111
mereka dalam program pembelajaran bahasa Arab.
5
Jadi, hakikat tes merupakan salah satu instrumen pengukuran dalam evaluasi kompetensi bahasa Arab peserta didik.
Menurut M. Soenardi Djiwandoni, pengertian dan penggunaan tes bahasa erat kaitannya dengan kemampuan berbahasa, tidak dengan pengetahuan tentang bahasa. Tes yang
dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan tentang bahasa seperti pengetahuan tentang tatabahasa, tentang bentuk kata, tentang bunyi bahasa, dan sebagainya,
meskipun ada hubungan dengan bahasa, bukan merupakan tes bahasa. Tes bahasa mengukur keterampilan bahasa, bukan kompetensi bahasa. Karena kompetensi berbahasa mengacu
kepada kemampuan yang bersifat abstrak, berupa potensi yang dimiliki seorang pemakai bahasa. Kompetensi itu memungkinkan pemakai bahasa untuk memahami bahasa yang
digunakan orang lain, maupun mengungkapkan dirinya melalui bahasa. Karena sifatnya yang abstrak, kompetensi bahasa tidak dapat didengar, dilihat, atau dibaca, meskipun
kompetensi berbahasa itu senantiasa terdapat di belakang penggunaan bahasa. Sebaliknya keterampilan bahasa bersifat konkret dan mengacu kepada penggunaan bahasa yang
senyatanya, dalam bentuk lisan yang dapat didengar atau dalam bentuk tertulis yang dapat dibaca. Semua itu merupakan sasaran tes bahasa.
6
Tes kebahasaan merupakan sejumlah prosedur dan alat yang didesain secara sistematis, digunakan oleh tenaga pendidik atau lembaga dalam mengamati dan mengetahui performa
salah satu keterampilan bahasa peserta didik atau keseluruhannya, sesuai dengan ukuran
5
Lihat Rusydî Ah ad Thu ai ah, Ta lî al- A abiyyah li Ghai al-Nâthiqîna Bihâ: Manâhijuhû wa Asâlîbuhû,
Rabâth: ISESCO, 1989, Cet. I, 247.
6
M. Soenardi Djiwandono, Tes Bahasa dalam Pengajaran, Bandung: Penerbit ITB, 1996, h. 2. Pendapat Djiwandono ini tampaknya dipengaruhi oleh teori Chomsky tentang kompetensi bahasa yang cenderung melihat
kompetensi itu sebagai potensi bawaan innate capacity yang masih berupa struktur batindalam al-binyah al- a i ah, dan belum terekspresikan dalam kemampuan berbahasa secara nyata yang disebut performa al-ada al-
lughawi. Penulis cenderung sependapat dengan konsep kompetensi al-kifayah atau al- kafa ah yang dikembangkan
oleh Abdu ah a bi Ib ahi al-Fauzan, et.al, yang menolak kompetensi itu hanya sebatas kemampuan berbahasa secara abstrak, melainkan kemampuan dan keterampilan yang bisa diukur. Oleh karena itu, ada tiga kompetensi yang
perlu dikembangkan dalam pengembangan bahan ajar, pembelajaran maupun evaluasinya, yaitu: 1 kompetensi linguistik al-kifayah al-lughawiyyah, 2 kompetensi komunikatif al-kifayah al-ittishaliyyah, dan kompetensi kultural
al-kifayah al-tsaqafiyyah. Kompetensi linguistik mencakup empat keterampilan berbahasa menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dan kemampuan memahami 3 unsur bahasa bunyi, kosakata, dan struktur kalimat.
Sedangkan kompetensi komunikatif tercermin pada kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan penutur asli native speaker secara memadai sesuai dengan konteks sosial secara berterima. Adapun
kompetensi kultural terkait dengan pemahaman budaya bahasa Arab, yaitu budaya Islam, baik sistem nilai, keyakinan, orientasi maupun pola hidup masyarakat Arab. Hasil riset menunjukkan bahwa mayoritas peserta didik mengetahui
bahwa informasi dan pengetahuan budaya itu merupakan tujuan utama belajar bahasa asing, di samping menjadi faktor utama kesuksesan mereka dalam belajar bahasa asing itu. Lihat Abdurrahman bin Ibrahim al-Fauzan, et.al. al-
A abiyyah Bai a Yadaik: Kitab at-Thalib, Jilid I, Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2005, Cet. III, h. ts. Lihat juga Abdurrahman bin Ibrahim al-Fauzan,
Idha at li Mu alli i al-Lughah al- A abiyyah li Ghai a -Nathiqina biha, Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah, 2011, Cet. I, h. 55
111
kuantitatif tertentu dengan maksud mencapai tujuan tertentu pula. Pengerjaan tes sangat tergantung pada petunjuk yang diberikan, misalnya: melingkari atau memberi tanda silang
pada salah satu huruf di depan pilihan jawaban, mencoret jawaban yang salah, menerangkan, mengisi titik-titik dan sebagainya.
C. Tujuan dan Kriteria Tes Bahasa Arab
Secara teoretik, tujuan tes bahasa Arab
7
adalah untuk: 1 mengukur layak tidaknya peserta didik diterima untuk belajar bahasa Arab pada program tertentu; 2 menentukan
tingkat kesiapannya untuk mengikuti pelajaran tertentu; 3 menjelaskan tingkat pemerolehan kebahasaan peserta didik; 4 mengetahui tingkat kemampuan penggunaan
bahasa Arab; 5 mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan peserta didik, sehingga dapat diberikan solusi kebahasaan yang tepat; 6 menentukan jenis materi kebahasaaraban yang
relevan dengan tingkat kemampuan peserta didik; 7 memberikan orientasi dan motivasi belajar yang dapat menyemangati pemerolehan bahasa peserta didik; 8 membandingkan
tingkat prestasi kebahasaaraban peserta didik, sehingga dapat dilakukan pengelompokan dan penempatan kelas yang tepat; dan 9 mengambil kebijakan yang tepat mengenai para
peserta didik yang akan belajar bahasa Arab, seperti kebijakan: diterima atau ditolak, ditempatkan pada kelas tertentu, diberikan program remedial atau matrikulasi, dan lain
sebagainya.
