Macam-macam dan Bentuk Tes Bahasa Arab

119 Sementara itu, tes profisiensi bahasa ikhtibar al- kafâ‟ah fi al-lughah al-Arabiyyah adalah tes yang tidak dimaksudkan untuk menguji pemerolehan kebahasaan peserta didik dan tidak terkait dengan kurikulum, buku ajar dan masa program belajar tertentu, melainkan menguji kompetensi dan keterampilan bahasa peserta didik secara umum. Yang termasuk jenis tes ini adalah TOEFL Test of English as a Foreign Language atau TOAFL Test of Arabic as a Foreign Language. Sedangkan tes kesiapan atau prediksi adalah tes yang dimaksudkan untuk menentukan tingkat kesiapan peserta didik untuk belajar bahasa kedua dan memprediksi kemajuan yang akan dicapai peserta didik. Tes ini juga mengukur aspek audio-visual peserta didik, terutama mengukur kemampuannya dalam membedakan berbagai tarâkîb lughawiyyah struktur bahasa. Dari segi pembuatnya, tes dapat dibagi menjadi dua, yaitu: tes standar al-ikhtibâr al- muqannan dan tes guru ikhtibâr al- mu„allim. Yang pertama adalah tes yang dibuat oleh lembaga atau institusi tertentu, dengan standar tertentu pula, untuk dipergunakan dalam skala yang luas, misalnya: tes bahasa Arab untuk seluruh kelas III MTsN dalam ujian akhir di kota Bandung. Sedangkan yang kedua adalah tes yang dibuat oleh tenaga pendidik untuk diujikan kepada peserta didiknya sendiri, dan bertujuan untuk mengetahui tingkat penguasaan bahasa yang telah dipelajarinya. 11 Sementara itu, dari segi skoringnya, tes dapat dibagi menjadi dua, yaitu: tes essay ikhtibâr al-maqâl atau tes subyektif dan tes obyektif al-ikhtibâr al- maudhû‟î. Yang pertama adalah tes yang dirancang sedemikian rupa, sehingga peserta didik memiliki kebebasan dalam memilih dan menentukan jawaban dalam bentuk uraian. Tes ini disebut subyektif karena jawaban peserta didik maupun koreksi yang diberikan oleh guru bersifat subyektif. Sedangkan yang kedua adalah tes yang itemnya dapat dijawab dengan memilih jawaban yang sudah tersedia, sehingga peserta didik menampilkan keseragaman data, baik yang menjawab benar maupun yang menjawab salah. Tes ini disebut obyektif karena pilihan jawaban bersifat pasti dan tertutup, tidak membuka peluang bagi peserta didik untuk memilih selain dari pilihan jawaban yang sudah ditentukan; demikian juga penilai juga tidak mungkin memberikan skoring yang menyimpang dari pilihan jawaban yang benar. Setidaknya ada empat bentuk tes obyektif, yaitu: pilihan ganda al-ikhtiyâr min muta„addid, multiple choise, pilihan benar-salah ikhtiyâr al-shawâb wa al-khatha‟, mencari pasangan al-muzâwajah, matching dan melengkapi isian al-takmilah, completion dengan jawaban yang bersifat tertutup. 12 Selanjutnya, dari segi cara dan bentuk pengujiannya, tes dapat dibagi menjadi dua: tes lisan ikhtibâr syafawî dan tes tulis ikhtibâr tahrîrî. Yang pertama adalah tes yang soal dan jawabannya diberikan secara lisan, sebaliknya yang kedua adalah tes yang soal dan 11 Rusydi Ahmad Thu‘aimah, Ta‟lim al-„Arabiyyah…, h. 249. 12 Muh a ad Abd al-Khâliq Muhammad, Ikhtibarat al-Lughah, ‘iyadh: Ja i ah al-Malik Sa ud, , h. -15. 119 jawabannya diberikan dalam bentuk tulis. Tes lisan dapat digunakan, terutama untuk menguji keterampilan berbicara mahârat al-kalâm, membaca dan ekspresi verbal ta„bîr syafawî. Sedangkan tes tulis dapat digunakan untuk menguji cabang-cabang kebahasaaraban yang kurang cocok diujikan secara lisan, seperti: materi nahwu, tarjamah tahrîriyyah tarjamah tulis, insyâ‟, dan sebagainya. Aplikasi tes, dalam berbagai bentuk dan jenisnya tersebut, dalam pembelajaran bahasa Arab dapat disesuaikan dengan karakteristik materi yang akan diujikan. Materi istimâ‟ berbeda dengan materi qawâ‟id dan insyâ‟. Demikian juga alat dan media yang digunakan. Tes keterampilan menyimak ikhtibâr al- istimâ‟, misalnya, idealnya dilakukan dalam laboratorium bahasa dengan menggunakan tape dan earphone, atau sekurang-kurangnya didukung oleh rekaman kaset yang dibunyikan melalui tape, seperti halnya tes listening dalam TOEFL atau TOAFL. Tes mufradât juga dikembangkan dengan penuh variasi; tidak hanya berupa mencari sinonim dan antonim kata, melainkan juga dapat berupa mendefinisikan sesuatu, menyebut profesi, mencari salah kata yang asing dari suatu kelompok kata, dan sebagainya. Semua jenis tes kebahasaan tersebut tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan, karena pada dasarnya tidak ada satu jenis tes pun yang komprehensif dan bisa digunakan untuk menguji semua aspek kemahiran berbahasa Arab. Tes lisan, misalnya, sangat baik dilakukan untuk mengetahui kemahiran berbicara peserta didik secara langsung, tetapi bagi peserta didik yang kurang berani berbicara, padahal ia memiliki pengetahuan kebahasaan yang memadai, tes ini kurang menguntungkan. Obyektif tes dalam bentuk pilihan ganda jelas memudahkan guru dalam skoring, tetapi tidak semua pendapat peserta didik dapat diakomodasi melalui tes ini. Tes essay cukup baik untuk memotivasi peserta didik menyatakan pendapatnya, namun jawaban dan penilaiannya boleh jadi sangat subyektif. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing tes bahasa, penyusunan tes direkomendasikan oleh James Smith agar memedomani norma-norma berikut. Pertama, butir-butir atau kalimat soal hendaknya hanya disesuaikan dengan tujuan khusus yang telah ditetapkan. Misalnya saja, jika kalimat soal ditujukan untuk menguji arti mufradât dalam sebuah kalimat, maka alternatif jawaban –jika berbentuk pilihan ganda— hendaknya tidak bisa dengan unsur nahwu atau sharaf. Kedua, soal yang dibuat hendaknya sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik, terutama jika berbentuk tes pemerolehan. Ketiga, penyusunan tes hendaknya disertai petunjuk yang jelas, baik mengenai cara dan tempat menjawabnya serta lamanya waktu yang disediakan. Keempat, redaksi atau rumusan masing-masing soal harus jelas, tidak bersayap dan multiinterpretasi, terukur dan diskriminatif. Kelima, waktu yang diberikan untuk menjawab soal harus sebanding dengan 111 tingkat kesulitan dan banyak soal. Keenam, skoring penilaian harus obyektif berdasarkan proporsi yang ditetapkan, bukan berdasarkan rekaan gambling dan jauh dari subyektivitas penilai. 13

