ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan
kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor. Untuk mengukur dimensi kesehatan,
digunakan angka harapan hidup. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata
lama sekolah. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan
pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran perkapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup
layak BPS 2013.
Evaluasi RPJMN 2010-2014 yang dilakukan oleh BAPPENAS, peningkatan kualitas SDM di daerah tertinggal telah menunjukkan adanya
peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, rata-rata indeks pembangunan
manusia di kabupaten tertinggal adalah 67,48 Bappenas 2014. Beberapa program yang dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas SDM di kabupaten
tertinggal antara lain program-program yang berada di bawah Deputi 1 kementerian daerah tertinggal melalui pemberian bantuan sumberdaya
manusia. Bentuk kegiatan berupa kegiatan pemberdayaan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat. Hasil studi ini sejalan
dengan studi sebelumnya yang menyatakan bahwa peningkatan pendidikan dan kualitas kesehatan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
dan dapat menurunkan kemiskinan Eleonora, Muhammad, Arip 2014.
Hasil estimasi variabel indeks pembangunan manusia IPM menunjukkan bahwa variabel IPM berkorelasi negatif terhadap jumlah
penduduk miskin. Hal ini berarti semakin meningkat nilai IPM maka tingkat kemiskinan juga akan menurun. Nilai elastisitas IPM sebesar -5,041 yang
berarti setiap kenaikan 1 indeks IPM akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 5,041 persen.
c. Pengaruh pengangguran terhadap kemiskinan
Pengangguran adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari, atau seseorang
yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak BPS 2013. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkata kerja atau
pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada. Pengangguran sering kali menjadi masalah dalam perekonomian karena
dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang, sehingga menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah
sosial lainnya.
Beberapa studi sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara pengangguran dengan tingkat kemiskinan. Upaya menurunkan
tingkat pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan adalah sama pentingnya Saunder 2002. Secara teori jika masyarakat tidak menganggur
berarti mempunyai pekerjaan dan pengahasilan, dan penghasilan yang dimiliki dari bekerja diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Jika
kebutuhan hidup terpenuhi, maka masyarakat tidak akan miskin. Sehingga
dapat disimpulkan dengan tingkat pengangguran rendah kesempatan kerja tinggi maka tingkat kemiskinan juga akan rendah.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, maka laju pertumbuhan angkatan kerja juga tinggi. Angkatan kerja di Indonesia pada
tahun 2014 sekitar 125,32 juta jiwa. Besarnya jumlah dan pertumbuhan angkatan kerja menuntut kesempatan kerja yang lebih besar dan di pihak
lain menuntut pembinaan angkatan kerja agar mampu menghasilkan keluaran yang lebih tinggi sebagai prasyarat untuk menuju tahap tinggal
landas.
Ditingkat regional sektor non riil tumbuh sangat cepat sedangkan sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja malah tumbuh lambat BPS
2014. Kondisi ini juga berlaku di daerah tertinggal, sektor riil tumbuh sangat lambat sehingga daya serap tenaga kerja menjadi rendah, ditambah
dengan kenaikan harga BBM semakin menurunkan daya saing sektor riil dan semakin menurunkan kemampuan daya beli masyarakat.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel jumlah pengangguran berkorelasi positif terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini berarti bahwa
semakin meningkat tingkat pengangguran, maka tingkat kemiskinan juga semakin meningkat. Nilai elastisitas pengangguran sebesar 0,090 yang
berarti setiap kenaikan jumlah pengangguran sebesar 1 persen, akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,090 persen.
d. Pengaruh indeks gini terhadap kemiskinan
Indeks gini atau koefisien gini adalah salah satu ukuran umum untuk mengukur distribusi pendapatan atau kekayaan yang menunjukkan seberapa
merata pendapatan dan kekayaan didistrubusikan diantara populasi. Indeks gini memiliki kisaran 0 sampai 1. Nilai mendekati 0 menunjukkan distribusi
yang sangat merata dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang sangat tinggi.
Selama 10 tahun terakhir ketimpangan pendapatan di Indonesia meningkat cukup pesat. Koefisien Gini indonesia tahun 2013 adalah 0.413,
angka ini mencerminkan tingginya tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia. Tren kenaikan ketimpangan pendapatan terjadi baik di level
nasional, perkotaan, pedesaan, juga di semua propinsi di Indonesia. Di perkotaan, ketimpangan cenderung lebih tinggi daripada di pedesaan,
khususnya ketimpangan yang terjadi di kota-kota besar.
Beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan ketimpangan pendapatan antara lain adalah: 1 ketidakberpihakan anggaran pemerintah
dalam melakukan redistribusi pendapatan sesuai fungsi hakikinya, anggaran pemerintah belum berpihak kepada golongan berpendapatan rendah, 2
kenaikan harga internasional dari komoditas ekspor utama Indonesia seperti komoditas perkebunan dan sumber daya alam misalnya batu bara yang
terjadi pada 10 tahun terakhir. keuntungan dari sektor-sektor ini umumnya lebih dinikmati golongan pemilik modal karena sifatnya yang padat modal
atau menguntungkan pemilik lahan besar, 3 ketidakberpihakan regulasi ketenagakerjaan yang cenderung hanya menguntungkan kaum pekerja
formal yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada pekerja informal plus mereka yang belum bekerja.