinteraksi dengan “dunia luar” sehingga akses ke berbagai faktor produksi menjadi semakin mudah untuk dijangkau, yang pada gilirannya dapat membuka peluang semakin bergeraknya perekonomian kabupaten tertinggal.

Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa program bantuan yang dilaksanakan Kementrian PDT mampu secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Kawasan Timur Indonesia (Sari, 2009). Namun kajian mengenai dampaknya terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan belum banyak dilakukan. Kajian tersebut perlu dilakukan mengingat keterbatasan anggaran pemerintah (keterbatasan ruang fiskal), sehingga pemerintah tidak mungkin selamanya mampu memberikan dana bantuan, untuk itu kabupaten tertinggal harus mampu secara aktif dan mandiri meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, yang diukur dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang disertai penurunan angka kemiskinan dan pemerataan distribusi pendapatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan studi mengenai dinamika pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masing-masing kabupaten tertinggal. Terkait dengan besaran belanja modal pemerintah pusat yang


(34)

8

dilaksanakan oleh Kementrian PDT melalui instrumen P2IPDT, perlu dilakukan kajian apakah instrumen P2IPDT memiliki pengaruh yang signifikan pada peningkatan perekonomian kabupaten tertinggal. Lebih jauh perlu diteliti pengaruh peningkatan perekonomian yang dicapai kabupaten tertinggal terhadap kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Hal ini perlu dilakukan mengingat masih banyaknya penduduk miskin yang tinggal di kabupaten tertinggal (33,74% dari total jumlah penduduk miskin di Indonesia). Berdasarkan fakta tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT?

2. Bagaimana pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal?

3. Bagaimana pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian kabupaten tertinggal dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal?

4. Bagaimana hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai antara lain:

1. Menganalisis dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT.

2. Menganalisis pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal yang saat ini telah dilakukan oleh Kementrian PDT.

3. Menganalisis pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian kabupaten tertinggal dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal.

4. Menganalisis hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal.


(35)

9 1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian antara lain: 1. Deskripsi mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang

terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT diharapkan dapat digunakan untuk menilai dampak dari adanya program P2IPDT di kabupaten tertinggal, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alat evaluasi bagi Kementrian PDT. 2. Analisis pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal diharapkan dapat

memberikan gambaran mengenai pelaksanaan program pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal dan diharapkan dapat memberikan masukan pada pengambil kebijakan, sehingga dapat lebih meningkatkan dampak positif dari pelaksanaan kebijakan.

3. Analisis mengenai pengaruh program P2IPDT melalui studi ekonometrik diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kementrian PDT tentang pentingnya program P2IPDT bagi kesejahteraan masyarakat kabupaten tertinggal.

4. Analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perekonomian diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kementrian PDT maupun pemangku kebjakan yang lain untuk lebih memfokuskan kebijakan maupun programnya pada peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan untuk mendorong meningkatnya aktifitas ekonomi suatu daerah.

5. Analisis hubungan perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan diharapkan dapat digunakan oleh Kementrian PDT dan pemangku kebijakan yang lain sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan yang tidak hanya pro pada pertumbuhan namun juga pro terhadap rakyat miskin.

1.5.Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi tiga hal. Pertama, memberikan deskripsi dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT. Kedua, melakukan studi ekonometrik mengenai


(36)

10

pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian dan faktor-faktor yang memengaruhi perekonomian. Ketiga, melakukan studi ekonometrik untuk melihat hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada kabupaten tertinggal, dimana analisis deskriptif yang dilakukan mencakup 199 kabupaten yang dikategorikan tertinggal oleh Kementrian PDT pada tahun 2005, sedangkan analisis ekonometrik difokuskan pada 82 kabupaten tertinggal di Indonesia (KBI dan KTI) yang termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal yang telah ditetapkan oleh Kementrian PDT. Pemilihan 82 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada kontinuitas dana yang digulirkan oleh Kementrian PDT, dimana 82 kabupaten yang dipilih merupakan kabupaten yang mendapatkan dana bantuan stimulus infrastruktur (P2IPDT) secara terus menerus (2007-2009), selain juga mempertimbangkan faktor ketersediaan data pendukung lainnya.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Kerangka Teori

2.1.1. Konsep Kemiskinan

Berbagai konsep mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan nonpendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah, sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut.

Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan internasional, selain kemiskinan absolut, beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang kemiskinan total yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan relatif merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan nasional, indeks gini merupakan salah satu contoh ukuran kemiskinan relatif.

World Bank (1990) menyatakan bahwa garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara adalah garis kemiskinan internasional yang menggunakan pendapatan perkapita

sebesar US$ 1 per hari. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing

Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Studi yang dilakukan oleh

Chen dan Ravallion (2008) menyatakan bahwa menurut standar PPP dari

International Comparison Program (ICP) tahun 2005 bahwa garis kemiskinan


(38)

12

untuk itu Chen dan Ravallion menyatakan bahwa garis kemiskinan internasional yang lebih tepat dengan menggunakan nilai PPP tahun 2005 dari ICP adalah sebesar US$ 1,25 per hari.

Badan Pusat Statistik (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada tahun 2008 sebesar Rp 204,896/kapita/bulan untuk daerah perkotaan dan Rp 161,831/kapita /bulan untuk daerah pedesaan. Garis kemiskinan juga berbeda-beda untuk tiap daerah tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah. Perkembangan garis kemiskinan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penghitungan indikator kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak terbatas pada jumlah dan persentase penduduk miskin, BPS juga

menghitung rasio kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio) dan Indeks keparahan

kemiskinan (poverty severity index) dengan menggunakan metode

Foster-Greer-Thorbecke (FGT), yang dirumuskan sebagai:

= 

 

 −

= q

1 i

i z

y z N

1 P

α

α (2.1)

dimana:

z = besarnya garis kemiskinan yang ditetapkan. N = jumlah penduduk.

q = banyaknya penduduk yang di bawah garis kemiskinan. yi

α = 0,1 dan 2.

= rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i = 1, 2, 3, ...q), yi < q.

Jika α = 0 maka diperoleh persentase penduduk miskin (P0); jika α = 1 adalah

rasio kedalaman kemiskinan (P1); dan jika α = 2 adalah Indeks keparahan kemiskinan

(P2). Rasio kedalaman kemiskinan P1 merupakan ukuran rata-rata kesenjangan


(39)

13

tinggi nilai P1 berarti semakin besar kesenjangan pengeluaran penduduk miskin

terhadap garis kemiskinan atau menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin

semakin terpuruk. Sedangkan P2

Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama kali hingga saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan kebutuhan

dasar (basic needs). Kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan

dalam memenuhi kebutuhan dasar, dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar.

sampai batas tertentu dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.

Beberapa ahli yang mendalami masalah kemiskinan membagi ukuran

kemiskinan tidak hanya berdasarkan P1 maupun P2 saja, namun berdasarkan tipe

kemiskinan. Tipe kemiskinan menurut Jalan dan Ravallion (1998) dapat dibedakan

menjadi dua jenis, yaitu chronic poverty dan transient poverty. Kemiskinan kronis

(chronic poverty) dapat diartikan kondisi dimana suatu individu yang tergolong

miskin pada suatu waktu, kemiskinannya terus meningkat dan berada pada tingkat

kesejahteraan yang rendah dalam jangka panjang. Kemiskinan sementara (transient

poverty) dapat diartikan sebagai kondisi dimana kemiskinan yang terjadi pada suatu

waktu hanya merupakan kondisi sementara yang tidak bersifat permanen, yang dikarenakan penurunan standar hidup individu dalam jangka pendek. Kebijakan yang berbeda diperlukan dalam menangani kedua tipe kemiskinan. Investasi jangka panjang untuk orang miskin seperti peningkatan modal fisik maupun modal manusia

merupakan kebijakan yang sesuai untuk menangani kasus chronic poverty,

sedangkan asuransi dan skema stabilisasi pendapatan yang memproteksi rumahtangga

dari guncangan ekonomi (economic shocks) akan menjadi kebijakan yang penting


(40)

14

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi keduanya merupakan fenomena ekonomi yang saling berhubungan. Sampai dengan Tahun 1960, teori pembangunan ekonomi diperlakukan sebagai perluasan dari teori ekonomi konvensional dan untuk itu pembangunan dapat dikatakan hampir sama dengan pertumbuhan (Reungsri, 2010). Hall (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai peningkatan dalam produksi nasional maupun pendapatan nasional, namun Seers (1969) berargumen bahwa pembangunan tidak hanya berarti pertumbuhan, namun juga harus mengikutsertakan aspek sosial seperti adanya penurunan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran.

Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Tiga komponen pertumbuhan ekonomi yang penting bagi setiap masyarakat adalah:

1. Akumulasi modal, dimana akumulasi modal termasuk di dalamnya semua

investasi baru dalam tanah, peralatan fisik dan sumberdaya manusia melalui perbaikan di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan keja

2. Pertumbuhan jumlah penduduk yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan

angkatan kerja

3. Kemajuan teknologi yang secara luas diartikan sebagai cara baru dalam

menyelesaikan pekerjaan.

Sukirno (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Pendapatan nasional ini dihitung berdasarkan jumlah seluruh output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara. Pendapatan nasional atau jumlah seluruh output barang dan jasa ini dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto (PDB).


(41)

15

PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw, 2007). Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai gambaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Terdapat dua pendekatan yang lazim digunakan dalam penghitungan PDB, yaitu pendekatan produksi dan pendekatan pengeluaran. Metode penghitungan PDB terbagi menjadi dua jenis, yaitu atas dasar harga berlaku yang menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari seluruh kegiatan ekonomi dengan mengalikan total nilai tambah dengan harga pada tahun berjalan dan atas dasar harga konstan yang dihitung dengan mengalikan seluruh nilai tambah dari hasil kegiatan ekonomi dengan harga pada tahun dasar. Data PDB yang digunakan untuk mengukur besaran nilai pertumbuhan ekonomi adalah PDB atas dasar harga konstan. Nilai PDB pada dasarnya merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari masing-masing provinsi/kabupaten di suatu negara (BPS, 2005).

Pengaruh peningkatan investasi infrastruktur yang akan diteliti dalam studi kali ini diukur dengan melakukan pendekatan kuantitatif pada indikator pembangunan ekonomi. Indikator pembangunan ekonomi diukur melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kinerja perekonomian (Sen, 1988).

Teori Pertumbuhan Harrod Domar

Teori pertumbuhan pertama kali dikemukakan oleh Harod dan Domar, yang menggunakan model Keynesian untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi dalam perekonomian tertutup. Teori ini kemudian dikenal lebih luas dengan model pertumbuhan Harrod-Domar. Model pertumbuhan Harrod-Domar didasarkan pada tiga asumsi.


(42)

16

Pertama, bahwa perekonomian menyebabkan terjadi peningkatan tabungan (S)

dalam proporsi yang konstan (s) terhadap pendapatan nasional (Y):

S=sY (2.3)

dimana s merupakan rasio tabungan baik marginal mapun rata-rata.

