Hubungan Karakteristik Saliva Pada Anak Usia 37-71 Bulan Dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan Non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang
HUBUNGAN KARAKTERISTIK SALIVA PADA ANAK
USIA 37-71 BULAN DENGAN SEVERE EARLY
CHILDHOOD CARIES (S-ECC) DAN
NON S-ECC DI KECAMATAN
MEDAN SELAYANG
SKRIPSIDiajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh :
ALFINA SUBIANTORO NIM : 100600039
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Tahun 2014
Alfina Subiantoro
Hubungan karakteristik saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang. ix + 50 halaman
Severe Early Childhood Caries (S-ECC) merupakan bentuk kerusakan gigi progresif yang dijumpai pada anak usia kurang dari 3 tahun dimana terdapat smooth surface caries; pada anak usia 3-5 tahun terdapat ≥ 1 kavitas, hilang karena karies atau tumpatan pada gigi sulung anterior rahang atas; atau skor dmf-s ≥ 4 pada anak usia 3 tahun, skor dmf-s ≥ 5 pada anak usia 4 tahun, dan skor dmf-s ≥ 6 pada anak usia 5 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang hubungan karakteristik saliva, usia, dan jenis kelamin pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang. Karakteristik saliva tersebut terdiri dari pH saliva, volume saliva, laju aliran saliva, dan kapasitas buffer saliva.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasi dengan rancangan penelitian cross-sectional. Jumlah sampel 36 orang sebagai kelompok S-ECC dan 36 orang sebagai kelompok non S-ECC. Teknik pengambilan sampel digunakan adalah purposive sampling. Pemeriksaan saliva diukur dengan alat GC Saliva Check Buffer Kit. Uji analisis dilakukan dengan uji chi-square dengan nilai kemaknaan p<0,05.
(3)
Hasil penelitian menunjukkan rerata pengalaman karies (dmft) pada 72 responden anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 3,13 ± 2,82. Rerata pengalaman S-ECC (dmft) usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 5,47 ± 2,05. Rerata pengalaman non S-ECC (dmft) usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 0,78 ± 0,76. Ada hubungan yang bermakna karakteristik saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan S-ECC dan non S-ECC (p<0,05). Tidak ada hubungan yang bermakna usia dan jenis kelamin pada anak usia 37-71 bulan dengan S-ECC dan non S-ECC (p>0,05).
Dapat disimpulkan bahwa peningkatan karakteristik saliva yang meliputi pH saliva, volume saliva, laju aliran saliva, dan kapasitas buffer saliva mempengaruhi risiko karies anak menjadi rendah. Usia dan jenis kelamin tidak mempengaruhi risiko karies anak.
(4)
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 20 Januari 2014
Pembimbing : Tanda tangan
Yati Roesnawi,drg ...
(5)
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji Pada tanggal 20 Januari 2014
TIM PENGUJI
KETUA : Essie octiara,drg., Sp.KGA
ANGGOTA : 1. Siti Salmiah,drg., Sp. KGA 2. Yati Roesnawi, drg
(6)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.
Ucapan terima kasih yang tiada henti penulis haturkan kepada Ayah Elvis Subiantoro dan Bunda Habibah Ilmiyah tercinta yang telah membesarkan, mendidik, membimbing, mendoakan serta memberi dukungan moril maupun materil kepada penulis, juga kepada kakak dan adik tersayang Alfan Subiantoro dan Alfian Subiantoro atas motivasi dan doanya selama ini sehingga penulis bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mendapatkan bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Yati Roesnawi,drg., selaku dosen pembimbing skripsi dan Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaga serta memberikan ilmu dan arahan dalam membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Prof. Lina Natamiharja, drg., SKM selaku narasumber, atas keluangan waktu, bimbingan, arahan, serta kritik dan saran yang membangun dalam penulisan skripsi ini.
4. Ariyani, drg., selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak membina dan mengarahkan penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
(7)
5. Seluruh staf pengajar FKG USU terutama staf pengajar dan pegawai di Departemen IKGA yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis.
6. Teman-teman sejawat angkatan 2010, khususnya teman-teman seperjuangan di Departemen IKGA, Emalia Rosalina, Siti Filzah, Asmaul Husna Maldego, Kiky Satar, Robin, Mayrida Vita, Anurekha, dan Siti Gemala.
7. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Sabilil Akbar Husniaputra, Adelina, Febie Lulu, Ayuni Alfiyanda, Sri Handayani, Rizka Sulastri, Shinta, Arisma Dwita, dan Ikhwan Zulmi Dalimunthe. Terima kasih atas kerja samanya, cinta, persahabatan, dan waktu kalian yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
8. Keluarga besar Star FM, Titik Koma, Piknikasikmedan, Forum Indonesia Muda yang sudah mendukung dan memberikan semangat yang positif kepada penulis.
8. Maya Fitria, SKM, M.Kes, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam analisis statistik penelitian di Departemen Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan skripsi ini dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi di kemudian hari. Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi pengembangan disiplin ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi khususnya Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak.
Medan, 11 Januari 2014 Penulis,
Alfina Subiantoro NIM: 100600039
(8)
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Hipotesis Penelitian ... 5
1.5 Manfaat Penelitian ... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Severe Early Childhood Caries ... 7
2.2 Etiologi Severe Early Childhood Caries ... 8
2.2.1 Faktor Host ... 9
2.2.2 Faktor Bakteri ... 10
2.2.3 Faktor Substrat ... 11
2.2.4 Faktor Waktu ... 12
2.3 Tahap Perkembangan S-ECC ... 13
2.3.1 Tahap Inisial ... 13
2.3.2 Tahap Kedua ... 14
2.3.3 Tahap Ketiga ... 15
(9)
2.4 Saliva ... 16
2.4.1 Fungsi Saliva ... 16
2.4.2 Komposisi Saliva ... 18
2.4.3 Kapasitas Buffer Saliva dan Derajat Keasamaan (pH) ... 19
2.4.4 Laju Aliran Saliva ... 20
2.4.5 Volume Saliva ... 21
2.5 Saliva Sebagai Salah Satu Alat Diagnosis Karies ... 22
2.6 Kerangka Teori ... 24
2.7 Kerangka Konsep ... 25
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 26
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 26
3.2.1 Tempat Penelitian... 26
3.2.2 Waktu Penelitian ... 26
3.3 Populasi dan Sampel ... 26
3.3.1 Populasi ... 26
3.3.2 Sampel ... 27
3.4 Variabel Penelitian ... 28
3.5 Definisi Operasional Variabel ... 29
3.6 Alat dan Bahan ... 32
3.7 Cara Pengambilan Data ... 33
3.8 Pengolahan dan Analisis Data ... 34
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden Anak ... 35
4.2 Analisis Statistik Hubungan pH Saliva dengan anak S-ECC dan Non S-ECC ... 36
4.3 Analisis Statistik Hubungan Volume Saliva dengan anak S-ECC dan Non S-ECC ... 36
4.4 Analisis Statistik Hubungan Laju Aliran Saliva dengan anak S-ECC dan Non S-ECC ... 37
4.5 Analisis Statistik Hubungan Kapasitas Buffer Saliva dengan anak S-ECC dan Non S-ECC ... 37
4.6 Analisis Statistik Hubungan Usia dengan Prevalensi S-ECC dan Non S-ECC ... 38
4.6 Analisis Statistik Hubungan Jenis Kelamin dengan Prevalensi S-ECC dan Non S-ECC ... 38
(10)
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ... 45 6.2 Saran ... 46 DAFTAR PUSTAKA ... 47 LAMPIRAN
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Defenisi operasional ... 29 2. Alat dan bahan penelitian ... 32 3. Karakteristik responden anak ... 35 4. Hasil analisis statistik pH Saliva dengan anak S-ECC dan non
S-ECC ... 36 5. Hasil analisis statistik volume saliva dengan anak S-ECC dan non
S-ECC ... 36 6. Hasil analisis statistik laju aliran saliva dengan anak S-ECC dan non
S-ECC ... 37 7. Hasil analisis statistik kapasitas buffer saliva dengan anak S-ECC
dan non S-ECC ... 37 8. Hubungan usia anak dengan prevalensi S-ECC dan non S-ECC ... 38 9. Hubungan jenis kelamin anak dengan prevalensi S-ECC dan non
(12)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Diagram empat lingkaran faktor yang berperan dalam proses karies
gigi ... 9
2. Celah atau fisur pada gigi yang menjadi lokasi karies ... 10
3. Streptococcus mutans ... 11
4. Diagram faktor etiologi karies ... 13
5. Tahap inisial ... 14
6. Tahap kedua ... 14
7. Tahap ketiga ... 15
8. Tahap keempat ... 16
9. Indikator pH GC saliva check buffer kit ... 31
10.Indikator volume GC saliva check buffer kit ... 32
11.Indikator kapasitas buffer saliva check buffer kit ... 32
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Surat Persetujuan komisi etik tentang penelitian bidang kesehatan 2. Lembaran penjelasan kepada subjek penelitian
3. Lembaran persetujuan setelah penjelasan (Informed Consent) 4. Lembaran pemeriksaan gigi dan saliva anak
5. Data sampel penelitian
(14)
Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Tahun 2014
Alfina Subiantoro
Hubungan karakteristik saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang. ix + 50 halaman
Severe Early Childhood Caries (S-ECC) merupakan bentuk kerusakan gigi progresif yang dijumpai pada anak usia kurang dari 3 tahun dimana terdapat smooth surface caries; pada anak usia 3-5 tahun terdapat ≥ 1 kavitas, hilang karena karies atau tumpatan pada gigi sulung anterior rahang atas; atau skor dmf-s ≥ 4 pada anak usia 3 tahun, skor dmf-s ≥ 5 pada anak usia 4 tahun, dan skor dmf-s ≥ 6 pada anak usia 5 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang hubungan karakteristik saliva, usia, dan jenis kelamin pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang. Karakteristik saliva tersebut terdiri dari pH saliva, volume saliva, laju aliran saliva, dan kapasitas buffer saliva.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasi dengan rancangan penelitian cross-sectional. Jumlah sampel 36 orang sebagai kelompok S-ECC dan 36 orang sebagai kelompok non S-ECC. Teknik pengambilan sampel digunakan adalah purposive sampling. Pemeriksaan saliva diukur dengan alat GC Saliva Check Buffer Kit. Uji analisis dilakukan dengan uji chi-square dengan nilai kemaknaan p<0,05.
(15)
Hasil penelitian menunjukkan rerata pengalaman karies (dmft) pada 72 responden anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 3,13 ± 2,82. Rerata pengalaman S-ECC (dmft) usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 5,47 ± 2,05. Rerata pengalaman non S-ECC (dmft) usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 0,78 ± 0,76. Ada hubungan yang bermakna karakteristik saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan S-ECC dan non S-ECC (p<0,05). Tidak ada hubungan yang bermakna usia dan jenis kelamin pada anak usia 37-71 bulan dengan S-ECC dan non S-ECC (p>0,05).
Dapat disimpulkan bahwa peningkatan karakteristik saliva yang meliputi pH saliva, volume saliva, laju aliran saliva, dan kapasitas buffer saliva mempengaruhi risiko karies anak menjadi rendah. Usia dan jenis kelamin tidak mempengaruhi risiko karies anak.
