Perkembangan Tes Profisiensi Bahasa Arab di Indonesia
111
yang kemudian terkenal dengan nama TOAFL Test of Arabic as a Foreign Language. Meski tidak dilandasi oleh hasil penelitian dan uji validitas yang memadai, model ini terus
bergulir dan gayung pun bersambut, sehingga keberadaan TOAFL ini memperoleh momentum yang cukup menggembirakan. Pimpinan IAIN saat itu merespon cukup positif,
bahkan sejak tahun 2000 Program Pascasarjana IAIN Jakarta telah menetapkan penggunaan TOAFL sebagai tes masuk dan tes keluar standar kelulusan. Bahkan ketika almarhum
Prof. Dr. Harun Nasution masih menjadi Direktur Program Pascasarjana IAIN, TOAFL juga digunakan
–atas saran beliau— sebagai materi tes masuk di beberapa Program Pascasarjana di luar UIN Jakarta, seperti: PPs. IAIN Palembang, IAIN Lampung, STAIN Mataram, dan
IAIN Padang, bahkan juga PPs. Studi Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Ketika IAIN berubah menjadi UIN Mei 2002 dan meniatkan dirinya menuju
universitas riset berkelas internasional international research university, kebutuhan terhadap peningkatan kemampuan berbahasa asing menjadi meningkat. Dengan alasan
peningkatan dan standarisasi kualitas calon lulusan, Pimpinan UIN tampaknya kemudian merasa perlu membuat kebijakan standarisasi kemampuan dengan menerbitkan terbitnya SK
Rektor No.241 Tahun 2005 tentang standar kelulusan S1, S2, dan S3. Dalam SK ini, antara lain dinyatakan bahwa lulusan S1 Jurusan atau Prodi yang berbasis keagamaan seperti:
PAI, Tafsir Hadis, Perbandingan Madzhab harus memenuhi TOAFL dengan skor minimal 450, setara dengan lulusan S2, sedangkan lulusan S3 wajib menunjukkan skor 500.
Saat ini, standarisasi kemampuan bahasa Arab tampaknya tidak hanya diberlakukan oleh UIN Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta IKLA‘= Ikhtibar Kafa‟ah al-Lughah al-
‟Arabiyyah dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang juga membuat tes bahasa standar
serupa tetapi tidak sama. Bahkan STAIN Salatiga juga memiliki standar sendiri dalam bentuk ILAiK. Beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2007, Depag RI melalui Direktur Pertais
waktu itu, Dr. Arief Furqan, MA. juga perna h memberi ―proyek akhir tahun‖ kepada IAIN
Surabaya untuk merumuskan standar kompetensi berbahasa Arab lulusan PTAI, namun disayangkan hasil proyek ini tidak begitu jelas dan terekspos bahkan beberapa personil
UPB IAIN Surabaya yang semula studi banding TOAFL ke UIN Jakarta juga tidak sedikitpun melibatkan UIN Jakarta dalam proses standarisasi dimaksud sumber:
www.nu.or.id, 24 september 2007.
111
Proyek serupa seminar dan workshop standarisasi tes bahasa Arab juga telah dilakukan oleh Universitas al-Azhar Indonesia bekerja sama dengan Ditpertais pada
Desember 2009 lalu. Dalam forum ini juga sudah disepakati akan ‖disinergikan dan distandarkan‖ berbagai model tes bahasa Arab yang ada, namun hingga saat ini, belum jelas
juga wujud konkrit standarisasinya berikut mekanisme penerapannya. Dalam beberapa kali memberi pelatihan dan konsultasi, IAIN Banjarmasin, IAIN Pontianak, dan STAIN
Pekalongan juga sudah membuat tes bahasa Arab standar ‖mirip‖ TOAFL. Selain itu, IMLA Ittihad Mudarrisi al-Lughah al-
„Arabiyyah juga sudah pernah merancang standarisasi hal yang sama, hanya saja hingga sekarang belum terrealisir, karena
berbagai persoalan, antara lain masalah pendanaan. Di beberapa IAIN seperti Imam Bonjol Padang dan PTA
I lainnya beberapa tahun terakhir juga ―ikut-ikutan‖ mensosialisasikan penggunaan TOAFL, minimal dalam brosur promosi mereka, meskipun realitasnya boleh
jadi tidak dilaksanakan. Berbagai lembaga kursus bahasa Arab juga gencar menawarkan jasa pelayanan kurs
us TOAFL untuk menangkap peluang ―pasar mahasiswa‖ yang merasa butuh ―jalan tol‖ menuju kelulusan sesuai dengan standar yang disyarakatkan.