8
Tes bahasa bahasa Arab standar disyaratkan memenuhi beberapa kriteria berikut. Pertama, validitas al-shidq; sebuah tes dinyatakan valid apabila tes itu dapat tepat
mengukur apa yang hendak diukur. Tes nahwu, misalnya, dapat dikatakan valid atau memiliki validitas yang tinggi apabila berisi pertanyaan-pertanyaan yang berorientasi
nahwu, bukan berisi kata-kata yang sulit dipahami peserta didik, sehingga tes lebih berorientasi mengetahui penguasaan peserta didik terhadap kosakata.
Kedua, reliabilitas as-tsabât atau dapat dipercaya karena memiliki keajegan yang konsisten. Tes dapat disebut reliabel jika memberikan hasil yang tetap apabila diteskan
berkali-kali. Dengan kata lain, sebuah tes dinilai reliabel apabila hasil-hasil tes tersebut menunjukkan ketetapan, meskipun diteskan kepada peserta didik berbeda dan dalam waktu
yang berlainan.
7
Me u ut Muha ad Ali al-Khuli, tujuan tes bahasa Arab itu ada 11, yaitu: 1 mengukur prestasi qiyas at-
tahsil, 2 evaluasi diri tenaga pendidik at-taqyîm ad-dzâti, 3 eksperimen kependidikan at-tajrib at-tarbawi, 4 kenaikan dan kelulusan at-
ta fi , 5 memberi informasi kepada orang tua peserta didik I la al-walidain, 6 identifikasi dan diagnosa kekurangan peserta didik at-tasykhis, 7 pengelompokan kelas atau rombongan belajar at-
taj i , 8 motivasi untuk belajar bagi peserta didik al-hafiz, at-tasyji , 9 prediksi untuk konsultasi dan orientasi peserta didik ke depan at-
ta abbu li al-irsyad, 10 penerimaan peserta didik baru al-qabul, dan 11 pengklasifikasian program pembelajaran bahasa Arab at-tashnif
. Lihat Muha ad Ali al-Khuli, al-Ikhtibarat al-
Lughawiyyahh , A
a : Da al-Falah, 2000, Cet. I, h. 2-4
8
Thu ai ah da Ma â , op.cit., h. 90.
114
Ketiga, obyektivitas al- mawdhû„iyyah, dalam arti bahwa tes dikatakan memiliki
obyektivitas apabila dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor subyektif yang mempengaruhi, terutama pada sistem skoring atau pemberian nilai dari sang penilai
korektor. Jika obyektivitas menekankan ketetapan consistency pada sistem scoring, maka reliabilitas menekankan ketetapan pada hasil tes.
Keempat, praktikabilitas al- „amaliyyah atau suhûlah al-tathbîq. Sebuah tes dikatakan
memiliki praktikabilitas kepraktisan yang tinggi apabila tes itu bersifat praktis: mudah pengadministrasiannya, mudah pelaksanaannya, mudah pemeriksaannya, dilengkapi dengan
petunjuk yang jelas, dan mudah penentuan nilai atau skor akhirnya. Kelima, ekonomis al-iqtishâdiyyah, dalam arti bahwa pelaksanaan tes itu tidak
membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak dan waktu yang lama. Jadi, tes harus dirancang murah-meriah, tetapi bermutu dan sesuai dengan standar yang berlaku.
Keenam, diskriminatif al-tamyîz, atau daya beda, dalam arti bahwa tes yang baik adalah tes yang dapat membedakan antara kelompok peserta didik yang pintar dan yang
bodoh, yang menonjol dan yang lemah. Karena itu, distribusi soal tes yang mudah, sedang dan sulit harus proporsional, sehingga dapat diketahui mana saja soal yang dapat dijawab
dengan benar oleh peserta didik dan mana saja yang hanya dapat dijawab dengan oleh sebagian peserta didik.
9
D. Macam-macam dan Bentuk Tes Bahasa Arab
Tes kebahasaan itu sangat beragam, bergantung pada perbedaan tujuan, kepentingan, cara pemeriksaan dan ruang lingkupnya. Dari segi tujuannya, tes kebahasaan dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: tes pemerolehan atau tes prestasi achievement test, al- ikhtibâr al-tahshîlî, tes profisiensi proficiency test, ikhtibâr al-ijâdah aw ikhtibâr al-
kafâah, dan tes kesiapan berbahasa language aptitude test, ikhtibâr al- isti„dâd al-lughawî
atau tes prediksi predictive test, al-ikhtibâr al-tanabbuî.
10
Tes pemerolehan bahasa Arab adalah tes yang dimaksudkan menguji apa yang telah diperoleh peserta didik setelah menempuh atau memperoleh pengalaman pendidikan dan
pembelajaran dalam waktu tertentu. Tes ini terkait dengan kurikulum dan buku ajar yang digunakan oleh lembaga pendidikan dan pada umumnya dilaksanakan dalam bentuk ujian
ulangan pada pertengahan atau akhir semester.
9
Ibid., h. 91
10
Rusydi Ahmad Thu‘aimah, Ta‟lim al-„Arabiyyah li Ghair an-Nathiqin biha: Manahijuhu wa Asalibuhu, Rabath: Isesco, 1989, h. 248-9. Lihat juga Madsen, Harold, Technique in Testing, Oxford: Oxford University Press, Edisi I,
1983.