(16)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Kesehatan gigi dan mulut anak adalah aspek penting yang menunjang kesehatan umum bayi dan anak-anak yang akan berdampak pada kualitas hidupnya.1 Usaha pencegahan karies telah dilakukan pemerintah, tetapi tingkat prevalensi karies yang menjadi masalah utama dalam rongga mulut anak di Indonesia masih tinggi.2 Karies adalah suatu penyakit pada jaringan keras gigi, yaitu enamel, dentin, dan sementum yang disebabkan aktivitas jasad renik yang ada dalam satu demineralisasi pada jaringan keras gigi, diikuti dengan kerusakan bahan organiknya.3 Perkembangan proses karies gigi membutuhkan adanya bakteri kariogenik yang mampu memproduksi asam dengan cepat di bawah pH kritis yang dibutuhkan untuk melarutkan enamel.4 Karies gigi bersifat progresif yang terjadi akibat adanya interaksi faktor-faktor, yaitu agen, substrat, host, dan waktu.5-7
Karies yang sering dijumpai pada anak-anak adalah Early Childhood Caries (ECC) yang sebelumnya dikenali sebagai karies rampan atau karies botol yang terjadi tiba-tiba, mengenai banyak gigi dalam waktu singkat dan cepat melibatkan pulpa.8-9 Menurut American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD), ECC adalah adanya pengalaman karies, yaitu terdapatnya satu atau lebih karies, hilangnya gigi karena karies atau gigi yang sudah ditumpat pada gigi sulung, pada anak usia dibawah 71 bulan.1,9-12 Istilah Severe Early Childhood Caries (S-ECC) juga digunakan untuk menggambarkan tingkat keparahan ECC yang dijumpai pada anak usia kurang dari 3 tahun dimana terdapat ada smooth surface caries; pada anak usia 3-5 tahun terdapat satu atau lebih kavitas, hilang karena karies atau tumpatan pada gigi sulung anterior rahang atas; atau skor dmf-s ≥ 4 pada anak usia 3 tahun, skor dmf-s ≥ 5 pada anak usia 4 tahun dan skor dmf-s ≥ 6 pada anak usia 5 tahun.1,9-13 S-ECC juga dikenal sebagai rampan karies bersifat progresif pada gigi sulung anak-anak yang
(17)
dihubungkan dengan infeksi, rasa sakit, dan kehilangan dini gigi sulung.11,14 Anak dengan S-ECC biasanya merasakan sakit yang berlebihan, kesulitan mengunyah, gangguan berbicara, gangguan kesehatan umum, dan adanya masalah psikologis.1,13
Di negara-negara maju prevalensi karies gigi terus menurun sedangkan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia ada kecenderungan kenaikan prevalensi penyakit tersebut.2,15 Prevalensi dan keparahan karies pada anak usia di bawah lima tahun di beberapa negara di dunia cukup tinggi dan cenderung meningkat. Penelitian yang dilakukan selama tahun 2008 sampai 2010 di prasekolah Bahadurgarh, Haryana, India menunjukkan prevalensi S-ECC sebesar 42,03%.16 Tahun 2007 di Quchan (Iran) menunjukkan prevalensi S-ECC sebesar 25% sedangkan Seoul memiliki prevalensi yang lebih tinggi, yaitu 47%.17 Dalam studi demografi ECC di Romania didapatkan prevalensi S-ECC sebesar 44,4%.18
Prevalensi karies di Indonesia pada anak usia 3-5 tahun terus meningkat. Data SKRT tahun 2001 diperoleh hasil sebanyak 81,3% anak usia 5 tahun memiliki gigi permanen yang berlubang.19 Prevalensi ECC anak usia dibawah 3 tahun yang dilakukan oleh Febriana dkk tahun 2008 di DKI Jakarta mencapai 52,7% dengan rerata deft 2,85. Suwelo melaporkan prevalensi karies anak prasekolah di DKI Jakarta sebesar 89,16% dengan deft rata-rata 7,02 ± 5,25.11 Penelitian analitik observasional pada tahun 2012 di Medan Denai memiliki prevalensi S-ECC yang mencapai 16%.20
Etiologi S-ECC pada umumnya sama dengan karies gigi. Karies gigi terjadi bila ada kerja sama keempat faktor, yaitu host (gigi dan saliva), agen mikroorganisme, lingkungan (substrat), dan waktu.5,21-22 Saliva merupakan sistem pertahanan host yang utama terhadap karies, menghilangkan makanan dan bakteri serta sebagai buffer yang melawan produksi asam untuk mempertahankan pH rongga mulut dalam interval normal.2-3,23 Saliva mempengaruhi terjadinya peningkatan karies, bila laju aliran dan volume saliva berkurang serta komponen-komponen kimia saliva berubah. Sebaliknya bila laju aliran saliva tinggi, maka saliva dapat melindungi gigi dengan optimal dari bakteri dan plak sehingga mengurangi karies gigi.24 Dalam keadaan rongga mulut yang seimbang dan menguntungkan, saliva dapat membantu kekuatan gigi dengan mensuplai komponen-komponen yang akan menyusun struktur
(18)
apatit yang kuat.10 Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi dan konsentrasi saliva antara lain laju aliran saliva, volume, pH, dan kapasitas buffer saliva.3,25
Dalam penelitian studi cross sectional yang dilakukan oleh Almushaty A,dkk tentang karakteristik saliva pada anak-anak prasekolah dengan S-ECC menunjukan rata-rata decay 16,5, missing 2, filled 4,8 dan dmfs 23,3 dengan rata-rata jumlah giginya 19,6 sedangkan hasil pengukuran kualitas salivanya menunjukkan hasil kapasitas buffer rata-rata 2,7 ± 2,5 untuk kelompok S-ECC dan 2,5 ± 0,8 untuk kelompok kontrol, rata-rata laju aliran saliva 1ml/menit ± 1 untuk kelompok S-ECC dan 1,5ml/menit ± 1,3 untuk kelompok kontrol.26 Penelitian lainnya, Febriana dkk di Jakarta tahun 2008 menunjukkan prevalensi keparahan ECC berdasarkan pH saliva sebesar 45,64% sampai dengan 55,55% dan berdasarkan kapasitas buffer saliva sebesar 51,34% sampai dengan 65,38%.27
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Karakteristik Saliva pada Anak Usia 37-71 Bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan Non S-ECC Di Kota Medan. Kecamatan yang dipilih peneliti adalalah Kecamatan Medan Selayang dengan alasan peneliti tinggal di daerah ini sehingga sampel mudah dijangkau dan melanjutkan penelitian terdahulu yang berada di Kecamatan yang sama.
1.2Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian adalah :
1. Apakah ada hubungan pH saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang ?
2. Apakah ada hubungan volume saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang ?
3. Apakah ada hubungan laju aliran saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang ?
(19)
4. Apakah ada hubungan kapasitas buffer saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang ?
5. Apakah ada hubungan usia pada anak usia 37-71 bulan dengan prevalensi Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang ?
6. Apakah ada hubungan jenis kelamin pada anak usia 37-71 bulan dengan prevalensi Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang ?
1.3Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah :
1. Untuk menganalisis hubungan pH saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
2. Untuk menganalisis hubungan volume saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
3. Untuk menganalisis hubungan laju aliran saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
4. Untuk menganalisis hubungan kapasitas buffer saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
5. Untuk menganalisis hubungan usia pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
(20)
6. Untuk menganalisis hubungan jenis kelamin pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
1.4Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian adalah :
1. Ada hubungan pH saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
2. Ada hubungan volume saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
3. Ada hubungan laju aliran saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
4. Ada hubungan kapasitas buffer saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
5. Ada hubungan usia pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
6. Ada hubungan jenis kelamin pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
1.5Manfaat Penelitian
Manfaat untuk masyarakat adalah :
1. Memberikan informasi kepada orang tua mengenai adanya hubungan antara karakteristik saliva yaitu pH, laju aliran, volume, dan kapasitas buffer sebagai salah satu faktor risiko terjadinya S-ECC pada anak.
2. Memotivasi orang tua untuk memperhatikan, menjaga, dan memberikan panduan kepada anak sejak dini untuk menjaga kebersihan rongga mulut dengan penyuluhan.
(21)
Manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan adalah :
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk mengadakan penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar bagi program pemerintah dalam bidang kesehatan gigi dan mulut anak untuk penyuluhan pencegahan terjadinya karies pada anak usia dini.
3. Sebagai referensi tambahan di Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Manfaat untuk kebutuhan klinis adalah :
Dengan diketahuinya adanya hubungan karakteristik saliva yaitu pH, laju aliran, volume, dan kapasitas buffer dengan terjadinya S-ECC pada anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang, maka dapat direncanakan usaha pencegahan dan perawatan terhadap S-ECC.
Manfaat bagi peneliti adalah :
Menambah dan memperdalam pengetahuan tentang S-ECC pada anak usia 37-71 bulan serta menambah pengalaman untuk melakukan penelitian di lapangan.