Kedua, bahwa perekonomian berada pada keseimbangan, dimana investasi yang direncanakan sama dengan tabungan yang direncanakan:

I=S (2.4)

Ketiga, bahwa investasi dipengaruhi oleh ekspektasi kenaikan pendapatan nasional

(ΔY) dan koefisien teknis tetap v yang dikenal sebagai Incremental Capital Output

Ratio (ICOR):

I=v ΔY (2.5)

Model pertumbuhan Harrod-Domar kemudian mendefinisikan pertumbuhan

ekonomi (gy

g

) sebagai perubahan pendapatan tiap satu satuan pendapatan:

y

Mensubstitusikan hubungan pada persamaan (2.4) dan (2.5) memberikan definisi alternatif untuk pertumbuhan sebagai:

= (2.6)

gy

Persamaan (2.7) berimplikasi bahwa jika ketiga asumsi yang mendasari teori ini terpenuhi, maka perekonomian akan tumbuh pada suatu level yang dipengaruhi oleh

parameter s dan v. Meskipun demikian, paling tidak dalam prakteknya ada dua

asumsi yang tidak mungkin dipegang, yakni bahwa nilai ICOR yang tetap berimplikasi bahwa terdapat hubungan yang tetap antara jumlah stok kapital dan output, kedua bahwa input tenaga kerja tidak dimasukkan dalam model, sehingga hal ini menyebabkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar ini memiliki asumsi yang lemah.

= (2.7)

Teori Pertumbuhan Solow

Mankiw (2007) menyatakan bahwa model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan angkatan


(43)

17

kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan. Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi.

Dengan kata lain, output per pekerja (y) merupakan konsumsi per pekerja (c) dan

investasi per pekerja (i):

y = c + I (2.8)

Model Solow mengasumsikan bahwa setiap tahun orang menabung sebagian s

dari pendapatan mereka dan mengkonsumsi sebagian (1-s), hubungan ini dapat

dinyatakan sebagai:

c = (1-s)y (2.9)

y = (1-s)y + I (2.10)

Meskipun model Solow telah mampu memasukkan tenaga kerja sebagai faktor yang memengaruhi pertumbuhan, namun model ini gagal menjelaskan bagaimana dan mengapa kemajuan teknologi terjadi. Romer (1986) kemudian menggagas model alternatif dengan memasukkan kemajuan teknologi ke dalam model, namun demikian tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak akan mencapai tingkat pareto optimal. Model Romer (1986) tersebut kemudian dikenal sebagai teori pertumbuhan endogen.

Teori Pertumbuhan Endogen

Kelemahan dari teori pertumbuhan neoklasik kemudian memicu berkembangnya teori pertumbuhan endogen. Paul Romer merupakan salah satu penggagas teori ini dengan model pertumbuhan endogen yang memasukkan kemajuan teknologi ke dalam model. Romer dalam Capello (2009) juga menyatakan bahwa selain kemajuan teknologi, salah satu sumber pertumbuhan adalah berasal dari eksternalitas yang terjadi akibat adanya akumulasi stok pengetahuan teknis yang kemudian berkolaborasi dengan modal tetap pada suatu waktu tertentu dalam mencapai tingkat output tertentu.


(44)

18

Robert Lucas juga merupakan ahli ekonomi yang juga merupakan penggagas teori pertumbuhan endogen. Lucas dalam Capello (2009) menyatakan hal yang sama dengan apa yang dikemukakan Romer, bahwa modal yang menentukan tingkat output yang dicapai dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu modal fisik dan modal manusia. Kombinasi keduanya dalam fungsi produksi dapat meningkatkan tingkat output tertentu.

Teori pertumbuhan endogen menyatakan bahwa perbaikan dan kemajuan teknologi dihasilkan dari investasi yang secara langsung menyebabkan pertumbuhan, sehingga investasi dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang

(Economic Planning Advisory Commission, 1995). Reungsri (2010) juga menyatakan

bahwa investasi merupakan salah satu faktor penting pada model pertumbuhan endogen, investasi dapat menyebabkan perbaikan pada kapasitas produksi dan kenaikan laba yang berimplikasi pada adanya pertumbuhan ekonomi. Pada teori

pertumbuhan neoklasik, adanya asumsi “law of diminishing return” membawa pada

argumentasi bahwa investasi tidak mampu memengaruhi pertumbuhan. Namun pada

teori pertumbuhan endogen, meskipun dibawah asumsi “law of diminishing return”

investasi tetap mampu meningkatkan pertumbuhan. Sebagai contoh, adanya kemajuan teknologi yang didanai dari investasi akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, selain itu, tenaga kerja ahli yang didapat dari hasil pendidikan maupun pelatihan juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam penelitian ini peranan investasi terutama investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi didekati dengan menggunakan model pertumbuhan endogen.

2.1.3. Konsep Ketimpangan Pendapatan

Glaeser (2006) menyatakan ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga

berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property


(45)

19

Bourguignon (2004) menyatakan bahwa ketimpangan merujuk pada adanya disparitas pendapatan relatif penduduk. Disparitas dalam pendapatan ini didapat setelah menormalisasi seluruh pengamatan dengan rata-rata populasi sehingga membuatnya sebagai skala yang independen terhadap pendapatan. Ketimpangan pendapatan memiliki hubungan yang cukup erat dengan pertumbuhan ekonomi dan

kemiskinan, sehingga dikembangkanlah kerangka konseptual the

poverty-growth-inequality triangle untuk melihat hubungan antara ketiga variabel.