E. Perkembangan Tes Profisiensi Bahasa Arab di Indonesia

Gagasan untuk melakukan standarisasi kompetensi berbahasa Arab bagi lulusan Perguruan Tinggi, khususnya PTAIN, sebenarnya sudah lama muncul. Sejak Menteri Agama RI Mukti Ali menunjukkan kelemahan mendasar sivitas akademika IAIN waktu itu, yaitu: lemah dalam penguasaan bahasa asing Arab dan Inggris dan lemah dalam penguasaan metodologi penelitian, usaha untuk menggairahkan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia mulai mendapat perhatian cukup serius. Beberapa IAIN kemudian memperbarui kurikulum bahasa Arabnya. Sebagai contoh misalnya IAIN Jakarta pada tahun 1980-an dengan menerbitkan buku al-Arabiyyah bi al-Namâdzij atau IAIN Surabaya dengan Durûs al-Lughah al- ‟Arabiyyah. Namun demikian, upaya standarisasi kompetensi berbahasa Arab di era 1980-an dan 1990-an tampaknya redup dan kurang mendapat perhatian sewajarnya dari para pengambil kebijakan, baik di tingkat pusat Kemenag RI maupun di level institusional IAIN dan STAIN atau PTAI lainnya. Pembelajaran bahasa Arab dalam banyak kasus cenderung menjadi ‖urusan domestik institusional‖ daripada ―urusan akademik nasional‖. Sistem pembelajaran bahasa Arab di PTAI Perguruan Tinggi Agama Islam, menurut pengamatan saya, cenderung mengikuti ‖selera‖ masing-masing dosennya. Meskipun ‖sistem dan orientasi pengajaran bahasa Arab‖ pernah dilokakaryakan beberapa kali di IAIN Jakarta 2000 dan telah disepakati bahwa orientasi dan fokus utama pembelajaran bahasa Arab di IAIN Jakarta adalah pengembangan keterampilan membaca mahârah al- qirâ‟ah atau fahm al- maqru‟, namun operasionalisasinya sangat bergantung kepada dosen yang bersangkutan. Standar kurikulum termasuk bahan ajar, standar isi, standar proses pembelajaran, standar metode dan media, standar pengelolaan, dan standar lainnya tampaknya belum disepakati dan dijadikan sebagai komitmen bersama. Pada tahun 1999 Pusat Bahasa dan Budaya PBB, sekarang PPBPusat Pengembangan Bahasa IAIN Jakarta mulai merintis pembuatan tes standar bahasa Arab 13 Thu ai ah da Ma â , op.cit., h. 100-101. 111 yang kemudian terkenal dengan nama TOAFL Test of Arabic as a Foreign Language. Meski tidak dilandasi oleh hasil penelitian dan uji validitas yang memadai, model ini terus bergulir dan gayung pun bersambut, sehingga keberadaan TOAFL ini memperoleh momentum yang cukup menggembirakan. Pimpinan IAIN saat itu merespon cukup positif, bahkan sejak tahun 2000 Program Pascasarjana IAIN Jakarta telah menetapkan penggunaan TOAFL sebagai tes masuk dan tes keluar standar kelulusan. Bahkan ketika almarhum Prof. Dr. Harun Nasution masih menjadi Direktur Program Pascasarjana IAIN, TOAFL juga digunakan –atas saran beliau— sebagai materi tes masuk di beberapa Program Pascasarjana di luar UIN Jakarta, seperti: PPs. IAIN Palembang, IAIN Lampung, STAIN Mataram, dan IAIN Padang, bahkan juga PPs. Studi Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Ketika