(22)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Severe Early Childhood Caries (S-ECC)
Karies dianggap sebagai penyakit infeksi, mudah menjalar, dan multifaktorial yang disebabkan oleh empat faktor yaitu, host, mikroorganisme, waktu, dan substrat.3,5,13 Faktor-faktor tersebut berinteraksi dalam periode waktu tertentu dan menyebabkan ketidakseimbangan dalam demineralisasi serta remineralisasi antara permukaan gigi dan lapisan plak.7 Proses terjadinya karies gigi dimulai dengan adanya mikroorganisme kariogenik utama, yaitu Streptococcus mutans, Lactobacillus, dan Streptococcus sobrinus.24 Bakteri tersebut berkolonisasi pada permukaan gigi dan menghasilkan asam dengan kecepatan yang lebih cepat dari kapasitas netralisasi biofilm dibawah pH kritis 5,5 selanjutnya menghancurkan enamel gigi.5,10-11
Istilah Severe Early Childhood Caries (S-ECC) menunjukkan suatu pola karies gigi yang akut, progresif, atau rampan. Pada anak di antara usia 3-5 tahun, terdapat satu atau lebih kavitas , kehilangan gigi akibat karies, terdapatnya tambalan (dmfs) dengan nilai > 4 (untuk usia 3 tahun), > 5 (untuk usia 4 tahun), > 6 (untuk usia 5 tahun) menunjukkan S-ECC.1,9,12-13 Early Childhood Caries (ECC) merupakan istilah yang menjelaskan suatu pola lesi karies yang unik pada bayi, balita, dan anak prasekolah. Dahulu ECC dikenali juga sebagai baby bottle caries, nursing caries, baby bottle tooth decay, dan bottle rot.8-9 Defenisi ECC menurut The American Academy of Pediactric Academy (AAPD) adalah adanya lesi karies (kavitas atau non kavitas), adanya gigi yang hilang karena karies atau adanya gigi yang ditambal pada gigi sulung anak usia 0-71 bulan. 1,9-12
Menurut Drury et al., (cit.Cvetkovic), banyak ahli menerima defenisi ECC dan S-ECC sebagai jenis karies gigi sulung yang paling sering terjadi pada bayi dan anak usia prasekolah sedangkan istilah S-ECC saja untuk kondisi yang lebih parah,
(23)
apabila banyaknya jumlah permukaan gigi sulung terkena keries terutama gigi anterior yaitu insisivus rahang atas pada anak prasekolah.8,10 Penelitian epidemiologis menunjukkan terjadinya peningkatan prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya umur. Selama masa anak-anak mempunyai risiko karies yamg paling tinggi ketika gigi mulai erupsi dan wanita menunjukkan nilai dmf yang lebih tinggi daripada pria.3 Di negara berkembang ECC dan S-ECC merupakan masalah yang signifikan dengan prevalensi yang terus meningkat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Seoul mencapai 56,6% dan 47% masing-masing. Meningkatnya prevalensi, menurut penelitian ECC di Iran pada anak usia 1-3 tahun menyatakan bahwa prevalensi karies terlihat pada anak yang memiliki orangtua berpendidikan rendah.17 Hasil ini juga dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan pemeliharan kesehatan orang tua terhadap kesehatan gigi dan mulut anaknya.28
ECC dan S-ECC dikenal juga sebagai gabungan penyakit dan kebiasaan, karena sering terjadi pada anak kecil yang menggunakan botol berisi cairan yang mengandung gula agar bayi menjadi tenang dan mudah tidur.29 Pencegahan karies pada anak, terutama anak usia di bawah tiga tahun sangat melibatkan peran ibu, antara lain pada pola pemberian ASI, pola pemberian minuman dan makanan pendamping atau pengganti ASI, pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut anak serta perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut ibu.11,28
2.2 Etiologi Severe Early Childhood Caries
S-ECC adalah bentuk agresif karies gigi yang dimulai pada permukaan gigi yang biasanya tidak terpengaruh oleh kerusakan, seperti permukaan labial gigi desidui rahang atas.10,13 Berbeda dengan karies gigi yang biasanya terdapat pada daerah retentif plak, sehingga kemungkinan ada faktor risiko khas yang terlibat dalam perkembangan S-ECC. Gejala pada S-ECC adalah pada permukaan gigi anterior di rahang atas terlihat berkapur (white spot) yang kemudian berubah menjadi warna kecoklatan sampai hitam dan dapat meluas sampai ke gigi posterior.28 Etiologi S-ECC hampir sama seperti terjadinya proses karies pada gigi yang dipengaruhi oleh
(24)
empat faktor penyebab utama, yaitu host (gigi dan saliva), bakteri, substrat, dan waktu (Gambar 1). 5-7,28
Gambar 1. Diagram empat lingkaran faktor yang berperan dalam proses karies gigi30
2.2.1 Faktor Host
Faktor utama host berupa morfologi dan anatomi gigi serta saliva. Gigi merupakan jaringan paling keras yang dimiliki oleh tubuh, dikatakan paling keras karena komponen zat anorganik yaitu kristal hidroksiapatit lebih banyak dibandingkan bagian tubuh lain seperti tulang.3 Pada kenyataannya walaupun gigi sangat keras, namun gigi sangat mudah mengalami kerusakan yang ditandai dengan adanya karies gigi.5 Faktor risiko host yang akan menyebabkan karies adalah berkurangnya saliva di rongga mulut dan morfologi gigi (ukuran, bentuk permukaan, kedalaman fossa, dan fissura). Saliva adalah sistem pertahanan utama dari gigi terhadap karies. 23 Perubahan dalam kuantitas dan kualitas saliva memiliki efek pada
(25)
lingkungan rongga mulut. Contohnya pada waktu malam saat anak tidur, produksi saliva akan berkurang dan ini mempercepat proses demineralisasi enamel terutama anak yang mempunyai kebiasaan minum susu sambil tidur.3 Pit dan fisur pada gigi posterior sangat rentan terhadap karies karena sisa-sisa makanan mudah menumpuk. Permukaan gigi posterior yang kasar dan memiliki celah juga dapat menyebabkan plak mudah melekat dan membantu perkembangan karies gigi (Gambar 2).10,24 Gigi desidui lebih mudah terserang karies daripada gigi permanen karena enamel gigi desidui mengandung lebih banyak bahan organik dan air sedangkan jumlah mineralnya lebih sedikit dibandingkan gigi permanen.31
Gambar 2. Celah/fisure pada gigi yang menjadi lokasi karies32
2.2.2 Faktor Bakteri
Rongga mulut merupakan tempat pertumbuhan berbagi bakteri termasuk bakteri yang merupakan flora normal, tetapi apabila terdapat sisa makanan yang melekat terus menerus pada gigi akan terjadi penumpukan plak.33 Alaluusua dan Malmivirta menemukan bahwa 91% dari anak-anak diklasifikasikan ke dalam kelompok risiko karies, dengan hanya didasarkan ada atau tidaknya plak yang terlihat.28 Plak disini berperan penting yang menyebabkan terjadinya karies. Plak adalah suatu lapisan lunak terdiri dari kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak di atas matriks yang terbentuk dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak
(26)
dibersihkan.24 Bakteri kariogenik utama penyebab karies adalah Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus yang merupakan bakteri patogen, dapat berkolonisasi di permukaan gigi dan cepat menghasilkan asam dengan memfermentasi karbohidrat (substrat) lalu mengakibatkan penurunan pH rongga mulut, yang akan menyebabkan demineralisasi enamel.11,21
Pada anak yang mengalami ECC, jumlah Streptococcus mutans selalu melebihi 30% dari flora plak dibanding > 1% pada anak yang tidak mengalami ECC. Dari studi longitudinal, Loesche WJ, Eklund R, et al., menyatakan bahwa jumlah Streptococcus mutans dalam plak meningkat 6-24 bulan sebelum karies terlihat secara klinis.Menurut Bratthall et al. Pada enamel yang sehat kadang-kadang dapat terjadi kolonisasi Streptococcus mutans dalam jumlah relatif banyak dan pada populasi yang free caries memiliki jumlah Streptococcus mutans yang banyak (Gambar 3). Hal ini dapat terjadi pada keadaan gigi relatif resisten terhadap serangan asam atau karena tidak mengkonsumsi diet kariogenik. Koloni Streptococcus mutans terbentuk pada permukaan enamel sejak usia 19-31 bulan, yang disebut oleh Caufield et al., sebagai window of infectifity. Bila koloni tidak terbentuk pada masa ini, diperkirakan tidak akan terbentuk koloni Streptococcus mutans hingga usia sekitar 6 tahun saat gigi molar tetap mulai erupsi.11
Gambar 3. Streptococcus mutans34
2.2.3 Faktor Substrat
Anak-anak yang menderita ECC biasanya memiliki kebiasaan mengkonsumsi gula dalam bentuk cairan dalam jangka waktu yang lama. Sukrosa, glukosa dan
(27)
fruktosa yang terkandung dalam jus buah dan minuman manis lainnya dimetabolisme oleh Streptococcus mutans dan Lactobacillus dengan sangat cepat menjadi asam organik yang akan mendemineralisasi struktur enamel dan dentin.3 Penggunaan botol bayi dapat menambah frekuensi terpaparnya permukaan gigi bayi dengan glukosa.28
Faktor substrat dapat mempengaruhi pembentukan plak karena membantu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada permukaan enamel. Sisa makanan termasuk golongan karbohidrat (sukrosa, fruktosa, dan glukosa) apabila melekat terus pada gigi, akan difermentasi oleh bakteri menjadi asam. Apabila suasana di rongga mulut asam (pH 5,5) maka mineral kalsium dan fosor pada enamel gigi akan terlepas dari gigi lalu gigi menjadi rapuh dan akhirnya terbentuk karies.21,28,31 Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang banyak mengonsumsi karbohidrat terutama sukrosa cenderung mengalami kerusakan pada gigi, sebaliknya pada orang dengan diet yang banyak mengandung lemak dan protein hanya sedikit atau tidak mempunyai karies gigi. Hal ini penting membuktikan bahwa Streptococcus mutans akan memetabolisme semua jenis karbohidrat yang akhirnya meningkatkan risiko karies.24
2.2.4 Faktor Waktu
Faktor waktu juga menentukan terjadinya karies dimana ketiga faktor diatas apabila dalam waktu yang lama dan saling berinteraksi, maka akan terjadi karies (Gambar 4). Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis yang berkembang dalam waktu beberapa bulan atau tahun.8,31 Lamanya waktu yang dibutuhkan karies untuk berkembang menjadi sebuah kavitas cukup bervariasi, diperkirakan sekitar 6-48 bulan. Pada bayi yang memiliki resiko karies tinggi seperti bayi yang lahir prematur, atau lahir dengan berat badan di bawah normal dan bayi dengan gigi yang hipomineralisasi rentang waktunya dapat lebih sempit lagi.31
(28)
Gambar 4. Diagram faktor etiologi karies3
2.3 Tahap Perkembangan S-ECC
S-ECC ialah suatu penyakit yang serius, kadang menimbulkan rasa sakit dan berkembang dengan sangat cepat. Adapun gambaran klinis S-ECC terdiri dari empat tahap yaitu tahap inisial, tahap kedua, tahap ketiga, dan tahap keempat.21,28-29
2.3.1 Tahap Inisial
Pada tahap ini gigi mempunyai gambaran seperti kapur, lesi demineralisasi berwarna opak pada permukaan halus gigi sulung insisivus maksila. Biasanya terjadi pada anak-anak berusia 10-20 bulan atau lebih muda.21 Terdapat garis putih yang menonjol terlihat pada daerah servikal dari permukaan vestibular dan palatal gigi sulung insisivus maksila (Gambar 5). Pada tahap ini, lesi masih bersifat reversibel tetapi sering tidak diketahui oleh orang tua maupun dokter gigi saat memeriksa rongga mulut anak.29 Lesi ini hanya dapat diketahui setelah seluruh gigi dikeringkan. Tahap ini sangat penting untuk segera dikenali, karena pada tahap ini tindakan preventif masih mempunyai arti yang sangat besar.8,21
(29)
Gambar 5. Tahap inisial35
2.3.2 Tahap Kedua
Tahap ini terjadi saat usia anak sudah mencapai 16-24 bulan.21 Dentin mengalami kerusakan apabila lesi putih pada insisivus berkembang dengan cepat menyebabkan enamel rusak. Dentin terpapar dan terlihat lunak dan berwarna kuning (Gambar 6). Pada molar sulung maksila terjadi lesi inisial pada permukaan servikal, proksimal, dan oklusal. Pada tahap ini anak mulai mengeluh giginya sensitif saat tersentuh makanan atau minuman yang dingin. Orang tua juga biasanya sudah memberikan perhatiannya karena telah melihat perubahan warna pada gigi anaknya.29
(30)
2.3.3 Tahap Ketiga
Tahap ketiga terjadi ketika anak berusia 20-36 bulan.21 Lesi sudah luas pada salah satu insisivus maksila dan pulpa sudah teriritasi (Gambar 7). Anak akan merasa sakit spontan pada waktu malam. Pada tahap ini, molar sulung maksila pada tahap kedua sedangkan gigi molar sulung mandibula dan kaninus sulung maksila pada tahap inisial.8,21
Gambar 7. Tahap ketiga35
2.3.4 Tahap Keempat
Tahap ini terjadi ketika anak sudah berusia 30-48 bulan. Mahkota gigi anterior maksila fraktur sebagai akibat dari rusaknya enamel dan dentin (Gambar 8). Pada tahap ini gigi insisivus sulung maksila biasanya sudah mengalami nekrosis dan molar satu sulung maksila berada pada tahap ketiga. Molar kedua desidui dan kaninus desidui maksila serta molar pertama desidui mandibula pada tahap kedua. Beberapa anak akan menderita tetapi tidak dapat mengekspresikan rasa sakitnya, mereka juga susah tidur dan menolak untuk makan.21,28-29
(31)
Gambar 8. Tahap keempat35
2.4 Saliva
Saliva adalah cairan oral yang kompleks yang dihasilkan oleh kelenjar saliva, dimana sekitar 90% saliva dihasilkan oleh kelenjar parotis dan submandibular, 5% oleh kelenjar sublingual dan sisanya merupakan kontribusi dari kelenjar minor.10,36 Kelenjar saliva dibagi atas 2 kelompok, yaitu : kelanjar saliva mayor dan kelenjar saliva minor. Kelenjar saliva mayor merupakan struktur berpasangan yang terdiri atas kelenjar parotis, kelenjar submandibular, dan kelenjar sublingual. Sedangkan kelenjar saliva minor terdiri atas kelenjar labialis, kelenjar bukalis, kelenjar palatinus (kelenjar Weber), kelenjar retromolar (kelenjar Carmalat), dan kelenjar lingualis. Kelenjar lingualis dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : inferior apical (kelenjar Blandin Nuhn), taste buds (kelenjar Ebner), dan kelenjar lubrikasi posterior. 25,37 Kelanjar parotis memproduksi 60-65% saliva yang bersifat serous (dengan kandungan 99% air) yang mengandung amilase, kelenjar submandibula mensekresikan 20-30% saliva yang bersifat mucin, dan kelenjar sublingual yang berukuran terkecil memproduksi saliva yang bersifat viscous dan kental.38
2.4.1 Fungsi Saliva
Sifat saliva merupakan lapisan berlendir yang menutupi mukosa dan gigi yang akan menjamin kelembapan dan retensi cairan sehingga mukosa tidak menjadi kering. Selain itu, lapisan ini juga menjaga agar jaringan mulut tetap licin sehingga berbicara dan menelan dapat dilakukan tanpa banyaknya pergeseran antara jaringan mulut.24,39
(32)
Saliva ini juga melindungi mukosa mulut terhadap rangsangan mekanis dan menghindarkan terjadinya kontak langsung antara mukosa dan mikroorganisme mulut, serta memberikan retensi yang baik untuk protesa.38 Sifat saliva tersebut disebabkan oleh karena saliva mengandung sialoglikoprotein, yaitu zat putih telur yang berkonjugasi dengan membentuk molekul senyawa dengan satu atau lebih gugus heterosakarida.24,38
Fungsi saliva dapat disusun dalam lima kategori yang berguna untuk menjaga kesehatan mulut dan menciptakan keseimbangan ekologis, yaitu lubrikasi dan proteksi, dapar dan oral clearance, menjaga integritas gigi, aktivitas antibakteri, serta rasa dan pencernaan.37-38 Saliva memproduksi tiga agen buffer, lima agen antibakteri, dan lima faktor yang mempengaruhi mineralisasi yang memiliki fungsi yang berbeda-beda, termasuk proteksi, buffering, pencernaan, pengecap, antimikroba, dan pertahanan integritas gigi.24,37-38
Cara yang dilakukan saliva untuk melakukan peran pentingnya berupa :24,37 1. Membentuk lapisan mukus pelindung pada membran mukosa yang akan bertindak sebagai barrier terhadap iritan dan akan mencegah kekeringan.