Sumber: Bourguignon (2004)

Gambar 2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle

Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk memperoleh pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang diterima masing-masing kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan. Adanya ketimpangan yang tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut Todaro dan Smith (2006) akan menimbulkan setidaknya dua dampak negatif yaitu:

1. Terjadinya inefisiensi ekonomi.

2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.

Kemiskinan absolut dan penurunan kemiskinan

“Strategi Pembangunan”

Distribusi dan Perubahan Distribusi pendapatan

Tingkat pendapatan agregat dan pertumbuhan


(46)

20

Terdapat beragam ukuran dalam menilai ketimpangan pendapatan suatu wilayah. Indeks gini adalah salah satu ukuran dalam mengukur ketimpangan, selain itu terdapat beberapa ukuran lainnya, antara lain Indeks Theil, kriteria Bank Dunia dan Indeks Williamson. Indeks gini merupakan ukuran ketimpangan yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan penghitungan indeks gini yang relatif mudah dan dapat menggunakan berbagai pendekatan baik pengeluaran atau pendapatan, sehingga dapat mengukur perbedaan tingkat daya beli masyarakat secara riil. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini menggunakan indeks gini dalam mengukur ketimpangan pendapatan.

Indeks gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang nilainya berkisar antara nol dan satu. Nilai indeks gini nol artinya tidak ada ketimpangan (pemerataan sempurna) sedangkan nilai satu artinya ketimpangan sempurna. Ketimpangan pendapatan dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai ketimpangan rendah, sedang atau tinggi. Pengelompokkan yang dilakukan sesuai dengan ukuran ketimpangan yang digunakan. Nilai indeks gini pada negara-negara yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatanya relatif merata, nilainya antara 0,20 hingga 0,35 (Todaro dan Smith, 2006).

Indeks gini dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks gini dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan garis diagonal (luas bidang A) dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz berada (luas bidang BCD). Rumusan di ilustrasikan pada gambar 2.2. sebagai berikut:

Indeks gini =

Luas bidang A Luas bidang BCD


(47)

21

Sumber: Todaro dan Smith (2006) Gambar 2.2. Kurva Lorenz

2.1.4. Konsep Infrastruktur

Konsep infrastruktur memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut sudut pandang kepentingannya, belum terdapat kesamaan pandangan antar lembaga, negara dan antar disiplin ilmu mengenai konsep infrastruktur. Dari sisi ekonomi, infrastruktur dapat dipandang sebagai sumberdaya modal yang digunakan dalam aktifitas konsumsi, produksi dan investasi. Implikasi atas pengertian ini mendorong timbulnya klasifikasi infrastruktur menjadi infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial (Torrisi dalam Riadi (2010)).

Kodoatie (2003) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, maka infrastruktur secara lebih jelas merupakan fasilitas-fasilitas dan struktur-struktur fisik yang dibangun guna berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi menunjuk pada suatu keberlangsungan dan keberlanjutan aktivitas masyarakat dimana infrastruktur fisik mewadahi interaksi antara aktivitas manusia dengan lingkungannya.


(48)

22

Hudson, et al. (1997) menyatakan bahwa keberhasilan dan kemajuan

kelompok masyarakat tergantung pada infrastruktur fisik untuk pendistribusian sumber daya dan pelayanan publik. Kua1itas dan efisiensi infrastruktur mempengaruhi kualitas hidup kesehatan sistem sosial dan keber1anjutan kegiatan perekonomian dan bisnis. Grigg (1988) menyatakan bahwa infrastruktur adalah semua fasilitas fisik yang sering disebut dengan pekerjaan umum.

World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga komponen utama, yaitu:

1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk

menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (tenaga listrik,

telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi

dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya).

2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan

koordinasi.

2.1.5. Strategi Pengentasan Kemiskinan di Daerah Tertinggal

Pemerintah memiliki perhatian yang cukup serius dalam mengembangkan kabupaten tertinggal. Bukti keseriusan pemerintah dalam hal ini adalah, dengan dibentuknya Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal yang memiliki tugas pokok dan fungsi membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal, sesuai Peraturan Presiden Nomor. 09 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Tugas pokok dan fungsi ini kemudian disempurnakan melalui Peraturan Presiden Nomor. 90 tahun 2006, dimana Kementrian PDT mempunyai penambahan fungsi operasional kebijakan di bidang:

1. Bantuan infrastruktur pedesaan

2. Pengembangan ekonomi Lokal


(49)

23

Perhatian pemerintah pada kabupaten tertinggal tidak hanya pada pengentasan kabupaten-kabupaten tertinggal, namun juga berupaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di kabupaten tertinggal. Hal ini sejalan dengan tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009 yakni peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengurangan kemiskinan. Tema RKP tersebut tertuang pada skenario pembangunan daerah tertinggal yang dilaksanakan oleh Kementrian PDT (Gambar 2.3).