IAIN berubah menjadi UIN Mei 2002 dan meniatkan dirinya menuju universitas riset berkelas internasional international research university, kebutuhan terhadap peningkatan kemampuan berbahasa asing menjadi meningkat. Dengan alasan peningkatan dan standarisasi kualitas calon lulusan, Pimpinan UIN tampaknya kemudian merasa perlu membuat kebijakan standarisasi kemampuan dengan menerbitkan terbitnya SK Rektor No.241 Tahun 2005 tentang standar kelulusan S1, S2, dan S3. Dalam SK ini, antara lain dinyatakan bahwa lulusan S1 Jurusan atau Prodi yang berbasis keagamaan seperti: PAI, Tafsir Hadis, Perbandingan Madzhab harus memenuhi TOAFL dengan skor minimal 450, setara dengan lulusan S2, sedangkan lulusan S3 wajib menunjukkan skor 500. Saat ini, standarisasi kemampuan bahasa Arab tampaknya tidak hanya diberlakukan oleh UIN Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta IKLA‘= Ikhtibar Kafa‟ah al-Lughah al- ‟Arabiyyah dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang juga membuat tes bahasa standar serupa tetapi tidak sama. Bahkan STAIN Salatiga juga memiliki standar sendiri dalam bentuk ILAiK. Beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 2007, Depag RI melalui Direktur Pertais waktu itu, Dr. Arief Furqan, MA. juga perna h memberi ―proyek akhir tahun‖ kepada IAIN Surabaya untuk merumuskan standar kompetensi berbahasa Arab lulusan PTAI, namun disayangkan hasil proyek ini tidak begitu jelas dan terekspos bahkan beberapa personil UPB IAIN Surabaya yang semula studi banding TOAFL ke UIN Jakarta juga tidak sedikitpun melibatkan UIN Jakarta dalam proses standarisasi dimaksud sumber: www.nu.or.id, 24 september 2007.

Dokumen yang terkait

النهوض باللغة العربية من خلال نشر الثقافة الإسلامية والعربية

0 21 558

أهمية اللغة العربية في بناء الحضارة العالمية ووضعها في المدارس الإندونيسية

0 11 14

العلاقة بين إيجاد القواعد النحوية وحفظ القرآن لدى طلاب الفصل الرابع كلية الدراسات الإسلامية جامعة شريف هداية الله الإسلامية الحكومية جاكرتا

0 21 90

اختبارات اللغة العربية للدراسات الإسلامية للأجانب (تجربة جامعة شريف هداية الله الإسلامية الحكومية جاكرتا إندونيسيا)

2 12 38

تحليل المضمون و طرائق البحث في تأليف الرسالة الجامعية لطلاب قسم تعليم اللغة العربية بجامعة سونان أمبيل الإسلامية الحكومية سورابايا.

0 8 95

تأثير الوسائل التعليمية "الجرائد العربية في الإنترنت" نحو ترقية مهارة القراءة في مادة القراءة لدى طلاب شعبة تعليم اللغة العربية بجامعة سونان أمبيل الإسلامية الحكومية سورابايا.

1 1 100

تطوير التدريبات لتنمية مهارة القراءة ببرنامج "Articulate Studio" :البحث و التطوير مع التطبيق في قسم تعليم اللغة العربية بالجامعة الإسلامية الحكومية فمكاسان.

1 6 102

تطوير بنود اختبار اللغة العربية لغير العرب في جامعة مولانا مالك إبراهيم الإسلامية الحكومية بمالانج.

1 4 96

التحليل التقابلي بين اللغة العربية واللغة التايلادية فى الأفعال.

3 8 81

الدراسة التحليلية عن محتوى الكتاب "اللغة العربية بالنظام 52 م" في تعليم اللغة العربية لغير الناطقين بها.

0 0 81