2. Membantu membersihkan mulut dari makanan, debris, dan bakteri yang akhirnya akan menghambat pembentukan plak.
3. Mengatur pH rongga mulut karena mengandung bikarbonat, fosfat, dan protein. Peningkatan kecepatan sekresi biasanya berakibat pada peningkatan pH dan kapasitas buffernya, oleh karena itu membran mukosa akan terlindung dari asam yang ada pada makanan dan pada waktu muntah. Selain itu, penurunan pH plak sebagai akibat dari organisme asidogenik akan dihambat.
4. Membantu menjaga integritas gigi dengan berbagai cara karena kandungan kalsium dan fosfat. Saliva membantu menyediakan mineral yang dibutuhkan oleh enamel yang belum terbentuk sempurna pada saat awal setelah erupsi. Pelarutan gigi dihindari atau dihambat dan mineralisasi dirangsang dengan memperbanyak aliran saliva. Lapisan glikoprotein terbentuk oleh saliva pada permukaan gigi (acquired pellicle) juga akan melindungi gigi dengan menghambat keausan karena abrasi dan erosi.
(33)
5. Sebagai cairan pelumas dengan jalan melapisi dan melindungi mukosa terhadap iritasi mekanis, kimiawi, termis, membantu kelancaran aliran udara, dan membantu pembicaraan dan penelanan makanan.
6. Sebagai antimikroba dan juga mengontrol mikroorganisme rongga mulut secara spesifik misal dengan sIgA dan non spesifik misal dengan adanya lisozim, laktoferin, sialoperoksidase.
7. Keseimbangan air, dalam keadaan dehidrasi aliran saliva akan menurun dan rongga mulut akan terasa kering, orang akan merasa haus sehingga ada signal untuk minum.
8. Fungsi saliva sebagai pelindung, kandungan enzim lisozim yang bersifat bakterisid yang dapat menyebabkan dinding sel bakteri lisis, dimana fungsi dinding sel bakteri adalah untuk memberikan bantuan mekanis pada isi sel dan sebagai pelindung bakteri terhadap lingkungan sekitarnya.
2.4.2 Komposisi Saliva
Komposisi saliva terdiri atas 94-99,5% air, bahan organik, dan bahan anorganik. Komponen organik saliva yang terutama adalah protein, selain itu masih ada komponen-komponen lain seperti lipid, urea, asam amino, glukosa, amoniak, dan vitamin.40 Komponen anorganik saliva terutama adalah elektrolit dalam bentuk ion seperti Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cl-, SO42-, H2PO4, dan HPO42.24,37 Komposisi saliva yang
normal akan mempengaruhi keefektifan masing-masing fungsi saliva dalam mempertahankan kondisi yang konstan di lingkungan rongga mulut.41
Komposisi saliva dapat dipengaruhi oleh rangsangan yang diterima. Misalnya bila memakan makanan yang mengandung banyak karbohidrat, maka kandungan amilase dalam campuran saliva akan meningkat. Komposisi saliva juga dipengaruhi oleh laju aliran saliva.37
(34)
2.4.3 Kapasitas Buffer Saliva dan Derajat Keasaman (pH) Saliva
Kapasitas buffer saliva menunjukkan kemampuan saliva mempertahankan pH tetap netral ketika mendapatkan asam dari lingkungan. Sifat ini bergantung pada kandungan bikarbonat dalam saliva yang juga bergantung pada laju aliran. Konsentrasi bikarbonat ini juga bekerja mengatur pH saliva. Oleh karena itu, kapasitas buffer dan pH meningkat seiring dengan peningkatan kecepatan laju aliran.37
Kapasitas buffer saliva merupakan faktor primer yang penting pada saliva untuk mempertahankan pH saliva berada dalam interval normal sehingga keseimbangan mulut terjaga.38 Sistem buffer yang memberi kontribusi utama (85%) pada kapasitas total buffer saliva adalah sistem bikarbonat dan 15% oleh fosfat, protein, dan urea.
Kapasitas buffer saliva dan pH saliva juga naik bersamaan dengan kenaikan kecepatan sekresi. Pada saat keadaan istirahat, pH saliva adalah 6,1 – 6,47 selanjutnya distimulasi pada sekresi saliva akan meningkat pH mencapai angka netral yaitu 7,62. Saliva juga mengandung sistem buffer bikarbonat (HCO3-) yang sangat
efektif. Dalam aliran darah perifer, kombinasi sodium bikarbonat, asam karbonat, dan gas karbon dioksida mengeluarkan proton (ion hidrogen) dari dalam sistem. saliva terdiri atas 5% karbondioksida larut, bandingkan dengan 1% dalam udara kamar normal, dan terdapat dalam bentuk bikarbonat (H2O + CO2 = HCO3 + H+) dan gas
CO2 larut.30,40-41
Konsentrasi ion bikarbonat dalam saliva pada keadaan istiahat mendekati 1 mmol/l dan meningkat sampai lebih dari 50 mmol/l saat distimulasi. Dengan meningkatnya konsentrasi ion bikarbonat, pH juga meningkat, demikian pula pada kapasitas buffer dan ini adalah titik kunci dalam interpretasi tes diagnostik. Akibat variasi di jurnal dalam jumlah aliran saliva, terdapat juga variasi dalam jumlah bikarbonat, pH serta kapasitas buffer. pH saliva terendah terjadi saat tidur dan sesaat setelah bangun, dan setelah itu terus bervariasi sepanjang hari. Sedikit peningkatan pH dan kapasitas buffer akan memfasilitasi remineralisasi serta beberapa pengaruh lain terhadap flora rongga mulut. Secara spesifik, keadaan ini akan menekan
(35)
peningkatan jumlah mikroorganisme asidurik, khususnya Streptococcus mutans yang kariogenik serta Candida albicans. Berkurangnya sekresi saliva dan kapasitas buffer juga dipengaruhi malnutrisi dan berat badan lahir rendah yang termasuk lahir prematur yaitu predisposisi tingginya level kolonisasi Streptococcus mutans.23
2.4.4 Laju Aliran Saliva
Laju aliran saliva merupakan pengaturan fisiologis sekresi saliva. Pada keadaan normal, laju aliran saliva berkisar 0,05-1,8 ml/menit. Beberapa studi tentang laju aliran saliva yang tidak distimulasi pada individu yang sehat didapatkan rata-rata whole saliva sekitar 0,3 ml/menit. Hasil di bawah 0,1 ml/menit dianggap sebagai hiposalivasi, dan hasil di antara 0,1-0,25 ml/menit merupakan laju aliran rendah. Kelenjar saliva dapat distimulasi dengan cara mekanis yaitu pengunyahan, kimiawi yaitu dengan rangsangan rasa, neural yaitu melalui saraf simpatis dan parasimpatis, psikis, dan rangsangan rasa sakit. Bila dirangsang akan meningkat menjadi 2,5-5 ml/menit.40 Laju aliran normal saliva yang distimulasi adalah 1,0-3,0 ml/menit. Hasil di bawah 0,7 ml/menit dianggap sebagai hiposalivasi, dan hasil 0,7-1,0 ml/menit merupakan laju aliran rendah.41
Dari beberapa penelitian, ditemukan adanya hubungan laju aliran saliva, volume, pH, dan kapasitas buffer saliva. Laju aliran saliva sangat bervariasi tidak hanya dibandingkan dengan orang lain, tetapi juga pada individu yang sama tergantung waktu pemeriksaan, posisi tubuh, banyak cahaya, dan faktor lain. Navazesh et al menemukan bahwa laju aliran saliva yang tidak distimulasi memiliki kekuatan validitas prediksi yang sangat kuat untuk memperkirakan risiko karies. Saliva yang tidak distimulasi mengandung sedikit ion bikarbonat, dengan ion Ca2+ yang lebih sedikit dan ion HPO42- yang lebih banyak daripada di dalam plasma.