Sumber: Kementrian PDT (2008)

Gambar 2.3. Skenario Pembangunan Daerah Tertinggal

2.1.6. Konsep dan Kriteria Kabupaten Tertinggal

Konsep dan kriteria kabupaten tertinggal tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor. 001/KEP/M-PDT/I/2005. Dalam Keputusan Menteri tersebut kabupaten tertinggal adalah daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain:

Kondisi

Tahun 2004

199 kabupaten tertinggal

Awal Tahun 2008 28 kabupaten terentaskan (perlu dibina sampai tahun 2009)

Upaya-Upaya

Kerangka Regulasi

 Rancangan Inpres PPDT

 Rancangan UU PPDT

 Stranas PPDT

 RAN PPDT

 RAD PPDT

Kerangka Anggaran Mainstreaming DAK per Bidang DAK SPP-DT

Kondisi yang Diharapkan Tahun 2009

• 40 kabupaten terentaskan

• Meningkatnya pendapatan masyarakat

• Berkurangnya penduduk miskin

• Tercapainya rehabilitasi daerah pasca konflik dan bencana

Kendala

Antara lain belum optimalnya koordinasi, sinkronisasi dan sinergitas kegiatan

Tema RKP 2009

Peningkatan Kesejahteeraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan


(50)

24

a. Geografis

Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi.

b. Sumberdaya alam

Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumberdaya alam, daerah yang memiliki sumberdaya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan.

c. Sumberdaya Manusia

Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan atau institusi yang belum berkembang.

d. Prasarana dan Sarana

Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, penddikan dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan utuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.

e. Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial

Seringnya suatu daerah mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi

f. Kebijakan Pembangunan

Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan.


(51)

25

Sebaran daerah tertinggal secara geografis digolongkan menjadi beberapa kelompok, antara lain:

a. Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pegunungan yang

pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain yang relatif lebih maju

b. Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk dan

memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih maju

c. Daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak di perbatasan

antarnegara baik batas darat maupun laut

d. Daerah yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa, longsor,

gunung api, maupun banjir.

e. Daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir.

Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan 6 kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka dalam Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, ditetapkan 183 kabupaten yang dikategorikan kabupaten tertinggal. Daftar kabupaten tertinggal tersaji pada Lampiran 2.

2.1.7. Operasionalisasi Kebijakan Pembangunan Kabupaten Tertinggal

Upaya pengentasan kabupaten tertinggal dilakukan dengan mengimplementasikan kebijakan pembangunan daerah tertinggal secara terpadu dan tepat sasaran serta tepat kegiatan, maka KPDT melaksanakan program prioritas yang diarahkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh semua daerah tertinggal ke dalam bidang-bidang kegiatan, antara lain:

a. Bidang Pembangunan Infrastruktur Pedesaan dengan melaksanakan program

Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilakukan dengan melakukan penyediaan sarana dan prasarana transportasi


(52)

26

dan komunikasi, pelayanan sosial dasar dan pemberdayaan masyarakat adat terasing.

b. Bidang Pemberdayaan Masyarakat dengan melaksanakan tiga program yaitu:

1. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) yang

dilakukan dengan menyediakan “block grant” untuk mendukung

pengembangan ekonomi lokal, penyediaan sarana dan prasarana lokal dan pemberdayaan masyarakat serta peningkatan kapasitas pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat.

2. Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT) yang

dilakukan melalui manajemen marketing dan regional, pengembangan sistem distribusi barang dan jasa, pelayanan informasi, maupun pengembangan jaringan prasarana antar wilayah (transportasi dan komunikasi)

3. Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP) yang dilakukan

melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi/komunikasi, pengembangan ekonomi lokal, pelayanan sosial dasar dan pelayanan lintas batas

c. Bidang Pengembangan Ekonomi Lokal dengan melaksanakan dua program

prioritas yaitu:

1. Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT)

yang dilakukan melalui penyiapan lahan dan investasi dalam kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan rakyat, pariwisata berikut industri pengolahan dan pendukung yang dikelola secara kemitraan antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat

2. Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan (P4DT) yang dilakukan melalui

pembangunan pusat pelayanan jasa dan distribusi/kota penyangga, termasuk kawasan industri terpadu dan kawasan perdagangan bebas atau kawasan ekonomi khusus.


(53)

27

2.1.8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal

(P2IPDT)

Instrumen Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) dilaksanakan di bawah tanggung jawab Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur Kementrian PDT. Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur selain sebagai penanggungjawab instrumen, juga melaksanakan fungsi operasionalisasi kebijakan di bidang infrastruktur pedesaan. P2IPDT dicanangkan dan dilaksanakan di kabupaten tertinggal sebagi solusi mengatasi ketimpangan infrastruktur.

Instrumen ini merupakan salah satu bentuk kegiatan pokok dari pemerintah kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan infrastruktur pedesaan dan menjadi stimulan kegiatan pendukung atau pendorong dan pemicu pembangunan infrastruktur daerah melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi, dalam membentuk bantuan sosial, dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi lokal. Bantuan stimulan bersifat komplementer dan integral terhadap sektor terkait dan dengan program daerah yang bersangkutan.

Instrumen P2IPDT dilaksanakan pada kabupaten tertinggal, dengan tujuan antara lain:

a. Sebagai bahan dari implementasi kebijakan pengembangan infrastruktur pedesaan

dalam bidang transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi di daerah tertinggal yang dapat difasilitasi oleh Kementrian PDT.

b. Merupakan upaya Kementrian PDT dalam mengurangi keterisolasian daerah

tertinggal agar menjadi daerah maju yang setara dengan daerah lainnya.

c. Memberikan arah dan panduan teknis terhadap pelaksanaan program P2IPDT di

daerah tertinggal.

d. Menjamin terlaksananya koordinasi pusat dan kabupaten dalam pelaksanaan

bantuan stimulan infrastruktur pedesaan.

Ruang lingkup dari instrumen P2IPDT pada dasarnya adalah melaksanakan kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan koordinasi, pemantauan, pengawasan, pelaksanaan koordinasi dan pelaporan yang meliputi:


(54)

28

a. Bantuan peningkatan infrastruktur transportasi

b. Bantuan peningkatan infrastruktur informasi dan telekomunikasi

c. Bantuan peningkatan infrastruktur ekonomi

d. Bantuan peningkatan infrastruktur energi.