Stimulasi refleks aliran saliva yang terjadi saat pengunyahan atau ketika mengonsumsi makanan asam dapat meningkatkan aliran saliva hingga lebih dari sepuluh kali. Setelah distimulasi, konsentrasi bikarbonat dapat meningkat hingga 60 kali. Penurunan kecepatan aliran saliva maksimun sampai kurang dari 0,7 ml/menit
(36)
dapat meningkatkan risiko karies, tetapi hal ini juga bergantung pada interaksi faktor-faktor lain.41
Laju aliran saliva akan meningkat karena adanya rangsangan seperti rangsangan pengecapan, rangsangan psikologis, ataupun rangsangan akibat perawatan gigi. Selain itu, laju aliran saliva dipengaruhi oleh ritme sirkardian, yaitu irama jantung yang teratur dalam fungsi tubuh yang terjadi selama 24 jam. Laju aliran saliva yang meningkat akan menyebabkan konsentrasi sodium, kalsium, klorida, bikarbonat, dan protein meningkat, tetapi konsetrasi fosfat, magnesium, dan urea akan menurun.30,41 Dengan meningkatnya komponen bikarbonat saliva, maka hasil metabolik bakteri dan zat-zat toksik bakteri akan larut dan tertelan sehingga keseimbangan lingkungan rongga mulut tetap terjaga dan frekuensi karies gigi akan menurun. Sebaliknya, bila aliran saliva menurun maka akan terjadi peningkatan frekuensi karies gigi. Penurunan laju aliran saliva dapat diikuti oleh peningkatan jumlah Streptococcus mutans dan Lactobacillus.21 Dengan demikian, aktivitas karies yang tinggi dapat dijumpai pada anak-anak yang laju aliran salivanya berkurang.41
2.4.5 Volume Saliva
Volume saliva yang disekresikan setiap hari diperkirakan antara 1,0-1,5 Liter. Seperti yang telah diketahui, bahwa saliva disekresi oleh kelenjar parotis, submandibularis, sublingualis, dan kelenjar minor.40 Pada malam hari, kelenjar parotis sama sekali tidak berproduksi. Jadi, sekresi saliva berasal dari kelenjar submandibularis, yaitu lebih kurang 70% dan sisanya 30% disekresikan oleh kelenjar sublingualis dan kelenjar minor. Sekresi saliva dapat dipengaruhi oleh rangsangan yang diterima oleh kelenjar saliva.41 Rangsangan itu didapatkan dari reaksi mekanis yaitu mengunyah permen karet ataupun makanan yang keras. Reaksi kimiawi dengan rangsangan seperti rasa asam, manis, asin, pahit, dan juga pedas. Reaksi psikis didapatkan dari stres yang akan menghambat sekresi saliva, dapat juga karena membayangkan makanan yang enak sehingga sekresi saliva meningkat. Rekasi neural berasal dari rangsangan yang diterima melalui sistem saraf otonom baik simpatis
(37)
maupun parasimpatis, dan rangsangan sakit karena adanya peradangan, gingivitis, juga karena protesa yang akan menstimulasi sekresi saliva.
Sekresi saliva sebenarnya tidak tergantung pada umur, tetapi pada efek samping dari obat-obatan tertentu yang dikonsumsi sehingga mengurangi aliran saliva. Sekresi saliva yang berkurang akan mengakibatkan mulut kering, penurunan pengecapan, kesukaran mengunyah dan menelan makanan. Sedangkan sekresi saliva yang berlebihan, yang ditandai dengan sekresi saliva encer seperti air yang keluar terus menerus sehingga mengakibatkan sudut mulut mengalami angular cheilitis dan dermatitis.
2.5 Saliva Sebagai Salah Satu Alat Diagnosis Karies
Saliva sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya karies mempengaruhi terjadinya karies dalam berbagai cara, yaitu :34
1. Aliran saliva dapat menurunkan akumulasi plak pada permukaan gigi dan juga menaikkan tingkat pembersihan karbohidrat dari rongga mulut.
2. Difusi komponen saliva seperti kalsium, fosfat, ion OH, dan flouride ke dalam plak dapat menurunkan kelarutan enamel dan meningkatkan remineralisasi karies dini.
3. Sistem buffer asam karbonat-bikarbonat, serta kandungan amoniak, dan urea dalam saliva dapat menyangga dan menetralkan penurunan pH yang terjadi saat bakteri plak sedang memetabolisme gula. Kapasitas penyanga dan pH saliva erat hubungannya dengan kecepatan sekresinya. Nilai pH kelenjar parotis meningkat dari 5,7 ketika saliva tidak terangsang menjadi 7,4 pada saat tingkat produksi sedang tinggi. Peningkatan nilai pH seperti tersebut bagi kelenjar submandibula adalah dari 6,4 ke 7,1. Peningkatan tingkat kecepatan saliva juga mengakibatkan naiknya kapasitas buffernya. Pada kedua keadaan tersebut, penyebabnya adalah meningkatnya kadar natrium dan bikarbonat.
(38)
4. Beberapa komponen saliva yang termasuk dalam komponen non imunologi seperti lysozime, lactoperoxydase, dan lactoferin mempunyai daya anti bakteri yang langsung terhadap mikroflora tersebut sehingga derajat asidogeniknya berkurang.
5. Molekul immunoglobulin A (IgA) disekresi oleh sel-sel plasma yang terdapat di dalam kelenjar saliva, sedangkan komponen protein lainnya diproduksi di lapisan epitel luar yang menutup kelenjar. Kadar keseluruhan IgA di saliva berbanding terbalik dengan timbulnya karies.
6. Protein saliva dapat meningkatkan ketebalan acquired pellicle sehingga dapat membantu menghambat pengeluaran ion fosfat dan kalsium dari enamel.
7. Laju glikolisis yang dapat ditingkatkan dengan urea saliva, bikarbonat atau sialin, sehingga karbohidrat plak akan dimetabolisme lebih cepat dan mengurangi durasi paparan enamel pada tingkat pH kritis.
Apabila saliva akan digunakan sebagai indikator pengukuran risiko karies, harus diperhatikan kondisi saliva dalam dua keadaan, yaitu sebelum distimulasi dan sesudah distimulasi. Saliva sebelum distimulasi adalah saliva yang diproduksi tanpa adanya rangsangan, sedangkan saliva setelah distimulasi adalah saliva yang disekresi setelah diberi rangsangan.
(39)
2.6 Kerangka Teori
Etiologi
Severe Early Childhood Caries (S-ECC) Non S-ECC Keadaan Gigi Anak
Host Bakteri Substrat Waktu
pH Laju Aliran Volume Kapasitas Buffer
(40)
2.7 Kerangka Konsep
Karakteristik Saliva
S-ECC
Non S-ECC pH Saliva
Laju Aliran Saliva
Volume Saliva
Kapasitas Buffer Saliva
Usia Anak
(41)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasi dengan rancangan penelitian cross-sectional.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Medan Selayang yaitu di TK Dharma Pancasila, TK Khansa, dan TK Namira. Alasan pemilihan tempat di Kecamatan Medan Selayang karena lokasi penelitian yang dekat dengan tempat tinggal peneliti.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam waktu 19 minggu, yaitu Juni 2013 - November 2013. Proposal penelitian disusun selama 8 minggu, dimulai dari minggu keempat bulan Juni sampai minggu ketiga bulan Agustus. Pengumpulan data selama 4 minggu, dimulai dari minggu keempat bulan Agustus sampai minggu ketiga bulan September. Pengelolaan dan analisis data : 3 minggu, dimulai dari minggu keempat bulan September sampai minggu kedua bulan Oktober. Penyusunan dan pembuatan laporan 4 minggu, dimulai minggu ketiga bulan Oktober sampai dengan minggu kedua bulan November.
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi diambil secara random pada kecamatan yang ada di Kota Medan, hasil random yang didapat adalah Kecamatan Medan Selayang sehingga populasi
(42)
dalam penelitian ini adalah seluruh anak yg berusia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang.
3.3.2 Sampel
Jumlah sampel minimum dihitung menggunakan rumus uji hipotesis dua kelompok data dengan sebagai berikut :
= [ 1,96 �2 x 0,15 x 0,85 + 1,282 �0,16 (1−0,16) + 0,14 (1−0,14) ] 2 (0,3)2
= [ 0,989 + 0,647 ] 2 0,09
= 29,7 = 30 Keterangan :
P1 = Proporsi dari penelitian sebelumnya = 16% = 0,16 (Prevalensi S-ECC
Di Kota Medan = 16%)
P2 = Proporsi yang diharapkan oleh peneliti = 14%
P = (P1 + P2 ) / 2
Q = 1-P
Zα = derajat batas atas, untuk = 0,05 Zα = 1,96 Zβ = derajat batas bawah, untuk � = 0,1 Zβ = 1,282 P1 – P2 = 30% = 0,3
n = Besar sampel
Besar minimun sampel untuk mencari prevalensi populasi adalah 30 orang. Penambahan 20% dari besar sampel sehingga peneliti mengambil sampel sebanyak 6 orang untuk mendapatkan data yang cukup dalam analisa data. Jumlah sampel 36 orang untuk satu kelompok S-ECC dan 36 orang sebagai kelompok non S-ECC. Sampel penelitian ini diambil dari TK. Dharma Pancasila, TK. Khansa, dan TK
�=�������+ �����(� − ��) + ��(� − ��)
�� − �� �
(43)
Namira di Kecamatan Medan Selayang. Total sampel pada penelitian ini adalah 72 orang.
Teknik pengambilan sampel digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah pengambilan sampel yang didasarkan pada satu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah sampel yang paling mudah dijangkau oleh peneliti.
Kriteria inklusi pada sampel penelitian ini adalah : • Anak berusia 37 - 71 bulan.
• Anak yang dalam periode gigi desidui.
• Anak yang memiliki kesehatan umum yang baik. • Anak yang mendapat persetujuan orangtua. Kriteria eksklusi pada sampel penelitian ini adalah : • Anak yang menolak untuk diperiksa.
3.4 Variabel Penelitian
Variabel Bebas : Laju aliran saliva, volume saliva, pH saliva dan kapasitas buffer saliva.
(44)
3.5 Definisi Operasional Variabel
Tabel 1. Definisi operasional
No. Variabel Definisi Operasional Hasil Pengukuran Skala 1. pH saliva Angka derajat keasaman
saliva yang ditentukan dengan menggunakan indikator pH.
a. 6,8-7,8 = sehat b. 6,0-6,6 = asam c. 5,0-5,8 = sangat
asam
(Indikator GC Saliva Check Buffer Kit)
Ordinal
2. Volume Saliva
Jumlah (ml) saliva yang dikumpulkan selama 5 menit.
a. > 5,0 ml = normal b. 3,5-5,0 ml =
rendah
c. < 3,5 ml = sangat rendah
(Indikator GC Saliva Check Buffer Kit)
Ordinal
3. Laju aliran saliva
Kecepatan aliran saliva yang dinyatakan dalam ml/menit.
a. ≥ 1 ml/menit = normal
b. 0,7-1 ml/menit = rendah
c. ≤ 0,7 ml/menit = sangat rendah (Indikator GC Saliva Check Buffer Kit)
(45)
4. Kapasitas buffer saliva
Skor yang menunjukkan kemampuan saliva untuk mempertahankan pH Konstan.
Pengukuran kapasitas buffer saliva dilakukan dengan menggunakan GC Saliva CheckBuffer Kit Skor warna Saliva Check Buffer Kit :
• Hijau = 4 poin
• Biru Kehijauan = 3 poin • Biru = 2 poin
• Merah kebiruan = 1 poin
• Merah = 0 poin Hasil pengukuran adalah penjumlahan dari 3 pad pada buffer strip (gambar 11).
a. 10-12 = tinggi b. 6-9 = rendah c. 0-5 = sangat
rendah
(Indikator GC Saliva Check Buffer Kit)
Ordinal
5. S-ECC S-ECC pada anak usia 37-71 bulan yang memiliki kriteria :
d : decayed = gigi yang mengalami karies (kavitas) dan indikasi tambalan m : missing = gigi hilang karena karies
1. Skor dmfs pada smooth surface ≥ 4 pada anak usia 3 tahun
2. Skor dmfs pada smooth surface ≥ 5 pada anak usia 4 tahun
(46)
f : filling = gigi yang sudah ditumpat karena karies s : surface = permukaan halus gigi desidui
permukaan labial/bukal dan lingual/palatal
3. Skor dmfs pada smooth surface≥ 6 pada anak usia 5 tahun
6. Non S-ECC Pada anak bebas karies dan bukan kriteria S-ECC.
Numerik
7. Usia 37-71 bulan
Usia penanggalan kelahiran yang berumur diantara 37-71 bulan yang dihitung sampai pengambilan data.
37-71 bulan Numerik
(47)
Gambar 10. Indikator volume GC GC saliva check buffer kit
Gambar 11. Indikator kapasitas buffer GC saliva check buffer kit 3.6 Alat dan Bahan
Tabel 2. Alat dan bahan penelitian
Alat Penelitian Bahan Penelitian
1. Saliva Check Buffer Kit (GC) 2. Kaca Mulut
3. Sonde 4. Eskavator 5. Masker 6. Pinset
7. Sarung tangan
1. Dettol 2. Alkohol
(48)
Gambar 12. GC saliva check buffer kit
3.7 Cara Pengambilan Data
Cara pengambilan data pada penelitian ini adalah :
1. Subjek penelitian adalah anak-anak TK. Dharma Pancasila, TK. Khansa, dan TK Namira berusia 37-71 bulan berkeadaan umum baik dengan kelompok S-ECC dan bebas karies. Pemeriksaan saliva diukur dengan GC Saliva Check Buffer Kit. Setelah mendapat surat persetujuan dari Komisi Etik, dilakukan pengurusan administrasi dengan pihak sekolah, dilanjutkan dengan meminta izin untuk mengumpulkan orang tua subjek penelitian. Kepada orang tua diminta kesediaan anaknya untuk menjadi subjek penelitian.
2. Sebelum dilakukan pemeriksaan saliva, terlebih dahulu dilakukan perhitungan pengalaman karies (dmfs) subjek penelitian. Subjek penelitian dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok S-ECC dan kelompok bebas karies.
3. Subjek diinstruksikan untuk tidak mengonsumsi makanan dan minuman, juga tidak menyikat gigi minimal selama satu jam sebelum diteliti.
4. Tes pH dilakukan pada unstimulated saliva yang dianggap sebagai indikator umum tingkat keasaman rongga mulut. Subjek diminta meludah secukupnya ke dalam saliva collection cup. Strip pH dicelupkan ke dalam saliva selama 10 detik, kemudian segera diangkat. Bandingkanlah pH strip saliva subjek penelitian dengan indikator pH pada GC Saliva Check Buffer Kit.. Penghitungan skor
(49)
pH harus segera dilakukan sebelum kertas mengering agar tidak mempengaruhi interpretasi visual warna kertas.
5. Subjek diinstruksikan untuk mengunyah parrafin wax selama 30 detik. Kemudian, subjek diminta untuk meludah ke dalam sebuah wadah yang disediakan. Lanjutkan pengunyahan parrafin wax lagi dan subjek diminta untuk tidak menelan salivanya. Selama 5 menit, subjek diminta meludahkan saliva yang keluar setelah stimulasi pengunyahan parrafin wax secara berkala ke dalam saliva collection cup. Saliva yang diperoleh diukur volumenya dan dicatat.
6. Untuk pengukuran laju aliran saliva, total volume yang terkumpul dibagi 5 menit. Hasil laju aliran saliva yang diperoleh dinyatakan dalam ml/menit.
7. Untuk pengukuran kapasitas buffer saliva, 3ml saliva diambil dengan pipet kemudian diteteskan pada buffer strip, masing-masing 1 ml untuk 1 kolom pad pada test strip. Apabila terdapat kelebihan saliva, buffer strip dimiringkan sebesar 90o. Setelah 5 menit, perubahan warna pada buffer strip dibandingkan dengan indikator kapasitas buffer pada GC Saliva Check Buffer Kit yang telah disediakan dan skor dari tiap pad pada strip buffer dijumlahkan untuk mendapatkan kategorinya.
3.8 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan sistem komputerisasi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan uji Chi square untuk menganalisis apakah ada hubungan karakteristik saliva, yaitu laju aliran, volume, pH, dan kapasitas buffer saliva antara anak S-ECC dengan non S-ECC. Analisis usia dan jenis kelamin dengan prevalensi S-ECC maupun non S-ECC dilakukan dengan menggunakan uji Chi square. Nilai kemaknaan p<0,05 dan derajat kepercayaan 95%. Program statistik digunakan untuk mengolah dan menganalisis data penelitian.
(50)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Medan Selayang yaitu di TK Khansa, TK Dharma Pancasila, dan TK Namira pada anak usia 37 – 71 bulan. Rerata pengalaman karies (dmft) pada 72 responden anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 3,13 ± 2,82. Rerata pengalaman S-ECC (dmft) usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 5,47 ± 2,05. Rerata pengalaman non S-ECC (dmft) usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 0,78 ± 0,76.
4.1 Karakteristik Responden Anak
Karakteristik responden anak meliputi usia, jenis kelamin, dan status karies. Berdasarkan usia dari 72 responden, persentase anak berusia 37 – 47 bulan 15,3%, anak berusia 48 – 59 bulan 31,9%, dan anak berusia 60 – 71 bulan 52,8%. Berdasarkan jenis kelamin, persentase anak laki-laki 40,3% dan perempuan 59,7%. Jumlah anak yang diperiksa sebanyak 72 orang dengan perbandingan yang menderita S-ECC sebanyak 50% dan non S-ECC sebanyak 50% (Tabel 3).
Tabel 3. Karakteristik responden anak
Karakteristik Jumlah (n) %
Usia
37 – 47 bulan 48 – 59 bulan 60 – 71 bulan
11 23 38 15,3 31,9 52,8 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 29 43 40,3 59,7 Status Karies S-ECC Non S-ECC 36 36 50 50
(51)
4.2 Analisis Statistik Hubungan pH Saliva dengan Anak S-ECC dan Non S-ECC
Pemeriksaan pH saliva pada anak S-ECC yang termasuk kategori sangat asam 58,3%, kategori asam 25%, dan kategori sehat 16,7%, sedangkan pada anak non S-ECC yang termasuk kategori sangat asam 0%, kategori asam 8,3%, dan kategori sehat 91,7%. Secara statistik ada hubungan bermakna pH saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan S-ECC dan non S-ECC (p=0,001) (Tabel 4).
Tabel 4. Hasil analisis statistik pH saliva dengan anak S-ECC dan non S-ECC
Status karies pH Saliva
Sangat asam n (%) Asam n (%) Sehat n (%) Total
n (%) p
S-ECC 21 (58,3) 9 (25) 6 (16,7) 36 (100)
0,001
Non S-ECC 0 (0) 3 (8,3) 33 (91,7) 36(100)
4.3 Analisis Statistik Hubungan Volume Saliva dengan Anak S-ECC dan Non S-ECC
Pemeriksaan volume saliva pada anak S-ECC yang termasuk kategori sangat rendah 80,6%, kategori rendah 8,3%, dan kategori normal 11,1%, sedangkan pada anak non S-ECC yang termasuk kategori sangat rendah 0%, kategori rendah 27,8%, dan kategori normal 72,2%. Secara statistik ada hubungan bermakna volume saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan S-ECC dan non S-ECC (p=0,001) (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil analisis statistik volume saliva dengan anak S-ECC dan non S-ECC
Status karies Volume Saliva
Sangat rendah n (%) Rendah n (%) Normal n (%) Total
n (%) p
S-ECC 29 (80,6) 3 (8,3) 4 (11,1) 36 (100)
0,001
(52)
4.4 Analisis Statistik Hubungan Laju Aliran Saliva dengan Anak S-ECC dan Non S-ECC
Pemeriksaan laju aliran saliva pada anak S-ECC yang termasuk kategori sangat rendah 80,6%, kategori rendah 8,3%, dan kategori normal 11,1%, sedangkan pada anak non S-ECC yang termasuk kategori sangat rendah 0%, kategori rendah 30,6%, dan kategori normal 69,4%. Secara statistik ada hubungan bermakna laju aliran saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan S-ECC dan non S-ECC (p=0,001) (Tabel 6).
Tabel 6. Hasil analisis statistik laju aliran saliva dengan anak S-ECC dan non S-ECC
Status karies Laju Aliran Saliva
Sangat rendah n (%) Rendah n (%) Normal n (%) Total
n (%) p
S-ECC 29 (80,6) 3 (8,3) 4 (11,1) 36 (100)
0,001
Non S-ECC 0 (0) 11 (30,6) 25 (69,4) 36(100)
4.5 Analisis Statistik Hubungan Kapasitas Buffer Saliva dengan Anak S-ECC dan Non S-S-ECC
Pemeriksaan kapasitas buffer saliva pada anak S-ECC yang termasuk kategori sangat rendah 52,8%, kategori rendah 41,7%, dan kategori tinggi 5,5%, sedangkan pada anak non S-ECC yang termasuk kategori sangat rendah 2,8%, kategori rendah 2,8%, dan kategori tinggi 94,4%. Secara statistik ada hubungan bermakna kapasitas buffer saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan S-ECC dan non S-ECC (p=0,001) (Tabel 7).
Tabel 7. Hasil analisis statistik kapasitas buffer saliva dengan anak S-ECC dan non S-ECC
Status karies Kapasitas Buffer Saliva
Sangat Rendah n (%) Rendah n (%) Tinggi n (%) Total
n (%) p
S-ECC 19 (52,8) 15 (41,7) 2 (5,5) 36 (100)
(53)
4.6 Analisis Statistik Hubungan Usia dengan Prevalensi Anak S-ECC dan Non S-ECC
Anak yang yang menderita S-ECC berusia 37 – 47 bulan 11,1%, usia 48 – 59 bulan 36,1%, dan usia 60 – 71 bulan 52,8%. Anak yang non S-ECC berusia 37 – 47 bulan 19,4%, usia 48 – 59 bulan 27,8%, dan usia 60 – 71 bulan 52,8%. Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dengan prevalensi S-ECC maupun non S-ECC (p=0,546) (Tabel 8).
Tabel 8. Hubungan usia anak dengan prevalensi S-ECC dan non S-ECC
Status karies
Usia Anak 37 – 47bulan
n (%)
48 – 59bulan n (%)
60 – 71bulan n (%)
Total
n (%) p
S-ECC 4 (11,1) 13 (36,1) 19 (52,8) 36 (100)
0,546
non S-ECC 7 (19,4) 10 (27,8) 19 (52,8) 36 (100)
4.7 Analisis Statistik Hubungan Jenis Kelamin dengan Prevalensi Anak S-ECC dan Non S-ECC
Anak yang menderita S-ECC laki-laki 41,7% dan perempuan 58,3%. Anak yang non S-ECC laki-laki 38,9% dan perempuan 61,1%. Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan prevalensi S-ECC maupun non S-ECC (p=0,810) (Tabel 9).