2.1.9. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kemiskinan

Schiller (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang dapat menjadi penyebab kemiskinan, antara lain:

1. Kurangnya motivasi atau keterampilan individu

2. Adanya hambatan sosial terhadap akses pada kesempatan (society’s barrier to

opportunity)

3. Kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan dan

partisipasi kerja

Hasil penelitian dari Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya

mengunakan fixed effect model menyimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk

miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang didekati dari besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), namun besarnya pengaruh tersebut relatif tidak besar. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruhnya masing-masing relatif kecil. Peningkatan pangsa sektor pertanian dan pangsa sektor industri terhadap PDRB juga cukup signifikan mengurangi kemiskinan. Variabel yang signifikan dan relatif paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan ialah pendidikan.

Iradian (2005), dalam studi mengenai peranan pertumbuhan, ketimpangan dan pengeluaran pemerintah menunjukkan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan, perubahan ketimpangan pendapatan yang didekati dengan variabel indeks gini dan perubahan pengeluaran pemerintah yang diukur melalui persentasenya terhadap PDB. Iradian

(2005) menggunakan dua metode ekonometrik, yakni Ordinary Least Square (OLS)

dan Generalized Method of Moment (GMM). Hasil penelitiannya menunjukkan


(55)

29

dan perubahan ketimpangan pendapatan signifikan secara statistik dalam mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemiskinan jika dibarengi dengan penurunan ketimpangan sedangkan penurunan kemiskinan akan sulit terjadi jika pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan adanya peningkatan ketimpangan pendapatan.

Hajiji (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Riau dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan, namun ketimpangan pendapatan tersebut tidak memiliki efek yang signifikan pada tingkat kemiskinan. Penelitian tersebut menggunakan analisis regresi data panel untuk melihat hubungan antara pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa efek positif dari pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan mendominasi efek negatif dari adanya ketimpangan pendapatan.

Fan, et al. (2002) menganalisis peranan pertumbuhan, ketimpangan dan

pengeluaran pemerintah melalui investasi publik di daerah pedesaan Cina dalam

mengurang kemiskinan. Fan, et al. mengembangkan model persamaan simultan untuk

mengestimasi efek perbedaan jenis pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berperan dalam mendorong investasi yang juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah dalam hal ini, tidak hanya berperan dalam meningkatkan pertumbuhan, namun juga mampu mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan Cina.

Seetanah, et al. (2009) membandingkan model panel data fixed effect dan

GMM dinamis dalam melihat pengaruh investasi publik khususnya investasi infrastruktur dalam mengurangi kemiskinan di negara berkembang. Hasil penelitian menggunakan kedua model tersebut mendukung pernyataan bahwa infrastruktur transportasi dan komunikasi merupakan alat yang efisien dalam memerangi kemiskinan di pedesaan. Sehingga, kebijakan pemerintah seharusnya memperhatikan pentingnya perbaikan akses penduduk miskin pada infrastruktur transportasi dan komunikasi.


(56)

30

2.1.10.Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Stern (1991) mengemukakan adanya postulat penting bahwa terdapat tiga faktor standar yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor tersebut adalah manajemen organisasi, alokasi sumberdaya dan infrastruktur.

Manajemen Organisasi

Organisasi yang diatur dengan baik, menurut Stern dapat meningkatkan output melalui minimalisasi pemborosan sumberdaya dan perbaikan efisiensi, sedangkan manajemen yang buruk dapat menyebabkan terjadinya penuruanan produktifitas. Sebagai contoh selama tahun 1960 hingga 1970, India berhasil meningkatkan tingkat tabungannya, namun karena adanya manajemen yang buruk, kondisi ini gagal meningkatkan pertumbuhan ekonominya (Ahluwalia 1985).

Alokasi Sumberdaya

Faktor kedua yang dapat memengaruhi pertumbuhan menurut Stern adalah alokasi sumberdaya. Stern menemukan bahwa pengaturan alokasi sumberdaya oleh institusi di negara-negara berkembang sangat bervariasi. Hal ini menyebabkan terjadinya distorsi ekonomi yang menyebabkan distribusi sumberdaya menjadi optimal. Distribusi sumberdaya yang optimal ini mengakibatkan tumbuhnya perekonomian dan berdampak pada pemerataan sosial.

Infrastruktur

Infrastruktur menjadi faktor ketiga yang menurut Stern dapat memengaruhi pertumbuhan. Infrastruktur sangat penting untuk produktifitas dan pertumbuhan. Kwik dalam Haris (2009) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara

ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur memengaruhi marginal


(57)

31

ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.

2.1.11.Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan

Distribusi pendapatan dan kaitannya terhadap pertumbuhan dan kemiskinan telah menjadi perhatian utama bagi para ekonom. Banyak penelitian telah mengkaji hubungan triangular antara ketiga variabel ini, termasuk Bourguignon (2004) yang

menggagas konsep The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Iradian (2004), pada

penelitiannya di Armenia menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak memiliki dampak pada ketimpangan, namun ketimpangan dapat memberikan efek negatif pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan apabila pertumbuhan tersebut memiliki dampak yang kecil pada ketimpangan pendapatan.

Gelaw (2010) menggunakan estimasi model fixed effect dalam meneliti

hubungan triangular antara pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemiskinan dapat terus menjadi tinggi jika suatu negara gagal mencapai pertumbuhan yang cepat dan berkelanjutan, yang dalam hal ini haruslah didukung dengan adanya penurunan pada ketimpangan pendapatan.