Tabel 9. Hubungan jenis kelamin anak dengan prevalensi S-ECC dan non S-ECC
Status karies Jenis Kelamin Anak
Laki-laki n (%)
Perempuan n (%)
Total
n (%) p
S-ECC 15 (41,7) 21 (58,3) 36 (100)
0,810
(54)
BAB 5 PEMBAHASAN
Hasil penelitian diperoleh data rerata pengalaman karies (dmft) secara keseluruhan pada anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 3,13 ± 2,82. Berdasarkan kriteria dari WHO (cit. Kusumawati), rerata pengalaman karies ini termasuk tingkat keparahan moderate (2,7 – 4,4).42 Hasil tersebut menunjukkan masih rendahnya pengetahuan mengenai faktor risiko karies dan kesadaran untuk menjaga kebersihan rongga mulut anak sejak dini. Hasil ini ternyata tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan penelitian di Jakarta oleh Febrina pada anak menderita ECC dibawah usia 5 tahun yaitu 2,85.11
Rerata pengalaman S-ECC (dmft) di Kecamatan Medan Selayang adalah 5,47 ± 2,05. Nilai rerata pengalaman S-ECC ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan penelitian Virdi et al yaitu 5,08 ± 5,56.16 Rerata pengalaman non S-ECC (dmft) di Kecamatan Medan Selayang adalah 0,78 ± 0,76. Pengalaman karies sebelumnya ini merupakan suatu indikator yang kuat untuk menentukan terjadinya karies di masa yang akan datang. Li dan Wang mengatakan bahwa anak yang mempunyai karies pada gigi sulung mempunyai kecenderungan tiga kali lebih besar untuk terjadinya karies pada gigi permanen.43 Hal ini menunjukkan pentingnya penilaian status karies anak usia dini untuk mencegah perkembangan lesi karies lebih lanjut.
Berdasarkan pemeriksaan variabel pH saliva, anak yang menderita S-ECC paling banyak menunjukkan kategori sangat asam sebesar 58,3% dibandingkan dengan anak yang termasuk dalam kategori asam sebesar 25% dan kategori sehat sebesar 16,7% (Tabel 4). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pH saliva dengan S-ECC (p=0,001). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ali et al bahwa adanya hubungan yang bermakna antara pH saliva dengan ECC pada anak usia 36 - 70 bulan (p=0,002).44 pH saliva kategori sangat asam pada anak S-ECC menunjukkan bahwa kondisi asam basa saliva
(55)
responden dalam keadaan tidak seimbang yang memicu terjadinya karies.25 Teori yang mendukung hasil penelitian ini yaitu teori yang menjelaskan bahwa seseorang yang berisiko tinggi memiliki pH saliva di bawah pH kritis (5,5) sehingga terjadi proses demineralisasi enamel.4 Faktor lain yang berpengaruh adalah cara pengukuran pH dengan saliva sebelum distimulasi. Pengambilan saliva sebelum distimulasi lebih dipengaruhi oleh pH saliva mukus yang diproduksi oleh kelenjar sublingualis namun pada kondisi sesudah stimulasi, pH saliva lebih dipengaruhi oleh pH saliva serus yang dihasilkan kelenjar parotis.10,39 pH saliva mukus memiliki viskositas tinggi dan laju aliran yang rendah sehingga menurunnya konsentrasi bikarbonat yang akan mengakibatkan pH saliva menjadi rendah.7,45
Pada variabel pH saliva menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan anak non S-ECC (p=0,001). Hasil menunjukkan anak non S-ECC termasuk kategori sehat sebesar 91,7% dibandingkan dengan kategori asam sebesar 8,3% dan tidak ada yang termasuk kategori sangat asam (Tabel 4). Anak non S-ECC yang memiliki pH saliva kategori sehat sebesar 91,7% tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Febrina dkk yang mencapai 94,1%.11 Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Holbrook et al (cit. Gopinath), Ali et al yang menyatakan bahwa anak yang bebas karies memiliki nilai pH saliva tinggi.22,44 Meningkatnya pH saliva akan mempengaruhi nilai kapasitas buffer saliva yang juga tinggi. pH saliva memiliki hubungan signifikan terhadap kapasitas buffer saliva yang membantu seorang individu untuk mempertahankan homeostatis mulut terjaga sehingga peluang untuk terjadinya proses demineralisasi pada gigi juga rendah.45
Berdasarkan pemeriksaan variabel volume saliva, anak yang menderita S-ECC paling banyak menunjukkan kategori sangat rendah sebesar 80,6% dibandingkan dengan anak yang termasuk dalam kategori rendah sebesar 8,3% dan kategori normal sebesar 11,1% (Tabel 5). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara volume saliva dengan S-ECC (p=0,001). Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa sekresi kelenjar saliva anak yang sedikit menyebabkan anak rentan untuk terkena karies karena penurunan volume saliva anak diikuti penurunan laju aliran saliva yang akan mengakibatkan konsentrasi protein,
(56)
sodium, dan bikarbonat menurun.46 Sekresi kelenjar saliva dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu stimulasi, penyakit akut, jenis kelamin, dan usia. Anak-anak yang kesehatan umumnya menurun dapat menyebabkan berkurangnya sekresi kelenjar saliva.
Pada variabel volume saliva menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan anak non S-ECC (p=0,001). Hasil menunjukkan anak non S-ECC termasuk kategori normal sebesar 72,2% dibandingkan dengan kategori rendah sebesar 27,8% dan tidak ada yang termasuk kategori sangat rendah (Tabel 5). Hasil ini sesuai dengan teori bahwa peningkatan sekresi saliva bisa menurunkan insiden terjadinya karies pada anak.39 Salah satu faktor yang berpengaruh dalam peningkatan sekresi saliva ini yaitu rangsangan mekanis dengan mengunyah paraffin wax selama 5 menit.39 Sekresi saliva ini melibatkan jaringan yang kompleks dari hubungan antara syaraf dengan reseptor sel dengan neuron sentral yang sesuai karena adanya rangsangan yang diterima oleh responden. Faktor lainnya yaitu laju aliran saliva, semakin cepat laju aliran saliva maka semakin banyak volume saliva sebagai cleansing untuk membuang debris dan gula dari rongga mulut sehingga dapat mengurangi keberadaan bakteri asidogenik yang dapat menyebabkan demineralisasi enamel.40
Berdasarkan pemeriksaan variabel laju aliran saliva, anak yang menderita S-ECC paling banyak menunjukkan kategori sangat rendah sebesar 80,6% dibandingkan dengan anak yang termasuk dalam kategori rendah sebesar 8,3% dan kategori normal sebesar 11,1% (Tabel 6). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara laju aliran saliva dengan S-ECC (p=0,001). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Vehkalahti et al (cit. Gopinath) yang menyatakan bahwa rendahnya laju aliran saliva mempengaruhi peningkatan insiden karies.22 Laju aliran saliva erat hubungannya dengan viskositas saliva. Viskositas saliva yang lebih tinggi akan menurunkan laju aliran saliva, sehingga didapatkan penumpukan sisa-sisa makanan yang akhirnya dapat menyebabkan karies.45 Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Almushyat et al di Saudi Arabia tidak menunjukkan hasil yang sama bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada laju
(57)
aliran saliva antara anak S-ECC dan non S-ECC (p=0,067).26 Hal ini dikarenakan perbedaan pada jumlah responden dan metode yang digunakan dalam penelitian.
Pada variabel laju aliran saliva menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan anak non S-ECC (p=0,001). Hasil menunjukkan anak non S-ECC termasuk kategori normal sebesar 69,4% dibandingkan dengan kategori rendah sebesar 30,6% dan tidak ada yang termasuk kategori sangat rendah (Tabel 6). Hasil ini sesuai dengan teori bahwa peningkatan laju aliran saliva meningkatkan konsentrasi protein, sodium, klorida, dan bikarbonat dengan penurunan konsentrasi magnesium dan fosfor.40,46 Kalsium dan fosfat memegang peranan penting dalam mekanisme penolakan terhadap dekalsifikasi enamel gigi dalam lingkungan asam (demineralisasi), sedangkan ion-ion lainnya memungkinkan terjadinya remineralisasi pada permukaan gigi yang terkikis.46 Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gopinath et al yang menyimpulkan bahwa peningkatan laju aliran saliva dapat meningkatkan sistem pertahanan rongga mulut dari karies yang parah.22
Berdasarkan pemeriksaan variabel kapasitas buffer saliva, anak yang menderita S-ECC paling banyak menunjukkan kategori sangat rendah sebesar 52,8% dibandingkan dengan anak yang termasuk dalam kategori rendah sebesar 41,7% dan kategori tinggi sebesar 5,5% (Tabel 7). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kapasitas buffer saliva dengan S-ECC (p=0,001). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ayyiliath et al di India pada anak usia 2-5 tahun bahwa terdapat hubungan yang signifikan pada kapasitas buffer saliva antara anak yang S-ECC dengan non S-ECC (p=0,035).1 Penelitian lainnya yang sesuai adalah yang dilakukan oleh Febrina dkk yang menemukan pemeriksaan kapasitas buffer saliva anak ECC terbanyak pada kategori sangat rendah sebesar 62,43%, kategori rendah 32,98%, dan kategori tinggi 4,58%.27 Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas buffer saliva memiliki kemampuan untuk mencegah suasana asam dalam rongga mulut dan menetralkan penurunan pH yang terjadi saat plak sedang memetabolisme gula karena adanya ion sodium bikarbonat yang berfungsi sebagai buffer asam dalam saliva.1, 37,44
(58)
Pada variabel kapasitas buffer saliva menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan anak non S-ECC (p=0,001). Hasil menunjukkan anak non S-ECC termasuk kategori tinggi sebesar 94,4% dibandingkan dengan kategori rendah sebesar 2,8% dan kategori sangat rendah sebesar 2,8% (Tabel 7). Anak non S-ECC memiliki kapasitas buffer yang tinggi sebesar 94,4% tidak berbeda jauh dengan penelitian Febrina dkk menyatakan 94,1% anak non ECC yang memiliki kategori tinggi.11 Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ali et al bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kapasitas buffer saliva dengan ECC pada anak usia 36 - 70 bulan (p=0,002).44 Terlihat anak yang termasuk kategori tinggi memiliki kapasitas buffer saliva yang tinggi (10-12).1 Teori lain menyatakan bahwa kapasitas buffer saliva merupakan faktor primer yang penting pada saliva untuk mempertahankan pH saliva berada dalam interval normal sehingga keseimbangan mulut terjaga.37-38 Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Almushyat et al di Saudi Arabia tidak menunjukkan hasil yang sama bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada kapasitas buffer saliva antara anak S-ECC dengan non S-ECC (p=0,750).26 Hal ini dimungkinkan karena teori yang menyatakan bahwa kepekaan host untuk terjadinya karies tergantung dari faktor-faktor lainnya, yaitu komposisi gigi, aliran dan komposisi saliva termasuk pH, bahan-bahan mineral dan antibakteri yang terkandung, faktor genetik dan status imun, termasuk imunitas spesifik seperti antibodi saliva dan imunitas non-spesifik seperti lisosim, peroksidase, laktoferin, aglutinin saliva.6,7
Penelitian tentang hubungan usia dengan prevalensi S-ECC dan non S-ECC menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p=0,546) (Tabel 8). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Feldens et al yang menunjukkan usia anak tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan prevalensi S-ECC (p=0,594).13 Penelitian lainnya dilakukan oleh Ali et al di Iran yang menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok ECC dan bebas karies (p=0,48) namun teori yang tidak sesuai dengan penelitian ini adalah yang mengatakan bahwa makin bertambah usia, makin tinggi risiko kejadian karies. Hal ini disebabkan karena semakin lama gigi terpapar berbagai faktor risiko karies, semakin besar risiko
(59)
kejadian karies.11 Perbedaan ini kemungkinan karena jumlah responden pada penelitian ini tidak terdistribusi normal.
Penelitian tentang hubungan jenis kelamin dengan prevalensi S-ECC dan non S-ECC menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p=0,801) (Tabel 9). Penelitian ini sesuai dengan penlitian Feldens et al yang menunjukkan tidak ada hubungan yang siginifikan (p=0,868). Penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa selama masa kanak-kanak dan remaja, perempuan menunjukkan nilai dmf yang lebih tinggi dari laki – laki.3 Perbedaan ini terlihat karena prevalensi S-ECC dan non S-ECC juga dipengaruhi oleh pola diet dan perilaku menjaga kebersihan rongga mulut pada anak itu sendiri.
Pada penelitian ini terbukti bahwa karakteristik saliva yang meliputi pH saliva, volume saliva, laju aliran saliva, dan kapasitas buffer saliva mempunyai hubungan dengan terjadinya S-ECC dan non S-ECC (p<0,05). Pengukuran karakteristik saliva sebagai faktor risiko karies ini bermanfaat sebagai anamnesis, diagnosis, dan upaya pencegahan terhadap karies gigi.3 Anak yang berisiko karies tinggi harus mendapatkan perhatian khusus karena perawatan intensif dan ekstra harus dilakukan untuk menghilangkan karies atau mengurangi terjadinya karies tinggi menjadi rendah. Kerja sama dengan orang tua disini dibutuhkan karena mengingat usia anak di bawah umur 5 tahun, usaha untuk melakukan pencegahan primer diberikan kepada ibu seperti meningkatkan pengetahuan ibu tentang menjaga kebersihan mulut anak, pola makan anak yang baik dan benar serta tindakan perlindungan terhadap gigi anak yang dapat diberikan. Hal ini berhubungan karena kemampuan anak terbatas dan anak lebih dekat dengan ibunya.43
(60)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Severe Early Childhood Caries (S-ECC) merupakan bentuk kerusakan gigi progresif yang dijumpai pada anak usia kurang dari 3 tahun dimana terdapat smooth surface caries; pada anak usia 3-5 tahun terdapat satu atau lebih kavitas, hilang karena karies atau tumpatan pada gigi sulung anterior rahang atas; atau skor dmf-s ≥ 4 pada anak usia 3 tahun, skor dmf-s ≥ 5 pada anak usia 4 tahun dan skor dmf-s ≥ 6 pada anak usia 5 tahun. Salah satu faktor risiko karies adalah saliva yang dilakukan pada penelitian ini yang meliputi 4 karakteristik saliva, yaitu pH saliva, volume saliva, laju aliran saliva, dan kapasitas buffer saliva. Pada penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa :
1. Rerata pengalaman karies (dmft) pada 72 responden anak usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 3,13 ± 2,82.
2. Rerata pengalaman S-ECC (dmft) usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 5,47 ± 2,05.
3. Rerata pengalaman non S-ECC (dmft) usia 37-71 bulan di Kecamatan Medan Selayang adalah 0,78 ± 0,76.
4. Ada hubungan bermakna pH saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
5. Ada hubungan bermakna volume saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
6. Ada hubungan bermakna laju aliran saliva pada anak usia 37-71 bulan dengan Severe Early Childhood Caries (S-ECC) dan non S-ECC di Kecamatan Medan Selayang.
(1)
Lampiran 4
NO NAMA
JENIS KELA
MIN
Usia dmfs dmft SECC pH Kategori
pH Volume
Kategori Volume Laju Aliran Kategori Laju Aliran Kapasitas Buffer Kategori Buffer
1 Adhy 1 3 0 0 2 7,4 1 5 1 1 1 11 1
2
Jihan Putri
Novella 2 3 1 1 2 7,6 1 6 1 1,2 1 11 1
3 Ririn 2 3 2 1 2 6,8 1 5 1 1 1 11 1
4 Fishya 2 3 0 0 2 7,6 1 5 1 1 1 11 1
5 Dila 2 3 1 1 2 7 1 5 1 1 1 11 1
6 Syifa 2 3 0 0 2 7,2 1 5 1 1 1 10 1
7 Rizky 1 3 0 0 2 7 1 8 1 1,6 1 12 1
8 Rahel 2 4 2 1 2 7,4 1 6 1 1,2 1 10 1
9
Alya Izzzatunnis
a 2 4 1 1 2 7,8 1 5 1 1 1 9 2
10 Arif 1 4 0 0 2 7,8 1 6 1 1,2 1 12 1
11 Aura 2 4 1 1 2 7,6 1 4 2 0,8 2 10 1
12 Dinda 2 4 2 1 2 6,4 2 3,5 2 0,7 2 5 3
13 Akmal 1 4 1 1 2 7,6 1 4 2 0,8 2 10 1
14 Fahri 1 4 3 2 2 6,2 2 4 2 0,8 2 12 1
15 Naila 2 4 2 2 2 6,8 1 3,5 2 0,7 2 11 1
16 Zalfah 2 4 0 0 2 7,6 1 7 1 1,4 1 10 1
17 Andra 1 4 1 1 2 7.0 1 5 1 1 1 12 1
18 Ica 2 5 0 0 2 7,6 1 4 2 0,8 2 12 1
19
Kiara Putri
(2)
20 Difa 2 5 1 1 2 6,6 2 5 1 1 1 12 1
21 Silvi Prisillia 2 5 0 0 2 7,4 1 4 2 0,8 2 12 1
22 Fazli 1 5 1 1 2 7,4 1 7 1 1,4 1 10 1
23 Akbar 1 5 2 1 2 7,4 1 3,5 2 0,7 2 12 1
24 Rasyid 1 5 2 2 2 7,6 1 5 1 1 1 12 1
25 Ucha 2 5 0 0 2 7,8 1 7,5 1 1,5 1 11 1
26 Fadel 1 5 2 1 2 6.8 1 5 1 1 1 11 1
27 Dafi 1 5 2 1 2 7,6 1 7 1 1,4 1 12 1
28 Sakira 2 5 1 1 2 7,2 1 5 1 1 1 12 1
29 Naya 2 5 0 0 2 7,8 1 5 1 1 1 12 1
30 Arfa 2 5 4 3 2 7,4 1 5 1 1 1 12 1
31 Sasa 2 5 0 0 2 7,2 1 4 2 0,8 2 10 1
32 Azril 1 5 1 1 2 7,4 1 5 1 1 1 12 1
33 Dea 2 5 0 0 2 7,8 1 7,7 1 1,5 1 10 1
34 Rifky 1 5 0 0 2 6,8 1 5,5 1 1,1 1 11 1
35
Arya Fadhilah
Kusuma 1 5 1 1 2 7,6 1 4 1 0,8 2 11 1
36 Azzurah 2 5 3 2 2 6,8 1 5 1 1 1 11 1
37 Diana Aulia 2 3 5 4 1 5,6 3 2 3 0,4 3 5 3
38 Keisha 2 3 9 5 1 5,8 3 4 2 0,8 2 7 2
39 Saila 2 3 9 5 1 5,2 3 2 3 0.4 3 5 3
40
M. Faiz
Haryanto 1 3 8 5 1 5,4 3 2 3 0.4 3 4 3
41 Fauzi 1 4 10 6 1 5 3 1 3 0,2 3 5 3
42 Gina 2 4 15 8 1 5,2 3 2 3 0.4 3 4 3
(3)
44
Aysel Zayan
Lasirah 2 4 6 5 1 7,4 1 3 2 0,7 2 10 1
45 Sofwa 2 4 10 5 1 5,4 3 6 1 1,2 1 4 1
46 Aufar 1 4 5 4 1 7,6 1 5 1 1 1 8 2
47 Azura 2 4 8 4 1 6,6 2 2,5 3 0,5 3 8 2
48 Amzat 1 4 18 10 1 5,8 3 3,5 3 0,7 3 6 2
49 Sasa 2 4 8 4 1 6 2 1 3 0,2 3 6 2
50 Putri 2 4 7 5 1 5 3 2 3 0,4 3 7 2
51 Atika 2 4 10 5 1 5,6 3 1 3 0,2 3 5 3
52 Kamilia 2 4 13 7 1 5,4 3 1 3 0,2 3 8 2
53 Raffa 1 4 5 5 1 5,8 3 2.5 3 0,5 3 5 3
54 Gilang 1 5 10 5 1 5,2 1 2 3 0.4 3 8 2
55 Icha 2 5 12 6 1 6,2 2 2 3 0,4 3 5 3
56 Nia 2 5 10 6 1 5,8 3 3,5 3 0,7 3 4 3
57 Ali 1 5 28 14 1 5,8 3 2 3 0,4 3 4 3
58 Ursiya 2 5 10 5 1 6 2 3 3 0,6 3 6 2
59 Fatimah 2 5 7 6 1 7,2 1 3,5 3 0,7 3 8 2
60 Fadil 1 5 8 4 1 5.8 3 1 3 0,2 3 7 2
61 Bintang 1 5 9 5 1 5,8 3 1 3 0,2 3 5 3
62 Dika 1 5 7 6 1 6,4 2 3 3 0,6 3 8 2
63 Asya 2 5 8 4 1 6,6 2 5 1 1 1 9 2
64 Fiqih 1 5 6 4 1 6,8 1 2,5 3 0,5 3 6 2
65 Fahri 1 5 10 5 1 5,4 3 1 3 0,4 3 4 3
66 Fataya 2 5 7 4 1 5,4 3 3,5 2 0,7 2 1 3
67 Niswa 2 5 10 5 1 5,8 3 2 3 0,4 3 4 3
(4)
69 Abhi 1 5 10 5 1 5,4 3 1 3 0,2 3 3 3
70 Kaila 2 5 6 3 1 7,4 1 6 1 1,2 1 2 3
71 Faiq 1 5 11 6 1 6,6 2 1 3 0,2 3 4 3
(5)
RENCANA ANGGARAN PENELITIAN
1. Alat-alat
•
Sonde
: 5 @ Rp 20.000,-
: Rp 100.000,-
•
Kaca mulut
: 5 @ Rp 25.000,-
: Rp 125.000,-
•
Masker
: 1 @ Rp 32.000,-
: Rp 32.000,-
•
Sarung tangan
: 2 @ Rp 35.000,-
: Rp 70.000,-
•
Nierbeken/tray
: 5 @ Rp 30.000,-
: Rp 150.000,-
•
Gelas plastik
: 100 @ Rp 500,-
: Rp 50.000,-
•
Saliva Check Buffer Kit
: 3 @ Rp 900.000,-
: Rp 2.700.000,-
2. Bahan-bahan
•
Desinfektan
: 2 @ Rp 25.000,-
: Rp 50.000,-
•
Kapas
: 1 @ Rp 20.000,-
: Rp 20.000,-
•
Alkohol 70 %
: 5 @ Rp 10.000
: Rp 50.000,-
3. Biaya fotokopi lembar pengamatan
: Rp 82.000,-
4. Biaya pembuatan proposal
: Rp 150.000,-
5. Biaya seminar
: Rp 100.000,-
6. Biaya lain-lain
: Rp 200.000,- +
Total
: Rp 3.879.000
( Tiga Juta Delapan Ratus Tujuh Puluh Sembilan Ribu Rupiah )
Medan, September 2013
Peneliti
(Alfina Subiantoro)
(6)