Lopez (2003), meskipun tidak menganalisis dampak pada kemiskinan, mendukung pernyataan bahwa terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan

ketimpangan pendapatan. Penelitian ini mengkaji dampak kebijakan pro growth yaitu

perbaikan pada sektor pendidikan dan infrastruktur pada pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan di sektor pendidikan dan infrastruktur serta tingkat inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan dan pemerataan pendapatan yang progresif. Selain itu, pembangunan di

sektor keuangan, keterbukaan dalam perdagangan dan penurunan government size

dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan peningkatan pada ketimpangan pendapatan.

Laabas dan Limam (2004) menggunakan sistem persamaan simultan dalam melihat hubungan antara investasi publik, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan


(58)

32

ketimpangan pendapatan. Penelitian tersebut menggunakan tiga variabel endogen yaitu pertumbuhan, ketimpangan dan pendapatan. Hasil estimasi menyimpulkan bahwa investasi diketahui memiliki hubungan yang erat dengan tingginya pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu wilayah. Faktor penting yang lain dalam penelitian tersebut adalah faktor kelembagaan yang merupakan salah satu sumber pertumbuhan yang penting karena dapat berdampak pada kontribusi pelaku ekonomi dalam memberikan insentif pada pertumbuhan.

2.1.12.Pengaruh Investasi Infrastruktur

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa infrastruktur merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi (Stern, 1991). Infrastruktur merupakan roda penggerak perekonomian, sedangkan dari sudut pandang alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Reungsri (2010) menyatakan bahwa infrastruktur sebagai representasi dari investasi publik memiliki pengaruh pada dua aspek, yaitu aspek ekonomi dan sosial.

Aspek Ekonomi (Pertumbuhan)

Investasi infrastruktur yang merupakan investasi publik berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dapat menggunakan investasi infrastruktur ini sebagai alat untuk menaikkan investasi swasta atau untuk menurunkan permintaan. Paradigma ekonomi Keynesian, investasi dapat menstimulus pengeluaran pemerintah

yang kemudian berdampak pada terjadinya crowding out dan crowding in investasi

swasta (Gambar 2.1). Infrastruktur bukanlah merupakan faktor yang dapat secara langsung memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur memengaruhi pertumbuhan dengan memfasilitasi produktifitas melalui penyediaan sarana dan prasarana yang memadai.


(59)

33

Investasi Publik

PDB

Investasi Swasta

PDB

Return to Capital

Investasi Swasta

Crowding In

Investasi Swasta Suku Bunga Riil

PDB

Crowding Out

Aspek Sosial (Pemerataan)

Infrastruktur, selain memiliki pengaruh pada aspek ekonomi, juga memiliki dampak pada aspek sosial, antara lain mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, diukur dengan adanya penurunan kemiskinan, pemerataan dan redistribusi pendapatan dan mitigasi dalam memerangi degradasi lingkungan.

Sumber: Aromdee, et al. (2005)

Gambar 2.4. Mekanisme Transmisi dari Investasi Publik

Aschauer (1989) menyatakan bahwa investasi publik pada infrastruktur sangat penting sebagai salah satu sumber pendukung pertumbuhan ekonomi. Aschauer meneliti hubungan antara output agregat dengan stok dan aliran pengeluaran pemerintah dan menyimpulkan bahwa infrastruktur inti seperti jalan, jalan tol, bandara dan sistem transportasi massal merupakan peranan pemerintah yang penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan perbakan produktifitas.

Munnel (1992) juga menganalisis kebijakan pemerintah dalam hal investasi infrastruktur dan kaitannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam memberikan stimulus ekonomi yang cepat, investasi


(60)

34

publik pada infrastruktur memiliki efek positif yang signifikan terhada pertumbuhan ekonomi.

Canning dan Pedroni (1999) menyimpulkan bahwa telefon dan jalan sebagai pendukung infrastruktur mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi

dalam jangka panjang. Canning menggunakan metode error correction model dalam

menganalisis pengaruh jangka panjang antara infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi.

Perkins, et al. (2005) meneliti hubungan antara investasi infrastruktur

ekonomi dan pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan. Penelitian ini menggunakan

metode F-tests yang dikembangkan oleh Pesaran, Shin dan Smith. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa infrastruktur ekonomi dan pertumbuhan memiliki hubungan dua

arah. Investasi yang tidak memadai pada infrastruktur dapat menciptakan bottlenecks

dan hilangnya kesempatan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

2.2. Kerangka Pemikiran

Dalam upaya memberikan masukan untuk perbaikan strategi dan kebijakan yang diambil oleh KPDT dalam mengefektifkan program yang dilaksanakan, maka kiranya diperlukan suatu studi mengenai pengaruh program peningkatan infrastruktur Kementrian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Untuk memberikan gambaran mengenai alur pemikiran dalam penelitian ini, berikut digambarkan kerangka pemikiran penelitian, seperti tergambar di bawah ini.


(1)

80


(2)

xxiv


(3)

(4)

RINGKASAN

PERWITA SARI. Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” (Kementrian Keuangan, 2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satunya adalah penerapan program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Kebijakan tersebut dilakukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal di Indonesia (183 kabupaten atau sekitar 40,39%) dan masih tingginya rata-rata persentase jumlah penduduk miskin di daerah tertinggal (sebesar 17,47% pada tahun 2009).

Angka kemiskinan yang tinggi di kabupaten tertinggal ini ternyata diikuti oleh kinerja perekonomian yang buruk. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun 2009, rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KBI hanya sebesar Rp Rp 1.997,05 juta atau sekitar 42,23 persen dari rata-rata nasional, sedangkan rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KTI hanya sebesar Rp 1.189,09 juta atau sekitar 25,14 persen dari rata-rata nasional. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata output, baik di wilayah KBI maupun KTI dengan rata-rata nasional ini mengindikasikan bahwa di Indonesia masih terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang cukup besar. Ketimpangan pembangunan ekonomi tersebut juga diikuti dengan ketimpangan pendapatan rumahtangga. Pada Tahun 2008, angka gini rasio Indonesia adalah sebesar 0,37 dimana menurut Todaro dan Smith (2006) angka ini sudah tidak lagi mencerminkan pendapatan masyarakat yang relatif merata.

Pemerintah dalam hal ini Kementrian PDT, telah berupaya memberikan bantuan stimulus untuk pembangunan infrastruktur daerah tertinggal. Pada Tahun 2007 Kementrian PDT mengucurkan dana untuk program P2IPDT sebesar Rp 105,37 milyar dan pada Tahun 2008 naik lebih dari dua kali lipat menjadi sebesar Rp 274,82 milyar. Upaya mendorong perekonomian kabupaten tertinggal melalui peningkatan infrastruktur sejalan dengan penelitian-penelitian empiris sebelumnya (Aschauer 1989, Munnel 1992, Canning dan Pedroni 1999, Perkins, et al 2005, Seetanah, et al 2009, Prasetyo 2010). Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha, melalui peningkatan infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mendorong perekonomian. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh program pembangunan infrastruktur dan kaitannya terhadap perekonomian, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di kabupaten tertinggal.

Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada 82 kabupaten yang termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal yang ditetapkan oleh Kementrian PDT Tahun 2005. Pemilihan 82 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada pertimbangan ketersediaan data, dimana 82 kabupaten yang terpilih tersebut mendapatkan dana bantuan P2IPDT secara kontinu setiap tahunnya.


(5)

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang dihimpun dari Kementrian PDT dan Badan Pusat Statistik (BPS), periode 2007-2009. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum dan sesudah implementasi program P2IPDT. Analisis ekonometrik digunakan untuk melihat pengaruh infrastruktur terhadap perekonomian dan kemiskinan. Beberapa metode ekonometrik yang digunakan diantaranya metode data panel statis, data panel dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan berbagai metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan, robustness model, serta validitas di antara berbagai metode estimasi yang digunakan. Analisis deskriptif menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan di kabupaten tertinggal pada kurun waktu 2006 (sebelum implementasi P2IPDT) dan 2009 (setelah implementasi P2IPDT) membaik, tercermin dari adanya peningkatan rata-rata PDRB atas dasar harga konstan. Dinamika ketimpangan menunjukkan angka yang meningkat (semakin timpang) pada kurun waktu yang sama, sedangkan dinamika kemiskinan membaik yang ditunjukkan dengan adanya penurunan rata-rata persentase kemiskinan. Program P2IPDT dilaksanakan pada kurun waktu 2007-2009 pada 5 bidang infrastruktur yaitu transportasi, energi, informasi dan telekomunikasi, ekonomi dan sosial. Infrastruktur energi merupakan infrastruktur yang diprioritaskan oleh Kementrian PDT, dimana infrastruktur energi merupakan jenis infrastruktur dengan cakupan kabupaten penerima bantuan dan nilai proporsi bantuan yang terbesar tiap tahunnya.

Hasil estimasi total bantuan menunjukkan bahwa variabel yang nyata secara statistik terhadap perekonomian kabupaten tertinggal (didekati dengan nilai PDRB per kapita) adalah PDRB per kapita tahun sebelumnya, bantuan stimulus infrastruktur, inflasi tahun sebelumnya dan gini rasio. Variabel populasi penduduk ternyata tidak signifikan memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal. Bantuan stimulus infrastruktur nyata positif memengaruhi perekonomian dalam jangka panjang, sedangkan untuk variabel indeks gini dan inflasi juga menunjukkan arah yang positif. Sementara, hasil estimasi pengaruh perekonomian terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa variabel yang nyata memengaruhi tingkat kemiskinan adalah tingkat kemiskinan tahun sebelumnya, PDRB per kapita dan pengeluaran pemerintah. Variabel PDRB perkapita nyata positif memengaruhi tingkat kemiskinan sedangkan variabel pengeluaran nyata negatif memengaruhi penurunan kemiskinan. Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan investasi infrastruktur P2IPDT dan kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan menyebabkan kenaikan PDRB per kapita di kabupaten tertinggal. Hal ini menyebabkan kondisi tersebut belum mampu menurunkan persentase penduduk miskin di kabupaten tertinggal.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Perwita Sari lahir pada tanggal 6 Februari 1980, di Jakarta. Penulis merupakan anak keenam dari delapan bersaudara, dari pasangan Bapak Drs. Sukidjo Hardjo Utomo dan Ibu K.T. Wahyuni. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Ulujami 02 Pagi, Jakarta pada tahun 1992, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMPN Negeri 56 Melawai, Jakarta pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 70 Bulungan, Jakarta dan lulus pada tahun 1998.

Setelah menamatkan pendidikan di tingkat SMU, pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2002 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Kemudian bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur selama lebih kurang 1,5 tahun, pada tahun 2004 penulis dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Merauke, Provinsi Papua dan sejak tahun 2009 hingga sekarang penulis bertugas di Direktorat Diseminasi Statistik, BPS, Jakarta.

Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor setelah sebelumnya mengikuti program alih jenjang pada perguruan tinggi yang sama. Program Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor ini merupakan kerja sama BPS dan IPB.